Adam 3 Tahun

1
0
Deskripsi

Ya begitulah. Baca aja hohoho

Bintang Kalani hari ini melupakan makan siangnya. Tumpukkan kertas serta dokumen perjanjian membelit seluruh kepala. Bahkan ketika matahari mulai turun ia belum menghubungi istrinya, walau sekadar menyapa. Kursi dengan beberapa roda yang diduduki terdorong ke belakang ketika Bintang meluruskan sendi-sendi tubuh. Sebelah tangan memijat-mijat kecil area pundak sampai ke leher. 

Menunggu sekitar 10 menit untuk memejamkan mata, Bintang bangkit tanpa memasang kembali dua kancing yang sengaja dilepas. Wajah kusam serta sejumlah keringat di dahi sama sekali tak melengserkan wibawa ketika langkah tegapnya menyusuri jalan. Bintang hanya menurunkan kepala sedikit sekali tanpa senyum tatkala beberapa pegawainya menyapa. 

Kali ini ia meminta supir untuk mengemudi. Bisa saja Bintang ketiduran ketika sedang membelah lautan kendaraan sebab langit sudah mulai menghitam. Meluangkan sedikit waktu untuk membalas pesan Bulan pun, rasanya tidak sanggup. Tenaganya terlalu banyak terkuras. Maka Bintang hanya membaca sederet kalimat dari istrinya yang menanyakan jam pulang.

Apartemennya tidak jauh dari tempatnya bekerja. 10 menit adalah waktu tercepat untuk pulang. Kepala disandarkan ke dinding selagi lift membawanya ke lantai enam. Empat angka dipilih guna membuka pintu, lalu meletakkan tasnya asal ke sofa sambil menyibak rambut ke belakang. Bintang menuju dapur, mendapati istrinya yang sedang memangku Adam di depan tubuh. 

"Daddy," cicit Bulan menirukan suara anak-anak. 

Senyum istri dan tawa kecil dari anak laki-laki yang berusia tiga tahun, memancing garis lebar dari bibirnya. Ia segera mengambil alih Adam, sedikit ditinggikan ke udara, kemudian dicium hingga timbulnya gigitan kecil. Tak lupa merangkul Bulan untuk satu ciuman di dahi. Saat itu juga, segala penat yang merubung dirinya, mendadak enyah. Bintang mendapatkan kembali senyumnya. 

"Bintang, kasian dianya kegelian," kata Bulan. Bintang tidak peduli, ia terus-terusan menggerus perut Adam dengan mulutnya hingga menimbulkan bunyi.

"Lagian bajunya kecil banget, Mommy. Orangnya udah mulai gede ini," ucap Bintang kegemasan. 

"Anak Daddy udah mandi? Kok masih bau kecut, hmm?" Ia kembali menyerang anaknya dengan banyak ciuman. Sampai Adam tertawa tanpa suara, barulah Bintang berhenti menggelitik seluruh tubuh itu. 

"Anak siapa ini yang ganteng? Anak Mommy atau anak Daddy? Ia menempelkan wajah ke atas dahi Adam.

Selanjutnya menoleh pada Bulan yang duduk di sebelahnya. "Susunya masih ada?"

"Masih ada 2," jawab Bulan sembari menekan benda kecil untuk menghidupkan televisi. 

Tanpa sengaja Bintang mendengar buangan napas Bulan. Istrinya itu terlihat santai menyandarkan kepala, akan tetapi Bintang sedikit tahu dari kantung mata yang menggelap. "Capek, Sayang?" Ia merangkul lalu menarik kepala sang istri ke bahunya.

"Nggak. Hari ini Adam nggak rewel." Bulan menyodorkan dahi untuk menerima kecup.

Seusainya tanda cinta dari Bintang diberikan, kini giliran Adam. Diangkatnya bocah laki-laki itu dan dibimbing sepelan mungkin untuk menyentuh jidat ibunya. Bulan mendenguskan senyum, memainkan hidung ke depan wajah Adam. 

"Siapa yang bilang anak Mommy kecut? Wangi gini." Bulan tak kalah mencium hingga menghirup aroma khas anaknya. Bintang yang melihat itu kian menghangat, sampai-sampai lelah di tubuh hilang seluruhnya.

Akan selalu seperti ini apabila Bintang pulang ke rumah membawa secercah letih. Seakan-akan bahagia yang sempat dirampas ketika di kantor dikembalikan berkali-kali lipat. Hal itu menjadi alasan Bintang untuk terus membangkitkan sendiri semangatnya demi menghidupi dua orang yang disayang. 

Jika diingat-ingat lagi, sejauh ini keduanya jarang bertengkar. Kalau pun bersilah lidah Bulan dan Bintang tidak pernah meninggalkan masalah hingga bermalam. Perkara yang dihadapi tak juga berat. Rasanya sudah cukup beban besar yang dulu pernah menimpa rumahnya. Kini tinggal menikmati buah kesabaran yang ditanam sejak dulu.

"Mau ikut nggak beli susu? Kalau capek tunggu di rumah aja," kata Bintang.

"Ikut. Mau cari udara seger sekalian. Mandi dulu, Bintung, baru jalan."

"Mandiin," jawab Bintang menjahili.

Kemudian Bulan menggunakan telunjuknya untuk menjauhkan wajah Bintang yang dekat ke wajahnya. 

Detik selanjutnya Bintang menyerahkan Adam. "Sama Mommy dulu, ya. Daddy mau mandi." Sekali lagi ia mengusap rakus perut anaknya.

Bintang sudah nyaris mencapai pintu, letaknya tepat di belakang sofa yang ia duduki sebelumnya. Baru saja ingin memutar gagang, tangannya terhenti sebab Bulan baru saja berkata, " Padahal Daddy yang bau, ya, Sayang. Anak Mommy mah wangi. Wangi kayak Mommy, Daddy tuh yang kecut."

Bisa ia lihat istrinya yang sedang bermain dengan Adam. Bintang kembali datang dari belakang sofa untuk mengurung wajah Bulan di bawah ketiaknya. "Ngomong apa tadi, huh?" Ia terkekeh dan terus menahan tangannya ketika wanita itu sedikit berontak. 

"Mommy-nya ilang," ucapnya pada Adam. Lalu mengangkat sebelah tangan bocah itu dan segera menanam wajahnya di sana. "Sekarang Daddy-nya ilang. Help."

Adam yang kegelian, terkikik bukan main sebab ayahnya sengaja menggerakkan mulut untuk menggelitik tubuhnya. Bulan pun turut tertawa melihat Adam yang membuang kepala ke belakang. "Bintang, kasian. Anak Mommy diapain, Sayang? Kasih tau Om Lintang nanti kalau Daddy nakal."

 

***

 

Lima belas menit lamanya Bintang berdiam diri di kamar. Bulan pikir lelaki itu sudah memakai baju kasual untuk mengabulkan janji membeli susu. Akan tetapi, ketika Adam mulai tenang di dada Bulan, ia berniat untuk memindahkan anaknya ke kamar. Tidur sebentar bukan masalah. Lagi pula Adam sudah cukup lama bangun tadi sore. Jadi, tidak heran kalau bayi yang masih berusia tiga tahun terlalu cepat ditelan kantuk.

Bulan menutup pintu kamar sambil membopong Adam di depan tubuh, sedikit menunduk untuk menahan punggung anak laki-lakinya menggunakan dagu, supaya tidak jatuh ke belakang. 

Sedikit terkejut saat berbalik, sebab sang suami bukannya mandi, malah pulas dengan posisi carut-marut. Satu kaki itu ditekuk, bersandar di atas guling. Tangan kiri melewati kepala, sedang bagian kanan pasrah menimpa perut. Mulut juga sedikit terbuka dengan napas teratur. 

Bulan meletakkan Adam pelan-pelan di sebelah Bintang, kemudian menyusun beberapa bantal untuk berjaga kalau-kalau putranya menyusuri seluruh tilam. Sebelumnya anak itu pernah terjatuh waktu Bulan pergi cuci piring sebentar.

Saat ini rasanya Bulan seperti melihat dua anak kembar yang sedang tidur. Wajah yang sama-sama merem, terlihat tak jauh berbeda. Hanya saja yang satu bertubuh mungil, sedang satunya lagi dipenuhi otot-otot serta sedikit tato yang mengintip dari lengan kemeja. 

Senyum di bibirnya merekah. Ia duduk tepat di sebelah suami, menyeka pelan-pelan peluh yang singgah di dahi. Bintang sedikit bergerak, memutar kepala ke arah berlawanan. Bisa dilihat jelas kemeja yang sebelumnya terpasang rapi ke dalam celana, kini keluar separuh agak acak-acakan. 

Ponsel Bintang berbunyi berisik. 

Lintang pelakunya.

"Bang, mana? Katanya mau transfer? Gue udah di toko, duitnya belum masuk. Buruan. Gue malu ditungguin mbaknya. Jawab nggak, Bang."

Bulan sedikit menjauhkan ponsel dari telinga mendengar kicauan lantang Lintang. "Suami gue lagi tidur. Berapa mau ditransfer? Ntar gue yang transfer," katanya sepelan mungkin.

"Lo lagi lo lagi. Ngapain lo di rumah abang gue? Nggak punya rumah lo?"

Bulan tertawa sambil menggigit bibir guna meredam suara. Lintang selalu berucap di luar akal sehat, tetapi hal itu justru terkesan menghibur. Adik ipar yang sudah seperti adik kandung sendiri merupakan salah satu bagian sumber bahagianya. Kalau tidak ada Lintang hidup mereka sudah pasti biasa-biasa saja.

"Berapa mau ditransfer?"

"10 juta."

"Buat apa?!" Bulan segera menutup mulutnya ketika sadar suaranya cukup memekik. Bukan karena tidak mau memberi, tetapi dari ucapan Lintang tadi, sedikitnya ia tahu bahwa keberadaan adik iparnya di sebuah toko adalah perintah Bintang.

"Nggak ada waktu ngejelasin, Kak. Buruan transfer. Gue udah lima hari nunggu di sini." 

Bulan pasrah membuang napas. Bulan mengambil ponselnya memenuhi seluruh permintaan Lintang. Kurang dari dua menit, uang yang diminta sudah berpindah ke saku digital adik iparnya. 

"Udah."

"Oke. Makasih."

"Bintang nyuruh apa lagi—" Bulan melihat ponsel untuk memastikan, sebab ada tanda bunyi panggilan berakhir. 

Tubuhnya langsung tertarik hingga berakhir di pelukan Bintang. Rupanya pria itu sedikit terusik ketika panggilan Lintang berlangsung. Tanpa suara, Bintang mendekap lemah dengan dagu bersandar di atas puncak kepala istri. 

"Kamu suruh Lintang beli apa lagi?"

"Lupa."

Sepintas Bulan menoleh. Bersamaan dengan helaan napas, membalik badan hingga berhadapan. Bisa dilihat jelas Bintang masih memejam, cukup jelas pula kepelikan menyelimuti raut suaminya. Maka ia menempatkan telapak pada pipi untuk ditepuk pelan.

"Jangan dipaksa kerjanya, Daddy."

Bintang tersenyum tanpa membuka mata, semakin mengeratkan rengkuhan. "Mau jalan sekarang, Sayang?"

"Nggak usah. Adam juga masih tidur. Istirahat aja." 

"Kangen kamu." Bintang menciumi dahi istrinya. Tubuh lelahnya selalu terabaikan ketika sudah berdekatan dengan Bulan. 

Bintang dengan jiwa yang mengutamakan pekerjaan dibanding raganya sendiri, tidak peduli meski harus melewatkan tidur malam. Menimbun uang banyak sudah melekat di dirinya. Sejak muda dipaksa keadaan untuk mengumpulkan uang. Sampai-sampai ia pernah menginap di rumah sakit selama seminggu akibat dihantam beban pekerjaan. Bulan yang pada saat itu masih menyandang status sahabat, setia menunggu siang dan malam—mengantar ke kamar mandi, menyuapi makanan, dan menggantikan baju—tanpa mengeluh barang sedikit.

Tidak hanya sekali, tetapi terlalu sering. Terkadang omelan Bulan hanya membuatnya tertawa sebab ia akan mengulangi lagi, bekerja gila-gilaan.

"Minggu depan mau ke Paris, nggak?" tawarnya pada sang istri.

Bulan menatap heran. 

"Abis menang proyek kecil. Padahal ikutnya iseng doang, nggak pakai effort. Cukup buat 2 minggu, nggak akan gerakin tabungan sama sekali. Mau dong?" Bibirnya sengaja mencebik untuk dipamerkan. "Ya, Sayang?"

"Please dong. Hari itu aku sendiri doang yang ke sana. Itu pun kerja bukan liburan. Udah gitu pakai berantem lagi sama bumil ndut. Oke, ya? Sip." Tanpa menunggu kata 'iya' dari Bulan, Bintang kembali mendekap hangat.

"Pemaksa."

Bintang hanya terkekeh sembari membuang napas lega. 

"Tidur, sini. Nanti malem aja jalannya."

"Iya, tapi kasian Adamnya dibelakangin."

Dengan satu gerakan, Bintang mengikat tubuh Bulan dalam lengannya. Lalu berbalik membawa istrinya berada di tengah-tengah. Bintang kembali merengkuh dari belakang. Pada posisi seperti ini, memudahkan tangannya merangkum tubuh Bulan dan Adam sekaligus.

"Bintung?"

"Hmm?"

Bulan menoleh sedikit. "Kalau Adam udah besar, kamu bolehin pacaran nggak?" 

"Nggak." Bintang menjawab tanpa berpikir panjang.

"Kenapa?"

Satu napas panjang terjun bebas dari penghidunya. "Sebisa mungkin jangan kenal perempuan. I mean, nggak pakai perasaan. Kita tau rasanya kalau lagi berantem kayak apa. Nggak mau anak aku ngerasain itu juga. Kasian, apalagi kalau masih muda banget udah pusing mikirin masalah hati."

"Tapi namanya perasaan tertarik sama lawan jenis mau muda mau tua tetap ada, Bintung."

"Justru itu yang bikin aku takut. Patah hati nggak kenal umur. Mau cinta monyet sekalipun kalau udah sayang, rasa sakitnya sama." Bintang tidak setuju jika ada yang membandingkan masalah hati karena perbedaan usia. 

Terkadang orang dewasa menganggap remeh patah hati yang melanda anak-anak remaja. Hati sengaja diciptakan untuk menerima segala perasaan, entah bahagia atau sedih. Tidak peduli siapa yang lebih dulu lahir ke dunia. Sama seperti balita ketika merasa ibunya diambil sebab dipeluk sang ayah. Perasaan anak sekecil itu tidak mengada-ada. Ingatlah sesaknya dada ketika kehilangan seseorang, begitu pun yang dirasakan anak-anak.

"Kamu liat muka Adam kalau lagi tidur gini. Tenang banget tidurnya. Masa kamu tega ngebayangin anak kamu menderita karena putus cinta?"

Bulan terkekeh. "Bintung Bintung. Kalau dia berani jatuhin hati artinya harus siap patah hati. Seenggaknya dia tau kalau dunia nggak selalu ikutin kemauan dia. Ada rintangan yang harus dilewati."

"Nggak tega, Sayang. Anak gantengku disakitin. Pasti ganteng sih gedenya. Kayak daddy-nya." 

"Hidungnya emang mirip kamu, Bintung. Bibirnya juga." Bulan menyentuh pelan pipi Adam.

"Jangan diganggu, Bulan. Kecapean nih bos gantengku habis kerja seharian. Nanti kalau gede pimpin perusahaan. Buset keren gila anak gue."

Bulan terkikik geli. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara gaduh. Terkadang Bintang sering membayangkan bagaimana anaknya memimpin rapat, atau sesekali disanjung saat mengenakan kemeja rapi dengan dasi dan dirangkum oleh jas hitam. 

"Kayaknya mau mens deh, Bintung," kata Bulan tiba-tiba.

"Terus?" Rautnya menatap kebingungan, kemudian meraba perut istrinya. "Oh, perutnya sakit, ya?"

Bulan mencebik. "Bukan."

Bintang diam sejenak, bola matanya bergerak sedang mengingat-ingat apa yang biasa dialami wanitanya. 

"Pinggangnya pegel? Atau susunya kram? Kan nggak aku pegang. Peluknya juga nggak kuat."

Bulan menyerah, Bintang pun ikut menyerah.

Satu menit setelahnya, ia menarik bahu sang istri agar lebih mudah dilihat. "Now, I know." Matanya penuh selidik. "Mau itu kan? Bener."

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan