Heartstrings

159
23
Deskripsi

Jika dulu Bening adalah teman menangis bersama. Maka kini Banyu adalah orang nomer satu yang akan menenangkannya disaat ia mengeluarkan banyak air mata. Jika dulu Bening selalu memberikan dorongan dan semangat untuk tetap menjalani hari sebagai manusia. Maka kini Banyu adalah orang yang akan selalu melindungi, menjaga, bahkan merawat di saat ia lelah karena memang ia cuma manusia biasa.

"Terima kasih untuk kalian berdua, karena telah hadir di kehidupanku bersama seorang Segara Biru."

©heartstrings

Heartstrings

"Gue pikir, gue udah tau jawaban pertanyaan lo dulu. Tentang ... apakah gue bakal ngalah kalo suatu hari kita suka sama cewe yang sama?” Bening terdiam sebelum melanjutkan omongannya. "Jawabannya, tentu engga, gue ngga akan mengalah."
.
.
.
Semua abu-abu di bawah langit biru sejauh ia memandang ke depan. Debur ombak, semilir angin, dan bau asin udara membuatnya emosional.

Memori dalam kepala terus mempermainkannya, terasa sesak dan sangat mengganggu. Kisah mereka terpotong paksa dan berhenti begitu saja. Kejam, tak berbelas kasihan.

Bening menyadari, ia telah terganti sejak pertama kali melangkahkan kaki masuk ke rumah mendiang Ibunya dan mendapati mata cantik itu tak bersinar lagi kala melihatnya, seperti dulu. 

Lalu, kenyataan satu persatu menghantamnya tepat di ulu hati, sakit luar biasa. Awalnya bahagia karena telah memiliki seorang putera, namun ia didorong kembali ke dasar kecewa sebab sang kekasih yang merupakan satu-satunya alasan untuk bertahan hidup, kini telah menikah dengan saudara yang juga sangat dicintainya.

Takdir menghabisinya, harapannya sirna.

Bening menunduk, memandangi stroller dengan makhluk mungil yang telah tertidur di dalamnya. "Kamu bahagia?" tanyanya tanpa melihat Sigi.

Sigi mengulum senyum kecil, namun canggung. Ia mengangguk. Angin pantai membuat rambut panjangnya bergerak-gerak.

Banyu melihat dengan ekor matanya. Cantik, masih sama seperti dulu. 
.
.
.
"Tapi ada satu hal yang juga perlu diingat, cinta itu engga bisa dipaksain sekuat apapun lo mencoba, karena lo udah engga ada di hatinya."
.
.
.
"Kamu mencintai Banyu?" tanya Bening dengan suara bergetar.

Sigi menunduk, ia tak menjawab.

Bening melihat bahu wanita tercintanya itu bergetar. Ia menahan napas. Dengan sisa kewarasan, ia menarik Sigi ke dalam pelukan.

Kemudian tangis wanita itu meledak, sangat pilu tak tertahankan. "Maaf, Kak. Maafin aku bikin kamu sakit. Ya, aku sayang Mas Banyu, aku cinta sama dia. Aku engga bisa hidup tanpa dia. Maafin aku, aku udah ngecewain kamu."

Mata Bening panas. Setetes, dua tetes, bulir-bulir itu meleleh di pipinya. Ia terisak dan mendekap Sigi semakin erat. "Sakit banget, tapi aku engga bisa maksa kamu harus sama aku. Aku mencintai kamu dan tentunya aku pengen kamu bahagia."

Sigi memisahkan badan mereka. "Jangan nangis, tolong. Aku ngerasa bersalah," ucapnya sambil mengusap pipi Bening dengan kedua tangannya.

"Engga, kamu engga salah. Engga ada yang salah disini, bukan salah siapa-siapa. Astaga, gimana ini?" Bening meringis, rongga dadanya terasa penuh, pun tenggorokannya tercekat sehingga ia kembali memeluk Sigi. Kali ini lebih lama, seperti sebuah pelukan terakhir. "Maafin aku aku engga kembali dengan cepat. Kamu tau aku sayang banget sama kamu, engga ada seharipun aku engga mikirin kamu. Tapi aku engga bisa apa-apa karena bahagiamu engga di aku lagi. Aku melepaskanmu Sigi Agni Wimala karena aku cinta kamu. Aku melepaskanmu," ulangnya.

Sigi membalas pelukan Bening dengan sama eratnya. "Maafin aku, demi Tuhan maafin aku, Kak."

Keduanya menangis bersama di bawah langit biru dan pemandangan yang semakin abu-abu.

Hidup kini telah jauh berubah. Lembar gambar-gambar kenangan di benak masing-masing tentang satu sama lain perlahan berakhir seperti buku yang habis dibaca. Kemudian ditutup dan disimpan rapi di dalam relung hati.

Bening menangkup pipi Sigi. Ia tersenyum pada Sigi yang balas memandangnya dengan mata basah. "Selamat tinggal cinta pertama," bisik Bening sebelum mengecup bibir Sigi untuk terakhir kalinya. "Ayo kita pulang ke rumahnya kamu," ajaknya.
.
.
.
"Kenapa lebih milih Banyu daripada Bening?" 
Sigi menghela napas. "Sejujurnya ini bukan perihal memilih. Ini adalah sebuah keputusan, keputusan yang udah aku buat dari awal menikah dengan Mas Banyu. Dan dari awal aku membuka hati buat Mas Banyu, maka di situ aku juga udah menutup ceritaku dengan Kak Bening." Ia mengulum bibir. "Kedua pria itu bukan pilihan, mereka terlalu berharga buat dijadiin opsi."
.
.
.
Sigi berdecak cemas. "Mas Banyu engga bisa dihubungi, Kak," ujarnya gelisah.

"Dia ada ngomong sesuatu sebelumnya di chat?" tanya Bening kembali berhenti sebab lampu lalu lintas kembali berwarna merah.

"Semalam dia ngomong, kita harus balik ke rumah jam lima."

Bening mengernyitkan dahi. "Jangan lagi," bisiknya mengingat kebiasaan kakaknya yang selalu melarikan diri, jika sesuatu menjadi terlalu berat dirasakan. "Coba chat staff di kantornya, ini udah gelap. Udah lewat jam lima, kali aja di rumah tapi lupa ngecas hp."

Sigi menggigit bibirnya resah. "Mama bilang dia ngga ada pulang. Dia ngga bakal ninggalin aku kan, Kak?" tanyanya getir.

"Engga, engga bakal." Bening ikut gelisah. Ditambah melihat Sigi yang menangis lagi.

"Manajer artisnya bilang, Mas Banyu siang tadi sempet bilang mau ke bandara," isak Sigi.

Bening menghela napas panjang. Ia melajukan mobilnya kembali lebih cepat agar mencapai rumah dengan segera.

Jam setengah delapan mereka tiba di rumah.
"Biar aku yang bawa Biru ke dalem. Coba cek Bang Banyu, siapa tau udah pulang."

Sigi mengangguk, wanita mungil itu berlari cepat ke dalam.

Bening bisa mendengar mantan kekasihnya itu berseru histeris karena tak menemukan suaminya dimanapun.
Ia mendorong kereta bayi hingga ke dalam, kemudian menggendong Biru dengan perlahan dan menyerahkan bocah kecil itu pada Mama Emilia yang tampak bingung dan cemas.

"Tante bersihin Biru dulu, ya? Kamu istirahat aja dulu, Ben. Bikin minum sendiri bisa, kan? Namira lagi keluar, ke warung sebentar. Sigi nangis nyariin Banyu, sebenarnya ada apa?"

Bening hanya menggeleng pura-pura tak mengerti, ia bingung menjawab apa. Mama Emilia meninggalkannya ke dalam kamar. Ia mendengar Sigi semakin menangis kencang.

"Banyu udah gila kalo dia pergi, abang gue emang rada bego!" umpatnya mengeluarkan ponsel dan coba menghubungi Banyu berkali-kali.

Namira pulang, gadis kecil itu kaget karena mendengar kakaknya menangis. "Mas, Mba Gi kenapa?"

"Dia nyariin Bang Banyu,"

Namira melebarkan mata. "Loh, bentar Mas Mira tinggal dulu."

Sepeninggalan Namira, Bening masih mencoba menghubungi sang Kakak, tapi tetap hasilnya nihil. Ini gila, fikirnya.

Mendadak Sigi keluar dari kamar, kemudian berlari melewatinya menuju pintu utama. Wanita itu keluar rumah, bahkan gerbang, dan terus berjalan ke arah rumah sebelah.

Bening mendekat ke jendela dan mengawasi Sigi yang masuk ke rumah tetangganya. Kemudian ia menyadari bahwa sebuah mobil familiar telah berada disana entah dari kapan. Ia menghela napas lega dan tersenyum kecil kala melihat kedua orang yang disayanginya, akhirnya kini berpelukan di pekarangan rumah sebelah.
.
.
.
Jika dulu Bening adalah teman menangis bersama. Maka kini Banyu adalah orang nomer satu yang akan menenangkannya disaat ia mengeluarkan banyak air mata. Jika dulu Bening selalu memberikan dorongan dan semangat untuk tetap menjalani hari sebagai manusia. Maka kini Banyu adalah orang yang akan selalu melindungi, menjaga, bahkan merawat di saat ia lelah karena memang ia cuma manusia biasa.

"Terima kasih untuk kalian berdua, karena telah hadir di kehidupanku bersama seorang Segara Biru."

 

heartstrings©chiminamon171223

 

Silahkan tinggalkan jejak, pesan dan kesan untuk mereka bertiga.


 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dirty
85
14
“Bilang sama aku, kamu mikirin apa tentang aku, Sayang? Jangan malu, aku seneng. Aku seneng kamu berfantasi kotor tentang aku.”Mature konten, be wise reader!! 🔞©chiminamon 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan