
Sambil memicingkan matanya Jaka dan Semar mendongak ke arah kereta kuda. Arjuna melihati mereka dengan tatapan yang sukar. Tangannya yang tadi mengetuk-ngetuk kaca jendela sekarang melambai-lambai dengan cepatnya. Mulutnya juga tampak berkata sesuatu namun lemah suaranya tidak sampai ke luar.
Kereta kuda telah bersiap di batas terluar Banawi. Tiga ekor kuda meringkik-ringkik, segar dan sehat kembali karena istirahat baik yang mereka dapatkan semalam. Nyatanya, tidak hanya mereka bertiga namun ada tiga orang lain lagi, yang berjaga di tepi pintu kereta kuda, yang keadaannya juga telah membaik. Patih Kradaksa, meski luka dari pertempurannya di Cengkarbumi masih membekas, namun hari itu sang patih terlihat lebih tegar dan gagah dari dua hari sebelumnya. Panji dan Ginanjar sudah berganti pakaian, sebuah baju polosan sederhana yang didapat dari pasar, lebih baik dari busana mereka sebelumnya yang penuh dengan debu dan kotoran.
Panji berdiri menghadap timur Banawi, pada arah sebuah bayangan puncak gunung di kejauhan. Hela nafasnya pendek, raut wajahnya tampak cemas, Purana Geni yang berada dalam dekapannya ia genggam erat-erat.
“Gugup?” sapa sebuah suara yang membangunkan Panji dari lamunan.
“Dari sini saja saya dapat melihat puncak Mahesa. Rumah sudah dekat, namun entah mengapa, terasa begitu jauh.” jawab Panji.
Dari arah batas Banawi tiba tiga orang yang lainnya lagi. Ada Jaka, Parikesit dan Carika. Jaka dan Parikesit tampak membawa sebuah kantung yang tampak penuh dan berat. Berseri-seri wajah Jaka jadi tanda jika ada kabar baik namun wajah masam Parikesit juga memberi tanda jika ada kabar buruk yang mengiringi.
“Para pedagang tidak memiliki semua barang yang kita butuhkan, tetapi begini saja aku pikir jadi cukup!” ujar Jaka memperlihatkan isi kantung yang rupanya penuh dengan bahan makanan. Sementara isi kantung Parikesit berisi kayu dan lipatan kain.
“Kita sebaiknya bergegas. Pasar sedang gaduh. Kabarnya, semalam ada yang kecurian. Sepertinya ada maling.” kata Parikesit sambil berkacak-pinggang.
“Padahal aku masih ingin berkeliling lebih lama lagi. Tetapi, yah, aku sependapat dengan Kang Parikesit. Aku tidak ingin menambah masalah yang tidak perlu.” kata Jaka lagi.
“Kiranya ada yang terjadi? Kenapa wajah Jaka dan Gusti Anom tampak sendu?” tanya Carika penasaran.
Dua orang yang dituju tidak menjawab. Ginanjar memutar tubuhnya memunggungi bayangan puncak Mahesa dan menghadap hamparan padang tandus tiada bertepi.
“Di sebelah sana,” kata Ginanjar menunjuk dengan telunjuknya. “saya melihat kerajaan saya yang runtuh, rakyatku yang menderita, asap dan tangis mereka yang malang karena musibah besar ini.” Ginanjar berbalik badan, menyapa Panji sebentar dengan delik mata, kemudian menunjuk bayangan puncak Mahesa dengan telunjuknya lagi. “Namun di sana saya melihat harapan. Nah, marilah kita raih harapan itu!”
Panji termenung sesaat. Senyum Ginanjar menyapanya lagi. Tepuk pada pundak menularkan senyum itu menawar masam raut wajah Panji.
“Ya.” sahut Panji cepat kemudian. “Untuk Argakencana.”
“Untuk Eyang Arjuna.” lanjut Ginanjar.
“Untuk Cengkarbumi.” sambung Parikesit, kemudian menoleh dan tersenyum pada Carika.
“Dan teruntuk Sibu Niken Mustikawati!” pungkas Jaka yang diamini semua orang.
Dengan lincahnya Jaka melompat ke belakang kereta kuda. Ia lilitkan tali tambang pada gagang Gada Inten lalu ia genggam erat-erat. Panji melompat ke atap, sesampainya ia di atas ia buka lebar-lebar halaman terakhir Purana Geni lalu ia bentangkan peta yang tersemat di sana.
“Kamu sudah siap, dimas?” tanya Ginanjar ketika Parikesit duduk di sebelahnya.
“Ksatria Madukara masih belum habis, kang!” sahut Parikesit mantap sembari merapihkan sebuah busur pusaka yang menggantung di punggungnya.
“Dua ksatria Madukara,” sahut Ginanjar menyeringai. Parikesit mengangguk tanda setuju. “Panji! Tunjukkan arahnya!”
“Timur!” seru Panji sambil menunjuk. “Terus berkuda sampai timur, kang!”
“Hyah!” seru Ginanjar melajukan kuda-kuda, menaikkan semua penutup wajah dan mengepulkan debu dan pasir ke udara.
“Cari dan kejar kami, siluman jahat!” seru Jaka juga sembari melemparkan Gada Inten menyeret tanah.
Dalam diamnya Banawi melambaikan salam selamat jalan. Ia yang mendengar kisah semalam jadi saksi bisu perjalanan para pahlawan. Tertinggal Banawi sekarang bersama gaduh isinya, dalam sebuah kisah yang hanya ia sendiri yang tahu kebenarannya.
Kereta kuda berkendara tiada hentinya menuju arah timur. Banawi yang sempat jadi tempat singgah kini sudah tidak terlihat lagi. Padang tandus kering kembali jadi kawan. Terik panas matahari yang menyengat lagi-lagi jadi kawan perjalanan. Jantung berdebar-debar sekarang umpan telah dilempar mentah-mentah. Penjahat itu bisa muncul dari mana saja. Kabut nila beracun bisa saja jadi pagar berduri yang menghalangi laju menuju Sambiharja. Namun begitu, dalam kalut tersimpan harapan. Harapan untuk dituju. Harapan untuk dipetik. Harapan untuk bergantung. Kobar semangat membara panas menelan ragu dalam hati. Derap membelah bumi tiada pernah sepasti itu.
Tiupan angin segar menyeka keringat. Bersamaan dengan teduh jatuhnya sang surya dari puncak langit, bersalin pula sedikit demi sedikit coklat padang tandus Katsurba menjadi berlumut. Suara arus air dan cipratannya menjadi belai lembut yang menghibur telinga dalam senandung merdu. Hati dan pikiran yang lelah menghela lega, tempat peristirahatan sudah dekat.
Di mana terdapat air di situ juga terdapat kehidupan. Jika bukan demi setitik air maka tidaklah mungkin para penjelajah angkasa tega meninggalkan bumi pertiwi demi menguak teka-teki semesta. Pada sebuah bukit berbatu besar Ginanjar memberhentikan kereta kuda. Sengaja ia mengambil jarak seperempat hari berkuda dari bibir sungai jika bukan batu-batu besar itu yang jadi harapannya untuk berlindung di malam hari. Bersamaan dengan Jaka dan Parikesit yang menurunkan kantung perbekalan maka tuntaslah hari pertama mereka lewati dengan selamat.
“Jaka, jika kamu terus-terusan berteriak seperti tadi maka suaramu akan cepat habis.” ujar Carika yang duduk berhadapan dengan sebuah api unggun.
“Lebih baik suaraku yang habis daripada nyawaku yang habis, bibi!” sahut Jaka sembari mengambil ikan bakar yang terpancang di depan api unggun, kemudian melahapnya masuk mulut.
“Tetapi tidak ada tanda-tanda kemunculan mereka? Sejujurnya, membuat saya jadi khawatir.” ujar Ginanjar dari seberang api unggun yang lain.
“Perlukah kita berkuda berputar mundur?” timpal Parikesit.
“Kita tidak dapat berputar atau mengulur waktu, kang.” jawab Panji kemudian membuka halaman terakhir Purana Geni di mana terdapat peta yang tersemat.
“Garis wilayah dan tanda petanya...peta ini benar-benar tua.” gumam Parikesit ikut melihat dalam peta.
“Kita sudah dekat dengan Padang Sambiharja. Sungai di depan sana yang jadi batasnya. Jarak untuk berputar mundur, bahkan untuk mencapai Bawani lagi, sudah terlalu jauh.” terang Panji.
“Lebih lama lagi kasihan Gusti Arjuna.” timpal Jaka yang dijawab anggukan semua orang.
“Bahkan jika kita tidak dapat dan memancing para penjahat itu,” Ginanjar menegakkan tubuhnya kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. “saya tidak akan keberatan. Selama saya dapat meninggalkan Eyang Arjuna pada perawatan yang pasti, maka cukup untuk saya. Kita dapat menyerang balik Bajag Lipan kapan saja.”
“Tetap saja, Gusti Anom,” sanggah Carika. “yang terbaik adalah membawa Bajag Lipan menjauhi peradaban. Bahkan Bawani sekalipun.”
“Yah, Bibi Carika ada benarnya.”
“Kalau begitu esok pagi berkuda sedikit ke selatan saja, kang. Dekat bibir sungai medannya pasti berbatu-batu. Gada Inten bisa kena hantam lebih sering lagi di sana.” kata Jaka, sudah habis dengan ikan bakar keduanya.
“Baik.” sahut Ginanjar mengangguk.
Ikan-ikan yang dibeli dari pasar Bawani, yang dipancang dekat api unggun, sekarang sudah menebar harum mewangi. Maka cepat saja kelimanya mengambil jatah masing-masing. Selama perjalanan mereka bertolak dari Cengkarbumi, mungkin baru kali ini santap malam dalam kemah terasa pantas. Tidak ada lagi terkpaksa menahan lapar. Tidak ada lagi berganjal sisa buah-buahan yang sudah masam rasanya. Tidak lama berselang dari arah kereta kuda tiba Patih Kradaksa. Meski hari sudah malam namun baju zirahnya tidak tanggal. Selalu bersiaga sang ksatria tua dari bahaya yang kapan saja dapat tiba mengancam.
“Terima kasih, Carika.” ujar Patih Kradaksa ketika Carika menyuguhinya dua ekor ikan bakar.
“Tidak bersama Uak Semar, Gusti Patih?”
“Kakang Semar masih menyuapi Permadi. Mungkin nanti. Sisakan saja secukupnya untuk beliau.” jawab Patih Kradaksa.
Ginanjar dan Parikesit menoleh sebentar ke arah kereta kuda. Raut lesu masih tersisa menggantung di wajah. Jelas sekali rasa cemas akan keadaan sang kakek masih menganggu. Jaka melirik Panji, saudara kembarnya mengangguk lemah. Si kembar menahan potongan terakhir masuk mulut kemudian mengembalikannya lagi ke atas piring yang terbuat dari helai daun pisang. Ketuk pelan di pintu kereta kuda bersambut Semar. Semar, yang pada satu tangannya terdapat sebuah mangkuk berisi bubur, menyambut kedatangan si kembar dan mempersilahkannya untuk masuk. Di pojok kereta kuda Arjuna duduk bersandar lemah. Kain selimut melapisi tubuh, hanya menyisakan wajahnya yang pucat. Garit hitam tebal jadi riasan mata. Kumis dan janggut melingkari bibir yang kering. Rambutnya yang acak-acakan, tersibak sekenanya, mengaburkan keanggunan dan kegagahan sang Panengah Pandawa.
“Padahal tidak perlu menjenguk, Agan. Nanti jika tertular bisa repot.” ujar Semar.
“Kami akan baik-baik saja, Pak Semar. Semoga. Kami ingin menengok Gusti Arjuna.” jawab Panji ramah. Kemudian, bersama Jaka, ia menundukkan kepala sembari mengatupkan kedua tangan di depan wajah. “Sembah kami, Gusti Arjuna.”
“Selamat malam, Gusti Arjuna! Kami datang membawakan ikan bakar!” ujar Jaka riang. “Bumbu dari para nelayan di Banawi rasanya lezat sekali! Silahkan coba, barangkali dapat menangkal hambar bubur! Hehehe!” kata Jaka lagi sambil menyodorkan dua potong ikan bakar di atas piring daun pisang.
Arjuna tidak menjawab. Tatapan lemah matanya melihat Panji dan Jaka. Tiada Arjuna tersenyum membalas senyum si kembar. Jika ada yang terjadi kemudian, Arjuna mengangkat kedua tangannya yang gemetaran pada Panji dan Jaka. Jaka mengira jika Arjuna akan mengambil ikan bakar itu namun nyatanya Arjuna menggenggam tangan Jaka dan Panji erat-erat.
“Kalian berdua...” ucap Arjuna serak dan lemah. “...sungguh malang kalian berdua. Semoga-uhuk-semoga guru dan ibu asuh kalian berdua bersama kedamaian semesta. Tegar. Bersikaplah tegar dan bersabarlah. Ini cobaan.”
Lirih ucap Arjuna menghapus senyum yang dipaksakan dari wajah Panji dan Jaka. Pilu menggantung wajah keduanya lagi. Isak tanpa air mata menemani bayangan Niken Mustikawati kembali lagi dalam ingatan.
“Saya mempercayai kalian berdua. Ada harapan di ujung jalan, bukan?”
“Ya. Ya!” sahut Jaka sambil menyeka air matanya. Jaka mendongak, memaksakan diri untuk tersenyum lagi. “Ada harapan, Gusti Arjuna! Ada pertolongan!”
“Dan ada kerabat yang menunggu. Gusti Arjuna, semoga jodoh terjalin lagi.” tambah Panji. Arjuna yang mendengar akhirnya tersenyum lalu mengangguk.
Laju kereta kuda tertatih-tatih kala menapaki jalanan tepi sungai yang penuh dengan bebatuan tajam. Angin segar yang jadi harapan urung bertiup. Meski basah dari air sungai membuai namun mata hanya dapat memandanginya saja. Denting Gada Inten yang terpontang-panting juga bising, membuat suasana jadi tambah menyebalkan. Jaka membatin dalam hatinya, adakah memancing yang ia lakukan sekarang benar-benar seperti memancing sungguhan? Karena memancing ikan di sungai tidak pernah terasa sesulit ini. Seharian menunggu setidaknya akan dapat seekor. Parikesit dalam diamnya juga jadi merasa jengkel. Berada dalam suasana mendebarkan yang tidak berujung benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Ginanjar dapat merasakan resah dari para penumpangnya. Ingin mencari kawan bicara, namun Panji yang berjaga di atap sudah melamun membayangkan rumahnya. Maka akhirnya Ginanjar membelokkan laju kereta kudanya menjauhi bibir sungai untuk kembali pada padang tandus Katsurba. Pada bongkahan batu-batu besar ia mempersilahkan tiga kudanya untuk beristirahat. Seru kejut dari Panji, Jaka dan Parikesit yang terbangun dari lamunan membuat Ginanjar berkeluh dalam hati. Sepertinya seru semangat yang kemarin menggelora di Banawi sudah kehilangan khasiatnya. Ketiganya bahkan tidak sadar jika matahari telah jatuh. Hari kedua mereka lewati dengan selamat.
“Kenapa bisa ada sungai padahal tidak ada gunung tempat mereka berasal?” tanya Ginanjar sambil mengunyah ikan bakar pada saat santap malam. “Apa ada keterangan dalam kitab milik kalian berdua?”
“Sejauh yang saya baca, saya tidak menemukan keterangan tentang sungai ini. Namanya saja tidak ada. Mungkin ada yang terlewat saya baca, entahlah, kang.” jawab Panji.
“Apa perlu membahas perihal tidak penting seperti itu?” timpal Parikesit dari seberang api unggun.
“Kalian bertiga juga melamun selama perjalanan. Padahal kita bisa saja kena sergap. Kenapa tidak membahas sungai?”
“Kenapa kita tidak bahas saja tentang Gunung Mahesa? Lihat, kang, sekarang sudah terlihat kaki gunungnya! Gunung Mahesa sudah dekat!” ujar Jaka tersenyum lebar.
“Apapun itu, lebih baik kita beristirahat sekarang. Perjalanan melelahkan yang telah kita lalui berhari-hari tentu membuat ketahanan tubuh kita berkurang.” ajak Carika kemudian membagikan selimut dan tikar alas tidur. Patih Kradaksa yang turut serta mengangguk, memberi isyarat agar semua orang mengistirahatkan tubuh.
Meski api unggun berada di tengah, terjaga nyalanya oleh kayu-kayu bakar, namun tampaknya sia-sia. Begitu pula kain selimut tidak dapat menolong tubuh yang menggigil. Cuaca berawan menjadikan tiupan angin malam terasa membekukan. Lelap terangkat, kesadaran terjaga dalam jengkel akan udara dingin. Masih menggerutu dalam hatinya, Jaka sudah diganggu oleh suara lain yang masuk telinganya. Suara ketukan datangnya dari jendela kereta kuda. Terus-menerus.
“Pak, Pak Semar,” kata Jaka sambil mengguncang-guncangkan tubuh Semar yang berbaring di sebelahnya. “Pak Semar bangun.”
“Apa ada sesuatu, Agan Anom?” sahut Semar sambil mengucek-ngucek matanya.
“Gusti Arjuna memanggil.” jawab Jaka pendek malas-malasan.
“Juragan Arjuna?”
Sambil memicingkan matanya Jaka dan Semar mendongak ke arah kereta kuda. Arjuna melihati mereka dengan tatapan yang sukar. Tangannya yang tadi mengetuk-ngetuk kaca jendela sekarang melambai-lambai dengan cepatnya. Mulutnya juga tampak berkata sesuatu namun lemah suaranya tidak sampai ke luar.
“Apa Juragan Arjuna ingin buang air?” gumam Semar.
“Memangnya itu gerak mulut ingin buang air? Mungkin baiknya aku juga menemani, mana tahu Pak Semar...
Pecut gaib yang menyambar tiba-tiba menahan Jaka memungkas kata-katanya. Matanya melotot, seperti sedang terkejut bukan main. Dingin yang menyiksa tubuhnya bukan dari tiupan angin melainkan yang lain lagi.
“Bangun! Semua, bangun!” seru Jaka melompat keluar dari balik selimut kemudian berdiri. “Bangun! Panji! Kang Ginanjar! Semuanya bangun! Penjahat-penjahat itu dekat!”
Jaka menghampiri Panji, mengguncang-guncangkan tubuhnya. Kemudian, ia berpindah pada Ginanjar, Parikesit, Patih Kradaksa dan Carika, semua tidak terkecuali. Sementara kelima orang lainnya masih kepayahan menyadarkan diri dari tidur, Jaka sudah berpindah pada Gada Inten kemudian mengikatnya di belakang kereta kuda. Ketuk di jendela yang memburu terdengar lagi, suara serak Arjuna terdengar memanggil-manggil. Yang kedua merasakan terpa hawa kegelapan Bajag Lipan adalah Patih Kradaksa. Serupa Jaka, sang patih segera berdiri dan mengambil sebuah golok yang jadi kelengkapan perjalanan. Dari dalam tanah menyeruak sesosok hitam, bentuknya tidak jelas, namun pekik suaranya membuat telinga jadi pengang. Satu tebasan memutus kepala mahluk apapun itu. Darah hitam menyembur deras membasahi pergelangan tangan Patih Kradaksa dan tanah tempatnya berpijak.
“Kyaaa!” jerit Carika terkejut.
“Semuanya naik ke atas kereta kuda!” seru Patih Kradaksa memberi perintah.
Ginanjar menyambar kantung perbekalan mereka kemudian melemparkannya masuk kereta kuda. Setelah itu, ia naik ke kursi kusir lalu menarik tali kekang, menenangkan kuda-kuda yang meringkik ketakutan.
“Bergegas! Bergegas!” seru Ginanjar.
Carika terburu-buru masuk kereta kuda. Semar menarik tangannya agar lebih cepat Carika berada di dalam. Patih Kradaksa menutup pintu lalu membuka jendela. Setengah tubuh ia sanggah di lubang jendela bersama golok yang berjaga.
“Panji! Tukar!” seru Parikesit.
Panji merosot turun ke tempat sebelah kusir. Sementara Parikesit naik ke atas atap, bersiaga dengan busur pusaka.
“Arah, Panji!” seru Ginanjar.
Panji memcingkan matanya. Masih dalam buram lepas tidur ia mencari-cari bayangan Mahesa. Ketika ketemu, Panji memindahkan pandangannya ke bawah, pada sungai yang bersembunyi dalam gelap.
“Ke sana, kang!” seru Panji menunjuk. “Alirannya lemah, dasarnya pendek!”
Tanpa banyak bicara lagi Ginanjar memacu kuda-kudanya menuju arah yang dimaksud. Bunyi lari kaki-kaki kuda bergema lagi di Padang Katsurba. Jaka dan Parikesit berjaga. Anak panah sudah berada pada tali busur, siap untuk menembak. Namun gelap menyembunyikan sasarannya. Hanya ketika tawa gema terbahak Panguntalraga terdengar dari kejauhan, menebar ngeri yang membuat bulu kuduk merinding. Maut yang mereka cari-cari akhirnya tiba.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
