
Setelah pertemuan yang memalukan itu, Haesoo mendadak menghadapi krisis eksistensial. Terjebak antara logika dan kemungkinan absurd, ia panik, mengguling di kasur seperti burrito frustrasi, dan mempertanyakan kewarasannya sendiri. Tapi di balik kekacauan pikiran, muncul satu kenyataan yang tak bisa diabaikan: Jay nyata. Dan mungkin… hidupnya baru saja berubah jadi manhwa ciptaan dirinya sendiri.
Haesoo melempar dirinya ke atas kasur dengan dramatis, seperti karakter dalam drama slice-of-life yang baru saja mengalami kehancuran emosional. Dengan gerakan cepat seperti ninja terluka, ia menggulung dirinya dengan selimut tebal, sampai seluruh tubuh dan kepalanya tersembunyi.
Gelap. Hangat. Aman.
Setidaknya… begitulah harapannya.
Tapi pikirannya tidak ikut tertutup bersama selimut. Justru sekarang, semuanya makin ribut. Bergemuruh. Berkecamuk.
“Jay…” bisiknya dari dalam selimut, suara teredam.
Jay tadi ngomong ke dia. Jay tadi lihat dia jatuh. Jay tadi nolongin dia. Jay tadi… berdiri di depan dia.
Dan Jay itu… nyata.
“NGGAK MASUK AKAL!!” teriaknya, langsung mengguling ke kiri seperti burrito frustrasi.
Itu nggak mungkin. Nggak logis. Secara ilmiah, cerita fiksi tuh nggak bisa merembes ke dunia nyata. Tapi kalau bukan begitu, gimana penjelasannya? Gimana bisa ada cowok dengan tampang, tinggi badan, struktur rahang, cara jalan, bahkan jenis suara yang 100% cocok dengan karakter yang ia buat sendiri?
Jay itu… bukan tokoh yang asal dia gambar. Jay adalah hasil dari bertahun-tahun rasa kesepian, idealisme, dan cinta diam-diam terhadap cowok-cowok fiksi yang gak pernah jadi nyata. Dia susun karakter Jay seperti merakit mimpi:
- Wajah dingin tapi senyum bisa bikin lutut lemes.
- Jahil tapi peduli diam-diam.
- Cowok yang lebih ekspresif lewat tindakan daripada kata-kata.
- Dan tentu saja, punya inner trauma dikit biar dramanya kaya.
Dan dia bikin karakter utama—si tokoh yang akhirnya jatuh cinta ke Jay—dengan kepribadian mirip dirinya sendiri. Biar terasa real. Biar bisa dia bayangin, seolah-olah dirinya sendiri yang ngalamin cerita itu.
“…GILA… Aku gila…” gumam Haesoo, mengguling lagi, sekarang dengan posisi kepala di bawah kaki di atas.
Dia ingat lagi ekspresi Jay tadi. Tenang, cool, tapi juga… agak bingung waktu dia bilang “Saya mau ke gereja—eh nulis—eh deadline—BYE!”
“AKU NGAPAIN SIH TADI?!”
Haesoo mengacak rambutnya dari dalam selimut. Bakpau favoritnya pun tertinggal. Bakpau coklat!
Lalu sesuatu menyadarkannya: Jay sekarang bawa kantong plastik itu.
Kalau Jay lihat isi kantongnya dan ingat wajah Haesoo, terus… nyari dia?
“GAK GAK GAK—” Haesoo bangkit mendadak dari tempat tidur seperti zombie kerasukan. Rambutnya berantakan. Matanya membelalak panik.
“Kalau dia ke minimarket lagi dan tanya pegawai tentang aku, trus ngikutin aku pulang, trus tahu aku penulis manhwa… trus dia baca manhwanya dan sadar dia itu karakter buatan aku dan trus dia—”
Jungwon langsung jatuh terduduk ke lantai. “…Oke. Aku perlu dukun. Atau psikolog.”
Tapi satu kalimat menggema terus di kepalanya:
“Jay-nya nyata.”
Dan mau seberapa keras dia menolak, satu bagian kecil di dalam dirinya—yang sangat lemah terhadap cowok fiksi hidup—merasa… excited.
Mungkin, cuma mungkin… ini bukan mimpi buruk.
Tapi awal dari cerita absurd yang lebih besar.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
