MENGENAL TEORI CHAOS DAN “BUTTERFLY EFFECT” (1): ILMIAH ATAUKAH KESALAHPAHAMAN BUDAYA POP?

13
2
Deskripsi

Salah satu konsep sains yang amat menarik buat dan nggak bosen-bosennya buat dibahas di blog ini adalah “Butterfly Effect” atau “Efek Kupu-Kupu”. Bagi kalian yang udah membaca postingan gue tentang efek perjalanan waktu pastinya sudah tak asing dengan istilah tersebut. Bunyi “”Butterfly Effect” menyebutkan bahwa sebuah perubahan sekecil apapun pada kondisi inisial (awal) akan menyebabkan perubahan yang sebegitu drastis pada kondisi akhirnya. 

Istilah “Butterfly Effect” dicetuskan oleh seorang...

THE BIRTH OF THE BUTTERFLY

Bak sebuah “Butterfly Effect” sesungguhnya, asal mula teori ini muncul karena sebuah kejadian yang teramat simpel, tak signifikan, dan seakan tak memiliki kaitan apapun, yakni sebuah apel yang terjatuh dari pohonnya. 

Pada abad ke-17, sebuah apel jatuh dari pohonnya di sebuah taman di kota Lincolnshire, Inggris. Seorang fisikawan bernama Isaac Newton tanpa sengaja menyaksikan hal tersebut dan mulai berkontemplasi, “Mengapa apel itu bisa jatuh dari pohonnya?”. Dari pertanyaan itu, iapun menemukan konsep gravitasi. 

Kemudian ilmu Fisika-pun lahir.

Sebelum keberadaan Fisika, dunia bisa jadi dicekal dengan “ketidaktahuan”. Kenapa bumi bisa mengelilingi matahari, kenapa bulan bisa mengelilingi Bumi, kenapa bintang di langit kok nggak jatuh ke bumi. Dengan keberadaan Fisika, hal tersebutpun bisa dijawab. Bahkan, lebih jauh lagi, jika kita bisa mengetahui nilai parameternya, kita bisa meramalkan masa depan.

Isaac Newton dikenal sebagai Bapak Sains Modern (The Father of Modern Science) karena ia berhasil menelurkan 3 Hukum Newton yang merupakan Hukum Fisika pertama di Barat (walaupun sebelumnya, asas-asas tersebut sudah dikenal di peradaban Muslim oleh Ibnu Sina dan filsuf India kuno, Rishi Kannada dari abad ke-6 SM). Keberadaan hukum itu membuat bangsa Eropa kepedean dan mulai menggantikan landasan benua biru mereka yang awalnya adalah hukum agama menjadi sains. 

Alasannya? Karena sains terbukti bisa meramalkan masa depan.

Kita ambil contoh saja berbagai rumus yang ada ketika kita mempelajari Fisika. Rumus-rumus itu nggak hanya buat menyiksa masa remaja kita saat SMP dan SMA, namun memiliki kegunaan yang melimpah untuk “meramal” masa depan. Semisal, kita punya rumus kecepatan adalah sebanding dengan jarak dibagi waktu.

Nah, apabila kita bergerak dengan kecepatan katakanlah 50 kilometer per jam dan jarak dari Jakarta ke Bandung adalah 150 kilometer, maka kita bisa dengan mudah “meramalkan” bahwa kita akan tiba di Bandung setelah 3 jam perjalanan. Artinya jika kita berangkat jam 1 siang, maka kita akan tiba di sana jam 4 sore. 

Contoh lain nih, kalian pasti sudah pernah liat rumus begini pas kalian SMA (kalo kalian anak IPA sih). Ini adalah rumus gerak parabola. Dengan menggunakan konsep ini, jika kalian tahu parameter awal semisal massa bola dan kecepatan kalian saat menendang bola, maka kalian akan bisa “meramalkan” berapa ketinggian maksimal bola yang kalian tendang dan sejauh mana jarak yang akan ditempuh bola itu sebelum akhirnya mendarat di tanah, semua hanya menggunakan rumus Fisika.

Rumus-rumus itu jauhlah lebih meyakinkan ketimbang dogma-dogma agama hingga konsep surga neraka yang tak pasti, sehingga Bangsa Eropa segera berbondong-bondong meninggalkan dunia spiritualitas yang dulunya menjadi landasan masyarakat mereka dan beralih ke dunia sains yang materialistik. Alasannya, tentu karena rumus-rumus dan hukum Fisika itu sedemikian anggunnya bisa meramalkan masa depan, asalkan kita tahu parameter awal dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Kita menyebutnya sebagai konsep “deterministik”, yakni jika kita tahu nilai awalnya, maka kita akan tahu nilai akhirnya. Jika kita tahu penyebabnya, maka kita akan dengan mudah meramalkan akibatnya. Konsep ini membuat Bangsa Eropa dengan pede merasa mereka mengetahui segalanya. 

Namun benarkah segala sesuatu memang ditakdirkan deterministik? Bisakah manusia mengetahui segalanya, bahkan masa depan, hanya berbekal ilmu fisika dan kemampuan matematika sahaja?

Jawabannya tentu mudah sekali, bahkan bagi kalian yang awam dan tak paham dengan Fisika. 

Yakni tidak.

THE CHAOS REVOLUTION

Konsep Deterministik mulai diragukan kebenarannya ketika “Quantum Mechanics” lahir. Perkembangan Mekanika Kuantum muncul dari penemuan Bilangan Planck, percobaan celah ganda, Kucing Schrodinger, hingga Asas Ketidakpastian Heinsenberg. Semuanya seolah meneriakkan bahwa pada “dunia kuantum” atau pada “alam dimana partikel-partikel terkecil berinteraksi”, tidak ada yang namanya kepastian; yang ada hanyalah probabilitas atau kemungkinan. 

Namun kita bisa kok dengan mudah menyanggah pendapat ini dengan mengatakan bahwa dalam dunia makro (dunia dimana kita hidup, termasuk planet dan bintang di angkasa luar) segalanya berjalan deterministik (pasti), sedangkan di dunia mikro (dunia mahakecil dimana partikel berada) segalanya berjalan menurut hukum probabilitas (tidak pasti). Dua alam yang berbeda pasti dikuasai oleh dua hukum yang berbeda pula, bukan?

Akan tetapi semua pemahaman itu diobrak-abrik ketika Butterfly Effect ditemukan.

Seperti gue sebutkan tadi, “Butterfly Effect” pertama kali dicetuskan pada tahun 1961 oleh Edward Lorenz yang kala itu tengah menggunakan sitwimulasi komputer untuk memprediksi cuaca. Kala itu ia mencoba memasukkan berbagai variabel awal dengan nilai berbeda untuk menentukan seperti apa hasil akhirnya. Semisal nih, dia memasukkan suhu awal 37 derajat Celsius, kelembapan udara 92%, tekanan udara 757 mmHg, dan lain-lain. Nah, salah satu variabel yang dia masukkan bernilai 0,506127 dengan hasilnya semisal prediksi cuaca cerah. 

Namun suatu ketika, ia salah memasukkan nilai variabel tersebut. Dari angka 0,506127 tadi, tanpa sengaja ia membulatkannya menjadi 0,506 kemudian memasukkannya ke dalam simulasi. Di sini kita mungkin berpikir, alah cuma selisih 0,000127 kan? Dikit banget kan? Paling nggak ngefek. Tapi ternyata, hasil akhirnya justru berubah drastis. Katakanlah dari yang awalnya hasilnya memprediksikan cuaca cerah, tiba-tiba berubah total menjadi badai, hanya karena perubahan yang tak sebegitu signifikan tersebut. Perubahan itu bisa jadi adalah perubahan angin ataupun tekanan udara yang amat kecil yang disebabkan oleh kepak sayap kupu-kupu.

Pada tahun 1963, ia menerbitkan hasil penelitiannya tersebut dalam makalah berjudul “Deterministic Nonperiodic Flow”. Di dalamnya, Lorenz menulis bahwa secanggih dan serumit apapun ilmu, rumus, atau teknologi yang kita miliki, akan tetap ada hal-hal yang takkan mampu kita prediksi, salah satunya adalah cuaca. 

Ketika Lorenz berusaha untuk memperkenalkan teorinya kepada khayalak umum yang masih asing dengan Fisika, tentu saja ia nggak bisa menggunakan rumus-rumus matematika temuannya yang rumit. Agar lebih renyah dan mudah dicerna publik, editornya yang bernama Philip Merrilees kemudian menyarankan judul “Does the flap of a butterfly’s wings in Brazil set off a tornado in Texas?” atau “Benarkah kepak sayap kupu-kupu di Brazil menyebabkan badai tornado di Texas”.

Maka terciptalah “Butterfly Effect”.

“Butterfly Effect” menyebutkan pada segala yang ada di alam materialistik ini sejatinya adalah “kacau” (karena itulah ia juga menyebut teorinya sebagai “Chaos Theory” atau “Teori Kekacauan”). Ini tentu bertolak belakang dengan pemahaman Fisika nan deterministik yang dianut kala itu. Para fisikawan kala itu berpendapat alam semesta ini bersifat teratur, indah, dan mudah diprediksi. Namun pada kenyataannya tak seperti itu.

Semisal saja nih, kita mengambil analogi perjalanan dari Jakarta ke Bandung tadi. Kita bisa dengan mudah memprediksi bahwa dengan kecepatan 50 km/jam kita bisa menyelesaikan perjalanan selama 3 jam. Tapi pada kenyataannya, dunia nggak sesempurna itu. Bisa jadi waktu yang kita tempuh lebih lama atau lebih pendek dari itu. Alasannya, kecepatan kita nggak mungkin terus-terusan 50 km/jam. Pasti ada kalanya kita berhenti karena ada lampu merah, ada orang nyebrang, tiba-tiba kalian kebelet pipis dan harus mampir di rest area, tiba-tiba kepengen ngemil Chitato jadi harus mampir Indomaret dulu, dll. Bsa jadi kita menemui berbagai gangguan lain semisal adek lu ketinggalan di rest area atau di jalan ada Youtubers mistis bikin konten di tengah jalan tol ampe bikin macet. Siapa tau malah sebaliknya, jalanan malah kosong dan lengang jadi kalian bisa ngebut (not recommended btw). 

Apalagi kalo kondisi inisialnya berubah karena perbedaan kecil, semisal kalian harusnya berangkat jam 1 pas tapi tiba-tiba kebelet ee jadinya molor jadi 1.15. Ditambah lagi kalo ternyata ee itu bukan ee biasa melainkan mencret yang porak poranda, jadi perjalananpun makin molor (serius ini pernah kejadian beneran pas gue mau ke Bandung datengin nikahan temen gue). Sapa tau di gerbang tol lu tiba-tiba baru sadar lupa bawa e-tol jadinya harus muter balik. Ini tentu semua akan mengubah output akhirnya, yakni yang seharusnya tiba di Bandung jam 4 sore.

Lorentz menyebut ini sebagai sistem yang “chaos” atau kacau, sehingga hasil akhirnya sukar diprediksi. Perubahan sekecil apapun pada sistem ini bisa jadi menyebabkan perubahan sedemikian yang besar pada akhirnya yang sukar kita perkirakan. Nanti kita pelajari ya bahwa “kacau” dalam artian “Chaos Theory” bukan berarti acak atau random., hanya “terlihat” tak beraturan.

[NB: perjalanan dari Jakarta ke Bandung sebenarnya tidak termasuk ke dalam sistem yang “Chaos” karena sistem Chaos adalah sistem yang amat sensitif pada perubahan titik inisialnya. Perjalanan dari Jakarta ke Bandung tidaklah sesensitif itu karena tidak memiliki terlalu banyak variabel. Gue hanya memakai contoh ini supaya mudah dipahami. Cuaca, di lain pihak, adalah sistem yang Chaos karena begitu banyaknya variabel yang bisa mempengaruhi, karena mempengaruhi cakupan wilayah yang cukup luas]

Nah, maka tibalah kita di pembahasan “Butterfly Effect” yang kita tunggu-tunggu.

Buat kalian yang pernah baca salah satu artikel gue, gue pernah menceritakan dampak ketika seseorang melakukan perjalanan waktu ke masa lalu. Di sana gue memberikan salah satu contoh dari “Butterfly Effect” dengan sebegitu anggunnya.

Tapi tanpa sengaja lu kentut di masa lalu! “BROOOOT!!!” begitu bunyinya. Lu pikir, ah cuma kentut apa bahayanya? Tapi ketika kembali, ternyata masa depan sudah dikuasai oleh monyet-monyet berintelegensi tinggi yang memperbudak manusia dan menyuruh mereka membangun monumen berupa Piramid raksasa dan mengawasi mereka menggunakan UFO dan senapan laser. Who knows?

Lah gimana Bang caranya? Masa kentut aja bisa bikin “Planet of The Apes”? Ya siapa aja pas kalian kentut itu, tiba-tiba didengar oleh orang yang lagi nunggu bis. Nah orang itu kebetulan adalah komika yang langsung terinspirasi menuliskan salah satu jokesnya. Jokesnya itu muncul di sebuah acara televisi dan kala itu dilihat oleh seorang pengusaha kaya. Saking ngakaknya, sang pengusaha itu tiba-tiba tersedak karena pas sedang makan. Seorang pramusaji kemudian berusaha menolongnya. 

Merasa sangat berterima kasih karena sang pelayan menyelamatkan nyawanya, iapun menikahkannya pada anak gadisnya. Mereka menikah dan memiliki seorang anak yang amat jenius berkat gabungan gen mereka, bahkan disebut sebagai “Einstein”-nya Indonesia. Dia kemudian menciptakan sebuah formula obat baru yang konon bisa menyembuhkan Alzheimer, penyakit pikun pada orang tua. Pihak farmasi pun mencobanya pada seekor monyet dan saking ampuhnya, monyet itu tiba-tiba jadi cerdas. Melihat perlakuan tak adil manusia pada monyet-monyet percobaan lainnya, iapun memberontak dan memperbudak manusia.

Gue akuin itu sih ide “Butterfly Effect” akal-akalan gue. Namun udah ada banyak contoh kok sepanjang sejarah, dimana sebuah kesalahan kecil yang terjadi akan menghasilkan dampak dramatis yang sedemikian besar, bahkan mempengaruhi nasib seluruh dunia. Bahkan, mungkin tanpa kejadian yang seolah remeh tersebut, dunia yang kita tinggali bisa saja sangat berbeda. 



 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Blog PostScience
Selanjutnya MENGENAL TEORI CHAOS DAN “BUTTERFLY EFFECT” (2): ILMIAH ATAUKAH KESALAHPAHAMAN BUDAYA POP?
13
1
Gue sudah membahas awal mula serta pengertian “Butterfly Effect”. Nah, berikut ini sekelumit contohnya. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan