[BL] Chapter 2, Setelah Pertemuan

3
1
Deskripsi

Pagi ini menjadi hari kedelapan sejak pertemuannya dengan kakek tukang sepatu. Mungkin segala hal terlihat berjalan seperti biasanya. Tetapi, tidak ada yang tahu betapa terusiknya Revin akhir-akhir ini. Pertemuannya dengan kakek membuat Revin selalu menunggu sosoknya di setiap sore dengan harapan dapat menanyakan sesuatu, meskipun dia sendiri tau pertanyaannya cukup tidak masuk akal. 

                “Namanya adalah Finx.”...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Webnovel
Selanjutnya [BL] Chapter 3, Tatapan
4
2
“Tunggu sebentar! Hasil MRI-mu akan keluar 3 hari lagi dan kau malah bilang tidak bisa datang?!” Hans meninggikan suaranya.                Mata Revin menyapu lantai ruangan, mencari alasan agar tidak menatap wajah lawan bicaranya, “kalau aku lolos seleksi. Aku harus ikut program selama 1 minggu penuh” katanya. Revin mendongkak karena jawabannya membawa keheningan, mendapati Hans yang sedang menatapnya dengan tatapan marah. Masih belum bisa terbiasa, maka Revin segera membuang mukanya.                 Malam itu, Hans tidak jadi membawanya ke unit gawat darurat. Dia juga berusaha keras mengontrol dirinya melalui arahan Hans. Walaupun kepalanya masih sakit di malam itu, tetapi rasa sakit masih bisa ditoleransi daripada sebelumnya. Keesokan harinya, Revin mendatangi Hans dan mereka bersama-sama pergi ke rumah sakit. Meski hasil tes tidak sepenuhnya keluar, dokter sudah menduga Revin memang kena amnesia retrograde, dimana pemuda itu kehilangan kemampuan untuk mengingat kejadian-kejadian sebelum terjadinya insiden. Hanya saja, dalam kasus Revin dia dapat dikatakan beruntung. Alasannya dia masih bisa mengingat masa kecilnya walaupun sudah lama mengalami amnesia pasca trauma tanpa ada melakukan terapi sekali pun. Dokter menyarankannya mengambil tes MRI untuk mengetahui kondisi kepala Revin lebih lanjut, sekaligus berharap hilang ingatannya tidak menggerogoti memori masa kecilnya dan dapat mengantisipasi agar hilang ingatannya tidak permanen. Revin sudah siap mendengar apapun hasilnya nanti, setelah dia memandangi kembali kumpulan foto dengan teman-temannya. Apalagi menyadari keberadaan sosok Jose, teman kuliahnya yang ternyata turut hadir terlihat di dalam foto-foto milik Hans.                 “Baiklah, mendengar ceritamu tentang nenek yang juga turut membantu aku rasa beliau juga ada maksud tertentu. Aku akan mengabarimu saat itu juga setelah aku mendapatkan hasilnya. Omong-omong apa kau masih merasa canggung denganku?”                Revin mengangguk. Meskipun pada akhirnya dia menerima kenyataan sudah kehilangan sedikit ingatannya, dia tidak bisa menghilangkan rasa asing saat berinteraksi dengan Hans. Setelah pemeriksaan di rumah sakit, Revin tidak banyak bicara. Ia baru bicara banyak hari ini untuk menjawab pertanyaan Hans, mengapa dia bisa kehilangan kesadaran di sekitar area prakteknya. Hans mengeluarkan nafasnya, mengangkat kedua alisnya lalu merilekskan bahunya dengan cara bersandar di kursi setelah mendengar cerita Revin. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ditanyakan Revin, namun dia tidak tahu harus memulai pertanyaan dari mana. Sampai sekarang Hans juga tidak menjelaskan sejarah awal mula pertemanan mereka, membuat Revin tidak mendapatkan kesempatan untuk mendiskusikan peristiwa yang telah dilupakannya.                Memposisikan diri sebagai sahabat, Hans akan menceritakan apa yang dilihatnya. Memposisikan sebagai psikatri, tentu saja Hans akan mengunci rapat mulutnya. Disamping dari trauma psikis, Revin juga akan memasuki sebuah program rekutmen. Keputusan paling baik menyesuaikan situasi sekarang ini adalah tidak menceritakan apapun, meskipun Hans sangat ingin bicara banyak dengan Revin membahas masa-masa yang baginya cukup menyenangkan. Ada sedikit kejanggalan yang ia rasakan, dan Hans melihat Revin menjadi sosok yang sangat berbeda. Revin dalam sudut pandang Hans adalah seseorang yang paling baik, ceria, optimis, dan mudah beradaptasi. Jika Hans mengalami kesulitan, orang pertama yang dipanggilnya adalah Revin. Itu karena Revin dikenal sebagai anak yang paling dapat diandalkan dalam perkumpulan mereka. Pada sekolah menengah pertama guru-guru memujinya, dan hampir tidak pernah mendengar Revin memiliki musuh, sebab semua orang kenal baik dengan Revin kecuali 1 orang yang terkenal berbeda sifat 180 derajat dengan pemuda itu. Sekarang Revin banyak diam, sering melamun, kurang ekspresif dan Hans benar-benar terkejut ketika Revin menelponnya. Untuk pertama kalinya, Revin memerlukan bantuannya.                Setelah mengunjungi Hans, Revin membawa dirinya ke terminal. Disaat itu juga tiba-tiba muncul sebuah tekad untuk pergi sebentar ke tempat kelahirannya, luar daerah yang memerlukan jarak kurang lebih 250 kilometer dari kota. Hanya membawa diri, dompet, ponsel dan tanpa ada alasan yang kuat, Revin sudah berada di dalam mobil travel. Dia berangkat pada pukul 3 siang. Revin memilih duduk paling belakang dan sibuk menatap jalanan. Rasa syukur menyelimuti dirinya ketika orang-orang tidak mengajaknya bicara. Saat ini yang dia perlukan adalah waktu sendirian untuk memikirkan semuanya. Paling tidak, dia harus mempersiapkan pertanyaannya. Hilang ingatan mungkin bisa menjadi hal paling buruk untuk orang-orang yang juga mengalaminya. Tetapi, Revin masih belum merasakan apa-apa. Minatnya terhadap Aquilinae juga tidak berubah sedikitpun. Malah dengan fakta baru ini membuatnya semakin yakin ada kemungkinan besar bahwa dia pernah bertemu dengan kakek Johan. Hanya saja dalam perjalanan menuju kampung halamannya, Aquilinae sedikit tersingkir dalam pikiran pemuda itu. Sekarang dia memikirkan apa yang akan berbeda dalam hidupnya jika ingatannya kembali.                 Hidupnya sudah lebih dari cukup. Sampai detik ini, ketika mobil travel berhenti untuk memberi waktu istirahat, dia dapat membeli sekotak rokok kretek hitam dan dapat membeli makanan tanpa mengkhawatirkan kehabisan uang sebelum perjalanan pulang. Hidupnya biasa saja, tidak terasa menyedihkan. Dia dapat melakukan apapun selama masih dalam taraf wajar dan hal itu tidak melebihi dari batas kemampuannya. Memilih hidup sederhana tidak salah. Bahkan tidak ada yang boleh menilai benar atau salah, apalagi memberi garis standar kehidupan ideal orang lain. Sepanjang dia mudah mensyukuri segala hal yang dia punya, hidupnya akan selalu tentram. Hanya melupakan momen 3 tahun tidak akan membuatnya menderita. Pikiran ini membuat Revin sedikit menyesali sudah mengambil tes MRI. Demi tes itu, untuk pertama kalinya dia menggunakan tabungannya.                 Mendekati tujuan, Revin dapat menebak dengan jelas jalur jalanan. Ada sedikit perbedaan yang dia rasakan. Dulu, daerah ini masih sepi dan tidak banyak bangunan besar. Sekarang, daerah ini tidak kalah hebat dengan ibukota provinsi. Banyak tanah lapang yang sudah terisi dengan beberapa perumahan. Daerah ini juga sudah memiliki fasilitas seperti taman dan tempat khusus untuk olahraga. Lebih menyenangkan dibandingkan dengan masa kecil Revin. Tepat pada pukul 10 malam, Revin sudah tiba di tempat tujuan. Dia memilih untuk bermalam di penginapan ketimbang di rumah keluarga pihak ayahnya. Alasannya, dia akhirnya memahami maksud dari tatapan mereka ketika keluarganya berkunjung ke Banjarmasin. Padahal waktu itu dia baik-baik saja, tidak terluka. Tetapi mereka bersimpati padanya. Mengingat hal ini membuat Revin sedikit marah.                Revin berdiri di balkon. Malam menjadi sunyi. Suara terbakar rokoknya terdengar jelas, dan beberapa kali dia mendengar suara hewan yang lewat. Perasaan bersalah masih ada di dalam dirinya tanpa tahu dimana letak kesalahannya. Ia memejamkan matanya. Kenangan masa kecilnya secara otomatis terputar, dan disana paling banyak momen bersama ayahnya. Jika tidak mengambil terapi, apakah kenangan indah ini akan menghilang juga? Meski ayahnya pergi tanpa meninggalkan sepatah kata dan menjadi topik pembicaraan terlarang antara dia dan ibunya, Revin masih menghargai ayahnya. Tentu saja dia tidak ingin melupakan ayahnya sebisa mungkin. Revin menyalakan batang rokok selanjutnya dan menelpon seseorang. Tanpa perlu menunggu lama, teleponnya diangkat. “Sedang apa? Sudah makan?” tanya Revin. Ibunya menjawab pertanyaannya dengan singkat lalu menanyakan apakah saat ini Revin berada di rumah. Sekilas, Revin mendengar suara gesekan roda mancis “ibu sedang merokok juga? Aku lagi diluar. Tebak aku ada dimana”                “Di jalanan?”                “Aku di beranda kamar dan saat ini sedang melihat tugu obor,” ucapan Revin memicu tawa. Ibunya tertawa cukup lama yang membuat Revin tidak perlu bersusah payah memberi petunjuk tambahan. Setelah berhenti tertawa dengan puas, sang ibu menyindir anaknya dengan mengatakan besok hari Revin bisa saja sudah berada di negara lain. Sayangnya, Revin tidak punya keinginan untuk tertawa karena ibunya sama sekali tidak menanyakan alasan kepergiannya yang mendadak. Perbincangan mereka semakin singkat karena Revin selalu bertindak sebagai penanya. Sebelum menutup telepon, mereka bedua sempat terdiam.                “Ada pertanyaan lagi?” keluh ibunya. Ingin sekali Revin menanyakan 3 hal. Apakah kecelakaan dulu sangat parah? Mengapa dia membohonginya, mengatakan dirinya sempat homeschooling saat dia mendaftar sekolah menengah atas? Selama ini apa yang sudah disembunyikan oleh ibunya? Ketiga pertanyaan itu tidak dapat dilontarkan. Revin semakin berspekulasi telah terjadi sesuatu yang cukup serius. Jika membiarkan ingatannya hilang semua, jika dia juga melupakan ayahnya apakah dia dapat hidup dengan tenang? Akankah dia dapat menelpon ibunya dengan biasa seperti sebelumnya tanpa ada rasa curiga? Revin menjadi khawatir dimasa akan mendatang apabila ingatannya kembali, akan ada jarak diantara mereka. Terlalu lama terdiam, ibunya menyadarkannya. “Finx, aku merasa kau sedang ingin bercerita. Ada apa?” Sungguh, naluri seorang ibu memang sangat kuat. Tetap saja, masalah ini tidak akan selesai. Dia harus memutuskannya sendiri. Sekarang, Revin memilih untuk tetap memendamnya dan berjanji akan menceritakannya suatu saat nanti. Maka, percakapan mereka di telepon pun berakhir.                 Ketika kotak rokoknya menyisakan 2 batang, barulah dia masuk ke dalam kamar sambil melihat jam dinding. Sudah pukul 2.30 dini hari. Pemuda itu merebahkan dirinya. Dikarenakan kalah oleh situasi yang sunyi, Revin menyalakan televisi. Ia menonton film yang sudah pernah di tontonnya saat kecil. Prince Caspian dari bagian film The Chronicles of Narnia. Meskipun pernah menontonnya, Revin masih tidak dapat memahami film ini secara menyeluruh, apalagi sekarang dia menonton mendekati bagian ending dimana para keempat Pevensie bersiap untuk kembali ke dunia nyata mereka. Mungkin, dengan bertambahnya umur, Revin menjadi pribadi yang menikmati film hanya sekedar mencari hiburan, untuk membunuh waktu luangnya. Dia tidak terlalu memikirkan alur, amanat, kemampuan aktor, arah kamera dan bahkan tidak terlalu peduli dengan hal yang mendetail. Tidak heran, saat ini dia merasa tidak seperti biasanya. Awalnya dia hanya ingin menonton untuk mencari cara agar dapat terlelap, tetapi sekarang dia terjaga dan sangat fokus. Apalagi saat scene anak bungsu berbalik untuk menatap Aslan. Sang singa yang agung itu juga menatapnya. Meskipun tidak bicara, Revin mendapat pesan dari tatapan itu yang mewakili harapan dapat menenangkan Lucy, seakan berkata “tidak apa-apa, pergilah. Jangan khawatir, kita akan bertemu kembali”                Apa yang membuat Revin berpikir demikian? Tatapan Aslan, milik singa itu mengingatkannya dengan tatapan yang diberikan oleh nenek Ima tempo hari lalu ketika memberikan daftar informasi anggota lama Aquilinae. Tatapan itu juga serupa dengan tatapan ibunya saat mengatakan kepadanya ‘aku ingin menjagamu,’ atau ketika ibunya mendengar keputusan Revin ingin resign dan membantu di kedai. Walaupun sudah sangat lama, ia masih ingat. Tatapan itu juga memiliki kemiripan dengan cara pandang ayahnya ketika memberikan segelas minuman hangat untuk ibunya yang sedang menyelesaikan pekerjaan di dini hari. Tatapan sejenis itu adalah tatapan kasih sayang, melindungi, mendukung, dan memberikan tempat nyaman untuk orang lain.                 Pada akhirnya Revin dapat tertidur setelah lagu The Call selesai diputar. Tanpa tahu di tengah tidurnya yang nyenyak, dia meneteskan air matanya.                 Liburan dadakan ini membuat Revin terbangun pada pukul 12.40 siang. Menganggap sudah kehilangan banyak waktu, Revin segera mempersiapkan dirinya untuk pergi ke suatu tempat. Malam tadi dia membuat rencana. Sebelum kembali, dia harus mengunjungi rumahnya yang dulu kemudian pergi ke sekolahnya. Namun, karena dia bangun kesiangan nampaknya cuma satu tujuan saja yang hanya boleh didatanginya. Revin harus berada di seberang penginapan pada pukul setengah 2 siang, memenuhi janjinya dengan supir travel. Mengikuti saran hati dan mempertimbangkan jarak terdekat, Revin memilih untuk mendatangi sekolahnya. Tak lupa dia mengembalikan kunci kamarnya ke pemilik penginapan.                Sekolahnya dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki selama 10 menit saja. Revin merasakan kedua sudut bibirnya terangkat. Meskipun kota ini sudah banyak berubah, jalan pintasnya masih saja sama. Orang yang menjual makanan ringan seperti leker, permen gulali berbagai bentuk yang diminta, es potong, dan jajanan yang menjual gorengan kecil masih ada. Walau mendengar anak-anak saling berbisik, tidak membuat Revin mengurungkan niatnya untuk membeli dan ikut menunggu giliran. Pertama ia membeli permen gulali tiup yang dibentuk jagung, lalu membeli es potong dan telur gulung. Masih kurang puas, ia membeli semua jajanan, dan destinasi terakhirnya adalah tempat makan kecil yang menjual mie berwarna merah dengan tambahan kuah sup ayam. Pemuda itu harus menelan kekecewaan ketika dia hanya bisa memesan 2 porsi saja karena mie merahnya sudah habis. Saat Revin menyelesaikan porsi terakhirnya, dia baru menyadari ada seorang anak perempuan yang dari tadi memandanginya. Ketika pemuda itu menatapnya, anak perempuan itu langsung kabur walaupun sempat terjatuh. Ia kembali bangun dan melarikan diri secepat yang dia bisa. Revin menjadi tidak enak, kehadirannya mungkin bisa saja membuat anak-anak di sekolah ini menjadi risih.                “Jangan dipikirkan ya, Arun itu anaknya pemalu sekali. Mungkin dia ingin menyapamu, anak muda” ucap bibi penjual mie merah. Revin sedikit malu, ketahuan telah memikirkan pandangan siswa-siswi. Ia mengangguk dan memberikan senyumannya. Saat ini suasana hatinya sedang senang karena dapat mencicipi kembali makanan favoritnya dulu. Jadi, jika ada orang yang menyapa maupun membuka obrolan, walau sungkan, tanpa ada paksaan Revin akan menanggapi mereka. Orang pertama yang mengajak Revin bicara di sekolah adalah bibi ini. Beliau menanyakan ada urusan apa, datang dari mana, dan bertanya apakah datang sendirian atau dengan teman-teman. Jika saja dia tidak dikejutkan oleh bunyi ponselnya yang mengingatkan dirinya untuk harus berada di penginapan 15 menit lagi, mereka bisa saja membicarakan topik yang lebih luas, seperti perubahan sekolah sampai desa-desa sekitar.                Revin segera keluar sekolah. Pemuda itu sedikit merasa heran, sebab dia dapat masuk dan keluar dengan mudah. Walau hanya mengunjungi kantin, sejauh ini dia tidak mendapat teguran berkeliaran di area sekolah. Di gerbang depan, ia melihat anak perempuan tadi, bersembunyi lagi setelah mata mereka saling bertemu. Revin melihat luka kecil di lututnya. Meski itu bukan salahnya, dia merasa harus bertanggung jawab untuk mengobati lukanya. Revin langsung mencari toko obat terdekat, lalu kembali ke gerbang. Anak perempuan itu masih disana, dan tidak dapat berkutik melihat kedatangan Revin yang tiba-tiba. Revin memundurkan langkahnya. Ia menaruh kantong plastik di tanah, kemudian berjongkok agar dapat menyamakan posisi mereka. “Kalau dibiarkan, nanti lukanya bisa terinfeksi. Ambil ini ketika aku pergi. Jika tidak bisa mengobati luka sendiri, minta tolong ke gurumu ya”                Anak perempuan menundukkan kepalanya untuk melihat luka yang dimaksud. Revin berdiri dan bersiap pergi, tetapi dia harus berbalik karena baju luarnya ditarik oleh anak perempuan itu, “ada apa? Lukamu sangat sakit?” Anak itu menggeleng. Dia melepaskan tas yang bergantung di bahu kecilnya, mengambil sebuah buku dan pulpen lalu menyerahkannya ke Revin. Pemuda itu menerima barang dengan pertanyaan. “aku dengar dari teman-teman ada tamu lain. Kakak pasti artis juga, bisakah aku minta tanda tangan?”                Tawa Revin meledak. Sudah lama rasanya dia tidak tertawa selepas ini. Revin pikir keberadaannya tadi membuat anak ini ketakutan. Bagaimana bisa dia disamakan dengan artis padahal penampilannya asal-asalan. Dia pulang pergi hanya memakai satu set pakaian, baju kaus putih dan kemeja motif kotak biru pendek sebagai luaran. Celananya bahkan sangat kusam. Tetap saja anak ini bersikeras menganggapnya artis dengan menjelaskan bahwa Revin memiliki kulit yang bersih, hidung yang mancung, alis yang tebal, dan sangat tampan. Anak perempuan berbicara dengan mata yang berbinar seperti melihat sesuatu yang hebat, dan ini memberikan Revin kekuatan. Semula dia datang kesini membawa banyak kekhawatiran, dan pada waktu menuju kepulangannya tanpa diduga kekhawatiran itu memudar. Revin mendongkakkan kepalanya sebentar. Siang hari begitu terik. Langit dihiasi gumpalan awan. Nampaknya Revin ingin merekam momen ini. Setelahnya, dia tersenyum dan kembali menatap anak perempuan itu “maafkan aku. Sebenarnya aku bukan artis. Aku bukan orang sehebat itu hanya karena wajahku. Kalau kau sudah tahu faktanya, apakah kau masih ingin tanda tangan?”                 Anak itu mengangguk cepat dan tersenyum balik, “kalau begitu, kakak bisa jadi temanku!” Revin menerima ajakannya. Meskipun sudah mengatakan akan pergi jauh, anak itu tetap ingin menjalin pertemanan. Mereka saling bertukar nama dan memberitahu satu benda apa yang dapat membuat mereka senang. Anak itu menjawab tongkat peri, sedangkan Revin menjawab makanan. Sembari mereka bicara dan saling memberikan tanda tangan, diam-diam Revin menuliskan nomornya sekaligus pesan untuk teman barunya. Sayangnya percakapan mereka harus dipotong oleh telepon supir travel yang mengabari sedang dalam perjalanan menjemputnya. Mendengar posisi supir yang akan melewati sekolah, Revin memberi titik lokasi penjemputan baru. Selagi menunggu mobil datang, dia punya kesempatan untuk berbicara dengan Arun lebih lama dan dapat mengobati luka lututnya. Percakapan mereka begitu cepat mengalir, sampai-sampai Revin menceritakan bahwa dia datang kesini tanpa ada persiapan. Arun merasa itu sangat konyol dan beresiko. Arun pun bergantian menceritakan hal konyol yang pernah dialaminya, seperti tidak sengaja mengganggu angsa lalu angsa itu mengejarnya sampai ke rumah. Semakin banyak cerita, semakin banyak juga mereka tertawa. Perasaan bahagia ternyata dapat bersemi hanya dengan mendengarkan anak kecil bercerita. Karena terlalu nyaman, Revin tidak sengaja menceritakan alasan kedatangannya.                Tawa mereka menjadi sunyi. Lama-kelamaan wajah Arun berubah menjadi sedih. Revin menyadari letak kesalahannya yang membawa penyesalan dan berusaha mengatakan ucapannya tadi hanyalah kebohongan. Tetapi Arunika langsung berdiri, “tidak boleh. Kakak Revin tidak boleh melupakan. Jika itu Arun…jika kakak Revin melupakan Arun, walau kita baru bertemu…Arun akan sangat sedih. Apalagi orang-orang yang sudah lama bersama dengan kakak! Pikirkan mereka juga! Jadi… jadi kakak Revin harus mengingat mereka kembali!” kata anak itu.                Revin segera meminta maaf. Dia tidak punya bakat untuk menghibur anak kecil. Tetapi, perkataan Arun menjawab semua kegundahan Revin. Berat mengakui bahwa dia tidak memikirkan sejauh itu. Revin merasa bersalah karena hanya memikirkan dirinya sendiri. Memang pada dasarnya ingatan itu miliknya, tetapi dalam memorinya ada orang lain yang turut serta menemaninya tumbuh dewasa. Revin tidak dapat mengucapkan sepatah kata lagi. Saat ini mulutnya membisu dan dia langsung mengingat sosok ayahnya.                “Berjanjilah kakak akan mengembalikan ingatan kakak, dan tidak melupakan Arun!” tuntut Arun. Revin segera mengangguk dan mengulang janjinya, membuat wajah anak itu perlahan kembali ceria. Anak kecil memang mengagumkan, mereka bisa bersedih lalu melupakan kesedihan itu dengan cepat.                Revin dapat melihat mobil travel melintas di ujung seberang jalan. Mobil itu perlu memutar balik ke jalur berlawanan. Karena mobil akan segera tiba, Revin bersalaman dengan Arun sebagai bentuk berpamitan. Ketika berdiri untuk bersiap menunggu mobil tiba, ada yang menarik pandangan Revin. Seseorang dalam sekolah, dari jauh berlari ke lapangan sambil menatap dirinya. Pemuda itu menyipitkan matanya agar memastikan bahwa dirinya tidak salah lihat. Orang itu berlari dengan cepat, dan waktu dia hampir ke tengah lapangan, Revin dapat memastikan bahwa dia tidak salah sangka. Pandangan orang itu memang menuju ke arahnya.                 Meski rambutnya panjang terikat, Revin tahu dia adalah seorang pria. Perawakannya kurus dan kecil, namun cara berlarinya sangat atletik meski ia sedang memakai pakaian semiformal. Revin merasa terhipnotis. Pandangan maupun tubuhnya tidak dapat dialihkan. Semakin mendekat, semakin jelas pula wajah orang itu. Dia berlari dengan sangat keren, Revin seperti menonton lomba lari di garis finish. Wajah kecilnya menampakkan garis rahangnya yang tegas. Hidungnya tidak besar dan matanya seperti kucing. Siapa orang ini? Apakah mereka saling mengenal satu sama lain? Meski tidak ingat, Revin berfirasat bahwa mereka pernah bertemu. Orang itu menghentikan langkahnya untuk mengambil nafas. Masing-masing dari mereka tidak ada yang mengalihkan pandangan. Angin deras lewat seketika, mengibarkan beberapa helai rambut coklat seseorang yang kembali berjalan di tengah lapangan. Untuk melindungi dari debu, Revin menutup matanya dalam sekejap.                Waktu dia membuka mata, situasi berubah. Dia melihat rupa langit ruangan berwarna putih. Pemuda itu masuk ke dalam suatu momen. Yang jelas, dia sedang berada di rumah sakit. Perpindahan ingatan dan kenyataan cepat sekali, secepat Revin mengedipkan matanya berulang kali. Tetapi pergantian ini tidak membuat Revin panik. Malah perasaannya sangat bahagia, lebih melimpah dari pada sebelumnya ketika dia berbicara dengan Arun. Disibukkan dengan pergantian lembut dua momen ini, membuat Revin mengabaikan Arun yang tengah memanggilnya. Dunia seketika senyap, hanya terdengar jelas suara langkah sepatu pantofel yang mendekat dan bunyi gemersik daun ranting yang saling bertemu. Tidak ada lagi suara berisik kendaraan yang lewat. Tidak ada lagi suara tawa anak-anak yang sedang bermain bersama. Memang terlihat damai, tapi tidak adakah yang dapat mendengar degupan jantung Revin? Revin merasa perutnya dipenuhi kumpulan kupu-kupu yang terbang kesana kemari, mereka seperti mencari jalan keluar. Pupil matanya membesar, padahal hari sangat terang. Revin melihat cahaya matahari masuk di sela-sela dedaunan, dan sisa cahaya yang berhasil tembus menyinari langkah pria itu, membuatnya semakin terlihat mempesona. Ah, omong-omong sejak kapan daun itu punya warna lebih dari satu? Apakah selama ini warna biru langit memang semenawan itu?                Untuk sesaat Revin sangat berharap waktu bisa dihentikan. Ketenangan ini membuat Revin kembali mengedipkan matanya. Di rumah sakit dia melihat seorang anak laki-laki datang dari pintu. Apakah dia juga anak itu? Revin merasakan kepalanya menjadi ringan, momen rumah sakit mulai kabur dan menghilang. Dengan hati-hati Revin membuka matanya kembali. Dia cemas pria itu tidak nyata dan hanya imajinasinya saja. Syukurlah, orang itu masih ada disana.                Mungkin berbagai jenis tatapan sudah banyak diterimanya. Tatapan yang membuatnya nyaman dari ibu, ayah, dan nenek Ima. Tatapan sedih dari keluarganya yang bersimpati saat mereka tahu dia kehilangan ingatannya. Tatapan marah dari Hans saat dia mengatakan tidak bisa datang ke rumah sakit. Tatapan aneh dari Jose saat mereka berkenalan di Universitas. Dan terakhir tatapan remeh dari salah satu pelanggan kedai yang tidak sengaja melihatnya bekerja sambil mempelajari perusahaan Aquila. Mata menjadi salah satu bagian dari ekspresi, dan ekspresi itu dapat mencerminkan perasaan seseorang. Dari sekian jenis tatapan yang pernah dilihatnya, Revin masih tidak dapat membaca maksud dari pandangan orang itu. Jika dia dapat menghampirinya dan mengatakan, “maaf, tetapi aku tidak dapat mengingatmu” akankah tatapan itu langsung berubah? Tidak ingin itu terjadi, maka Revin berusaha keras mencari namanya diingatannya yang masih tersisa.                Langkah pria itu berhenti dengan suara yang mengejutkan, cukup mampu membangunkan Revin. Semua kembali seperti sedia kala. Akhirnya Revin dapat mendengar suara Arun bersamaan dengan suara knalpot, tawa anak-anak, bunyi terompet dari penjual mainan, bahkan suara tukang parkir yang sedang mengarahkan kendaraan. Revin juga mampu menggerakkan badannya, bertepatan dengan mobil travel yang baru saja tiba. Dia segera bergegas masuk, khawatir jika dari tadi mobil sudah lama menunggunya. Setelah melambaikan tangan kepada Arun melalui jendela mobil, Revin melihat kembali pria itu yang masih berdiri di dekat gerbang. Karena tidak sempat menyapa dengan benar, meskipun pipinya terasa panas, Revin hanya dapat menganggukkan kepalanya.                 Dan itulah akhir kisah perjalanan singkat yang tidak direncanakan. Sejauh satu kilometer dari sekolah, Revin mengangkat kedua alisnya. Nampaknya dia sudah dapat mengingat siapa pria berambut panjang tadi, yang artinya orang itu juga termasuk dari bagian kenangan masa kecilnya. Beberapa kali dia harus menutup mulutnya untuk menahan tawa.                 “Astaga, itu Neil!” ucap Revin sambil menyandarkan kepalanya dan menutup matanya. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan