Nenek Moyangku Seorang Pelaut

0
0
Deskripsi

Dirgahayu ke 76 RI

"Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarung luas samudera. Menerjang ombak tiada takut. Menempuh badai sudah biasa."

Sepenggal lirik lagu itu mungkin sudah tidak asing bagi kita. Bahkan sejak kecil, kita sudah dikenalkan dengan lagu tersebut. Lagu nenek moyangku seorang pelaut sendiri adalah lagu ciptaan Ibu Saridjah Niung Bintang Soedibjo atau yang biasa dikenal sebagai Ibu Soed. Dalam lagu ini, Ibu Soed memberikan pesan moral tentang perjuangan, moral, bahkan sejarah mengenai...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Makalah Perahu Pinisi
1
0
Deskripsi Perahu Pinisi Suku Bugis      Perahu Pinisi merupakan perkembangan dari perahu Padewakang. Perahu ini memiliki 2 tiang dengan 7  layar yang menggunakan sistem layar depan-belakang. Tiga layar ditempatkan di bagian linggi haluan kapal atau lunas bagian depan, dua layar ditempatkan di tiang bagian haluan kapal, dan dua layar yang lain ditempatkan dibagian tiang yang berada di buritan. Masing-masing ketujuh layar memiliki fungsinya. Menurut Demmaliano (2000), “Layar depan berfungsi mengarahkan perahu, layar tengah berfungsi sebagai penggerak utama, layar atas berfungsi sebagai pendukung, dan layar belakang berfungsi untuk mempercepat proses pembelokan perahu. Tentu seluruhnya secara komplementer berfungsi melajukan perahu”. Ke tujuh layar pada perahu Pinisi menggambarkan bahwa nenek moyang Indonesia telah mengarungi 7 samudera di dunia.  Horst (Wikipedia, 2020) mengatakan bahwa kapal Pinisi memiliki tiang yang terdapat pada buritan dan haluan dengan ukuran yang berbeda. Sistem tersebut dinamai sekunar-keci.      Pada bagian lambung kapal, bentuk palari dan lambo menjadi bentuk yang umum digunakan. Palari memiliki lengkungan pada bagian lunas dan ukurannya lebih kecil daripada bentuk lambo. Perahu Pinisi bentuk palari dikemudikan dengan 1 kemudi dibagian belakang jika perahu menggunakan motor diesel sebagai tenaga penggerak dan 2 kemudi dibagian samping buritan. Sedangkan pada bentuk lambo, lambung dikemudikan oleh 1 kemudi dibagian tengah lambung kapal dan umumnya digerakkan oleh motor diesel karena perahu Pinisi bentuk lambo merupakan bentuk perkembangan dari bentuk palari. Perahu pinisi yang menggunakan lambung kapal berbentuk lambo termasuk kedalam Kapal Layar Motor (KLM). Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. PM 39 tahun 2016 tentang Garis Muatan Kapal dan Pemuatan, setidaknya perahu Pinisi memiliki lima ratus lebih tenaga kuda dan ukuran tonase kotor kayu sampai GT 500.      Selain lambung kapal, layar dan tiang, ada bagian perahu Pinisi yang cukup identik, yaitu bagian depan kapal yang meruncing seperti perahu yang siap menembus berbagai kondisi lautan. Makna yang Terkandung Dalam Perahu Pinisi Suku Bugis       Sistem religi atau kepercayaan masyarakat selalu tertanam dalam diri masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai kepercayaan menjadi identitas suatu masyarakat dalam melahirkan sebuah karya, salah satunya suku Bugis dalam membuat perahu Pinisi. Perahu Pinisi bukan hanya merupakan transportasi air untuk mengangkut barang, melainkan perahu Pinisi juga dapat berarti sebagai simbol spriritualisme suku Bugis. Wujud spiritualisme perahu Pinisi dapat terlihat pada proses pembuatan dan berbagai ritual/doa yang mengiringi, seperti menentukan hari baik sebelum menebang pohon.        Selain itu, pemaknaan dapat dilihat pada bentuk perahu Pinisi, yaitu pada bagian depan perahu yang meyerupai hidung yang meruncing yang merupakan lunas kapal. Bagian pada perahu ini memiliki arti sebagai pelaut yang mampu menghadapi berbagai kondisi di lautan. Selanjutnya, tiang kapal yang menyangga layar pada perahu Pinisi dilambangkan sebagai sebuah tiang yang menopang sebuah atap. Kemampuan layar dalam menahan angin akan memengaruhi tiang kapal. Oleh karena itu, dibuat dua tiang kapal yang kokoh untuk membantu layar tetap berkibar. Terakhir, perahu Pinisi dapat diartikan sebagai konsep pembagian ruang publik dan ruang privasi pada bangunan. Bagian lambung kapal merupakan area privasi dimana kru kapal bekerja. Bagian geladak dan merupakan area publik, yaitu tempat untuk melihat dan mengamati alam sekitar. Pada semua bentuk bangunan perahu Pinisi dapat maknai kedalam sebuah bangunan yang baik yang mampu memenuhi tujuan manusia itu sendiri. Kemampuan bentuk bangunan didapat dari komposisi struktur bangunan dan bahan material yang kokoh dan mampu menjaga keseimbangan ketika perahu berlayar di lautan lepas (Priyandhitya, 2005:53-58).       Selain itu, menurut Akhmad (2017), tujuh layar pada perahu Pinisi menggambarkan bahwa nenek moyang Indonesia mampu menaklukan banyak samudera di dunia. Namun, setelah kedatangan islam, ketujuh layar menjadi lambang dari jumlah surah Al-Fatihah. Kedua tiang pada perahu Pinisi bermakna ajaran untuk memeluk agama islam, yaitu mengucapkan 2 kalimat tauhid (Dalam Hastuti et. al., 2018:150). Makna perahu Pinisi mengalami perubahan dari masa ke masa mengikuti perubahan zaman dan pengaruh kepercayaan asing. Walaupun begitu, masyarakat tetap berusaha menyatukan nilai-nilai arif pada kepercayaan yang mereka anut demi kebaikan bersama.       Pinisi juga merupakan bentuk pemaknaan orang Bugis terhadap alam tempat mereka menggantungkan hidup. Pemaknaan itu dapat terlihat pada cara orang Bugis berinteraksi dengan alam. Interaksi yang dilakukan orang Bugis terhadap alam adalah sebagai pihak yang memanfaatkan, mengamati, dan mempelajari alam. Dalam pembuatan perahu Pinisi, orang Bugis menghitungkan banyak aspek, seperti bentuk tiang dan layar, cara menggulung layar, bentuk kerangka perahu, dan sebagainya  supaya perahu yang dibuatnya dapat berlayar jauh kemanapun tujuannya.   Proses Pembuatan Perahu Pinisi Suku Bugis dan Ritual yang Mengiringinya       Dalam pembuatan perahu Pinisi, suku Bugis mampu melakukannya tanpa harus menggunakan desain kapal. Suku Bugis hanya menggunakan cara yang sudah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang tanpa bantuan alat canggih. Selain itu, dalam pembuatan perahu Pinisi, suku Bugis selalu menghormati alam yang menjadi penopang hidup dengan melakukan ritual/upacara/sesajian dan berbagai doa yang dipanjatkan. Suku Bugis sangat menyadari bahwa aspek spiritualisme dan interaksi dengan alam harus dijaga dengan, bahkan melalui proses pembuatan perahu Pinisi.       Berikut bagan mengenai ritual pembuatan perahu Pinisi suku Bugis:   Sebelum membuat perahu Pinisi, orang Bugis akan menentukan hari baik. Menurut Wikipedia (2020), hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang          berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah ditangan. Sedangkan angka  7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, kepala tukang yang disebut “punggawa” memimpin pencarian.      Penentuan hari baik dilakukan supaya perahu yang dibuat tidak mengalami musibah. Sebelum dilaksanakan penebangan pohon. Upacara dilakukan supaya saat proses pembuatan perahu Pinisi tidak mengalami kendala apapun dan supaya roh yang menunggu pohon mengizinkan punggawa dan penebang yang lainnya untuk menebang pohon yang sudah dipilih.       Setelah mendapatkan kayu yang sudah dipilih, proses dilanjutkan dengan proses annattara. Arief Saenong (2010) mengatakan bahwa proses yang dilakukan setelah penebangan pohon, yaitu proses syukuran kapal yang dilakukan dengan cara memasang lunas muka dan belakang (Dalam Kurniasari, Yuliaty, dan Nurlaili, 2013:79). Proses annattara sangat sarat akan makna kekeluargaan, yaitu dengan pemaknaan bahwa bagian depan lunas merupakan simbol laki-laki dan bagian lunas belakang merupakan simbol wanita. Pada proses annattara, lunas bagian depan akan dibuang ke laut. Hal ini menyimbolkan bahwa laki-laki suku Bugis yang mayoritas menggantungkan hidupnya pada kekayaan laut, harus pergi mencari nafkah meninggalkan rumah. Sedangkan bagian belakang lunas melambangkan bahwa seorang wanita harus bisa menjaga dan merawat rumah serta keluarga.       Menurut Kurniasari et al. (2013), pelaksanaan upacara diawali dengan menyiapkan kue-kue oleh ibu-ibu untuk diletakkan di atas lunas. Kue-kue tersebut terdiri dari dumpi (cucur), onde-onde (ketan berisi unti dibalut tepung sagu), lebo-lebo (ketan yang dibentuk seperti kelereng dengan kuah yang terbuat dari santan dan gula merah).Selanjutnya, proses dilanjut dengan peluncuran kapal yang disebut dengan appasili. Proses ini dilakukan setelah ritual songkabala, yaitu ritual penyembelihan hewan untuk sesaji dan sebelum ritual ammossi supaya pemilik kapal terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Appasili dilakukan pada malam dan dihadiri oleh pihak yang terkait dengan pembuatan dan keselamatan kapal. Acara diisi dengan makan-makan bersama, menaburi darah hewan sembelih ke beberapa bagian kapal, dan penarikan kapal ke bibir pantai yang menunjukan bahwa Pinisi hampir siap untuk melaut.       Proses terakhir sebelum perahu Pinisi siap digunakan untuk melaut adalah pembuatan pusar atau yang biasa disebut dengan proses ammossi. Pada proses ini, tetua adat akan membuat pusar pada lunas kapal. Selain itu, pada proses ini juga terdapat beberapa sesaji yang diletakkan pada lunas kapal. Proses ammossi menandakan bahwa perahu Pinisi siap digunakan dan bentuk kepasrahan suku Bugis kepada penguasa laut dan daratan. Proses panjang pembuatan perahu Pinisi dilakukan karena suku Bugis percaya bahwa untuk memersatukan unsur daratan dan lautan perlu diadakan ritual dan penghormatan.       Seluruh proses pembuatan perahu Pinisi dilakukan dengan teknologi tradisional dan pengetahuan masyrakat mengenai perahu dan kelautan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bahan yang digunakan untuk membuat perahu Pinisi adalah kayu bitti atau katu ulin atau kayu jati atau kayu gofassa. Pemilihan kayu menitikberatkan kelengkungan batang kayu. Semakin melengkung, berarti semakin baik untuk dijadikan bahan pembuatan perahu karena tidak harus memotong kaya untuk membuat kerangka. Akibatnya, perahu Pinisi akan lebih tangguh menghadapi goncangan ombak. DAFTAR PUSTAKADemmaliano, Eymal B.. (2000). Jurnal Antropologi Indonesia. Pelaut Ulung Perahu Pinisi Nusantara: Perekat Ekonomi Bangsa dan Pelestari Lingkungan Hidup, 26, 220. Diakses dari simposiumjai.ui.ac.id Hastuti, Diah Retno Dwi dkk. (2018). Indonesia Journal of Fundamental Sciences. Pendekatan Perspektif Weber Terhadap Tindakan Rasionalisme Pembuatan Perahu Pinisi, 4, 150. Diakses dari https://www.ojs.unm.ac.id/Jastro, Elymart. (2010). Kajian Perahu Tradisional Nusantara Di Museum Bahari, Jakarta Utara (Proses Produksi Pesan Tentang Teknologi Perahu). Diakses dari Universitas Indonesia, Situs Web Perpustakaan. http://lib.ui.ac.id/ Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia tentang Garis Muat Kapal dan Pemuatan (Nomor PM 39 tahun 2016). Jakarta, DKI: Penulis. Diakses dari http://jdih.dephub.go.id/ Koentjaraningrat. (2009) Pengantar Ilmu Antropologi (Edisi Revisi 2009). Jakarta: PT Rineka Cipta. Kurniasari, Nendah., Christina Yuliaty dan Nurlaili. (2013). Sosek. Dimensi Religi Dalam Pembuatan Pinisi, 8, 78-80. Diakses dari http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/sosek/ Priyandhitya, Lulu Imanda. (2005). Museum Kapal Tradisional Pinisi: Ekspresi Kapal Pinisi pada Bentuk Bangunan. Diakses dari Universitas Islam Indonesia, Situs Web Perpustakaan. https://library.uii.ac.id/repositories/  Tulisan ini adalah hasil research sederhana saya untuk keperluan kuliah. Saya ingin berbagi disini supaya saya bisa berbagi ilmu yang saya dapat. Harap digunakan dengan sebaiknya. Jika tidak keberatan, terimakasih atas dukungannya. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan