
"Aku tidak mau, Kak."
"Allah akan murka kepadaku."
BAB 4 - AKU HANYA TIDAK TEGA MELIHATMU
DI atas kasur, adik iparku terus menggeliat kecil dan terkesan ditahan, tetapi belum sadar dengan kondisinya. Langkahku tetap tersusun untuk mendekatinya. Decak kagum di dalam hati senantiasa tersampaikan kepada seluruh penduduk langit selama pikiranku sibuk menilai pertahanan adik iparku, terlalu luar biasa hingga baju di seluruh badannya masih tetap utuh sampai sekarang. Bukankah kalau wanita lain, kemungkinan besar sudah tanpa sehelai benang?
Lepas menaiki ranjang, aku setengah merangkak ke arah adik iparku, kedua tanganku sudah terangkat untuk meraih salah satu lengan adikku, tetapi berakhir gagal karena adik iparku tiba-tiba menyadari kehadiranku, bahkan sudah bangun hingga terduduk dan mundur secara perlahan.
"Kak Nolan mau apa?!" ucap adik iparku dengan kedua tangan terlihat menyilang selama digunakan untuk melindungi tubuh berharganya, tampak waspada terhadapku. Melihat raut cemas di wajah wanita di hadapanku, aku menarik napas dalam-dalam sebelum menatap manik mata hitam kelam adik iparku dan berkata dengan nada rendah, "Para orangtua sudah sangat menginginkan cucu darimu dan adikku. Tapi, adikku tidak bersedia untuk menyentuhmu."
"Maaf, Nad," imbuhku kemudian dengan sebak sudah bersemayam di dada, "dengan sangat terpaksa aku harus menggaulimu."
Nada berusaha turun dari kasur, tetapi dari kacamataku, kedua kakinya tampak tidak sanggup untuk menapak di atas lantai sehingga aku bisa memanfaatkan kesempatan dengan semakin bergerak mendekatinya. "Jangan, Kak."
Maaf, aku tuli.
"Dosa besar!"
Tiap tutur kata adik iparku bagaikan angin ringan, tidak terasa nyata hingga luput dari perhatianku. Akan tetapi, setelah manik mataku menyaksikan butiran air mata mula turun dari kedua sudut mata wanita di hadapanku, lebih tepatnya sebelum tangan kananku terangkat untuk melepaskan kerudungnya, entah mengapa lembaran dadaku mendadak seperti tengah teriris pisau, terkoyak secara teratur. "Kak, aku mohon," ujar adik iparku selama kedua tatapan kami sedang beradu di udara.
Lama sekali mode diamku berlangsung. Aku tahu benar bahwa adik iparku dilanda perasaan gelisah karena tubuhnya mengharapkan sentuhan seorang laki-laki, meskipun akal sehat bersikeras untuk menolak. Firasatku mengatakan, apabila hati wanita di depanku sampai remuk, maka hatiku akan bernasib sama.
Harus bagaimana aku? Otak berputar ringkas, ujung-ujungnya kedua tanganku tetap terangkat, bukan untuk melepaskan kain sebagai penutup kepala wanita di depanku, melainkan untuk memukul sebagian anggota tubuh atasnya hingga membuat dirinya jatuh pingsan.
***
Mobil dalam keadaan mati secara mendadak bisa dibilang sebagai alasan dari laki-laki di sebelah kiriku untuk meminta diantarkan ke restoran, tempat adikku bekerja dan menghabiskan banyak waktu selain di rumah. Aku tahu. Laki-laki itu masih sangat kesal kepadaku setelah mendengar kabar buruk melalui lantunan suara bernada rendah dari mulutku. "Kenapa bisa gagal, sih?" ucap adikku untuk kedua kalinya karena sebelumnya tidak sempat terjawab.
"Dia sadar dengan cepat." Alibiku benar-benar meninggalkan kesan kalau tidak cukup dipersiapkan dengan matang karena keraguan seperti tersimpan dalam irama alunan suaraku. "Aku akan memberikan obat lagi kepadanya," ucap adikku tidak lama setelahnya, sudah memutuskan tanpa berdiskusi dulu denganku.
"Percuma, Ra," sahutku, rasa-rasanya tebersit keinginan untuk menghantam gagang stir, "sepertinya tidak mempan untuknya, atau mungkin ... Tuhan selalu berusaha untuk melindunginya."
"Sudahlah, akan kupikirkan rencana baru," kata adikku dengan sebelah tangan terangkat untuk meremas-remas pelipisnya, kemungkinan karena diserang pening. Ah, sekarang aku sudah bisa menyetir tanpa gangguan darinya. Syukurlah. Lelahku tidak akan dilipatgandakan.
***
Sikap adik iparku berubah drastis, selalu berusaha waspada setiap berhadapan denganku. Parahnya, sekadar bertemu pandang denganku pun sudah enggan. Apakah diriku sekarang hanya semacam kotoran ayam hingga adik iparku tiba-tiba bisa merasa sangat jijik kepadaku? Sialnya, usai makan malam, sesuatu di dalam pikiranku masih tidak berhenti menari-nari.
Lepas masuk kamar setelah menghabiskan waktu selama dua jam di ruang baca dengan tidak lupa untuk mengunci pintu, lensa mataku menangkap bayangan seorang wanita terlihat sedang beres-beres kasur, sungguh membuat diriku terpikat hingga kedua kakiku tertuntun untuk mendekatinya.
"Kau masih tidak mau bicara denganku?" tanyaku kepadanya, sementara sosoknya tampak bergeser sedikit dengan memeluk sebuah selimut dan bantal berwarna serba abu-abu, tidak mempunyai nyali untuk mengangkat wajah.
"Nad, aku tidak akan memaksamu," tambahku dengan nada lembut, siapa tahu dapat mengikis gemetar di sekujur bahu adik iparku, semoga saja. Sayangnya, balasan adik iparku malah berupa satu pertanyaan menohok. "Apakah kau akan berjanji lagi?"
Aku terdiam, tentu karena merasa kalau sejak awal adik iparku sudah memiliki jawaban sendiri. "Bahkan, meskipun telah diucapkan dengan sungguh-sungguh, setiap janji masih bisa diingkari. Begitulah," kata wanita berhati tegar di hadapanku masih dengan muka tertunduk.
Satu kedipan mengiringi tarikan napas beratku. Ada sesal, tetapi hanya sedikit, mungkin kalau diibaratkan tidak akan lebih dari seujung kuku, sebagai laki-laki normal, jelas bukan hal mudah untuknya bisa menolak santapan lezat. "Maaf, kemarin ... aku hanya tidak tega melihatmu," ucapku kemudian.
Tanpa aba-aba dan pertanda, aku malah terlintas suatu perdebatan antara adikku dan adik iparku tadi, dimana adikku sudah mengakui perbuatannya, tetapi betapa kerdil hati adik tersayangku hingga malah menyuruh istrinya untuk segera berzina denganku, sekalipun sudah sangat paham kalau ujung-ujungnya hanya akan mendapatkan penolakan.
"Aku tidak mau, Kak."
"Dosa besar."
"Allah akan murka kepadaku."
"Kenapa harus takut? Bukankah Allah maha pemaaf?"
"Benar, Allah memang maha pemaaf."
"Tapi, apakah Allah memiliki alasan untuk memaafkanku, sementara sejak awal sudah tahu kalau salah ... malah tetap kulakukan?"
"Bagaimana aku bisa ... memperoleh rahmat dari-Nya dengan keluar dari jalur seharusnya?"
Usai sekian detik fokusku terhadap sesuatu di pikiranku telah berkurang, kedua telingaku dalam hituntah singkat sudah menangkap gelombang suara. "Aku bisa menuruti apa pun perintah suamiku, Kak. Tapi," ucap adik iparku dengan maksud bukan sebatas untuk memberitahu, "tidak kalau untuk berbuat dosa."
Garis di sekitar wajahku berubah dingin. Tidak ada niat untuk mengemis pintu ampunan dari adik iparku. Kepalaku berdenyut keras. Dibuat pusing hingga menyiksa batin. Detik terus bergulir dan tidak sampai berselang lama, bibirku sudah terbuka untuk berkata, "Masuklah. Biarlah aku tidur di luar. Kau di dalam."
"Tidak usah," sahut adik iparku, bukan tanggapan dengan sifat aneh.
Jujur, aku berani menjamin atas nama baikku, bahwa adik iparku tidak pernah bisa tenang selama berada dalam satu kamar denganku, berbeda sekali ketika adik iparku menuju balkon melalui jendela kamarku sebelum dilanjutkan menggelar selimut—sekaligus dijadikan kasur—dan merebahkan badan dengan kepala diletakkan di atas bantal, raut lega di wajah adik iparku benar-benar membekas di dalam benakku.
Meski area balkon termasuk aman dari tatapan mata ayah dan ibuku, terlalu beresiko untuk adik iparku, bisa dilihat tetangga secara tidak terencana—kecuali apabila lampu di sana dibuat mati sepenuhnya, seperti sekarang—dan bagaimana kalau adik iparku sampai jatuh sakit?
Bukankah dulu aku sudah teramat sering mengingatkan dirinya kalau sebagai seorang guru harus pintar-pintar dalam menjaga kondisi tubuhnya? Ah, sepertinya ... aku sudah sangat gila sampai tidak bisa berhenti berpikir walaupun hanya sejenak. Omong-omong, sekarang adalah waktunya tidur, semoga angin malam tidak sedang kurang kerjaan dengan terus menghujat diriku gara-gara aku enggan untuk membujuk adik iparku, malah menyerah sebagai sosok laki-laki sejati dengan tidak mengambil tindakan.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
