DUKE OF SATISFACTION #DOS PART 2

1
0
Deskripsi

Yay, akhirnya bikin blurb! Baca dulu ya sebelum menikmati bab 2 DUKE OF SATISFACTION hihihi

--

Isabella Blackwood selalu jadi yang terakhir. 

Kakak dan adiknya—Helena yang keibuan dan Valentina yang cerdik—sama-sama sudah menemukan pasangan dan dikaruniai anak, sedangkan dirinya sampai sekarang masih sendiri. Tak hanya karena kalah cantik, sepertinya semua orang terlalu sibuk terpesona pada mereka sehingga lupa kalau dia ada. 

Isabella sudah muak jadi wallflower. Dia harus melakukan sesuatu untuk mengubah...

[dua]

 

“Siapa yang sedang kau lihat?”

“Maaf?” Jordan menurunkan gelas anggurnya dan mengalihkan pandangannya dari sesuatu—bukan, seseorang—yang sedang dia perhatikan. 

Pesta dansa Patience sedang dalam suasana puncaknya. Ruang dansa dipenuhi orang-orang yang mengenakan gaun mewah dan perhiasan berkilauan. Di antara tirai merah dan emas yang tergantung dari langit-langit dan tempat lilin, api lilin tampak berpendar keemasan. Para pelayan berkeliling di antara para tamu, semuanya mengenakan topeng hitam, membawa nampan berisi anggur merah dalam gelas kristal.

 

post-image-67ba433d229ba.jpg

 

“Jordan?” Suara Damien terdengar ketus di sampingnya. “Aku tanya sekali lagi, siapa yang kau perhatikan?”

Jordan buru-buru berbalik, berusaha menyembunyikan kebenaran sebelum terlambat. Pandangannya sempat terpaku pada Lady Isabella, yang baru saja memasuki pesta dan melangkah turun dari tangga dalam balutan gaun hijau tua. Kain sutra yang lembut itu berpadu indah dengan rambut pirangnya dan melekat erat di tubuhnya, menampilkan setiap lekuk dengan sempurna. Pandangannya masih tertuju pada pinggul wanita itu ketika Damien menghampirinya.

“Aku sedang mengamati para pelayan ibumu, mengagumi bagaimana mereka menyembunyikan emosi mereka di balik topeng malam ini.” Tak hanya berbohong, dia juga memaksakan senyum saat melihat alis gelap temannya terangkat, penuh rasa curiga.

“Semoga saja memang begitu,” ujar Damien dengan nada kaku. “Kau masih ingat peringatanku kan, Jordan?”

“Bagaimana mungkin aku melupakannya?” Jordan berbalik membelakangi hiruk-pikuk pesta, lalu mengambil segelas anggur merah dari meja terdekat, menukarnya dengan gelas kosong di tangannya.

“Hanya untuk memastikan kau tak lupa, Lady Isabella terlarang untukmu. Kau boleh bermain dengan wanita mana pun, dan aku tidak akan ambil pusing, tapi lain halnya dengan dia. Apalagi karena dia adalah saudara iparku—”

“Cukup.” Jordan menurunkan gelasnya sedikit, suaranya kini lebih serius daripada biasanya. “Haruskah kita mengulang perdebatan lama ini? Terakhir kali kita membahasnya, kau sudah cukup jelas menegaskan kalau dia terlarang untukku.”

“Tapi aku mengenalmu.” Damien menatapnya tajam. “Semakin terlarang dirinya, semakin besar keinginanmu untuk memilikinya.”

Benar.

Tapi Jordan menyimpan jawaban itu untuk dirinya sendiri. Fakta bahwa Lady Isabella terlarang memang justru membuatnya semakin menginginkannya, meskipun bukan karena alasan yang Damien pikirkan.

“Tak perlu dibahas lagi.” Jordan tersenyum paksa. “Aku ingat dengan baik kata-katamu waktu itu. Aku ini perayu kan? Pria yang hanya cocok dengan pelacur, penyanyi opera, atau aktris Covent Garden. Aku tak pantas mendekati seorang lady terhormat di kalangan ton. Kau juga bilang, kalaupun aku mencobanya, aku hanya akan mempermalukan diri sendiri karena sudah pasti gagal kan?” selorohnya, cukup untuk membuat temannya tersenyum.

 

post-image-67ba35a664537.jpg

 

Merasa lega karena berhasil mengalihkan perhatian Damien dari Lady Isabella, Jordan menunjuk ke seberang ruangan dengan gelasnya. “Istrimu mencarimu.”

Valentina memang tengah melambai ke arah Damien, berusaha menarik perhatiannya dari tempatnya berdiri bersama Patience.

“Nikmati pestanya, Jordan. Hanya saja—” Damien berhenti sejenak. “—tetap dalam batas wajar.”

“Aku tidak seburuk itu.”

“Selama aku tidak menemukanmu besok pagi di perpustakaan dengan rok wanita tersangkut di tubuhmu, aku akan tenang.”

“Aku tidak seburuk itu!” seru Jordan, tapi Damien hanya tertawa sambil berlalu. “Serius, aku tidak—ah, sudahlah,” gumamnya pada dirinya sendiri setelah temannya pergi. 

Dia menghabiskan sisa anggur di gelasnya dan kemudian, bertentangan dengan janjinya pada Damien, berbalik dan mencari seseorang di ruangan itu. Dia dengan mudah menemukan Lady Isabella karena dia berada di tempat biasanya—sudut yang gelap.

Dia berdiri di antara dua tirai emas, mengetukkan jarinya ke gelas anggur, mengikuti irama musik biola yang mengalun di pesta itu. Dia sedang memperhatikan seseorang dengan ekspresi serius dan Jordan berusaha melihat siapa yang sedang dia pandangi.

Seorang pria lain telah memasuki ruangan. Dia tinggi, tapi tidak setinggi Jordan, dan memiliki rambut cokelat yang ditata berlebihan. Dia menarik perhatian para undangan di pesta saat berjalan melintasi lantai dan semakin menarik perhatian ketika berhenti untuk mengobrol dengan sekelompok lady. Dia adalah jenis pria yang Jordan benci. Orang yang terbiasa menjadi pusat perhatian seperti aktris yang terbiasa dengan sorotan panggung. 

Mata Jordan kembali tertuju pada Lady Isabella dan menyadari kalau dia belum mengalihkan pandangannya dari pria itu. Bahkan, dia memperhatikannya dengan sangat serius.

Ini bukan cemburu. Bukan!

Tapi dia juga tak bisa menemukan kata lain untuk menggambarkan perasaan yang menggeliat gelisah di perutnya.

Sambil menuangkan lebih banyak anggur ke dalam gelasnya, dia memanfaatkan momen itu untuk berjalan perlahan menuju Lady Isabella. Wanita itu berdiri di sudut ruangan, posisi yang membuatnya sulit untuk didekati tanpa menarik perhatian. Namun, lipatan kain-kain di sekitar memberinya celah untuk bersembunyi sejenak, mengamati ke mana arah tatapan Isabella sebelum mendekatkan wajahnya ke telinga sang lady.

“Apakah Earl of Crawford mencuri perhatianmu, My Lady?”

“Oh, Tuhan!” Lady Isabella mendekap dadanya, terkejut hingga mundur selangkah. “Kau hampir membuat jantungku hampir copot!”

Jordan tertawa pelan. “Aku tentu tak ingin jantungmu copot. Tapi kalau gaunmu….” Dia menggoda dengan suara rendah.

“Cukup sudah leluconmu.” Senyum Isabella menyiratkan teguran, tapi tangannya tetap menepuk lengan Jordan sebelum berpaling darinya.

Jordan tak dapat menahan diri untuk mengamati wanita itu lebih lama. Bayangan tentang Isabella tanpa gaunnya bermain dalam benaknya, namun pikirannya segera teralihkan. Sensasi dingin merayapi kulitnya, meresap hingga ke tulang, membuatnya tanpa sadar menggenggam gelas lebih erat.

“Jadi?”

“Jadi apa?” Isabella bertanya, sebelum meneguk habis anggurnya.

“Kau menatap Earl of Crawford seakan dia adalah misteri yang harus dipecahkan,” kata Jordan, kini bersandar santai ke dinding dan pandangannya kembali tertuju ke earl itu.

“Tidak ada alasan khusus,” Isabella buru-buru menjawab. “Banyak wanita juga yang memperhatikannya.”

Jordan menghela napas panjang dengan gaya dramatis. “Kalau ada seekor merak masuk ke ruangan ini, kurasa dia tak akan menarik perhatian sebanyak earl itu.”

Lady Isabella menatapnya dengan kening berkerut. “Merak?” 

“Begitulah caraku melihatnya. Lihat saja sendiri.” Jordan mencondongkan tubuh lebih dekat dan berbisik di telinganya. 

Lady Isabella masih mengenakan parfum mawar liar yang sama, dan aromanya hampir membuatnya gila. Ketika membayangkan dirinya membawa sang lady ke balik tirai, melakukan sesuatu yang tak seharusnya, Jordan sadar sepertinya dia sudah terlalu banyak minum malam ini.

“Memangnya kenapa dengan dia?” tanya Lady Isabella, suaranya penuh kepolosan.

“Dia itu seperti pertunjukan yang berlebihan. Pria yang terlalu mementingkan penampilan, dengan sepatu mencolok, rompi mewah, dan rambut yang terlalu rapi.” Jordan bergidik seolah tak ada yang lebih menjijikkan baginya. 

“Aku baru tahu kamu punya masalah dengan pria tampan.”

“Bukan tampangnya yang kupermasalahkan. Aku hanya keberatan kalau dia terlalu berusaha keras,” jawabnya dengan senyum geli. Lady Isabella tampak berusaha menahan senyumnya, tapi gagal.

“Dan ini datang dari seorang pemikat ulung,” ujarnya tajam. “Jangan bilang kau tak pernah berusaha mati-matian untuk menarik perhatian seorang wanita?”

“Membuat wanita terkesan? Tentu saja. Adalah kebodohan sekaligus kelemahan terbesar pria saat rela melangkah terlalu jauh demi melihat seorang wanita tersenyum. Tapi lain halnya dengan Earl of Crawford. Dia ingin semua pasang mata di ruangan ini tertuju padanya. Itu sesuatu yang tak pernah kuinginkan.” Jordan menatap Lady Isabella, berharap dia akan melihat ke arahnya, tapi pandangannya justru kembali tertuju ke earl itu.

Aku hanya ingin satu pasang mata saja yang melihatku, bukan semua.

“Tapi sepertinya kau mendambakan perhatiannya malam ini.” Jordan kembali berdiri di belakangnya.

“Kau meledekku lagi.”

“Sama sekali tidak. Aku hanya menjadi teman yang baik bagimu.”

“Teman yang baik? Teman apa yang menggodaku habis-habisan hanya karena aku melihat seorang pria,” bisiknya pelan. Nada suaranya membuat Jordan merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya, dan dia bersyukur berdiri di belakangnya jadi Lady Isabella tak bisa melihat bagaimana dia memandanginya. 

“Sebaiknya aku berhenti melihat ke arahnya.”

“Tapi kau tak bisa kan?” Jordan berbisik menggoda. “Seperti ngengat yang tertarik pada cahaya bulan.”

“Oh, aku tak sebegitu lemahnya.” Lady Isabella sengaja membalikkan tubuhnya, tak lagi mengarahkan pandangannya ke Lord Crawford, melainkan pada Jordan. “Lihat. Aku bisa melihat ke arah lain.”

“Memang benar, tapi aku juga bisa melihat kalau aku jauh lebih membosankan dibanding pesona Lord Crawford.”

“Aku tak pernah mengatakan itu.” Dia menggeleng tegas.

“Aha, jadi kau memang menyukai penampilanku,” kata Jordan, melangkah lebih dekat.

“Apa yang terjadi dengan janji untuk tak lagi merayuku?”

“Seperti yang kukatakan tadi siang, aku tak pernah menyetujui itu.”

Jordan tersenyum saat menatapnya. Mereka berdiri begitu dekat di sudut ini, mungkin lebih dekat daripada batas wajar, tapi tak seorang pun tampaknya menyadari keberadaan mereka di sana dan Jordan juga tak keberatan sama sekali. 

“Sekarang, Lady Isabella, katakan padaku yang sebenarnya.”

“Apa maksudmu?”

“Kau melihat Lord Crawford karena dia adalah merak yang senang memamerkan bulunya?”

 

post-image-67ba36285d1a3.jpg

 

“Dia bukan seekor merak—”

“Atau kau melihatnya karena memang benar-benar tertarik padanya?”

“Aku tak akan menjawab pertanyaan itu.”

Tiba-tiba ada yang bergerak di samping mereka. Dua pria mabuk tersandung dan hampir menabrak dinding, jelas kesulitan untuk berdiri tegak. Jordan dengan sigap meraih lengan Lady Isabella dan menariknya menjauh sebelum mereka menabraknya.

“Oh. Terima kasih,” bisik Lady Isabella, sedikit terkejut.

“Beberapa pria tak menyadari apa yang ada tepat di hadapan mereka.”

Perkataannya membuat Jordan memunculkan sebuah ide di kepalanya. Dia baru menyadari kalau dia masih menggenggam lengannya. Perlahan, dia melepaskannya, dan Lady Isabella pun mundur selangkah. Jordan hampir yakin dia melihat rona merah di pipinya karena senthan itu, tapi mungkin itu hanya imajinasinya. 

“Ngomong-ngomong,apakah Lord Crawford menyadari keberadaanmu?”

“Apa perlunya bertanya seperti itu?” Lady Isabella menghela napas dengan berlebihan. “Hanya kau satu-satunya pria yang menyadari keberadaanku di sudut ruangan ini.”

“Aku selalu memperhatikanmu bahkan saat berada di dalam bayangan, My Lady.” Suara Jordan berubah dalam, dan alis Lady Isabella terangkat.

“Rayuan gombal lagi?”

“Seperti kataku tadi, aku tak akan berhenti.”

Dia menepuk lengan Jordan sebagai teguran, lagi. Yang Lady Isabella tak tahu—dan tak akan pernah tahu—dia sangat menyukai tepukan-tepukan itu. Terasa main-main—sebuah kemewahan, dan kesempatan untuk disentuh olehnya. Pikirannya mulai berkelana, membayangkan bagaimana rasanya kalau dia menepuknya seperti itu saat mereka benar-benar sendirian, tanpa penghalang apa pun, tanpa sehelai pakaian pun.

Hentikan!

Dia harus menahan diri supaya tidak menggeram pelan membayangkan hal itu.

“Sudahlah, My Lord,” kata Lady Isabella sambil tersenyum tipis. “Seorang lady seperti diriku bisa mengagumi Lord Crawford dari jauh, tapi aku bukanlah wanita yang bisa menarik perhatiannya.”

“Barusan hanya bercanda kan?” Jordan menggeser tubuhnya, terkejut mendengar kata-katanya.

“Ini serius. Dia pasti mencari yang cantik seperti salah satu saudariku—seseorang dengan selera humor Lena yang hebat atau kepercayaan diri Valentina. Aku tidak seperti mereka.” Dia mengangkat bahu, maanya menatap melewati bahu Jordan ke arah Earl of Crawford berdiri.

Aku benar-benar tak percaya ini.

Jordan berkedip, menatapnya dengan kebingungan. Lady Isabella menganggap dirinya tak pantas mendapatkan perhatian dari pria yang banyak penggemarnya seperti earl itu.

“Kau menganggap dirimu tidak layak?” bisiknya.

“Aku tak akan menggunakan kata-kata itu, tapi aku juga sadar diri di mana posisiku, My Lord.” Dia berdiri lebih tegak dan mengangguk seolah menerima ini sebagai fakta.

“Kalau begitu aku harus membantah anggapanmu tentang posisimu.” Jordan menghabiskan isi gelas anggurnya, bersamaan dengan sebuah ide muncul dalam pikirannya. “Izinkan aku menunjukkan sesuatu.” Dia meletakkan gelasnya dan mengambil gelas Lady Isabella juga, menariknya di tepian dekat mereka.

“Apa yang kau lakukan—oh!” 

Dia menggenggam tangan Lady Isabella dan menuntunnya menjauh dari sudut ruangan, menyeberangi aula. “Sekarang, tersenyumlah dan berpura-pura menyukai perhatianku, alih-alih menolaknya seperti biasa,” bisiknya di telinga wanita itu sambi mengangkat tangannya, memainkan kartu dansa yang tergantung di pergelangan tangannya. Dengan sengaja Jordan memastikan mereka berpapasan dengan Lord Crawford. “Kulihat kartu dansamu penuh malam ini, My Lady.” Dia mengeraskan suaranya saat melewati earl itu, memastikan ucapannya terdengar. “Tak ada tempat untukku?”

“Apa yang sedang kau lakukan?” bisik Lady Isabella tajam. Mereka berdua sama-sama tahu bahwa kartu dansanya masih kosong.

post-image-67ba440addb9f.jpg

“Pria selalu tertarik pada apa yang diinginkan orang lain,” Jordan berbisik, menuntunnya melewati earl itu menuju sisi lantai dansa. “Sekarang, coba lihat ke belakang, My Lady.”

“Lord Crawford sedang memperhatikan kita.”

“Benar sekali,” suara Jordan terdengar dalam. “Kau lebih layak mendapat perhatian daripada yang kau sadari. Siapa pun pria yang berhasil menarik perhatianmu adalah orang yang beruntung.”

“Maaf?”

“Kau tahu maksudku.” Jordan segera mengalihkan topik, tak ingin Lady Isabella terlalu lama memikirkan arti pujiannya. “Pria seperti Earl of Crawford sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Kau hanya perlu sedikit lebih cerdik untuk menarik perhatiannya.”

Lady Isabella mengangkat alisnya. “Kalau aku tak salah dengar, sepertinya kau sedang mencoba mengajariku cara memikat pria, My Lord.”

“Itulah yang sedang kulakukan.”

My Lord! Kau—” Tapi sebelum Lady Isabella sempat menyelesaikan ucapannya, musik tiba-tiba berhenti. Jordan menggenggam tangannya dan membawanya ke lantai dansa, memastikan mereka tetap dalam jangkauan pandangan Lord Crawford.

“Dia masih memperhatikanmu,” Jordan berbisik di telinganya saat mereka mulai berdansa waltz. Tangannya bertumpu di pinggang Lady Isabella, sementara tangan wanita itu berada di bahunya.

“Kau bahkan tidak meminta izinku untuk berdansa.”

“Benar. Tapi kau juga tidak menolak. Mungkin kau menyukaiku lebih daripada yang kau tunjukkan.”

“Aku tak pernah bilang aku tidak menyukaimu.”

“Tapi tidak sebesar perasaanmu pada Lord Crawford kan?”

Kenyataan itu menghantamnya seperti pukulan di perut. Selama ini, Jordan sering mencuri pandang dan mengagumi Lady Isabella dari kejauhan. Dan sekarang, membayangkan wanita itu lebih menginginkan perhatian pria lain terasa cukup menyakitkan.

Sebuah ide tiba-tiba terlintas di benaknya—cara agar dia bisa menjadi teman yang baik bagi Lady Isabella. Kalau dia bisa membantunya mendapatkan perhatian Lord Crawford dan meyakinkan pria itu untuk melamarnya, mungkin itu cukup untuk mengalihkan pikirannya dari perasaan yang tak seharusnya ia miliki.

“Izinkan aku membuat penawaran, My Lady.” Jordan tersenyum samar. “Kalau kau mau, aku akan mengajarimu cara menaklukkan hati Lord Crawford.”

 

--

Tahu nggak apa yang paling fun dari novel ini? Untuk pertama kalinya, sejak jadi penulis, Bangse bisa melampiaskan passion yang muncul setiap kali menonton serial historical BBC. Memang sih nggak seahli orang-orang yang Bangse follow di YouTube dan Instagram, tapi Bangse nggak menemukan kesulitan berarti saat mengerjakan novel ini. Jadi doain aja ya, Teman-temin, semoga Bangse bisa jadi penulis historical romance yang baik. Siapa tahu nanti bisa sejago my mom, my idol: Johanna Lindsey

Seperti biasa, ditunggu komentarnyaaaa~

 

REGENCY OF THE DAY: court dress

post-image-67ba3801ee0af.jpg

Sumber: Regency / Napoleonic Court Gown and Train at Costume College 2017 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya ORANGE PART 13
1
0
Selamat datang di Beijing, Baybee~ Hari ini Sera akan ketemu dengan semua partner Arsen yang bertanggung jawab atas kesuksesan Orange. Enjoy while it's hawttt^^
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan