
Aku ingin punya rumah. Tapi harga rumah di pinggiran Jakarta mahal sekali. Tidak sebanding dengan gaji suamiku. Melihat harga cicilan KPR membuatku putus asa dan memutuskan untuk punya rumah di surga saja, nanti.
Namun, sehari setelah ibuku meninggal dan tak meninggalkan warisan harta, aku menemukan kacamata antik. Ketika kupakai, aku bisa melihat saldo pahala dan dosa setiap orang, termasuk diriku sendiri. Kacaunya saldo pahalaku 0 dan dosaku banyak! Mengapa bisa begitu?
Bagaimana caranya aku bisa...
Air mataku sudah kering. Kepalaku pening. Ini sudah seminggu semenjak kepergian ibuku ke rumah terakhirnya di bumi. Kini, aku resmi menjadi anak yatim piatu. Bapakku sudah berpulang semenjak aku lulus sekolah dasar.
Di tengah perasaan duka yang masih menggelayuti, aku menyeret tubuhku untuk membereskan kamar ibu di rumah kontrakan. Kontrakan yang kutinggali bersama suami, satu anak balita, dan ibuku selama 3 tahun ini. Orang tuaku tidak pernah memiliki rumah semasa hidupnya. Kami setia menjadi penghuni kontrakan. Dari aku kecil, total sudah 7 rumah kontrakan yang kami singgahi karena pindah dekat kantor Bapak. Ketika aku menikah, aku tidak tega membiarkan ibu sendirian tinggal di kontrakan tua, karena aku anak tunggal, jadilah kuboyong ke tempat tinggal keluarga kecilku. Kontrakan yang terdiri dari ruang tamu sekaligus ruang keluarga, dua kamar tidur, dan dapur sempit yang langsung mengarah ke kamar mandi mini.
“Mau langsung beresin kamar ibu?” tanya Rafi, suamiku, sembari menggendong anak kami yang seringnya tidak bisa diam.
Tanganku mulai mengeluarkan baju dari lemari plastik, aku menjawab, “Iya, biar bisa jadi kamar main Rasyid, mainannya udah numpuk di ruang tamu.” Aku harus siap melihat kenangan lewat barang peninggalan ibuku. Tidak banyak, ibuku tidak punya barang berharga seperti emas, hanya baju-baju yang kebanyakan daster sobek, foto keluarga lama, dan… ada kotak apa ini?
Dengan hati-hati, tanganku membuka kotak berdebu itu. Ternyata isinya kacamata. Seingatku, ibu tidak pernah memakai kacamata karena matanya tidak minus. Bentuk kacamata ini cukup antik dengan bentuk frame bulat dan ada bantalan hidungnya. Kutiup serpihan debu dari kacamata dan kucoba memakainya. Di samping lemari, ada cermin. Cermin itu memantulkan diriku dan… tunggu! Ada apa di atas kepalaku?
Pahala 0 - Dosa 1.095.
Tidak masuk akal.
Aku segera beranjak ke ruang tamu dan melihat suami dan anakku yang sedang nonton YouTube di ponsel. Duh, nonton terus, pikirku. Tapi, oke, kali ini biarlah. Dari kacamata, aku memandang anakku dengan tulisan di atas kepalanya.
Pahala 7.300 - Dosa 0.
Kemudian, aku menilik suamiku.
Pahala 766.500 - Dosa 1.094.
Bagaimana mungkin dosaku lebih banyak daripada Rafi? Ini gila.
“Mama kaca-mata,” ucap anakku yang masih terbata-bata.
“Wah, kacamata dari mana, Ris? Punya ibu?” Pertanyaan retoris.
“Iya, coba kamu pakai, deh, terus lihat di atas kepalaku. Ada yang aneh, nggak?” pintaku sedikit panik.
“Nggak ada apa-apa, ini kacamata biasa, bukan minus.” Setelah mencobanya, Rafi mengembalikan kacamata itu ke tanganku.
Oke, mungkin tadi aku salah lihat. Namun, ketika kupakai kembali, aku melihat tulisan pahala dan dosa yang sama. Mataku memicing. Kepalaku pening. Tiba-tiba suara YouTube Nussa dan Rarra di telingaku menjadi hening.
*
Sudah lama sekali aku ingin punya rumah sendiri. Impianku sederhana: punya sertifikat rumah atas namaku. Tapi, harga rumah di pinggiran Jakarta mahal sekali. Tidak sebanding dengan gaji suamiku. Saat ini kami mengontrak di Bekasi mepet Jakarta Timur, karena suami kerja di Pulogadung.
Pernah aku dan suamiku survey keliling mencari rumah dan melihat estimasi cicilan KPR (Kredit Pemilikan Rumah), sungguh tak sanggup membayangkan harus mencicil rumah selama 20 tahun. Bahkan ada KPR yang tenornya bisa 30 tahun! Belum lagi, DP (Down Payment) biasanya minimal 20 persen dari harga rumah. Itu berarti jika harga rumahnya Rp800.000.000, aku--maksudku, suamiku harus membayar uang muka sebesar Rp160.000.000. Fantastis! Tabungan DP rumah kami masih jauh dari kata cukup.
Aku pernah baca teori finansial dari Certified Financial Planner di Instagram, Mba Ghozie, katanya harga rumah yang sanggup kamu beli itu senilai penghasilanmu setahun dikali 5. Aku coba menghitung gaji suamiku--tentu saja pakai kalkulator, hmm, gaji suamiku sayangnya tidak sampai 2 digit.
Rp8.000.000 x 13 bulan (sudah plus Tunjangan Hari Raya) x 5 = Rp520.000.000.
Kalau tadi harga 800 juta saja cuma dapat rumah dengan luas tanah 72 meter persegi, ini 520 juta, rumah seluas apa? Susah banget cari rumah dengan kriteria yang kumau. Rumah masuk klaster dengan 2 lantai, one gate system, ada taman bermain, lokasi dekat fasilitas umum--rumah sakit, sekolah, supermarket, transportasi umum--, dan desain rumahnya juga harus estetik.
“Sabar, punya rumah di dunia itu nggak wajib, Ris, tapi menghindari riba itu wajib. Nggak apa-apa ngontrak dulu, ya. Toh, hidup kita juga cuma ngontrak di dunia. Semuanya sementara." Aku terngiang nasihat yang selalu diucapkan suamiku.
Terpaksa kukubur impian punya rumah di dunia dalam waktu dekat, entah sampai kapan. Aku sering berdebat dengan Rafi, karena ia ingin beli rumah secara tunai saja, sedangkan aku ingin KPR. Nabung dari sisa gaji mau sampai kapan? 20 tahun kemudian? Harga rumah sudah keburu naik.
“Jadi ambil rumah, Ris?” tanya ibuku setelah aku dan suami pulang dari survey rumah. Tak terasa, ibu sudah mulai menua dan mulai sakit-sakitan. Tapi, masih saja aku repotkan dengan minta tolong menjaga cucu.
“Nggak bisa diambil, Bu. Rissa nggak kuat, berat," candaku sekenanya.
“Nggak Bu, uang kami belum cukup. Lagi pula, saya mau belinya cash saja,” suamiku ikut menjawab.
Hhh. Aku menghela napas panjang. Melihat harga rumah dan cicilannya membuatku putus asa. Apalagi semenjak cuti melahirkanku habis dan karena kondisi anak kami, aku resmi resign dari kantor. Apakah aku tidak ditakdirkan untuk punya rumah di dunia selama hidupku? Setidaknya, aku harus punya rumah di akhirat.
Aku harus punya rumah di surga, nanti.
*
11 Amalan Dapat Jaminan Rumah di Surga
Mataku membaca judul artikel di situs yang dibuat oleh ustadz yang kupercaya. Kubaca poin-poinnya secara skimming.
Poin 1: Membangun masjid dengan ikhlas karena Allah.
Boro-boro membangun masjid, mencicil rumah saja kutak sanggup.
Poin 2: Meninggalkan perdebatan.
Oke, sulit. Aku nggak ngerti kenapa suami itu suka ngajak debat--ribut-- sama istri, sih? Ada saja hal yang tidak sependapat. Ego mereka tidak mau mengalah di depan istri.
Poin 3: Menutup celah dalam saf salat.
Hmm, aku salat di rumah sendirian. Tidak ada saf seperti salat berjamaah.
Aku terus membaca sampai pada poin ke-9 yang membuatku tertarik;
Poin 9: Mengerjakan 12 rakaat shalat rawatib dalam sehari.
“Barangsiapa mengerjakan salat sunah dalam sehari-semalam sebanyak 12 rakaat, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.” (HR Muslim, no. 728).
Harapanku terbit. Aku rasa yang ini masih bisa kukerjakan. Kubaca hadis berikutnya,
"Barangsiapa merutinkan salat sunah dua belas rakaat dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas rakaat tersebut adalah empat rakaat sebelum zuhur, dua rakaat sesudah zuhur, dua rakaat sesudah magrib, dua rakaat sesudah isya, dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR Tirmidzi, no. 414).
“Mama, atu mau num susu…" Kudengar suara anakku yang sudah bosan bermain mobil ambulans. Kulihat jam di ponsel, sudah waktunya tidur siang ternyata. Kusudahi riset cara membangun rumah di surga dengan segera beranjak menyeduh susu, sebelum anakku nangis tantrum.
“Mama, ayo num susuuu,” rengek bocah 2 tahun itu sambil menepak ponselku jatuh.
Harapanku terbenam. Sulit juga menambah salat sunah 12 rakaat dalam sehari. Salat wajib saja aku terburu-buru karena harus siap siaga menjaga anak balita laki-laki yang sedang aktif-aktifnya. Bagaimana menyempatkan waktu untuk salat sunah?
*
Tik.
Satu detik berlalu.
Tik.
Waktumu hampir habis.
Ada penelitian yang bilang bahwa manusia hanya mampu menahan kesakitan sebanyak 45 del unit. Namun, seorang ibu ketika melahirkan menahan sebanyak 57 del kesakitan, rasanya sama seperti kesakitan yang diraih ketika 20 tulang dipatahkan bersamaan. Hanya seorang ibu yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kelahiran sang buah hati.
Tik.
Detik-detik berlalu dengan cepat. Namun, bagiku terasa seabad.
Dari balik tirai, sekilas aku melihat dokter sedang membelek perutku, berusaha mengeluarkan bayiku. Operasi cito, katanya. Tekanan darahku tinggi, aku mengalami PEB--Pre Eklamsia Berat, maka bayiku harus segera dilahirkan saat itu juga. Usia kandunganku saat ini 34 minggu. Anak pertamaku akan terlahir prematur. Sebelumnya, aku sudah disuntik pematangan paru agar anakku siap menghirup oksigen pertamanya di bumi.
Tubuhku geli seperti diaduk-aduk, rasanya seperti mesin cuci yang menggiling, namun tidak sakit karena efek bius. Kalau penelitian tadi bilang, melahirkan secara per vaginam rasanya seperti 20 tulang patah serentak, bagiku, melahirkan secara sesar rasanya seperti perut dibelek 7 lapis--secara harfiah memang begitu. Pasca melahirkan sesar, kudengar dari teman-teman yang sudah mengalaminya, bekas jahitannya sungguh sangat menyakitkan, masih terasa nyeri bahkan sampai bertahun kemudian.
Rasa sakit itu tidak begitu dirasakan seorang ibu karena tenggelam dengan rasa haru bahagia ketika akhirnya bisa memeluk buah hatinya.
Beberapa saat kemudian, suara tangisan lemah terdengar.
“Selamat Bu, anaknya laki-laki, beratnya 1,8 kilogram dan tingginya 45 sentimeter," ujar dokter yang menanganiku.
“Alhamdulillah,” ucapku parau. Aku mendengar suara tangisan itu kian menjauh, karena anak bayiku harus segera dilarikan ke NICU (Neonatal Intensive Care Unit) oleh dokter anak yang berjaga di ruang operasi. Aku tidak bisa merengkuh bayiku untuk pertama kalinya. Bayi yang kuharapkan dan sudah kukandung selama nyaris 8 bulan. Tidak ada metode IMD (Inisiasi Menyusui Dini) untuk anak prematur dan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), risikonya terlalu berat.
Rembesan air terasa di pipiku. Terima kasih Ya, Allah, anakku selamat, ucapku dalam hati.
Di bawah sana, kulihat dari kaca lampu yang memantulkan bayangan, perutku mulai disatukan oleh benang jahit. Lapis demi lapis. Aku merasa mual di tengah suhu dingin. Tanganku yang diinfus sudah mulai kebas. Telingaku berdenging mendengar alat-alat rumah sakit yang entah apa namanya. Pandanganku perlahan mengabur. Semakin buram dan gelap. Aku mulai takut, apakah waktuku di dunia sudah habis?
Tik. Tik. Tik.
Tolong. Jangan sekarang.
Aku tidak siap.
*
Gaun kebaya putih pas memeluk tubuhku. Jilbab warna senada tersampir menutupi dada. Bisa dibilang, ini adalah hari yang kutunggu-tunggu. Salah satu hari paling bahagia dalam hidup. Hari yang mengubah tanggung jawab dari seorang bapak kepada dia, yang kuyakini sebagai imam. Dalam kasusku, hari ini Om Dio, adik dari ibuku yang menjadi wali nikah.
“Sah?” tanya seorang penghulu kepada kedua saksi.
“Sah!” jawab kedua saksi dengan kompak.
“Alhamdulillah…,” ucap laki-laki yang kini sudah resmi menjadi suamiku. Ia mengenakan beskap dan peci putih susu, ditemani senyum tipisnya.
Perasaan berdebar-debar di dadaku pun akhirnya meluruh seketika. Dia memang hafal mati siapa nama lengkapku, siapa nama bapakku, dan mas kawin apa yang akan dia berikan kepadaku. Namun, ijab kabul bukan sekadar menghafal. Kami yakin bahwa ini adalah awal dari segala ibadah terlama sepanjang hidup.
Kemudian, aku berjalan perlahan selangkah demi selangkah ke arah meja akad, didampingi sahabat terbaikku. Menatap matanya yang teduh dari kejauhan tanpa sadar membuatku menitikkan air mata.
“Akhirnya…,” ucapku dalam hati. Selama ini aku lelah mengurus acara pernikahan disertai ujian yang menerpa. Ujian mencari vendor yang sesuai bujet, masalah jumlah undangan yang diminta ibu dan mertuaku, sampai gaun pernikahan yang sudah ku-fitting tiba-tiba direbut calon mempelai lain. Kini, perasaan lega memenuhi dada.
Acara prosesi akad pun berlanjut. Doa dipanjatkan, nasihat diberikan, pemasangan cincin, dan tak lupa diabadikan dalam foto.
Kini kami sudah resmi menjadi sepasang suami-istri.
Haru. Bahagia. Lega.
Bersyukur karena sudah menggenapkan separuh agama.
*
“Aaah!” Tangisan Rasyid meledak.
Ia jatuh dari kursi ke lantai, membentur ujung mainan mobil yang tajam. Kepalanya benjol dan setitik darah tergores di dahinya.
“Kamu bagaimana, sih, jagainnya? Nggak bisa apa aku tenang sebentar buat mandi dan makan?” Tanpa sadar, nada suaraku meninggi, memaki Rafi.
“Aku nggak lihat, tadi lagi beresin mainannya,” ia berkilah.
Seraya memeluk Rasyid, aku menyahut, “Ya, beresinnya nanti saja, fokus lihat Rasyid dulu!”
“Nanti kalau nggak diberesin, salah juga,” Rafi mengeluh.
Tangisan anakku semakin hebat, aku memberinya minum dan memplester lukanya.
Ibuku yang tadi sedang tidur siang datang dari dalam kamar dan menggendong Rasyid ke depan rumah, menenangkannya. “Udah, sini sama nenek dulu, ya.”
Aku masih marah kepada Rafi, “Kamu bagaimana, sih? Masa jagain anak aja nggak bisa? Rasyid udah sering jatuh sama kamu."
“Mana aku tahu, emangnya aku sengaja?”
Aku melihat tangan Rafi yang memegang ponsel. “Ya, makanya dilihat pakai mata! Jangan matanya ke HP terus!”
“Aku lihat HP juga urusan pekerjaan.”
“Ini kan hari libur! Emangnya nggak bisa, nanti?" Aku makin frustrasi.
“Kerja kan juga cari uang buat bisa beli rumah yang kamu mau!” balasnya ikut meninggi.
“Beli rumah kapan? Sudahlah!”
Cukup. Selalu saja begini. Ribut. Lama-lama aku capek juga. Ujian pernikahan kami berkutat antara ekonomi, orang tua dan mertua, anak, dan terutama komunikasi. Tak jarang aku mengucapkan kata cerai karena rasanya sudah tak sanggup. Memang, kata sakral itu hanya bisa keluar dari mulut laki-laki. Selama ini, Rafi selalu menganggapnya seperti angin lalu. Tidak ada uzur syari, katanya.
Hhh. Aku membuang napas dan menyudahi pertengkaran ini. Mengambil handuk dan melangkahkan kaki ke kamar mandi.
Aku lelah. Ingin rasanya berpisah. Ke mana cinta yang dulu merekah?
*
Hari sudah larut, Rafi dan Rasyid sudah terlelap ketika tanganku sibuk melipat pakaian yang tadi siang sudah kering dijemur. Ibu datang menghampiriku seraya memberikan air minum untukku.
Kalau sudah begini, pasti mau ceramah lagi, pikirku.
“Diminum dulu, ya.”
Aku meneguk airnya setengah, “Terima kasih, Bu.”
“Rissa, jadi istri itu harus sabar…” Ibu memulainya.
“Jadi suami juga dong, Bu?” jawabku memotong kalimat ibu.
Ibu tersenyum maklum. “Iya, suami-istri harus sabar. Rumah tangga itu ibadah terlama. Suami-istri saling menyayangi dan saling memaafkan. Masalah kecil jangan dibesar-besarkan. Masalah besar kalau bisa dikecilkan. Bapak kamu dulu juga banyak ngeselinnya. Ibu juga sama banyak salahnya sama Bapak. Tapi, kami bertahan karena Allah sampai dipisahkan oleh maut. Rumah tangga itu nggak cuma di dunia, Ris. Sampai akhirat nanti. Sering-sering ingat kebaikan suami. Kamu fokus pada kewajiban istri. Ibu doakan biar langgeng, sakinah, mawaddah, warohmah. Katanya mau punya rumah di surga, kan? Jadi istri salihah salah satunya.” Ibu membelai punggungku pelan.
Aku termenung di tengah tumpukan pakaian. Sesungguhnya nasihat itu sudah sering kudengar. Entah lewat ibu atau kajian agama yang kutonton di YouTube.
“Kamu sudah tahu hadisnya, kan?” lanjut ibu. “Jika seorang wanita menunaikan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka akan dikatakan padanya…”
“Masuklah ke dalam surga dari pintu mana pun yang kamu mau,” lanjutku diikuti anggukan kepala ibu. “Enak ya, Bu, kalau ada alat pengitung pahala dan dosa? Jadi kayak main game, kita tahu ada di level mana, dan makin semangat melakukan amal kebaikan.”
“Ya, itu esensi hidup untuk beribadah. Justru karena kita nggak punya alat itu, kita harus siap-siap. Karena umur nggak ada yang tahu, Ris. Bisa saja besok tahu-tahu udah dipanggil Yang Maha Kuasa."
Setelah aku membasahi tenggorokanku kembali dengan air sampai isinya habis, aku mengucapkan dengan lembut, “Makasih ya, Bu, semoga ibu panjang umur, biar bisa nasihatin Rissa terus.”
*
Cahaya perlahan masuk ke dalam kornea mataku. Aku mengerjapkan mata perlahan. Mataku melihat ruangan sempit serba putih. Ada suamiku di sebelah dipan dengan wajah cemas. Biasanya, Rafi sangat tenang, ia jarang mengkhawatirkan sesuatu, entah mungkin karena tidak mau memikirkan terlalu dalam, atau ia yakin banyak hal yang terjadi di luar kuasanya.
“Alhamdulillah kamu sudah sadar, sayang,” kudengar Rafi berkata.
”Di mana Rasyid?” tanyaku dengan suara serak. Aku berdeham berusaha membersihkan tenggorokan.
Dengan sigap, Rafi mengambilkan botol minum untukku. “Aku titip ke adikku, dia tadi datang ke IGD rumah sakit jemput Rasyid, mau diajak ke playground, katanya.”
Aku menghela napas panjang sebelum air mataku runtuh.
”Sayang, aku minta maaf. Aku banyak dosa sama kamu,” ujarku menghancurkan ego yang selama ini temboknya terlalu tinggi. Aku menyesal atas apa yang kuperbuat. Aku takut tidak bisa masuk surga. Kalau tidak bisa masuk surga, tentu aku tidak bisa punya rumah di sana.
”Sst, sudah aku selalu memaafkan kamu, aku juga banyak salahnya.” Rafi membelai lembut kain yang kupakai di kepalaku.
”Kamu rida sama aku?” tanyaku masih sambil terisak.
Rafi dengan bibir tipisnya yang melengkung ke atas berkata, ”Aku insyaallah rida.” Tangannya nengusap tanganku yang masih diinfus.
Aku tak tahu berapa lama aku tidak sadarkan diri. Mungkin beberapa jam? Namun, adegan demi adegan sangat jelas terekam di pikiranku. Saat kami mengucapkan janji sehidup-sesurga. Saat aku melahirkan Rasyid. Saat aku ngotot ingin cari rumah. Saat aku putus asa dan berusaha meraih pahala demi rumah di surga. Saat kami bertengkar dan tak jarang rasanya aku ingin pisah. Saat ibu memberiku wejangan ketika Rafi pergi bekerja ke kantor atau sudah tidur.
Memikirkan ibu, aku jadi teringat kacamata antik ibu. “Kacamatanya di mana?” tanyaku pada Rafi.
”Kacamata apa?” Kedua alisnya bertaut bingung.
”Kacamata antik peninggalan ibu,” jelasku sambil mengusap air mata di pipi.
”Oh, ada di rumah. Sudah, kamu istirahat dulu, saja. Kata dokter, kamu cuma kecapekan dan kurang darah. Kalau sudah mendingan, boleh pulang, nggak perlu dirawat. Sekarang kamu makan roti ini, setelah itu minum obatnya. Aku mau urus BPJS nya dulu.” Rafi memberikanku roti sobek cokelat favoritku.
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan sambil mencatat dalam memori untuk segera mencari kacamata itu ketika sudah pulang.
*
Seminggu berlalu setelah kejadian itu. Sampai rumah, aku langsung salat taubat memohon ampun pada Allah. Aku tahu, dosaku sangat banyak. Kebanyakan orang tidak sadar bahwa dari dalam rumah, banyak dosa bisa terjadi. Saat bertengkar dengan suami. Saat berdebat dengan orang tua. Saat tidak sabar menghadapi anak yang tantrum. Saat melalaikan waktu ibadah. Saat berbuat dosa di waktu sendiri, seperti membaca gosip artis di media sosial, menonton film, atau mengumbar aib orang lain di grup chat pertemanan. Tanpa sadar, dosa sudah menggunung.
Pahala juga bisa diraih di dalam rumah asalkan diniatkan untuk mencari rida Allah. Ketika beribadah di dalam rumah. Ketika ikhlas mengurus anak. Mengganti popok, memandikannya, menyuapinya, menemaninya bermain. Ketika lelah berubah menjadi lillah dalam melakukan pekerjaan domestik. Menyapu, mengepel, mencuci baju, menjemurnya, menyetrika, mencuci piring, dan pekerjaan rumah tangga yang seakan tak ada habisnya.
Rumah harusnya bukan tentang memiliki rumah secara fisik saja. Namun, rumah sebagai tempat kita mendulang amal. Jika seorang wanita karena keadaannya yang mengharuskan ia berkontribusi di dalam rumah, belum bisa berkontribusi di masyarakat, rumah adalah tempat yang bisa membuatnya menumbuhkan kebermanfaatan.
Di dalam rumah, ada dirinya yang bertumbuh. Menjadi seseorang yang bermakna di keluarganya. Rumah itu keluarga. Tempat teduh yang hangat dan nyaman seperti dalam dekapan ibu.
Aku tahu meskipun belum bisa memiliki rumah di Jakarta, aku sudah punya rumah di sini. Keluargaku. Tempat aku bisa meraih rumah di akhirat nanti. Rumahku di surga-Nya Allah.
Rumah kami di masa depan.
”Ma, ini kacamata,” Rasyid memberikan kacamata antik warisan ibu dari dalam kotak mainannya yang menumpuk.
Sudah lama aku mencarinya di rumah ini, akhirnya ketemu juga. ”Terima kasih, Nak.” Aku segera memakainya.
Kulihat Rasyid dari balik kacamata, ia sedang asyik bermain plastisin, mencetaknya dengan cetakan hewan kura-kura favoritnya. Kura-kura pun selalu di dalam tempurung rumahnya. Ia bertumbuh dewasa di dalam rumahnya.
Kini, aku tak melihat bayangan apa pun di atas kepala Rasyid. Aku membuka kamera depan ponsel dan menatap wajahku di dalamnya, pun tidak ada tulisan apa pun seperti sebelumnya.
Ah, mungkin, itu teguran dari Allah lewat kacamata ibu ini. Selama ini, ibu yang selalu memberiku nasihat di rumah.
“Ma, ayo kita main,” pinta Rasyid sambil menarik tanganku. Sepertinya ia bosan bermain plastisin, dan ingin main balapan mobil-mobilan.
”Mama mobil yang merah, Rasyid yang biru, ya?” Suaraku dibuat seantusias mungkin.
Rasyid tersenyum menggemaskan. ”Ya! Ngeeng…," ia mulai berlari.
Aku siap menambah pahala lagi di dalam rumah kontrakan ini.
TAMAT
(Cerpen #RumahdalamDiri dengan total 3.049 kata)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰