
Menanti hilal jodoh adalah hal utama bagi setiap insan yang ingin melangkah menuju gerbang pernikahan. Tak terkecuali bagi Syabira Arunika, gadis yang telah berusia 28 tahun. Usia yang terbilang matang bagi seorang gadis untuk akhiri masa lajang.
***
Syabira menerima perjodohan dengan Arman, laki-laki pilihan kakaknya. Pernikahan sudah di depan mata, tinggal menghitung mundur. Tetapi manusia hanya bisa berencana, Tuhan tetap menjadi penentu utama. Kurang satu bulan...
Bab 1
Syabira mematut diri di cermin. Diamati permukaan wajah yang memantul pada bayangan kaca. Tidak ada yang kurang dari penampilannya. Hidungnya kecil dan ramping, orang-orang menyebutnya si hidung bawang. Alisnya tebal membentuk lengkung yang sempurna, alis bukan sabit. Jika tersenyum, muncul cacat indah yang menghiasi kedua tebing pipi Syabira. Lesung pipit orang menyebut, semakin menambah kesan manis saat tersenyum.
Syabira menerka-nerka, apa kiranya yang kurang pada dirinya? Kenapa sampai detik ini takdir cinta belum berpihak padanya. Seketika juga gadis manis itu menggeleng keras.
Tidak boleh mencari-cari kekurangan. Berandai-andai begini dan begitu. Semua yang terjadi sudah atas kehendak Rabb-nya.
Qodarullah wa masya'afaala ...
Usia Syabira sudah menginjak dua puluh delapan tahun. Ibu dan ayah mengatakan kalau Syabira sudah pantas untuk memikirkan tentang pernikahan. Meski mengatakan begitu, tapi ibu dan ayah tidak pernah menuntut putri mereka untuk tergesa membawa calon suami. Mereka seolah memahami teori bahwa, jodoh, rezeki dan maut sudah digariskan tersendiri sejak masih di Lauhul Mahfudz. Apalagi putrinya yang selama ini masih fokus menekuri karier. Justeru yang tidak santai adalah orang-orang terdekat Syabira.
"Mau nyari yang kayak gimana lagi sih, Sya? Umur udah makin nambah tua, udahlah ga usah pemilih, yang pasti-pasti aja!" Kalimat Bang Antok--kakak tertua masih terngiang di telinga. Syabira tidak setuju dengan kata-kata Bang Antok, nyatanya dia tidak pernah pilih-pilih atau menginginkan kriteria tertentu. Bagi Syabira yang penting laki-laki tersebut mempunyai tanggung jawab yang besar, tidak pernah meninggalkan salat, itu sudah cukup. Tentang pekerjaan, tidak masalah walau hanya pegawai biasa, yang penting mau berusaha. Syabira sadar jika Bang Antok mengatakan demikian karena rasa pedulinya, bukan hal lain. Syabira sangat memaklumi, tapi Bang Antok terkesan 'memaksa' padahal Syabira baru mengalami kejadian tak mengenakkan.
"Sya, kalau Mbak kenalkan sama temannya Mas Erwin gimana? Orangnya ganteng lho, emang sih umurnya jauh di atas kamu, tapi masih keliatan muda." Mbak Dewi--kakak kedua tidak mau kalah. Ikut repot ingin mengenalkan Syabira dengan teman Bang Erwin-suaminya.
Syabira hanya menanggapi dengan senyum tipis. "Ayolah Sya, move on. Mau sampai kapan kamu terpuruk? Arman juga mungkin udah bahagia sama pilihannya sekarang. Kamu jangan mau kalah dong!" Ucapan Mbak Dewi masih bersambung rupanya. Kalau sudah begitu, Syabira memilih mengunci rapat mulutnya daripada terjadi perdebatan tak bertepi.
Padahal ....
Bukan sekadar tampan yang Syabira mau, bukan pula harta yang dijadikan alasan. Syabira hanya ingin lelaki yang kelak menjabat tangan ayah, serta mengucap ijab qobul atasnya adalah lelaki shalih, yang bertanggung jawab dan paham tentang agama-Nya. Syabira pernah belajar hukum fiqih wanita, meski tidak sampai tuntas. Dia paham bahwa wajib bagi seorang muslimah ketika hendak menikah mencari suami yang shalih, yang berpegang teguh dengan agamanya.
"Sudah-sudah, biarkan adikmu tenang, jangan diburu-buru, nanti kalau sudah ketemu jodohnya, toh ya bakal nikah juga." Ibu memang paling memahami Syabira. Selalu menjadi penengah saat gadis itu mulai terpojok oleh kalimat tendensi kedua kakaknya.
Adalah Arman. Laki-laki yang dikenalkan Bang Fadli --kakak ketiga Syabira enam bulan lalu. Arman laki-laki yang lumayan, meski cenderung pendiam, karena untuk berbincang harus Syabira duluan yang memancing.
Tiga bulan menjalani proses ta'aruf, Syabira yakin menerima niat baik lelaki itu, saat Arman mengutarakan keinginannyanya melamar secara resmi. Bulan Rajab, dipilih sebagai acara penting kedatangan keluarga Arman mengkhitbah Syabira. Kedua keluarga sepakat akad nikah akan dilaksanakan bakda ramadhan, tanggal 1 Syawal. Jadi di hari Fitri, status Syabira akan berganti menjadi seorang istri.
Bayangan indah tentang pernikahan terus melintas di otak Syabira. Berbagai persiapan mulai dicicil. Sampai satu hari, Arman mengabari lewat pesan singkat, bahwa lelaki itu belum siap melanjutkan hubungan ke jenjang serius bersama Syabira. Hingga kenyataan lain, yang mencengangkan Syabira saat mendapati Arman tengah memadu kasih dengan perempuan lain. Andai lelaki itu mengatakan jujur sejak awal, kenapa harus ada dusta, bilang belum siap, padahal ada yang lain.
Kecewa?
Apa Syabira berhak untuk itu? Sedang dia tahu, apa yang menurut manusia baik, belum tentu menurut Allah juga baik. Pun sebaliknya. Bisa jadi kamu menyukai satu perkara padahal menurut Allah itu tidak baik, dan perkara yang tidak kamu sukai, itulah yang terbaik dari-Nya.
***
"Sya, ada meeting siang ini sama perwakilan dari kantor pusat, sekaligus perkenalan kepala cabang baru di kantor kita." Syabira mengangguk, kalimat Mbak Daniar--rekan kerjanya mengingatkan soal jadwal siang ini, sontak membuyarkan lamunan KENANGAN lalu tentang rencana pernikahannya yang gagal. Ingatan itu tiba-tiba merangsek ke dalam batok kepala Syabira.
Syabira bekerja di sebuah perusahaan kontraktor, sebagai akuntan umum . Syabira Arunika mendapatkan posisi yang bagus di perusahaan tersebut. Tugasnya sebagai akuntan sehari-hari adalah membuat perincian serta anggaran perusahaan, mencatat cash flow serta menyusun laporan manajemen keuangan perusahaan.
"Okay Mbak, makasih udah diingatkan. Nanti meetingnya sama Mbak juga, kan?" Tanya Syabira pada seniornya tersebut.
"Nggak Sya, nanti kamu sama Pak Dito aja, mewakili divisi kita," jawab Daniar. Syabira menghela napas. Dia selalu kurang suka berada di kondisi saat berdua saja dengan manajernya. Pak Dito itu orangnya genit. Suka menggoda, kalimatnya juga terkesan eksplisit dan berani saat berbicara. Syabira lebih baik menghindar sebisa mungkin.
"Pak Dito keknya naksir sama kamu, Sya." Cerocos Daniar menggoda.
"Mbak, jangan nyebarin gosip yang aneh-aneh deh." Sarkas Syabira. Daniar tertawa puas melihat wajah kesal Syabira.
"Lagian kenapa sih, Sya? Kamu single, Pak Dito juga, ya meski duda sih, tapi kan, ga masalah."
Syabira hela napas panjang. Daniar adalah orang kesekian yang berusaha mendekatkannya dengan laki-laki. Bukan pemilih, bukan juga terlalu menutup diri. Syabira merasa tidak perlu direcoki dengan banyak tuntutan, karena dia haqul yakin, bahwa Allah pasti telah menyiapkan jodoh terbaik untuknya. Kalau bukan hari ini, mungkin besok, mungkin besoknya lagi, atau mungkin lusa. Rahasia jodoh, tidak ada yang tahu, kecuali Rabb-nya. Seperti Alif Lam Mim, hanya Allah yang tahu artinya.
"Udah ya, Mbak. Sya, mau siap-siap dulu, bentar lagi harus meeting, kan." Syabira mengalihkan pembicaraan.
Daniar mengangguk, perempuan itu kembali fokus pada layar komputer di kubikelnya.
Syabira melangkah tergesa menuju ruang meeting di lantai tiga. Wajahnya pias saat sadar bahwa dia telat mendatangi ruang rapat. Apalagi desas-desus karyawan lain yang mengatakan kalau kepala cabang yang baru kali ini orangnya sangat otoriter sekali.
Syabira mengambil napas banyak-banyak guna meruangi paru-parunya. Gugup mendera saat tiba di depan pintu ruang meeting.
Mengetuk pintu dua kali, sejurus Syabira membuka handel pintu. Semua mata sontak menatap ke arahnya. Syabira pucat pasi, serasa dikuliti oleh pandangan semua orang di ruang rapat tersebut. Mencoba biasa saja, langkah Syabira mendominasi ruang meeting saat heelsnya beradu dengan lantai, ciptakan bunyi ketukan lumayan nyaring.
Dari semua yang ada di sana, mata cokelat Syabira tertuju pada laki-laki yang sedang berdiri, menunda sejenak presentasinya. Manik legam lelaki itu menatap tajam tepat ke dalam bola mata Syabira.
"Siapa, Anda?" Suaranya terdengar berat dan mengintimidasi rungu Syabira. Syabira baru akan menggerakkan bibir menjawab pertanyaan laki-laki ber-jas navy tersebut, tapi lelaki itu mengangkat tangan ke udara, isyaratkan Syabira untuk diam, "Berdiri dan diam di sana sampai rapat selesei!" Titahnya. Syabira mengangah. Apa-apaan ini? Memangnya Syabira anak sekolahan yang telat masuk kelas, sampai harus berdiri di pojok ruangan.
"Dengar ya semuanya, ini sebagai contoh dan peringatan. Besok-besok saya tidak mau lagi ada terlambat masuk kantor, atau saat mengikuti rapat! Konsekuensinya tidak main-main bagi yang melanggar."
Mata Syabira berkilat tajam mendengar rentetan sarkasme bos baru di kantornya. Tampan sih, tapi mulutnya sangat pedas, mengalahkan bon cabe level tertinggi.
🌻🌻🌻
Bab 2
Syabira memaku di tempat. Rapat memang telah usai sepuluh menit lalu, semua orang sudah enyah dari ruangan tempatnya berdiri. Tetapi suara bariton dengan nada dingin itu menahan Syabira saat dia akan beranjak pergi. Laki-laki yang baru menginjakkan kaki di kantor itu berdiri tepat di sisi Syabira. Tatapan matanya bertumbuk dengan manik Syabira. Salah tingkah. Syabira mengalihkan matanya ke arah lain. Dia menilai bos baru itu sangat tidak sopan. Untuk apa terlalu membesar-besarkan masalah kecil. Syabira hanya telat beberapa menit, itupun gara-gara perutnya mulas, usai menyantap ayam geprek level 20 saat istirahat makan siang tadi, hingga membuatnya beberapa kali ke kamar kecil.
"Sudah telat, tidak minta maaf, lalu sekarang mau pergi tanpa efek jera? Kamu pikir ini perusahaan nenek moyangmu?!" Sebuah majas ironi bak tamparan tepat di pipi Syabira. Manik legam itu seolah mata pisau yang mengintimidasi tatapan Syabira.
"Syabira Arunika, kita lihat, kira-kira sanksi apa yang cocok buat kamu!"
Syabira tertawa miring, "Pecat saja sekalian, Pak! Kalau punya dendam pribadi, jangan bawa-bawa kerjaan. Profesional dong, Pak!" Sarkasnya terlalu berani, mungkin. Syabira sudah menahan sejak tadi. Saat kakinya mengayun memasuki ruangan, pandangannya terus terarah pada sosok yang berdiri di ujung meja sedang presentasi.
Syabira rekam intonasi suara itu, telah banyak berubah sejak terakhir dia dengar beberapa tahun silam. Rambutnya yang dulu agak urakan, sekarang tampil rapi, wajahnya bersih meski ada sedikit bulu halus memagari rahang tegasnya. Tubuhnya? Tumbuh dengan sangat baik, tinggi dan tegap.
Lelaki itu tertawa sumbang dengan tatapan sinis, "Ingat juga ternyata kamu," ucapnya tepat di samping Syabira.
Bagaimana Syabira tidak akan ingat, jika gara-gara ulah adik kelas menyebalkan, yang selalu mengganggunya, membuat Syabira banyak mendapat ejekan dan risakan. Sampai-sampai gadis itu memutuskan HIJRAH dari sekolah lama ke sekolah baru. Ah, ralat! Bukan hanya sekadar pindah sekolah, tetapi HIJRAH ke lain kota.
"Maaf, Pak. Kalau sudah tidak ada yang dibicarakan, saya izin pergi dari sini."
Lelaki itu menggeleng keras atas ucapan Syabira.
"Kamu belum minta maaf, ya!"
Mata Syabira membeliak. Rupanya laki-laki itu masih sama menyebalkan seperti dulu. Bedanya sekarang bertambah levelnya. Kalau dulu level coro, sekarang level kakap, mungkin.
Syabira hela napas pelan. Sudut bibirnya ditarik paksa membuka kalimat, "Maaf, Pak Raga, saya telat menghadiri rapat hari ini, tapi saya punya alasa---"
"Tidak terima alasan apapun!" Memotong ucapan Syabira menjadi hobi baru Pak Raga rupanya. Syabira dibuat kesal bukan main. Rapalan istighfar terus menggema dalam hatinya. Untung atasan, untung aja boss, untung aja ganteng. Eh. Syabira menggeleng keras untuk kalimat batinnya yang terakhir.
"Keluar sana kamu! Ingat ya, ini pertama dan terakhir kamu membuang waktu seenaknya. Kerja yang benar, jangan makan gaji buta!" Syabira hanya menanggapi kalimat super-pedas itu dengan senyum tipis yang terpaksa serta menjawab singkat dengan, iya, Pak.
Syabira melangkah usai mendengar ultimatum Pak Raga. Di depan pintu, dia urung menarik handel, Syabira berbalik arah, tepat di depan meja presentasi tempat bos barunya duduk memberesi komputernya, "Dan, saya lupa satu hal. Anda belum pernah meminta maaf atas kesalahan di masa lalu," sinis Syabira. Senyum sini juga kembali Raga tebarkan.
"Jangan mencampur adukkan masalah pribadi, ini kantor." Syabira dibuat hangus dada, itu kalimatnya yang tadi diucapkan untuk Raga, sekarang berbalik padanya.
"Cari kata-kata sendiri, jangan hobi plagiat kalimat saya, Pak!"
Tawa dingin itu menguar, "Jangankan kalimat tidak bermutu-mu ini, zaman sekarang bahkan buku dan film banyak bajakannya. Jangan merasa paling sok!"
Rasa dongkol meliputi perasaan Syabira saat melangkah keluar ruang rapat. Bagaimana bisa lelaki itu terlihat biasa saja --- ah, salah! Bukan biasa saja, tapi tidak tahu diri. Sudah berbuat salah di masa lalu, tidak mau minta maaf, sekarang malah menyalahgunakan wewenangnya dengan semena-mena. Syabira rasa harus memberi sedikit pelajaran, nanti.
"Jadi orang jangan pendendam, ga baik! Bisa sial terus, kamu!" Syabira mengutuk. Lagi dan lagi lemparan kalimat itu berbalik padanya sendiri. Sebenarnya yang korban di sini siapa? Kenapa Pak Raga-Raga itu jadi playing victim.
Sumpah serapah sudah menggantung di ujung lidah Syabira, tetapi dia masih tahu etika.
Syabira menatap jengah ke asal suara itu. Ketukan heelsnya terdengar nyaring memecah koridor. Sepanjang langkah batin Syabira terus mengumpat. Bisa-bisanya bertemu lagi dengan sosok Raga. Apa tidak ada sebersit penyesalan di hati lelaki itu meski sedikit saja, gara-gara sikap tengilnya dulu, Syabira harus menanggung malu karena menjadi bahan olokan satu kelas.
Kak, jadi pacarku ya.
Eh, kakak cantik, mau ya jadi separuh tulang rusukku.
Kak Sya, pacaran yok!
Syabira reflek menyumpal telinga dengan kedua tangan saat bisikan suara masa lalu kembali merasuk ke dalam otaknya. Andai sikap Raga di masa lalu tidak keterlaluan, sungguh Syabira tidak akan menyimpan bencinya. Kepala Syabira mendadak terasa berat memikirkan bahwa untuk waktu lama dia akan berada satu kantor dengan Raga.
Apa itu artinya benar yang dikatakan Raga, bahwa Syabira masih menyimpan dendam? Padahal menurut ilmu psikologi, saat kita tidak memaafkan dan menyimpan luka, sebenarnya kita sedang menyakiti diri sendiri.
🌻🌻🌻
Bab 3
Syabira melangkah dengan perasaan dipenuhi dongkol menjalar sampai ulu hati. Semua karena ulah Pak Raga. Kalau suasananya tidak enak seperti sekarang, lalu bagaimana nanti dia bisa bekerja dengan tenang tanpa interupsi aneh-aneh dari sosok Pak Kepala Cabang Kantor yang baru itu. Sepanjang ketukan sepatu melewati koridor Syabira mulai berpikir, bagaimana kalau dia mengambil keputusan untuk resign saja.
Syabira nyaris dibuat bingung. Mencari pekerjaan baru yang cocok dan sesuai skillnya itu gampang-gampang susah. Apalagi teringat PERJUANGAN memasuki perusahaan kontraktor yang bonafit seperti kantornya saat ini. Syabira masih ingat dulu dia bersaing dengan ratusan pelamar untuk menduduki posisinya sekarang.
"Sya, gimana meetingnya?" Mbak Daniar menyambut Syabira tepat di depan kubikel. Syabira hanya tersenyum sekilas. "Kok Lo baru balik sih? Yang lain udah dari tadi keknya. Eh, gimana Bos Baru? Ganteng ya?" Syabira mendengkus sebal mendengar pertanyaan Mbak Daniar. Sudah punya suami masih saja genit nanya-nanya. Nah, loh. Rasa sebal Syabira jadi merambah ke Mbak Daniar, gara-gara Raga. Memang ya, orang kalau sudah unmood, bawaannya pengin marah aja sama semuanya.
"Jelek, Mbak. Yang bilang ganteng, fitnah, valid no debat!" Cetus Syabira singkat. Ragantara Sadewa memang jelek di mata Syabira, sifatnya.
"Hmm, masa sih? Kok kata yang lain pada heboh katanya Pak Bos yang baru gantengnya kayak Prince Mateen," ujar Mbak Daniar, menjabarkan penyamaannya tentang Pak Raga dengan pangeran dari negeri tetangga, Brunei Darussalam.
Syabira mengibaskan tangan ke udara, "Lebay semua. Jangan percaya, Mbak," ucap Syabira.
Syabira sedang fokus pada layar komputer saat ada OB datang menghampiri kubikelnya, "Mbak Sya, ada paket nih." OB bernama Sugeng itu menyerahkan bungkusan kecil berpita pada Syabira. Mata Syabira membulat. Seingatnya dia tidak sedang membeli barang di marketplace, kenapa mendapat kiriman paket.
"Mas Sugeng ga salah orang nih? Saya lagi ga belanja online lho, kok bisa dapat kiriman."
"Nggak Mbak, bener kok, buat Mbak Sya, ada namanya ini, tuh, ada nomer kubikel sama nama divisinya pula," sahut OB. Benar juga, Syabira memeriksa sekali lagi, sangat detail sekali. Nama lengkap, nomer kubikel, ruangan divisi akutansi. Syabira mendadak jadi parno, merasa horor sendiri kalau sampai beneran paket di tangannya ini bertujuan untuk meneror-nya. Hah! Lebay, Sya!
"Coba buka, Sya," cetus Mbak Daniar dengan raut penasaran.
Syabira menuruti kata Daniar, gegas membuka isi paket. Sebuah kotak persegi panjang nampak saat seluruh bungkus ditanggalkan. Syabira merapal bismillah sebelum membuka kotak tersebut. Matanya sontak menangkap dua batang cokelat almond merk SilverKing favoritnya, ditambah dua bar bubble gum.
Mbak Daniar berkomentar, "Widih, diem-diem Sya punya penggemar rahasia ternyata," ucapnya dengan kerlingan mata jail. Syabira menggeleng. Dia sendiri bingung kenapa ada yang mengirim dua benda favoritnya.
Belum tandas rasa penasaran, Syabira menemukan hal lain. Secarik kertas yang terlipat. Syabira cepat membuka lipatan, ingin membaca pesan di dalamnya.
Banyak menyimpan marah ga bagus buat kesehatan. Makan cokelat ini, biar sedikit rileks
Singkat dan jelas, tanpa nama pena-nya. Syabira menerka dalam hati, siapa yang kira-kira mengirimkan semua batang itu ke mejanya? Sampai sedetail itu bisa tahu kalau sedang marah Syabira suka sekali mengunyah bubble gum atau makan cokelat.
Raga?
Ah, tidak! Syabira tidak mungkin memasukkan lelaki itu ke dalam daftar praduganya. Lihat saja tadi, tatapannya seperti harimau kelaparan yang siap menerkam mangsa. Mana mungkin dia bersikap manis begini.
"Rezeki, Sya. Ga usah banyak mikir, kalau Lo ga mau, buat gue aja sini." Mbak Daniar mengambil cokelat.
"Ih, satu aja Mbak, jangan semuanya. Sya juga mau kali." Syabira menyambar lagi satu cokelat dari tangan Daniar.
***
Pulang kerja sore ini.
Turun dari ojek online mata Syabira dihadang pemandangan tak biasa. Dari balik pagar besi saat dia membuka slot kunci, pintu ruang tamu terbuka lebar. Syabira melangkah, sampai di depan pintu mengucap salam, sontak matanya bertemu dengan manik sayu kepunyaan seseorang. Syabira menatap malas, ogah sekali harus menemui laki-laki itu. Untuk apa Mas Arman datang kembali ke rumahnya setelah apa yang dia torehkan pada keluarga besarnya benar-benar membuat kecewa banyak orang. Hebatnya lagi, ibu dan ayah masih menerimanya.
Halah! Memang salahmu sendiri, Sya! Kenapa nggak bilang yang sebenarnya tentang si Arman itu? Batin Syabira.
"Sya, sudah pulang, Nak?" Ibu menyambut. Syabira menyalami lalu memaku langkah berhenti di seberang Arman. Lelaki itu menyapa Syabira singkat.
"Ibu tinggal ke belakang sebentar ya, bikinin minum." Syabira mengangguk saat ibu pamit. Masih memaku berdiri di tempatnya, fokus Syabira beralih pada Arman.
"Ada perlu apa, Mas Arman ke sini? Aku rasa ga ada lagi pembicaraan penting antara kita," tembak Syabira.
"Tenang Sya, kedatangan aku ke sini cuma mau mengambil hak-ku."
Mata Syabira membeliak mendengar penuturan Arman, "Apa maksudnya, Mas?" Syabira tak habis pikir, apa yang dimaksud Arman dengan hak-nya itu.
Arman mengetuk-ngetuk pinggiran sofa, sejurus mulai berbicara serius. "Syabira, bukan bermaksud apa-apa, tapi karena kita nggak jadi nikah, aku berpikir gimana kalau kamu kembalikan apa-apa yang bukan hak kamu." Kerongkongan Syabira seperti disumpal sesuatu mendengar penuturan Arman. What the ....
"Bicara yang jelas, Mas! Jangan muter-muter."
"Oke, sorry. Cincin tunangan, uang DP gedung, katering dan beberapa vendor, bisa nggak kamu kembalikan? Rencananya biaya itu akan aku pakai buat nikah di luar negeri, nanti."
Syabira mengangah. Tidak tahu harus mengumpat atau merapal istighfar. Karena tidak memakai jasa wedding organizer, kemarin Syabira memang mengurusi semuanya sendiri, saat semua batal secara tiba-tiba, uang DP otomatis hangus. Apa Arman sebodoh itu sampai tidak paham juga. Minimal punya rasa malu dan etika, sudah membatalkan secara sepihak, sekarang menuntut uang DP dikembalikan. Dan, soal cincin, karena rasa marahnya saat itu, Syabira reflek melempar cincinnya, entah jatuh di mana dia tidak tahu. Hilang pun tidak peduli.
Ketukan langkah menyambangi terdengar menghampiri ruang tamu. Dengan kedua tangan dikantongi pada saku celana, dia berdiri tepat di belakang Syabira.
"Dua ratus juta, apa cukup mengganti semua yang Anda sebutkan tadi?" Tanyanya dengan mata menatap Arman.
Syabira lebih membeliak lagi saat mendengar suara yang tidak asing. Menoleh ke belekang, sejak kapan kembarannya beruang kutub ada di rumahnya. Kenapa bisa tahu alamat rumahnya.
"Kamu?!" Mata Syabira berkilat tajam menatap Pak Raga -- yang saat ini berdiri persis di sebelahnya. "Dasar penguntit! Kamu ngikutin aku?!" Syabira tambah meradang. Pertama karena ulah Arman, kedua karena Raga. Keduanya sangat tampar-able saat ini menurut Syabira.
"Apa maksudnya nawar-nawarin uang segala? Pergi sana! Di kantor kamu memang atasan, di sini, kamu ga lebih dari seorang pengganggu ketenangan," sarkas Syabira dengan nada meletup-letup. Sudah cukup menahan dongkol sejak di kantor tadi.
Arman ikut berdiri, "Saya tidak tahu Anda ini siapa, tapi terima kasih kalau mau membantu mengembalikan semua kerugian saya," ucapnya tak berperasaan.
Raga tidak memedulikan kalimat Syabira, dia merogoh kantung celana, isyaratkan Arman agar mengetikkan nomer rekeningnya di ponsel pintarnya, "Saya harap Anda tidak menganggunya lagi!" Peringat Raga pad Arman dengan mata melirik Syabira.
Arman pergi dengan senyum mengembang di bibir. Syabira untuk beberapa saat masih syok sampai lidahnya dibebat rasa kelu. Drama apa itu yang barusan tersuguh di depan mata. Syabira memegang kepalanya yang terasa berat. Sepertinya dia ingin pingsan saat ini juga.
Dari arah dapur, ibu muncul dengan nampan di tangan. "Lho, Arman-nya mana, Sya?" Mata ibu mengedar ke segala sudut ruang tamu. Mencari keberadaan mantan calon mantu.
Syabira baru bisa membuka suara mendengar kalimat tanya ibu. Ada rasa geram di dada, kenapa masih baik saja pada lelaki itu, padahal sudah dibuat malu sekeluarga. Orang seperti Arman tidak perlu diperhatikan, apalagi sampai dibuatkan minum. Apa ibu tidak tahu kalau kedatangan Arman hanya menambah beban hidup Syabira saja.
"Lho, ini siapa, Sya? Kok nggak dikenalkan sama ibu?" Fokus ibu beralih pada Raga. Lelaki itu tersenyum sopan dan langsung menyalami ibu.
Syabira masih terduduk di lantai. Tangannya menutup permukaan wajah dengan suara menggumam tak jelas, "Syabira mau pingsan saja, Bu," ucapnya samar-samar. Sejak di kantor sudah melalui PERJUANGAN keras agar bisa terhindar dari Raga - yang menurutnya mempunyai sifat kejam, nyatanya lelaki itu masih tidak berubah juga. Hobi membuntuti Syabira sejak jaman putih abu-abu dulu. Ditambah dia sekarang berhutang banyak pada lelaki itu. Syabira meremas ubun-ubun yang ditutupi pasmina. Sekarang kepalanya benar-benar terasa sakit.
🌻🌻🌻
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
