Alice tengah menjalani hubungan dengan seorang pria yang bernama Justin. Tapi sang kakak tak menyetujui hubungan nya dengan pria tengil itu.
Namun walaupun begitu Alice tetap berkeras hati untuk menjalani hubungan itu. Tentu saja itu membuat sang kakak merasa marah, dan bahkan juga menyembunyikan benda-benda yang dimiliki adiknya yaitu Alice.
Karena sudah tak tahan diam-diam Alice kabur dari rumah bersama sang kekasih. Dan pastinya mereka sudah merencanakan itu sebelumnya. Justin membawa...
Bab 1 Amarah sang kakak
Seorang gadis terperanjat saat ia membuka pintu masuk rumahnya. Di hadapannya sudah berdiri sang kakak yang tengah menatapnya dengan tatapan nanar. Raut mukanya juga terlihat sangat gusar. Membuat gadis itu merasa takut dan memilih menundukkan kepalanya.
"Dari mana saja kau jam segini baru pulang? Kau pasti bertemu dengan pria itu lagi kan?" bentak sang kakak terdengar kasar.
Gadis itu mencoba membela dirinya, "Maaf kak, aku janji besok tak akan mengulanginya lagi." sahutnya lirih. Raut wajahnya panik, ia takut jika nanti kakaknya akan mengunakan kekerasan padanya.
"Pokoknya kau tak boleh berhubungan dengan pria itu, sudah berapa kali aku katakan padamu?..! Kenapa kamu tak juga mau mendengarkanku. Jika saja mendiang kedua orang tua kita tau, pasti mereka akan kecewa melihat sikap kamu saat ini." kini sang kakak terlihat sayu berbicara tentang orang tuanya.
"Tapi kak, kami saling mencintai. Aku tak putus dengannya. Aku mencintainya kak."
"Apa? Cinta? Buat apa itu? Apa kau bisa makan dengan modal cinta?"
Agatha, ia merupakan kakak kandung gadis itu. Alice, gadis yang berusia sekitar 18 itu tengah menjalin hubungan dengan seorang pria yang menurut kakaknya seorang preman.
"Kak... aku mohon Kakak, tolong restui hubungan kami. Lagipula dia tak seperti yang kakak bayangkan. Dia bukan preman kak," ucapannya disertai isak tangis.
Kini wajah teduh Alice tampak pucat. Sudut bibirnya gemetar menahan isakan tangis yang tak mau ia lanjutkan lagi.
"Omong kosong...! Kau pasti bercanda? Pria seperti itu masih kamu bela? Bodoh sekali kamu..! Kamu itu perempuan Alice.. kamu punya harga diri. Ingat, kita sudah tak punya orang tua lagi. Siapa yang akan memberi kamu nasehat jika kau tak patuh padaku." ungkapnya dari hati yang paling dalam. Ia sudah tak sanggup lagi untuk menyambung kata nasehatnya untuk sang adik.
Ini entah kali ke berapa Alice di tegur begitu oleh kakaknya. "Kak.. tolonglah kakak.. kau pahami perasaanku. Biarkan aku mencoba bertahan dengannya. Bahkan jika sampai ke jenjang pernikahan aku akan bersedia menjadi istrinya." Isak tangisnya semakin menjadi.
"Halah, kamu tak usah bersandiwara lagi Alice. Sebenarnya kamu itu masih remaja, orang seusia kamu itu harusnya masih sekolah
Jangan pernah berpikir untuk menikah dengan pria yang sesuai dengan kehendakmu...! Kamu belum tahu apa-apa tentang pernikahan.
Tak perlu sejauh itu memikirkannya. Belum tentu pria itu bisa menghidupimu, Mau makan apa kalian nanti?" ujarnya menjelaskan.
Alice hendak menjawab, namun lidahnya kelu. Ia sangat tahu sifat kakaknya yang selalu menyanggah setiap apa yang dikatakan Alice "Tapi kak..."
Plakk..! Sebuah tamparan berhasil mendarat di pipi Alice. "Kau tak usah banyak alasan..! Aku bisa saja melakukan kekerasan fisik padamu lebih dari itu, jika kau tak menurut apa yang aku katakan." kali ini suaranya lantang.
Alice tak bisa melawan, bibirnya terkatup rapat seolah sudah di kunci dengan gembok. Sang kakak sudah malas meladeninya, ia segera berbalik mengambil langkah cepat untuk beranjak dari sana.
Lalu bagaimana dengan perasaan Alice saat ini? Ya, sangat sedih. Hubungannya dengan sang kekasih terlalu banyak cobaan, bahkan saudara satu-satunya saja tak mendukungnya sama sekali.
Langkahnya berat untuk berjalan menuju kamarnya. Seolah kakinya telah terjepit dengan alas kaki yang masih dipakainya.
"Sekarang masuklah ke kamarmu. Coba saja kamu pergi menemui dia lagi, aku tak akan segan menghajar kau dan pria itu walaupun itu di tengah jalan".
Keputusan kakaknya yang sudah bulat. Kemana lagi ia harus mengadu sementara kedua orang tuanya telah tiada.
Dengan malas ia berjalan masuk ke dalam kamar. Sebuah Handphone yang baru saja ia beli segera di keluarkan dari saku celananya.
Ia menatap ponsel tersebut, dan kemudian menyambungkannya pada kabel pengisi daya. Ponsel itu di belinya dengan gajinya sebagai pekerja paruh waktu di sebuah toko aksesoris.
Alice membuka nasi bungkus yang tadi ia beli. Di rumah ia takut menyentuh makanan apapun. Karena amarah sang kakak berpengaruh besar terhadap semua itu.
"Ya tuhan..! Aku sangat lelah hari ini. Mataku sangat mengantuk sekali."
Dan akhirnya Alice tertidur di depan pintu kamarnya tanpa ada selimut yang menghangatkan tubuhnya.
***
Brukk... Ceklekk... Ckitt..
Alice terbangun mendengar sebuah suara."Astaga! Suara apa itu tadi?" ungkapnya saking terkejutnya.
Ia celingukan kiri-kanan, tak ada siapapun di sekitarnya. Di hadapannya masih tergeletak ponsel yang masih terpasang dengan kabel pengisi dayanya.
'Status baterai belum penuh'
"Ya ampun..! Kenapa bisa begitu? Apa chargernya tidak tersambung?"
Alice kebingungan, Ia melihat kabel bagian ujung pengisi daya sudah dalam keadaan tercabut dari colokan listrik.
"Kenapa chargernya malah putus? Siapa yang melakukan ini? Apakah itu ulah kak Agatha?".
. Itu semua itu menjadi pertanyaan bagi Alice. Berusaha untuk tak berburuk sangka, ia celingukan mencari potongan kabel pengisi daya itu di sekitarnya. Namun tetap tak ditemukan juga.
Dilihatnya layar ponsel jam sudah menunjukkan pukul 05.00 subuh.
Pada jam ini Agatha pasti masih tertidur pulas di kamarnya. Ini sebuah kesempatan bagi Alice untuk segera pergi meninggalkan rumah.
Ia memutuskan untuk mengintip Agatha dari celah pintu kamarnya. Masih dalam keadaan terlelap.
Berjalan mundur selangkah, kemudian berbalik pergi ke kamar tidurnya. Beberapa helai pakaian ia siapkan untuk berjaga-jaga. Semuanya perlengkapannya ia masukkan ke dalam sebuah tas ransel ukuran kecil. Semua itu ia simpan di bawah kolong tempat tidur.
Beranjak dari sana, ia membilas tubuhnya ke kamar mandi. Pagi ini ia akan pergi bekerja di toko aksesoris.
Semuanya telah beres, pakaian yang di badannya sudah rapi menurutnya. Dengan memoleskan sedikit bedak di wajahnya, ia mengendap-endap keluar dari rumah lewat pintu belakang.
Begitu sampai di luar Alice segera pergi mencari kendaraan untuk transportasinya menuju ke toko aksesoris.
Dalam beberapa menit Alice tiba di tujuannya. Alice turun sambil merogoh sakunya. Selembar uang kertas sisa beli nasi bungkus semalam ia gunakan untuk membayar ongkos kendaraan roda dua yang dinaikinya tadi.
Alice merapikan pakaian dan jilbabnya sebelum kembali melanjutkan langkahnya ke dalam toko tersebut.
Ternyata pemiliknya sudah tiba lebih dulu, Alice menghampirinya dan mengerjakan tugasnya sambil sedikit mengucapkan sedikit basa-basi. "Bu, maaf aku terlambat datang," ujarnya agak ragu-ragu.
Sang pemilik toko itu tak merespon, ia merunggut karena ini bukan pertama kalinya Alice datang terlambat.
Gadis itu tahu kalau ia sudah bersalah. Ia semakin ligat dan rajin merapikan dan menyusun semua barang dagangan agar dapat menarik hati para pembeli.
Melihat reaksinya begitu, Ny. Giselle si pemilik toko merasa luluh. Rasa iba muncul melihat gadis yatim-piatu itu. Kemudian ia menghampiri Alice yang masih sibuk menggantung berbagai jenis aksesoris.
"Alice, kemarilah..! sebaiknya sebelum bekerja kamu sarapan dulu supaya tenagamu kuat."
Semangkuk mie ayam yang sengaja di pesan oleh nyonya Giselle di seberang toko aksesoris itu segera di berikan pada Alice.
Alice merasa segan karena merasa telah merepotkan bosnya,"Ya ampun.. makasih banyak ya nyonya, maaf sudah merepotkan anda. Lain kali biar aku saja yang ambil sendiri".
"Sudahlah, kamu makan saja! Lagian, aku hanya sekalian membawakan nya kemari, daripada tangan di sebelahku kosong".
Wanita paruh baya itu berusaha menjaga wibawanya sebagai seorang pemilik toko. Sebenarnya ia sangat menghargai setiap karyawannya.
Setelah menerimanya Alice segera menyantap semangkuk mie yang telah tersedia di hadapannya.
"Permisi, saya boleh lihat-lihat dulu kan?," tanya seorang pelanggan yang baru mampir ke toko itu.
Mendengar itu Alice meniggalkan sarapannya, ia melayani pelanggan itu,"Mau beli apa kakak?" tanya Alice ramah.
Pelanggan pertama Alice. Ia melihat-lihat berbagai macam serta model terbaru yang terpajang di etalase kaca. Pandangan tertuju pada satu arah yaitu sebuah kalung.
"Kalung yang ini berapa harganya dek?," tanyanya sambil menunjuk ke arah kaca etalase tersebut.
Alice mengerutkan dahi, ia meraih barang yang di minta pelanggan itu dan melihat label yang tersangkut di sana. "Oh ini, ada label harganya kakak, harganya 120 ribu." ungkapnya memberitahu.
"Jika saya membeli banyak, apakah bisa berikan diskon?," tanya pelanggan itu lagi.
Alice tampak berpikir, "Sebentar, saya akan tanyakan ini pada bos kami dulu".
Di lihatnya Nyonya Giselle masih menyantap sarapan paginya. Alice pun segera menghampirinya yang ada di meja kasir. Ia segera bertanya hal yang diajukan oleh pelanggan pertamanya tadi. "...."
"Baiklah nyonya, aku akan jelaskan pada pelanggan itu," ia kembali pada pelanggan yang masih berdiri menunggu jawabannya tadi.
Tetap berusaha terlihat ramah, dengan seuntai senyuman sebagai pemanis agar pelanggan tidak tersinggung, "Maaf kakak, sepertinya tidak bisa. Karena label harga itu masih dari pusat. Kami juga tidak banyak mengambil untung dari penjualan itu." jelasnya pada sang pelanggan.
Seketika wajahnya yang berharap tadi berubah,"Huh! Kenapa begitu? Saya ini pelanggan kalian? Masak kita beli banyak barang tidak bisa diskon. Toko macam apa ini," pelanggan itu terlihat marah.
Ny. Giselle mendengar kalau pelanggan itu marah. Ia segera menghampiri sang pelanggan untuk memberi penjelasan. "Maaf ya, label harga itu yang benar-benar dari pusat. Saya sendiri belum sempat mengganti harganya. Biasanya kami mengambil untung dari harga penjualan kami dari sana. Tapi kali ini tidak, kebetulan barang ini khusus. Jadi stoknya terbatas".
Entah merasa malu atau bagaimana, ia mengeluarkan kata-kata yang tak mengenakkan hati. "Halah! Segitu saja hanya mengandalkan untung...! Bagaimana mungkin ada orang yang mau membeli di tempat ini jika pelit begitu." celetuknya.
Ia berbalik arah, "Aku akan pergi membeli tempat lain saja. Mahal sekali di toko kalian ini," pelanggan itu langsung berlalu pergi ke toko lainnya.
Alice menghela nafasnya, pelanggan pertama saja sudah membuatnya kesal pagi ini. Bagaimana nanti pelanggan yang selanjutnya?.
Nyonya Giselle mengerti akan hal itu. Ia memberi nasehat pada Alice agar tak terlalu memikirkannya. "Sudahlah, kita tak perlu mempedulikan orang itu. Mungkin ia hanya ingin menganggu ketenangan kita saja. Lebih baik kamu lanjutkan saja sarapannya," ujar Nyonya. Giselle.
Alice menurut dan melakukan apa yang dikatakan bosnya. Sampai akhirnya Alice berhasil menghabiskan sarapannya pagi itu. Kemudian beraktifitas sebagai pelayan toko, sampai pukul 05.00 sore.
Waktunya pulang, dan nyonya Giselle meminta agar hari ini toko akan tutup. Setelahnya, barulah ia diperbolehkan pulang. Sebelum beranjak dari sana, ia sempat berkirim pesan pada sang kekasih untuk menunggunya di tempat biasa.
Pamit pada Ny. Giselle, Alice pun langsung pergi ke tempat tujuannya. Sebuah jalan rel kereta api. Di tempat itu sudah berdiri sosok seorang pria bertubuh tinggi dan memakai kaos lengan panjang dengan paduan celana jeans yang menunggunya di sana.
Alice berjalan mengendap-endap agar bisa memberi kejutan untuk Justin kekasihnya."Halo sayang.. apa kamu sudah lama menunggu?," tanyanya begitu tiba di tempat Justin berdiri.
Justin menoleh, raut wajahnya tampak senang karena mendengar suara orang yang dikenalnya. "Eh, kamu sudah datang ya? Bagaimana pekerjaan kamu tadi?"tanya Justin menampakkan sorot matanya yang senang.
Ia mengembangkan sebuah senyuman, "Ya, setelah bertemu denganmu, rasa lelah tadi jadi hilang begitu saja." sahut Alice. Matanya berbinar-binar menampakkan kalau ia dalam keadaan bahagia setelah bertemu dengan pemuda itu.
Justin memberikan sebuah kecupan lembut di kening Alice, sehingga wajah mungil itu tampak merona.
"Kita jalan-jalan ke mana hari ini? Gimana kalau kita pergi ke warnet saja. Karena sepertinya hari mau hujan. Tak mungkin kita hujan-hujanan di jalan nanti," ungkap Justin sambil menaikkan kedua alisnya.
Gadis itu berpikir sejenak, memutar bola matanya, "Ya, terserah kamu saja. Yang penting jangan di tempat yang terlalu ramai. Soalnya di situ banyak teman-teman kakakku. Nanti aku malah kena marah lagi," jelas Alice. Ia teringat akan ancaman kakaknya semalam. Makanya hari ini ia sangat waspada agar semua itu tak ketahuan.
Justin melihat gadis itu dengan wajah penuh kasih, "Maafkan aku ya. Jika saja kamu tak bertahan denganku, kamu tak akan merasakan itu setiap harinya. Tapi sekarang kamu tidak kenapa-napa kan?"tanya Justin cemas. Ia memeriksa seluruh bagian tubuh Alice.
Alice menggeleng, "Aku tak apa-apa. Mungkin kau saja yang bosan karena aku terus mengadukan hal yang sama".
Justin yang prihatin segera memeluk tubuh mungil Alice. Mengusap setiap helaian rambutnya, layaknya seperti anak kecil.
Perlahan dilepaskan nya pelukan tersebut, dan menatap kedua matanya yang hampir mengeluarkan air bening, "Sekarang aku mau tanya sama kamu. Apa kamu serius menjalin hubungan ini denganku? Tidak ada paksaan bukan,"tanya Justin sambil menaikkan alisnya. Iya berusaha meyakinkan gadis itu agar tak menyesal di kemudian hari.
Alice mengangguk mantap.
"Benar, tanpa ada paksaan. Aku benar-benar serius Justin." Wajahnya yang terlihat sayu itu mulai terlihat meyakinkan bagi Justin.
Pria itu mendesah panjang, "Jika memang begitu, apa kau tak keberatan jika hidup denganku. Dalam keadaan apapun itu. Susah senang apa kau sanggup? tanyanya lagi.
Alice tetap tak bersuara. Hanya sebuah anggukan kepala darinya. "Baiklah, jika kamu memang tak keberatan. Bagaimana kalau kita kabur saja. Kita bisa pergi ke kampung halamanku. Kita bisa hidup nyaman di sana. Walaupun disana sebuah desa, tapi aku juga bisa mencari nafkah dengan hasil tanaman milik ayahku".
Pernyataan itu sungguh membuat Alice kebingungan. Di pikirannya saat ini tak lain sebuah ucapan yang di lontarkan Justin tadi.
"Tapi.. kita belum menikah, tak mungkin kita pergi bersama kesana. Nanti apa kata orang jika kita tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan." jelas Alice. Ia sangat takut jika nanti banyak orang yang bertanya."
Justin memberi respon cepat pada Alice, "Tentu saja kita menikah disana sayang, kau tak perlu cemas dengan itu. Di sana juga ada wali nikah buat kita juga."
"Kau serius ingin menikahiku? Apakah yakin? Kau tak akan meninggalkanku kan?" nada suara Alice terdengar bergetar. Karena ia belum siap untuk itu.
Sekali lagi ia memeluk Alice untuk meyakinkan kalau ia tulus mencintai gadis itu. "Benar. Semuanya itu benar. Aku akan bertanggung jawab sehidup semati untukmu. Kau tak usah cemas dengan itu. Selama aku masih hidup, aku akan selalu menjadi pelindungmu."
Alice merasa luluh dengan kata-kata manis yang keluar dari mulut Justin.
"Baiklah bang, aku akan mengikuti perkataanmu. Tapi jika seandainya kamu tak serius, kau bisa mundur sekarang sebelum dilanjutkan ke jenjang pernikahan," Alice masih tampak ragu-ragu dengan jawabannya.
Jemari jentik Alice di genggamnya dengan sangat erat. "Aku berani bersumpah! Aku serius menjalani hubungan ini denganmu, dan tak akan meninggalkan dirimu begitu saja."
Namun Alice masih berpikir, apakah dia akan menyetujui usul yang diberikan Justin itu? Itu sebuah ide gila.
______
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
