
Jakarta, 21 September 2024
Bayangkan hidupmu sempurna di luar, tapi di dalam dirimu ada sosok liar yang selalu siap mengambil alih—itulah yang dialami Raisa. Setiap kali ia merasa tertekan, Lana, sisi gelap nan nakal dirinya, muncul dan membuat kekacauan yang tak terduga. Dari pesta liar hingga rencana menjadi Catwoman, Lana selalu punya cara untuk merusak (dan kadang mempermanis) hidup Raisa. Tapi ketika Lana mulai mengancam kendali atas segalanya, Raisa harus memutuskan: berbaur atau bertarung?...
Pagi itu Raisa terbangun dengan kepala berdenyut—bukan karena mabuk, tetapi karena semalam Lana, alter ego berani-tapi-berbahaya miliknya, mengambil kendali lagi. Tentu saja, Lana tidak suka hal-hal kecil seperti "peraturan" atau "konsekuensi". Raisa, yang biasanya anggun dan sopan, baru saja menemukan bahwa Lana telah mengundang dirinya sendiri ke pesta kantor bosnya dan berhasil membuat presentasi dadakan tentang "mengapa kita sebaiknya semua bekerja dari pantai".
"Aku minta maaf, Bu Rita, Lana yang melakukannya," gumam Raisa di depan cermin sambil mencoba mengatasi perasaan malu yang menumpuk. Tapi di sudut pikirannya, Lana tertawa.
"Serius, Rai, kamu hidup terlalu lurus! Coba sekali-sekali nikmati hidup tanpa rasa bersalah. Pikirkan saja pantai—kita bahkan bisa bawa laptop. Gampang!" Lana menyeringai, bayangannya tampak lebih keren daripada Raisa sendiri, seperti seorang CEO start-up dengan sneakers mahal dan gaya hidup jet-set.
Raisa hanya bisa menghela napas. Ini bukan pertama kalinya Lana membuat kekacauan. Pernah suatu kali, Lana memutuskan untuk mengambil alih saat Raisa sedang kencan dengan Bram, pacarnya. Malam yang seharusnya manis dan romantis berubah menjadi kontes makan burger di food truck. Lana memenangkan kontes itu dengan bersuara keras, sementara Bram tertegun melihat gadis manisnya tiba-tiba berubah menjadi pejuang gladiator fast food.
"Kamu ingat, Rai, saat aku memenangkan penghargaan 'Perut Baja' di food truck itu? Bram belum bisa move on dari pesonaku," Lana berbisik, seolah hal itu adalah prestasi terbesar.
"Prestasi? Kau hampir membuatku muntah. Dan Bram kabur begitu saja setelah itu!" Raisa merespon, mencoba mengabaikan tawa gila Lana.
Terapis Tipis-tipis
Menyadari bahwa hidupnya mulai berubah menjadi siaran langsung drama komedi yang suram, Raisa akhirnya memutuskan untuk menemui seorang terapis. Dr. Pram, terapis dengan kumis setipis alisnya, duduk di depannya sambil menatap dengan ekspresi filosofis yang lebih cocok untuk membaca buku puisi daripada mendengarkan krisis identitas.
"Jadi, Raisa," Dr. Pram memulai dengan nada lembut, "Kamu percaya bahwa Lana adalah bagian dari dirimu?"
Raisa mendesah, "Bagian? Dia lebih seperti... aplikasi malware. Masuk tanpa izin, bikin kacau, dan sulit dihapus."
Di sudut ruangan, Lana duduk dengan kaki disilang, mengamati dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Ayolah, Rai. Tanpa aku, kamu akan jadi robot pekerja selamanya. Bukankah kamu sedikit menikmati saat aku membuat presentasi pantai kemarin?"
Dr. Pram, yang tak bisa melihat Lana, menatap Raisa dengan penuh empati. "Raisa, mungkin kamu hanya perlu mengizinkan dirimu untuk bersantai, tanpa merasa bersalah. Lana tidak perlu menjadi ancaman. Mungkin dia bisa menjadi sekutu."
Lana, dengan cepat menyela, "Dengar, dokter ini punya akal. Aku bisa jadi sekutumu, Rai! Seperti superhero duo. Kamu Batman, aku... Harley Quinn?"
"Harley Quinn adalah penjahat, Lana," potong Raisa, putus asa. "Dan aku tidak mau jadi Batman, aku cuma mau... hidup normal."
Raisa bergegas meninggalkan ruang terapi, sungguh ga guna!
Let's Party!
Raisa duduk di tepi tempat tidur, tatapannya terpaku pada cermin di seberang ruangan. Rambutnya masih setengah tertata, menyisakan satu sisi yang berantakan layaknya bekas bersandar di bantal selama lima jam tanpa henti. Matanya bengkak, bukan hanya karena kurang tidur—melainkan akibat momen emosional dengan serial drama Korea yang dia tonton semalam.
"Kenapa hidupku terasa seperti mimpi buruk drama romcom yang dihapus adegan happy ending-nya?" gumam Raisa, sambil meraih cangkir kopi yang sudah dingin di sampingnya.
Di sinilah masalah sebenarnya: hidup Raisa tidaklah seburuk itu. Ia adalah manajer proyek yang cukup disegani di perusahaan teknologi besar, memiliki teman-teman yang selalu ada, dan sebuah apartemen kecil yang imut di tengah kota. Tapi tentu saja, selalu ada yang kurang dalam hidup seseorang yang "tampaknya" sempurna, bukan?
Dan tepat saat Raisa hendak menyeruput sisa kopinya yang dingin itu, suara yang sudah lama ia kenal muncul dari dalam pikirannya.
“Yah, paling tidak, kamu punya aku, kan?”
Raisa menghela napas berat. Sudah jelas siapa yang bicara. Lana. Teman imajiner... atau lebih tepatnya, versi dirinya yang berani mengambil risiko, keras kepala, dan jujur secara brutal. Masalahnya? Lana juga membuat segalanya chaotic.
“Lana, aku sedang tidak mood. Ada deadline yang mendekat, klien yang rese, dan... ya, kamu tahu. Aku nggak butuh tambah stres sekarang.” Raisa menutup matanya, berharap suara Lana akan hilang seperti biasanya.
Tapi Lana, jelas, punya rencana lain.
“Oh ayolah! Kamu tahu kamu butuh aku lebih dari yang kamu sadari. Apa enaknya hidup di bawah tekanan kerja, ekspektasi orang, dan... jangan lupakan mantan yang bilang ‘kita masih bisa jadi teman’ setelah menghilang tanpa kabar selama seminggu penuh.”
Raisa mengerutkan alis. “Jangan ingatkan aku tentang Adrian,” gumamnya.
“Well, kamu yang terus-terusan stalk IG-nya!”
Sebelum Raisa bisa merespon, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan WhatsApp masuk dari Siska, sahabatnya sejak SMA yang sekarang hidup lebih mirip karakter utama dalam film romcom daripada dirinya.
Siska: Rais, ada event networking startup malam ini. Kita pergi, kan? Kamu butuh udara segar. Dan mungkin cowok segar juga? 😏
Raisa mengernyit. Udara segar? Mungkin. Cowok segar? Belum tentu. Tapi sebelum dia sempat membalas, Lana kembali muncul dengan idenya sendiri.
“YES! Ini dia! Kita pergi, bersenang-senang, dan lupakan tentang semua hal membosankan dalam hidupmu, termasuk Adrian si mantan ghoster itu.”
Raisa mendesah. “Aku nggak yakin... Networking event itu kayak pesta yang disamarkan sebagai pekerjaan, kan?”
Tapi Lana tidak mau mendengar. *“Oh please, Raisa. Ini adalah kesempatanku... eh maksudku, kesempatanmu untuk bersinar. Ayo, Lana melanjutkan dengan semangat menggebu-gebu, "Ayo, kita berdandan secantik mungkin, pakai heels yang membuat kakimu terlihat panjang—walau mungkin nyeri setelahnya, tapi worth it—dan yang paling penting, tinggalkan sikap kaku kamu di rumah."
Raisa menarik napas panjang, matanya kembali menatap cermin. Sebagian dari dirinya ingin menyerah dan ikut arus yang dibawa Lana. Tapi sebagian besar dari dirinya yang penuh akal sehat berteriak: "Ini bakal jadi bencana besar!"
"Aku nggak yakin ini ide bagus, Lana," kata Raisa sambil mengerutkan kening. "Lagian, terakhir kali kamu 'membantu' aku di acara sosial, aku berakhir memesan tiga pizza ukuran besar untuk diriku sendiri dan curhat ke pelayan tentang betapa sulitnya hidup sebagai wanita karier."
"Oh, please. Itu terjadi karena kamu menahan dirimu terlalu lama. Kali ini berbeda. Kita akan main cantik," sahut Lana, lalu menambahkan dengan nada cengengesan, "Dan mungkin, hanya mungkin, ada satu cowok startup ganteng yang bakal memperhatikan kita."
Raisa tertawa kecil, tapi masih ragu. Cowok ganteng? Di antara urusan klien rese dan drama pekerjaan yang tak ada habisnya, entah bagaimana dia kehilangan kepercayaan pada skenario "bertemu cowok baru". Rasanya seperti sesuatu yang hanya terjadi di film... atau hidup Siska.
"Baiklah," Raisa akhirnya menyerah. "Tapi aku nggak akan pakai heels 12 cm lagi. Kaki ini masih trauma setelah insiden wedding Andre."
"Oh, tenang saja, darling," jawab Lana dengan nada dramatis, "Heels hanyalah simbol keberanian kita untuk melangkah lebih tinggi—dan kali ini, mungkin kita nggak perlu setinggi itu. Setidaknya, cukup tinggi untuk membuat kita merasa tak terkalahkan, tapi tidak sampai perlu ambulans."
Raisa mendengus geli, lalu berdiri. "Oke, Lana. Let's do this. Tapi janji jangan terlalu heboh."
Lana tidak menjawab, tapi Raisa tahu dari senyum yang tampak di cermin bahwa Lana sudah siap membawa hari itu ke level yang lain—sebuah level yang mungkin ia sesali besok pagi.
---
Di acara networking, suasananya persis seperti yang Raisa bayangkan—lampu neon biru menyala redup, orang-orang berpakaian semiformal berdiri dengan minuman di tangan sambil berbicara tentang visi, misi, dan entah apa lagi yang terdengar seperti slide presentasi.
“See? Nggak seburuk yang kamu bayangkan,” Lana berbisik dalam benaknya, membuat Raisa langsung melirik ke sekeliling dengan gugup. “Semuanya tampak… normal, kan? Sekarang, tinggal cari satu target yang menarik buat ngobrol.”
Raisa menghela napas. "Normal," pikirnya. Tapi tentu Lana tidak pernah puas dengan sekadar normal.
Mata Raisa melayang ke arah pria di sudut ruangan yang tampak serius berbicara dengan sekelompok orang, wajahnya karismatik dengan jenggot rapi dan setelan kasual yang kelihatan mahal.
"Target terdeteksi," kata Lana dengan antusias.
"Please, jangan mulai," Raisa membatin, tetapi kakinya sudah melangkah tanpa sadar. Sepertinya Lana sudah mengambil alih mode autopilot.
---
Lima menit kemudian, Raisa—atau lebih tepatnya Lana—sudah berada di tengah pembicaraan dengan pria itu, namanya ternyata Dimas, CEO dari startup teknologi yang sedang booming. Sementara Dimas sedang menjelaskan soal aplikasi yang bisa "mengubah cara manusia berinteraksi dengan teknologi", Raisa hanya setengah mendengar, karena Lana sibuk berkomentar di dalam kepalanya.
"Wow, CEO, Raisa. CEO! Dan dia pakai jam tangan yang lebih mahal dari gaji kita tiga bulan! Apa aku bilang, pilihan tepat!"
"Diam, Lana. Aku sedang berusaha mendengarkan," Raisa menjawab dalam hati, berusaha fokus pada pembicaraan.
Tapi Lana jelas tidak peduli. "Ya ampun, coba lihat rambutnya! Serius, Raisa, mungkin dia ini adalah cowok startup segar yang kita butuhkan."
Dimas berhenti berbicara, menatap Raisa yang tampak melamun. “Jadi, apa pendapatmu tentang pendekatan ini?”
Raisa terperanjat. “Eh… pendekatan yang mana ya?” tanyanya dengan wajah bingung, sementara Lana di dalam benaknya ngakak tanpa ampun.
"Oh, bagus, Raisa! Kamu baru saja membuat kita terlihat seperti anak magang yang tersesat di acara besar."
---
Setelah Dimas pamit dengan sopan—dan sedikit kecewa, mungkin—Raisa melangkah ke sudut ruangan, mengambil napas panjang. "Lana, kita gagal total. Kenapa sih harus ngomong soal jam tangan dan rambut waktu aku lagi butuh fokus?"
Lana hanya tertawa. "Santai, Ra. Itu cuma satu orang. Masih banyak ikan di laut. Lagipula, ini acara networking, bukan wawancara kerja. Kalau dia nggak bisa lihat betapa keren kamu, ya dia yang rugi."
Raisa memijat pelipisnya, merasa sedikit pusing. Tapi meski kegagalan kecil itu terjadi, satu hal yang Lana katakan benar: ini bukan akhir dunia. Networking itu urusan jangka panjang, dan siapa tahu, mungkin lain kali dia akan lebih siap.
Setelah satu tegukan latte dingin dari barista pojok ruangan, Raisa tersenyum. "Oke, Lana. Kita akan coba lagi. Tapi janji, kali ini jangan sabotase aku, ya?"
Lana tersenyum nakal di benaknya. “We'll see, Raisa. We'll see.”
Raisa berusaha menyusun ulang pikirannya setelah pertemuan canggung dengan Dimas. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan. Orang-orang masih sibuk mengobrol, beberapa bahkan tampak lebih serius dari Dimas tadi. Mendadak, Siska muncul di sebelahnya, membawa dua gelas wine.
"Kamu baik-baik aja, Rais?" tanya Siska sambil menyodorkan segelas wine. "Aku lihat kamu ngobrol sama cowok ganteng tadi, tapi tiba-tiba dia kabur. Ada apa?"
Raisa meneguk wine-nya, berharap segelas itu bisa menyelamatkan malamnya. "Siska, aku kayak orang bego tadi. Dia ngomong soal aplikasi teknologi yang bisa mengubah dunia, dan aku malah melamun soal rambutnya."
Siska tertawa kecil, menepuk pundak Raisa. "Nggak apa-apa, Rais. Itu normal kok. Networking kadang memang kayak game aneh yang penuh basa-basi."
"Tapi Lana malah makin memperburuk situasi. Aku benar-benar merasa dia sabotase aku tadi."
Siska melongo. "Lana? Oh, kamu masih bicara sama 'teman imajiner' itu?"
"Yap. Dan dia makin berisik belakangan ini. Kayak sengaja bikin aku kacau."
Siska menggeleng sambil tersenyum, "Mungkin Lana cuma mau kamu bersenang-senang, Ra. Tapi kalau dia mulai bikin kamu stres, mungkin saatnya kamu istirahat dari dia."
Raisa mendesah, setuju dalam diam. "Mungkin aku butuh liburan."
"Ya, liburan atau... sesuatu yang lebih seru. Hey, gimana kalau kita cari suasana lain di sini? Masih ada banyak orang, dan... siapa tahu, ada cowok segar lagi, kan?" Siska menyeringai, jelas sekali menikmati idenya.
Raisa menggeleng, tapi kali ini dengan senyum di bibirnya. Mungkin memang itulah yang dia butuhkan. Bukan networking untuk mencari klien atau mencoba terlalu keras menjadi "sukses" seperti definisi orang lain, tapi sekadar menikmati momen.
"Baiklah, ayo keliling lagi," jawab Raisa. “Tapi kalau kamu menemukan cowok segar, itu bagian kamu. Aku udah cukup gagal untuk malam ini.”
---
Seiring malam semakin larut, Raisa akhirnya merasa sedikit lebih nyaman. Di sudut lain ruangan, dia mendapati dirinya duduk di bar mini, memesan latte untuk yang entah keberapa kalinya malam itu. Kali ini, dia hanya ingin menikmati minumannya tanpa ada gangguan dari Lana atau dunia luar.
Tapi tentu saja, Lana tidak bisa diam terlalu lama. “Jadi, kita nyerah nih? Minum latte sambil merenungi kegagalan? C’mon, Raisa, setidaknya satu obrolan lagi sebelum pulang!”
Raisa mendengus. "Satu lagi, Lana? Kamu serius? Nanti aku berakhir seperti terakhir kali, kan? Pesan pizza besar, curhat ke pelayan, dan akhirnya harus menggendong sepatu pulang?"
Lana tertawa kecil di benaknya. "Oke, fine, mungkin itu terjadi. Tapi nggak ada salahnya coba lagi. Siapa tahu kali ini lebih beruntung."
Dan tepat saat Lana berkata begitu, seseorang duduk di sebelah Raisa. Seorang pria yang tidak terlihat seperti CEO startup atau pebisnis mapan—lebih seperti seseorang yang baru saja nyasar ke acara ini dengan kemeja flanel dan sepatu sneakers usang.
"Hey, kamu suka latte juga?" tanya pria itu tiba-tiba, menoleh ke arah Raisa.
Raisa menatap pria itu dengan sedikit heran, tapi juga tertarik. "Iya. Kamu?"
"Yeah, aku nggak terlalu suka wine. Terlalu mewah buatku. Latte lebih... sederhana."
Lana, please, jangan kacaukan ini juga. batin Raisa.
Pria itu tersenyum santai, dan tiba-tiba suasana terasa lebih nyaman. "Aku Bram, by the way. Bukan CEO, bukan founder startup. Cuma seorang teknisi IT yang kebetulan diajak temanku ke acara ini."
Raisa tertawa kecil. "Raisa. Aku juga bukan founder startup. Cuma manajer proyek yang kebetulan diseret ke sini oleh sahabatku."
"Kita senasib, sepertinya," Bram tertawa, dan Raisa merasa ada kehangatan dalam cara pria itu bicara. Tanpa basa-basi atau sok tahu.
Selama sisa malam, mereka mengobrol tentang hal-hal sederhana: kopi, pekerjaan, bahkan sedikit tentang kehidupan sehari-hari. Tidak ada tekanan, tidak ada basa-basi yang berlebihan. Raisa merasa ini berbeda dari semua percakapan sebelumnya—lebih seperti menemukan teman lama di tengah keramaian yang aneh ini.
---
Saat malam berakhir, Siska menemukan Raisa sedang tertawa lepas di pojok bar bersama Bram. Dia hanya tersenyum puas dari kejauhan, tidak ingin mengganggu momen langka yang tampaknya langgeng itu.
Lana juga terlihat tenang, untuk pertama kalinya sepanjang malam. "Oke, Raisa. Kali ini kamu menang. Tapi jangan terlalu lama puas, kita punya hidup yang lebih besar menunggu besok."
Raisa meneguk latte terakhirnya dan tersenyum. "Besok bisa menunggu. Sekarang, aku cuma mau menikmati momen ini."
Dan untuk sekali ini, Lana setuju.
---
Pulang dari acara networking itu, Raisa merasa ada sesuatu yang berbeda. Bukan karena dia bertemu cowok yang "mengubah hidup" atau mendapatkan koneksi bisnis yang luar biasa. Tapi karena, untuk sekali ini, dia bisa menjadi dirinya sendiri. Tanpa tekanan, tanpa Lana mengacaukan segalanya, tanpa harus tampil sempurna di hadapan orang lain.
Lana mungkin masih akan selalu ada di pikirannya—memberi saran, kadang bikin masalah. Tapi malam ini, Raisa tahu bahwa hidupnya tidak perlu selalu sesuai dengan ekspektasi siapa pun, termasuk Lana.
Dan siapa tahu, mungkin Bram dan latte-nya akan jadi bagian kecil dari cerita yang lebih besar di kemudian hari. Tapi untuk sekarang, Raisa memilih untuk bersantai dan menikmati secangkir latte hangat yang baru dibuatnya di rumah.
Satu hal yang dia pelajari malam ini? Hidup memang nggak selalu ada happy ending. Tapi kalau kamu beruntung, kadang kamu bisa menemukan tawa dan latte di tengah perjalanan.
Ya kan? Tidak juga!
Pertarungan Epik di Dalam Kepala
Malam berikutnya, pertarungan antara Raisa dan Lana mencapai puncaknya. Setelah hari yang panjang, Raisa pulang dan mendapati dirinya bercermin lagi. Tapi kali ini, Lana mengambil alih seluruh refleksi—dia tampak seperti pahlawan film aksi, lengkap dengan jaket kulit dan kacamata hitam. Raisa menggeram dan Lana mendesis. Raisa menarik nafas panjang sekali mengumpulkan seluruh kesabarannya dan sekuat tenaga menjernihkan pikirannya. Lana nampak kuatir, Raisa tahu setiap pikirannya terlalu jernih Lana pasti terpojok. Tapi bukan Lana namanya kalau tidak tetap sombong.
"Kita harus bicara," kata Raisa, dengan suara yang lebih tegas dari biasanya.
"Ah, akhirnya! Pertarungan klimaks! Ayo, lemparkan argumen terbaikmu, Rai!" Lana bersiap seperti sedang di ring tinju.
"Aku tidak mau bertarung, Lana. Aku hanya ingin kita... berdamai."
Lana tertegun. "Berdamai? Wow, itu... mengecewakan."
"Tapi serius," lanjut Raisa, "Aku butuh kamu untuk berhenti menghancurkan semuanya. Tapi, di sisi lain, mungkin aku juga butuh lebih banyak keberanianmu."
Lana menyilangkan tangan. "Terus, apa rencananya? Aku jadi sidekick yang muncul cuma buat acara seru?"
"Bukan sidekick. Kita berdua akan jadi satu tim. Kamu muncul saat aku terlalu takut untuk ambil risiko, tapi kita tetap harus berpikir sebelum bertindak."
Mata Lana berkilat. "Hmm... Jadi, aku bisa ambil alih saat ada pesta, tapi kita tetap bayar tagihan tepat waktu?"
Raisa tersenyum. "Ya, semacam itu."
Akhir yang Tak Terduga
Pagi berikutnya, Raisa merasa anehnya lebih utuh. Lana tidak lagi menjadi suara yang terus-menerus mengganggu, tapi lebih seperti rekan kerja yang terlalu antusias. Dan kali ini, saat ia menatap cermin, ia melihat dirinya sendiri. Namun, ada sedikit senyum di wajahnya yang berbeda—lebih santai, lebih berani.
"Jadi, apa rencana kita hari ini, Boss?" tanya Lana di dalam kepalanya, dengan nada menggoda.
"Kita bekerja, tapi... setelah itu kita mungkin bisa mampir ke pantai sebentar," jawab Raisa, sambil mengambil tas kerja dengan langkah yang lebih ringan.
Lana tertawa puas. "Akhirnya!"
Dan begitulah, Raisa tidak lagi melawan Lana. Sekarang, mereka menjadi duet tak terduga—campuran disiplin dengan sedikit keberanian impulsif. Mungkin ini bukan hidup yang sempurna, tapi setidaknya sekarang, keduanya menjalani hidup yang lebih menarik.
Miauw!
Raisa hampir menumpahkan latte-nya ketika suara Lana berbisik lagi, kali ini lebih nakal dari sebelumnya. "Gimana kalau kamu jadi Catwoman, dan aku Harley Quinn?"
Raisa menepuk jidatnya, merasa gregetan dengan imajinasi liar yang terus muncul. “Hentikan, hentikan,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan pikiran. Tapi, saat matanya kembali tertuju ke cermin, dia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam.
Seorang pria, dengan tampang yang tak kalah dari Bruce Wayne, berdiri di sudut kafe, menatap ke arahnya. Dia begitu sempurna, seolah baru keluar dari dunia komik DC. Raisa bisa merasakan desir halus di kepalanya, dan dengan pelan, suara Lana muncul lagi, kali ini dengan tawa kecil yang menggoda, "Miauw."
Raisa mencoba menahan tawa, tapi gagal. Senyum lebar terukir di wajahnya, dan anehnya, si pria tampan itu ikut tersenyum.
"Aku serius, Raisa. Kamu sudah separuh jalan jadi pahlawan super. Tinggal kucing dan cambuknya aja," Lana kembali menyela, membuat Raisa semakin tergelak.
Dalam hati, Raisa tahu satu hal pasti: hari-harinya tidak akan pernah biasa-biasa saja selama Lana ada di sana. Dan mungkin—hanya mungkin—sedikit kegilaan adalah bumbu yang ia butuhkan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
