ILUSI OPTIK DAN REALITAS: BAGAIMANA OTAK KITA SENANTIASA MENIPU KITA SETIAP HARINYA

9
6
Deskripsi

Gue mendapatkan ide artikel ini dari sumber yang nggak main-main, yakni Institut Neurologi (ilmu yang mempelajari saraf) dari Standford University. FYI Stanford University selalu tercatat ke dalam tiga universitas terbaik di dunia di samping Oxford University di Inggris dan Harvard University di Amrik. Gue memutuskan untuk menggratiskan tulisan ini (tapi kalian masih bebas kok ngasih tips hehehe) karena selain gue nggak merasa berhak atas hak ciptanya, gue juga merasa artikel ini penting untuk dibaca...

Sekitar sebulan yang lalu setelah gue selesai mengelarkan artikel gue tentang “Impossible Color” (yang terinspirasi oleh video dari salah satu YouTuber favorit gue, Kyle Hill), entah mengapa Kyle Hill sendiri memposting ini di channelnya.

Ilusi optik di atas menunjukkan garis-garis yang sesungguhnya lurus, tapi oleh sudut mata kita terlihat bengkok. Begitu kita mengarahkan mata kita untuk memastikan apakah garis-garis itu sesungguhnya bengkok, maka garis-garis tersebut akan menjadi lurus kembali. Postingan ini sebenarnya membuat gue kaget karena kala itu gue tengah membuat postingan tentang ilusi optik pula sebagai “sekuel” artikel sebelumnya tentang warna yang adalah ilusi. Hal ini walaupun mungkin kebetulan banget, merasa membuat gue satu “frekuensi” ama Kyle Hill ini hehehe.

Namun ilusi optik tak hanya buat asyik-asyikan mengisi waktu luang atau buat keren-kerenan untuk ditunjukin ke temen-temen. Kemampuan (atau ketidakmampuan) kita dalam melihat ilusi optik justru bisa ditarik sisi filosofisnya yang jujur, membuat kita agak bergidik ketakutan. Sebab ketidaksempurnaan (atau justru malah kesempurnaan) otak kita-lah yang membuat kita mampu melihat ilusi-ilusi itu dan membuat kita mempertanyakan, apakah realita yang kita rasakan dan alami benar-benar terjadi, atau hanya “rekayasa” otak kita.

Patrick Cavanagh memberi contoh ilusi dot yang bergerak ini (sayang karena Karyakarsa belum mampu mengupload file gif, maka kalian bisa langsung meloentjoer ke link ini untuk gambar aslinya).

Di situ terdapat sebuah gambar seperti ini, dimana titik hitam yang ada di sebelah kiri statis, namun titik hitam-putih yang berputar di sisi kanan selalu bergerak ke atas dan ke bawah.

Sekarang coba perhatikan titik yang ada di sebelah kiri, kemudian lirik (ingat tak perlu lihat) seperti apakah gerakan titik hitam putih yang ada di sebelah kanan. Kemungkinan besar kalian melihatnya bergerak diagonal dari kiri ke kanan. Padahal kalian sudah tahu kan bahwa gerakan sesungguhnya dari titik hitam putih itu adalah naik turun dari atas ke bawah. Jika kalian sudah baca postingan gue tentang ilusi optik, hal tersebut tidaklah aneh sebab warna hitam putih seringkali mengganggu pandangan perifreal (tepi) kita. Seperti pernah kalian lihat di ilusi “rotating snakes” bahwa bahwa gambar yang statispun akan terlihat bergerak apabila memiliki pola tertentu yang sebagian besar adalah hitam putih.

Ilusi visual sesungguhnya membuktikan bahwa indra kita seringkali mengalami mispersepsi alias kebenaran yang sesungguhnya terjadi berbeda dengan pengalaman yang kita rasa kita alami. Bukannya ini berarti kita tidak bisa melihat realita, namun otak kita yang terlampau cerdas-lah yang “menciptakan” realita tersebut bagi kita. Kita perlu mafhum bahwa otak kita seringkali membengkokkan realitas demi keinginan atau ekspektasi kita pribadi dengan berbekal pengalaman-pengalaman masa lalu kita sebagai landasan untuk membentuk realitas tersebut.

Namun mengapa?

Alasannya ternyata dilandasi oleh sebuah fakta mengejutkan. Bayangkan elu melihat sebuah daun jauh dari pohonnya. Mungkin kalian mengira apa yang kalian lihat (dalam hal ini adalah sebuah daun yang jatuh) terjadi secara real-time. Namun kenyataannya tidak. Daun itu jatuh sebenarnya di masa lalu, sekitar 0,1 detik sebelum elu melihatnya jatuh. Hal ini karena diperlukan waktu sekitar 100 milidetik atau 0,1 detik agar informasi yang sampai di mata diterima di otak.

Ketika elu melihat, yang elu lihat sesungguhnya adalah pantulan cahaya dari spektrum cahaya tampak. Cahaya tersebut jatuh di retina karena di sana terdapat dua jenis fotoreseptor (penangkap cahaya), yakni sel batang dan sel kerucut (sudah kita bahas di “Impossible Colors”). Namun informasi tentang apa yang elu lihat tidaklah diproses di mata. Cahaya itu harus diteruskan ke otak agar kalian memahami apa yang sebenarnya kalian lihat.

Sayang, proses yang melibatkan impuls listrik yang ditransmisikan melalui rangkaian sel saraf dari retina ke otak ini memerlukan waktu, tepatnya sekitar 0,1 detik. Apapun yang kalian saat ini sesungguhnya terjadi di masa lalu. Kejadiannya bisa kalian pahami seperti. Anggap saja kalian menyaksikan siaran langsung piala Euro dari Eropa melalui televisi kalian. Tentu saja jarak antara Eropa dan Indonesia amatlah jauh sehingga tayangan tersebut memerlukan waktu untuk ditransmisikan melalui satelit untuk bisa sampai ke TV kalian dari kamera yang ada di stadion di Eropa saja. Anggap saja jarak antar-transmisinya membutuhkan waktu 1 detik. Sehingga ketika jam 11.01 kalian bersorak kegirangan karena tim kalian mencetak gol, sesungguhnya gol tersebut terjadi di stadion itu jam 11.00. sama halnya dengan mata, namun waktu relay-nya jauh lebih singkat, yakni sepersepuluh detik.

Namun waktu yang amat singkat itu amatlah krusial bagi kemampuan manusia bertahan hidup. Bayangkan aja manusia purba di zaman dulu baru bisa melihat singa yang hendak menerkamnya 0,1 detik setelah singa itu menerjang. Atau kalian baru menyadari ada sebuah mobil yang tengah melaju ke arah kalian terlambat 0,1 detik. Akibatnya mungkin bisa fatal.

Karena itulah otak kalian kemudian menginterupsi. Perlu kalian ingat, waktu 0,1 hanyalah barulah waktu dimana apa yang kalian lihat barulah bisa dimengerti oleh otak kita. Butuh kira-kira waktu yang sama (sekitar 0,1 detik lagi atau bahkan lebih lama lagi dari itu) bagi otak kita untuk memerintahkan respon, semisal menggerakkan otot kita untuk segera melompat apabila melihat sebuah mobil melaju ke arah kita. Dengan kata lain, diperlukan 0,2 detik bagi kita melihat, mengerti, dan merespon sesuatu. Walaupun singkat, namun waktu ini jelas terlalu “lama” apabila kita mengalami peristiwa yang mengancam hidup.

Oleh karena itulah otak kita kemudian berusaha “memperpendek” waktu itu dengan memutuskan sendiri, tanpa perlu tahu apa yang “sebenarnya” kalian lihat (karena mungkin nggak ada cukup waktu untuk kita benar-benar mengkomprehensifkan apa yang kita lihat).

Kita gunakan sebuah ilusi optik lainnya sebagai bukti. Lagi-lagi karena Karyakarsa nggak bisa upload file gif, gue berikan saja linknya supaya kalian bisa lihat sendiri. 

Namun begini cara mainnya. Akan sebuah kotak merah kecil yang akan berlari dari sisi kiri layar ke sisi kanan layar. 

Nah, nanti sekitar di tengah-tengah, akan ada sebuah kotak merah warna hijau yang menyala tepat di bawah kotak merah. Begitu kotak merah melewatinya, maka kotak hijau itu takkan terlihat lagi. Begini kira-kira ilustrasinya. Perlu kalian ingat bahwa gambar di bawah adalah hasil editan gue karena susah banget menscreenshot kotak hijau ini karena hanya muncul sepersekian detik. Tapi yang penting kalian paham lah gambarannya. Ingat ya, jadi kotak hijau ini hanya muncul pas ketika kotak merah ini tepat ada di bawahnya.

Nah setelah kalian tahu cara mainnya, sekarang kita mulai. Coba lihat pergerakan kotak merah. Bagaimana, berhasilkah kalian melihat kotak hijau tepat berada di bawah kotak merah? Ataukah selalu keduluan?

Sebagian besar dari kalian gue yakin akan melihat kotak hijau setelah kotak merah melewatinya. Dengan kata lain, kini kotak merah selalu mendahului atau berada di depan kotak hijau. Padahal seperti kalian tahu, bukanlah itu realita yang sesungguhnya dari gif itu. Lalu mengapa kita melihatnya demikian?

Jawabannya sama ketika kalian hampir terkena bola, namun dengan sigap kalian menghindarinya sehingga nggak mengenai wajah kalian. Bagaimana kalian bisa melakukannya jika sebenarnya reaksi kita mengalami delay selama 0,2 detik? Jawabannya karena sebelum otak kita berhasil memproses apa yang sesungguhnya kita lihat (which is bola), kita sudah terlebih dahulu memprediksi dan meramalkan arah pergerakannya. Jadi kita lompat dari “bola” dan langsung ke “benda itu melaju ke arah kita”. Kita mungkin malah baru tahu bahwa itu bola begitu kita berhasil menghindarinya. Dengan jalan “pintas” (mengabaikan realita yang ada dan melompat langsung ke kesimpulan, maka kita mampu bertahan hidup hingga sekarang.

Inilah yang dibuktikan oleh gif yang barusan kalian lihat. Di awal gif tersebut, kalian melihat bahwa kotak merah bergerak dari kiri ke kanan dan meramalkan bahwa kotak merah itu akan terus bergerak. Akibatnya, ketika kotak hijau muncul saat dilewati kotak hijau, kotak merah tampak melaju lebih cepat, bahkan berada di depan kotak hijau. Hal ini karena kita mempersepsikan gerak itu (karena kita sudah tahu arahnya) dan “mempercepatnya”. Kita langsung aja mengambil kesimpulan bahwa kotak itu terus bergerak, bahkan mungkin 0,1 detik lebih cepat ketimbang kenyataannya, untuk mengkompensasi keterlambatan masuknya sinyal listrik dari mata ke otak.

Hal yang sama juga dibuktikan oleh ilusi Ponzo yang pernah gue bicarakan di postingan terdahulu. Dalam ilusi tersebut, objek yang lebih jauh sealu dipersepsikan lebih besar ketimbang ukuran sesungguhnya. Jadi dua objek berukuran sama (dalam hal ini bus sekolah) dalam sebuah gambar yang menunjukkan perspektif (kayak gambar sawah yang dulu kita bikin pas SD) akan terlihat memiliki ukuran yang berbeda. Bus yang di belakang (sehingga dipersepsikan lebih jauh) akan terlihat lebih besar ketimbang bus yang di depan (yang dipersepsikan lebih dekat).

Mana yang lebih gede hayooo? Ukurannya padahal sama lho

Sekilas ini seolah tak masuk akal. Kalo lebih jauh bukannya ukurannya lebih kecil harusnya? Kok malah lebih besar. Lagi-lagi ini adalah ulah “lifehack” otak kita. Karena kita tahu bahwa objek yang jauh terlihat kecil, maka kita lalu menyimpulkan bahwa ukuran mereka seharusnya lebih besar. Semisal kalian melihat mobil dari kejauhan, mungkin di mata kalian mobilnya terlihat kecil kayak mobil-mobilan. Namun otak kalian tahu bahwa ukuran mobil itu sesungguhnya lebih besar daripada ukuran yang terlihat. Nah, logika inilah yang dipergunakan otak kalian ketika melihat ilusi Ponzo. 

Jika otak kalian tak mampu melakukannya, kalian bisa dalam bahaya lho. Semisal kalian melihat sebuah mobil melaju ke arah kalian dari kejauhan, karena ukurannya terlihat kecil, kalian bakalan santai-santai aja karena mengira mobil itu memang kecil dan kalopun nabrak kalian bakalan cemen dampaknya. Tanpa otak kalian mempersepsikan bahwa ukurannya lebih besar daripada yang sesungguhnya terlihat, maka kalian bisa menghindar dari bahaya.

Kita sekarang mengerti bahwa otak kita, alih-alih mata, yang lebih bertanggung jawab dalam merasionalkan apa yang kita lihat. Akibatnya apa yang kita lihat kadangkala berbeda dengan apa yang sebenarnya tersaji di depan mata kita. Karena waktu yang diperlukan bagi sesuatu yang kita lihat untuk bisa dicerna sepenuhnya 100% oleh dianggap terlalu lama (jika dibandingkan dengan kebutuhan survival kita), maka otak kita bisa terlebih dahulu “connecting the dots”, yang membutuhkan waktu lebih singkat ketimbang mencerna seluruh aspek realita yang kita saksikan.

Contoh dari peristiwa “connecting the dot” alias “jump in conclusion” ini adalah efek yang disebut segitiga Kanesza. Sekarang melalui gambar ini, apa yang kalian lihat? 

Ingat, nggak ada gambar segitiga lho di atas. Yang ada adalah tiga gambar bulatan mirip Pacman dan tiga huruf V dalam berbagai kemiringan. Kalian-lah yang menyimpulkan ada segitiga di sana.

Sama halnya dengan ilusi di bawah ini. Kalian akan merasa ada cahaya yang memancar dari pusat gambar ini, padahal kenyataannya tidak. Hanya karena bagian pertemuan antarsegitiga lebih tipis daripada yang lainnya, maka kalian menyimpulkan bahwa bagian itu terpotong, hence menimbulkan satu garis lurus mirip cahaya dari titik tengah ke berbagai arah.

Bahkan tak hanya mata kalian saja yang “ditipu” oleh otak kalian. Indra pendengaran kalianpun bisa terjebak dalam ilusi yang sama. Ilusi ini adalah sebuah mind-fuck, sebab apa yang kalian dengar adalah suara yang sama yang terus diulang-ulang, namun apa yang terdengar bisa “brainstorm” atau “green needle” tergantung apa yang kalian inginkan.

Oke oke, kita sudah tahu indra kita sesungguhnya tak bisa diandalkan karena dibajak oleh otak kita (walaupun demi kebaikan kita juga sih). Namun apa implikasinya terhadap kita? Banyak. Bahkan paper yang gue baca dan menjadi sumber artikel ini menyebutkan bahwa ilusi ini (alias kemampuan otak kita yang terlalu canggih) bahkan berujung pada Black Lives Matter. Alasannya? Karena persepsi ini, walaupun bagus demi keselamatan individual kita, pada nyatanya memecah belah kita.

Kita ilustrasi menggunakan ilusi ini, yang pernah gue bahas pula, namun kali ini kita akan gunakan versi gif-nya. Lagi-lagi karena formatnya gif, gue hanya bisa membuat memberikan linknya saja. 

Di awal kalian bisa melihat ada sebuah kotak dengan satu warna yang kemudian dibagi menjadi ada 2 kotak berwarna sama, yaitu A dan B. Keduanya masih memiliki warna yang sama seperti warna kotak pendahulunya. Kemudian kita “ramaikan” sekitarnya dengan gambar-gambar lain, yakni dengan kotak-kotak lain dan sebuah silinder yang memiliki bayangan. Maka tiba-tiba saja, warna B menjadi berbeda dengan A. Warna B berubah menjadi lebih muda dan warna A masih seperti warna asal (kini terlihat lebih tua daripada B). Padahal, warna kedua kotak masih sama. Mengapa ini terjadi?

Begitu kita menambahkan kotak-kotak lain berwarna checkerboard (satu lebih muda dan satu lebih tua, berselang-seling) dan juga menambahkan silinder dengan bayangan, maka persepsi kitapun langsung berubah. Adanya dua warna kotak checkerboard di sekitarnya memaksa kita mempersepsikan bahwa kedua kotak itu juga memiliki warna berbeda mengikuti lingkungannya. Adanya bayangan juga memaksa otak kita melihat bahwa kotak yang dijatuhi bayangan lebih muda demi menjaga kontras. Akibatnya, kini dua kotak yang aslinya sama tersebut terlihat berbeda di mata kita. Lagi-lagi sebuah ilusi.

Analogi yang sama bisa kita tarik ke dimensi filosofis. Semua manusia adalah sama (termasuk kita bangsa Indonesia, bahkan memiliki lebih banyak persamaan) sama seperti kotak induk tadi. Jika kita dipisahkan secara individual, sesungguhnya belumlah menjadi masalah, sebab kenyataannya kita masihlah sama, seperti dua kotak yang memiliki warna yang sama.

Namun bagaimana jika kita menambahkan “hal-hal” lain di sekitarnya, seperti mengotak-ngotakkannya dan menambahkan “bumbu” lain seperti bayangan di ilusi tersebut? Maka kitapun akan terlihat berbeda satu sama lain, padahal kenyataannya kita seharusnya sama. Dengan apa kita mengotak-ngotakkan, sama seperti checkerboard tadi (yang memaksa kita harus masuk ke dua jenis warna yang berbeda)? Bisa jadi agama, suku, ras, pandangan politik, dan perbedaan pendapat lainnya. Belum lagi jika ada “bumbu” lain semacam isu yang akan semakin memecah belah kita. Kita, yang awalnya satu, kini terlihat berbeda, bahkan mungkin saling berlawanan.

Padahal pada sejatinya, kita masih sama.

Jika itu terlalu filosofis bagian kalian, maka kalian mungkin bisa lebih menerima ini: otak kita tak bisa dipercaya. Otak kita melakukan apa yang disebut “connecting the dots” atau “jumping in conclusions”  ketimbang melihat realita secara utuh apa adanya demi survivabilitasan kita. Jika kalian tak mau mengakui bahwa otak kita hanya memperdaya kita, maka seharusnya kalian “lolos” semua uji ilusi di atas. Seharusnya kalian berhasil melihat titik hitam putih pada ilusi pertama bergerak secara vertikal alih-alih diagonal; seharusnya kalian bisa melihat kotak merah tepat berada di atas kotak hijau; atau seharusnya kalian tak melihat stroberi ini berwarna merah, karena sesungguhnya warnanya adalah abu-abu.

Namun kalian tetap tertipu kan? Jika kalian saja tak bisa memutuskan mana yang benar antara “brainstorm” atau “green needle”, lalu bagaimana dengan kebenaran opini kalian? Bisakah kalian mempertanggungjawabkannya?

Beberapa tahun lalu gue memiliki grup Line MBP yang cukup thrive, namun sayang, gue akhirnya memutuskan untuk meninggalkan aplikasi Line. Ada banyak alasannya, namun salah satunya adalah perang pendapat di kolom komentar status Line dan Line Today yang berbau politik, terutama karena pada masa itu banyak separasi antara “cebong” dan “kampret” saat Pilpres serta “kafir” dan “kadrun” saat kasus Ahok yang makin membuat gue sakit hati. Sakit hati bukan karena ada yang tak sependapat dengan gue, namun karena gue melihat hanya karena sebuah isu yang digoreng sebegitu renyahnya, teman-teman gue sendiri sampai terpecah belah.

Neurologi (cabang ilmu yang mempelajari saraf) yang mencoba mengetahui mengapa manusia begitu mudah jatuh pada ilusi sensori seperti ini berujung pada kesimpulan yang “humble”, bahwa manusia selayaknya haruslah lebih rendah hati. Semua pengalaman kita yang dirasakan dan dikecap oleh indra, bisa jadi bukan realita yang sesungguhnya. Semua sudah disetir dan dimanipulasi oleh otak kita. Bahkan perspektif kita sendiri bisa jadi cacat, karena berasal dari proses yang “instan”. Kita semua adalah cacat dengan indra (yang walaupun sempurna) namun di-hack oleh pusat kecerdasan kita. Budaya modern kita sepertinya begitu berat untuk mengucapkan “saya salah” seperti bunyi Dunning-Krueger Effect. Namun bagaimana jika kita mulai mengubahnya? Bagaimana jika kita mulai menerima bahwa kita juga bisa salah?

Silakan saja pandang gif ini (lagi-lagi gue berikan linknya, silakan diikuti) dan tentukan, apakah objek yang ada di gambar tersebut berputar secara horisontal (dari kanan ke kiri atau sebaliknya) ataukah secara vertikal (dari atas ke bawah atau sebaliknya). 

Silakan perhatikan gif berikut ini agar kalian lebih mudah memahaminya.

Jadi gimana? Pendapat mana yang benar? Vertikal atau horisontal?

Kita seringkali terjebak pada “realisme yang naif” yang menyangka bahwa segala sesuatu yang kita lihat dan persepsikan adalah kenyataan, realitas, bahkan kebenaran. Namun benarkah kita bisa mengandalkan kemampuan kita sendiri? Benarkah pendapat kita senantiasa benar?

Silakan lihat gambar di bawah ini. Jika kalian melihatnya dua gambar di bawah ini bergerak, (padahal realitanya mereka adalah gambar jpeg biasa yang statis), maka kalian tak berhak untuk menjawab “iya” atas pertanyaan itu.

SUMBER: STANFORD.EDU

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Blog PostScience
Selanjutnya YUK COBA PECAHKAN TIGA RIDDLE PENDEK INI
9
5
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan