
3. Apakah Kita Benar-Benar Pasangan Suami dan Istri? [The Bridge of Love] | Cherrysoda
“Aku masih bingung. Kenapa aku dan Ryn bisa menikah?"
3. Apakah Kita Benar-Benar Pasangan Suami dan Istri?
"Aku dan Ryn ... sudah menikah?"
"Tapi, kenapa aku tidak bisa ingat kalau kami berdua pernah melakukan upacara pernikahan?"
"Aneh."
Di dalam batin, Ranu habis asyik bicara sendiri selepas menuai beraneka macam ketersentakan. Memang benar bahwa pertanyaan utama di dalam benaknya tidak dapat ditumpaskan secara mandiri. Namun, Ranu sudah memiliki keyakinan penuh kalau Ryn akan sama bingungnya dengan dirinya.
Wajah Ryn mulai ditatapnya hingga suatu desahan tiba-tiba diloloskan olehnya lewat alunan napasnya. Mungkin, menunggu Ryn tersadar adalah keputusan paling tepat. Mereka harus saling bekerja sama untuk memikirkan bagaimana langkah mereka selanjutnya.
Di sini, Ranu bisa menatap Ryn lama sekali. Meski tidak direncanakan? Ya. Akan tetapi, sepertinya harus sedikit diluruskan. Dia tidak hanya menatap, melainkan menikmati suatu bentuk keindahan sebagai salah satu mahakarya ciptaan Tuhan. Adalah kebohongan besar kalau Ranu tidak terkesima dengan sepasang bulu mata hitam dan lentik, hidung mancung seperti perosotan, serta bibir merah delima alami dengan ukuran terlihat mungil. Yang tidak ketinggalan adalah pesona dari kulit mulus berwarna kuning langsat, walaupun sebenarnya bisa dikatakan mendekati putih.
"Astaga. Kenapa tanganku mendadak menjadi gatal-gatal begini? Masa aku bisa berkeinginan untuk menyentuh minimal salah satu pipi Ryn supaya dapat merasakan betapa dahsyatnya sensasi kelembutan di sana?"
Mulai diberanikan, tangannya terulur sebelah dengan jemari telunjuk dibuat teracung untuk didaratkan di salah satu pipi berisi milik istrinya. Meski sudah berhati-hati, tampaknya tetap membuat istrinya merasakan tekanan dari ujung jemarinya.
"Uuh."
Awal mula diawali dengan pergerakan kecil, Ryn malah melenguh tanpa peringatan. Alhasil, Ranu langsung terkesiap, bahkan nyaris tejungkal andaikan kedua telapak tangannya tidak otomatis menumpu di atas kasur dan menahan bobot tubuhnya. Pada akhirnya, Ryn benar-benar terbangun dari pingsannya, menatap langit-langit kamar setelah mengedipkan mata secara perlahan sebanyak dua kali dan bergumam, "Siapa aku? Di mana aku?"
Melihat kelakuan Ryn, Ranu berucap sinis, "Kenapa lama sekali, sih? Aku sampai berpikir bahwa kau sudah tiada."
Mulut Ryn terbuka. Akalnya memproses sebuah kronologis. Dia bergegas bangkit dari posisi tidurannya. "Astaga. Aku hampir kelupaan," desahnya sambil lalu.
"Jadi, bagaimana?"
Badan Ryn setengah condong ke depan dengan kedua telapak tangan menumpu di atas kasur, sedangkan kedua matanya digunakan untuk menatap teman bicaranya.
"Apakah kita benar-benar pasangan suami dan istri?"
Yang ditatap Ryn dengan begitu fokusnya tahu-tahu sudah gugup sendiri.
"Mungkin."
Ranu bicara apa, sih? Padahal semuanya sudah terpampang dengan jelas. Dia sudah melihat sendiri, bagaimana ekspresi bahagia mereka bisa tertanam dengan sangat kokoh di dalam foto pernikahan mereka, bahkan senyuman lebar mereka dipastikan bukanlah rekayasa belaka.
"A- aku ...."
Pandangan Ryn kepada Ranu terputus. Dia sedang menundukkan wajahnya sedikit, kebingungan untuk menanggapi. Adanya kekacauan di dalam batin malah identik sebagai konflik terkini. Yang menyebalkan, Ranu bisa sampai hati untuk berucap dengan garang, "Apa? Mau pingsan lagi?"
"Iiih!"
Ryn langsung mengambil sebuah bantal, hendak dipukul-pukulkan ke muka suaminya, kalau masih sempat. Akan tetapi, tampang malas suaminya entah mengapa bisa membuat maksud jahatnya menjadi tertunda seketika.
Kenapa Ranu tidak berminat untuk meladeni?
Apakah Ryn tidak kelihatan serius?
Mustahil. Bahkan, Ryn sudah menggunakan kedua tangannya sekaligus. Masa masih kurang, sih? Pada waktu SMA dulu, bukankah Ranu tidak pernah bersedia untuk mengalah? Lalu, kenapa sekarang laki-laki itu malah tampak ikhlas misalkan benar-benar diserang olehnya?
Agenda Ryn untuk melakukan tindak kekerasan mendadak sirna. Antara masa SMA dulu dan masa sekarang, ternyata terdapat sedikit perbedaan. Mungkin, Ranu memang sudah lebih pintar dalam memelihara kesabaran. Meski Ryn tidak terlalu yakin, sih. Yang masih mantap untuk diyakininya cuma fakta bahwa ketampanan dari musuhnya bisa dibilang semakin meningkat.
"Bersiap-siaplah. Aku mau mengajakmu ke kantor," ucap Ranu dengan tatapan dibuang entah ke mana, asalkan tidak tergoda untuk menargetkan sorot matanya ke area dada istrinya lagi.
"Untuk?"
Ketika Ryn bertanya dengan begitu lugunya, Ranu menoleh dan menatap teman bicaranya sepintas sebelum membalas, "Apakah kau tidak berniat untuk mencari tahu?"
Baiklah. Di sini, Ranu harus menyatakan bahwa memori tentang pernikahan tidak masuk akalnya dengan Ryn memang belum dapat ditemukan. Akan tetapi, Ranu masih belum linglung mengenai identitasnya sebagai seorang laki-laki berusia 26 tahun dan merupakan direktur utama dari sebuah perusahaan swasta di bidang keuangan bernama PT. Bank Persona, Tbk. Dia terpaksa menggantikan posisi mendiang ayahnya. Pada usia 52 tahun, Pak Brata Wibisana meninggal dunia akibat terkena serangan jantung.
Meski gerah dengan pemandangan sedap khas dari tubuh wanita, Ranu tetap tidak keberatan untuk memandang sekilas ke arah Ryn. "Aku memiliki seorang asisten. Dia selalu mengetahui sebagian besar dari aktivitasku sehari-hari. Jadi, bertanya kepadanya adalah satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan kita, setidaknya untuk sekarang," ujarnya dengan sebelah tangan terangkat untuk meraih tengkuk lehernya.
Percayalah. Ranu tidak ingin tertangkap basah kalau sedang mencuri-curi pandang ke arah daerah terlarang dari badan istrinya untuk kesekian kalinya!
"Angkuh."
Mata Ryn memicing tinggi ketika memamerkan lirikan. Aura siriknya melalang buana. "Iya. Iya. Aku tahu, kok. Kau adalah orang sukses!"
Ah, tidak. Ada kesalahan di sini. Dia segera mengoreksi suara hati sebelumnya dengan mulus. "Ralat. Yang benar adalah keturunan dari orang sukses."
Perlu diperhatikan dengan benar bahwa Ryn tidak sedang memuji. Dia tidak dapat berlagak tidak tahu tentang bagaimana laki-laki itu bisa menduduki jabatan sebagai direktur utama dari PT. Bank Persona, Tbk mengingat manusia-manusia dari kelompok atas memang sering muncul di mana-mana, seperti televisi, surat kabar, radio, media sosial, dan masih banyak lagi. Yang bisa dijadikan kesimpulan, tingkat popularitas mereka sungguh tidak main-main.
Ryn tidak sengaja mendecih. Perhatian Ranu langsung berpindah kepadanya. Alhasil, Ryn harus tertikam tatapan tajam dari suaminya. "Baiklah. Aku mengerti," ucap Ryn untuk mencari aman.
Pada momen Ryn mengerucutkan bibir karena merasa kesal dengan keadaan tidak rasional di antara mereka, Ranu memilih untuk memandangi wajah istrinya selama berdetik-detik. Mendapati waktu semakin terbuang percuma mengingat Ryn masih belum beranjak, Ranu baru terketuk untuk mengingatkan dengan suara bernada kurang ramah, "Cepatlah."
"Iya. Iya," jawab Ryn dengan ketus, bahkan wajah ayunya langsung ditekuk.
Jika sudah berhubungan dengan Ranu, Ryn mana bisa bersikap manis. Yang nyata, suasana hatinya malah selalu dibuat anjlok hingga seperti awan mendung dengan disertai guntur.
Melihat Ryn turun dari kasur dan berjalan ke kamar mandi, Ranu ikutan beringsut. Agar cepat, Ranu membuat keputusan cerdas dengan menggunakan kamar mandi di ruangan lain. Akan tetapi, selama menuju ke sana entah bagaimana sebuah titik pusat di dalam kepalanya tahu-tahu sudah memunculkan tanya sehingga batinnya dibiarkan untuk meronta-ronta. "Aku masih bingung. Kenapa aku dan Ryn bisa menikah? Mungkinkah kami berdua sama-sama pernah amnesia sehingga sesuatu menjadi terlewat karenanya?"
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
