ARAH JOGJA (SINOPSIS & PROLOG)

6
0
Deskripsi

Terdiri dari 6 Bagian hingga TAMAT

Blurb:

Cinderella punya ibu peri yang membantunya datang ke pesta dengan gaun indah. Aladin punya jin dalam teko ajaib yang mengabulkan tiga permintaan. Tetapi Zia tak punya siapapun untuk menyelamatkan harapan masa depannya.

Hidup yang keras di ibukota meluluhlantakkan prinsip Zia untuk terus berdiri tegar. Saat Emi, teman kosnya, mendadak pamit pulang ke kampung halamannya di Jogja, Zia pikir itulah satu-satunya kesempatan untuk beralih ke kehidupan baru. Meninggalkan...

0. Misery

Aku ingin menghilang satu hari saja. Pergi jalan-jalan, makan sepuasnya, belanja baju apapun yang aku inginkan, dan tidur selama yang aku mau tanpa bunyi alarm maupun bangun tidur dalam kondisi kaget dan tertekan.

Ralat, kalau bisa satu minggu atau bahkan satu bulan. Satu hari adalah waktu yang tak lebih dari sekali kedipan mata, begitu cepat.

Aku ingin merasa bahagia tanpa batasan apapun. Rasanya sudah lama sekali tak merasakan hal-hal menyenangkan seperti itu. Hari-hariku begitu monoton, bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore di pekerjaan yang bukanlah pilihanku.

Waktu jaman sekolah, mimpiku selalu berputar tentang pekerjaan idaman yang menyenangkan, dinikmati setiap detik setiap jam dan setiap hari. Lalu uang mengalir ke rekening setiap bulannya seperti air keran di waktu subuh, lancar dan begitu deras. Tak perlu memikirkan cicilan, ekspektasi orang lain, lalu menikah di umur 24 tahun dengan properti pribadi yang memanjakan hidup bersama keluarga kecil.

Bermimpi memang mudah. Kita akan menjadi apapun hanya dengan bermimpi. Bahkan memimpikan hal-hal mustahil dan melampau fakta sebenarnya, sangatlah mudah untuk dilakukan. Dulu kita menyebutnya mimpi. Sekarang, ketika dewasa, kosakata itu berubah menjadi khayal. Hahaha, sungguh miris.

Bahkan saat merindukan seseorangpun, hal yang paling mudah dilakukan adalah dengan memimpikannya, membayangkan bertemu dengannya dan melakukan apapun yang kita mau. Tanpa perlu uang dan tenaga, cukup memejamkan mata lalu membiarkan semuanya terwujud dalam angan.

Sayangnya, hal-hal semu seperti itu terasa membosankan dan menyedihkan saat dilakukan berulang kali. Apalagi ketika muncul sebuah perasaan gila kala membuka mata. Perasaan yang seperti berteriak kencang kalau keadaan tak berubah sama sekali.

Mimpi ya mimpi. Disinilah aku berada. Duduk bersama selembar surat tagihan paylater yang sudah beberapa bulan belum dibayar beserta bunga-bunganya yang makin mekar. Di atas meja teronggok mangkok bekas mie instan kuah yang menyisakan garpu dan sendok menyentuh dasarnya. Ponsel di sebelah mangkok terus bergetar menampilkan panggilan dari nomor tak bernama.

Situasi menyedihkan yang sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di kepalaku beberapa detik yang lalu. Bahkan aku tak lagi merasakan rasa panik. Semuanya terasa biasa.

Yang bisa kulakukan hanyalah menghela nafas berat lalu berdiri untuk menyuci mangkok wastafel. Getaran ponsel berulang kali tak kuacuhkan sama sekali. Dalam gerakan menyuci mangkok pun rasanya kepalaku sudah kosong melompong, tak bisa berfikir lagi.

Kamar kos yang kutempati terasa sunyi saat ponsel di tas meja berhenti bergetar begitu aku kembali ke sisi tempat tidur, duduk lesehan di lantai menghadap meja lipat kecil bergambar kereta si thomas. Kuusap layar ponsel lalu mendapati pesan beruntun yang tanpa perlu kubuka, sudah bisa terlihat isinya. Tagihan paylater, pesan kemarahan dari bos, dan chat orang-orang di kantor tentang pekerjaan yang tidak ada habisnya.

Aku mendesah sekali lagi lalu meletakkan ponsel dengan posisi layar menyentuh permukaan meja. Entah mengapa, malam ini terasa berat dari biasanya. Sejujurnya, setiap memasuki kamar kos ini setelah pulang dari kantor, selalu terasa sesak. Apalagi menjelang tidur. Beberapa kali terbangun di dini hari dengan tubuh bersimbah keringat dan nafaz tersenggal, lalu terjaga sampai fajar menyingsing.

Kalau kata orang-orang jaman sekarang, lagi kena depresi, mental health issue, anxiety, insecure, dan lain sebagainya. Mungkin kalau diperiksakan ke psikiater bisa habis jutaan untuk obat-obatnya.

Jangankan obat depresi, untuk makan saja aku sudah berhutang di warung sebelah kosan demi  mie instan tiga bungkus.

Oke, saatnya lupakan soal permasalahan dompet. Aku harus segera mandi lalu kembali lembur pekerjaan yang sangat tidak manusiawi ini.

Aku mengambil handuk pink lusuh yang sudah 5 tahun tidak diganti, tapi dicuci terus pastinya. Di kamar mandi, lidahku berdecak saat menyadari sabun batang yang kuhemat satu minggu terakhir ini sudah lenyap tak bersisa. Begitupula dengan shampo sachet yang tersisa bungkusnya saja. Alhasil, mandiku terbilang hanya mengalirkan air ke sekujur badan. Bungkus pasta gigi kulempar ke tong sampah setelah berhasil mengorek yang terakhir kalinya. Aku keluar dari kamar mandi tanpa aroma wangi apapun.

Kamar kos berukuran 2x3 meter terasa sepi dan hening. Tanpa TV ataupun kipas, apalagi AC. Hanya ada kasur busa single dan meja lipat kecilku di samping lemari baju yang tak terlalu besar. Koperku dari 5 tahun silam pun teronggok sempurna di atas lemari sampai berdebu, tak pernah kusentuh sama sekali karena kamar kos yang sempit, tidak cocok untuk membongkar barang.

Dulu sempat ada kipas berdiri namun sudah kujual 1 tahun yang lalu. Baju-baju di lemari juga tinggal sedikit, hampir semuanya adalah baju kerja. Baju tidur hanya ada tiga pasang, termasuk yang aku pakai sekarang ini. Bukan pula baju tidur dari satin atau piyama lucu, hanya celana pendek 10ribuan dan kaos pendek lusuh karena sering dicuci. Baju-baju korean style atau baju main yang dulu sangat cocok untuk dijadiin OOTD sudah tak bersisa, laris kujual lagi.

Memikirkan betapa banyaknya usaha yang sudah kulakukan untuk menghasilkan uang dengan berbagai cara malah membuatku terlihat amat menyedihkan.

Aku sudah muak dengan hidupku yang ini. Aku ingin pergi dan mencari hidupku yang kuimpikan dalam khayal. Kalaupun harus pergi ke dunia paralel, aku akan melakukannya. Disana, siapa tau aku lebih baik dari ini.

Batinku terlalu sesak sampai memikirkan hal-hal tak masuk akal dan bodoh. Tak bisa kucegah mataku memanas dan bulir air mata turun dari keduanya.

Kuhempaskan tubuhku ke atas kasur busa yang hampir gepeng lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Betapa menyedihkannya aku saat ini. Tolol. Tidak berguna. Hanya seonggok daging yang masih hidup di dunia yang fana ini.

Aku terus menangis sesenggukan, menyalahkan diri sendiri, hingga tangis itu terhenti dengan sendirinya karena sudah bosan dilakukan setiap malam. Kalau siklusnya terus berputar seperti ini, besok malam pun aku akan tetap menangis menyedihkan seperti ini.

Kuangkat wajahku dan kuusap air mata dengan ujung kaos.

"Nangis ga nyelesaiin masalah, zi."

Menghembuskan nafas panjang sekali lagi sebelum duduk kembali di depan meja dan mengeluarkan buku keramat. Buku berisi catatan pengeluaran dan pemasukan yang sudah hampir terisi hingga menyisakan beberapa halaman. Aku meringis saat melihat nominal pemasukan berhenti beberapa hari yang lalu, sementara nominal pengeluaran terus bertambah hingga aku menulisnya malam ini.

Aku memijit kepalaku. Penat. Sesak.

Saat itulah pintu kamar kos terbuka keras, membangkitkan amarah yang sedang mendidih di dada.

"Zi, pinjem koper lu sekarang. Gue mau ngejar bus 1 jam lagi!"

Kekesalanku berganti dengan rasa penasaran bercampur kaget.

"Lu mau kemana naik bus jam 11 malem?"

"Balik Sleman, Zii. Bapak gue sekarat di rumah sakit. Cepetaan, gue pinjem koper lu."

Bagai tersengat racun laba-laba, aku tersentak seketika mendengar kata koper. Bukannya kaget karena bapaknya Emi sedang sekarat, atau fakta cewek itu yang kabur ke ibukota karena bapaknya menikah lagi dengan teman SMA-nya, aku menyadari kalau ada satu kesempatan terbuka lebar bagiku menuju dunia yang kuimpikan.

"Em, gue ikut lu ke Sleman."

"Lu gila??"

Aku bangkit dari dudukku lalu meloncat ke atas kasur untuk meraih koper berat yang kuangkat dengan sempoyongan. Kubuka lemari dan memperlihatkannya ke Emi.

"Gue jual baju-baju gue, lu bayarin tiket gue ke jogja. Deal?"

Emi melotot, "Lu mau kabur? Kerjaan lu?"

Aku hanya tersenyum simpul.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Arah Jogja
Selanjutnya Arah Jogja (Bagian 1)
0
0
Bagian 1 dari 6 bagian keseluruhan cerita.(2177 kata)Encounter
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan