Dunia Abu-abu Chapter 1 Perjalanan Mengenal Diri

0
0
Deskripsi

ikuti petualangan sodara kembar marlon dan riri dalam mengungkap kenyataan dunia ini sebenernya. ketidak jelasan moralitas dan realita membuat saudara kembar ini ingin mencari kebenaran.

Chapter 1: Proses Mengenal Diri Sendiri



Langit biru membentang luas di atas kepala, seolah tak berujung. Ombak bergulung pelan di kejauhan, menciptakan harmoni suara bersama deru angin dan tawa wisatawan yang memenuhi pantai. Di bawah naungan sebuah warung sederhana, seorang pemuda berusia 21 tahun duduk dengan santai, sesekali menyeruput es kelapa muda dari batoknya.

Marlon menghela napas panjang. Matanya yang tajam menatap pantai di hadapannya, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia mengetukkan jari ke meja kayu dengan ritme pelan, tanda pikirannya tengah sibuk.

"Kenapa ya, dunia ini selalu diajarkan sebagai hitam atau putih?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Di hadapannya, seorang gadis dengan wajah yang sangat mirip dengannya—kembarannya, Alesha atau yang biasa dipanggil Riri—menaikkan alisnya dengan ekspresi penuh tanda tanya. Wajahnya yang ekspresif langsung berubah dari tenang menjadi penasaran.

“Kamu mulai lagi, Marlon," katanya, menaruh gelasnya ke meja. "Baru sampai tempat wisata udah ngomong filsafat lagi. Bisa nggak sih kita menikmati suasana tanpa overthinking?"

Marlon menyeringai, tapi tetap melanjutkan pikirannya. "Lihat ini, Ri," katanya sambil menunjuk ke sekeliling mereka. "Dulu tempat ini sederhana. Banyak orang bilang itu lebih baik—lebih alami, lebih damai. Tapi kalau tetap sederhana, ekonomi di sini nggak akan berkembang. Sekarang sudah ada hotel, restoran, toko suvenir. Wisatawan senang, ekonomi maju, tapi lihat dampaknya. Hutan di sekitar sini mulai habis, laut makin kotor."

Riri menyandarkan tubuhnya ke kursi, memandangi tempat itu dengan lebih saksama. Kebiasaannya sebagai pengamat membuatnya cepat menangkap detail yang mungkin terlewat oleh orang lain. Memang, jalanan kini lebih ramai, toko-toko suvenir menjual berbagai barang yang dulunya tak ada, dan di kejauhan, bangunan hotel-hotel mewah berdiri tegak, merusak pemandangan alami yang dulu mereka kenal.

“Jadi,” kata Riri akhirnya, “kamu mau bilang kalau kesederhanaan membuat tempat ini stagnan, tapi keserakahan membuatnya maju dengan konsekuensi?”

Marlon mengangguk. “Itu yang aku pikirkan. Kita selalu diajarkan kalau serakah itu buruk, tapi kalau nggak ada orang serakah di sini, mungkin tempat ini nggak akan berkembang.”

Riri terdiam. Ombak terus datang dan pergi, menciptakan ritme yang sama seperti pikirannya yang mulai berputar. Di satu sisi, ia tahu apa yang dikatakan Marlon ada benarnya. Tapi di sisi lain, konsep bahwa "keserakahan" bisa jadi sesuatu yang positif terasa bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan sejak kecil.

“Tapi kan, kita juga diajarkan kalau kesederhanaan itu baik,” gumamnya. “Kalau semua orang serakah, apa nggak makin kacau?”

Marlon terkekeh. “Nah, itu dia. Dunia ini nggak sesederhana hitam dan putih. Mungkin justru keseimbangan yang dibutuhkan.”

Riri menghela napas, merasa bahwa perbincangan ini hanya akan menjadi awal dari banyak diskusi panjang di kemudian hari. Dan mungkin, jawabannya tak akan mereka temukan hanya dengan duduk di warung pinggir pantai. Mungkin mereka harus melihat lebih banyak dunia, mengamati lebih banyak fenomena, sebelum bisa menyusun kesimpulan.

Marlon berdiri dari kursinya dan menepuk bahu Riri. “Ayo jalan sebentar, lihat sekitar.”

Riri menatapnya ragu. “Ngapain? Kita udah lihat banyak dari sini.”

“Tapi kita belum melihat orang-orangnya lebih dekat,” jawab Marlon. “Kalau kita cuma duduk di sini, kita cuma menilai dari kejauhan.”

Riri menghela napas tapi akhirnya bangkit juga. Mereka mulai berjalan menyusuri kawasan wisata, melewati deretan pedagang yang menjajakan suvenir dan makanan ringan. Beberapa wisatawan tampak sibuk menawar harga, sementara pedagang berusaha mempertahankan keuntungan mereka.

Marlon menunjuk ke salah satu pedagang yang menjual kaos dengan desain khas daerah itu. “Lihat, Ri. Mereka tahu kalau wisatawan mau sesuatu yang otentik, jadi mereka memanfaatkan itu. Ini salah satu bentuk ‘keserakahan’ dalam artian yang lebih ringan. Mereka ingin untung lebih banyak, jadi mereka menyesuaikan produk dengan keinginan pasar.”

“Tapi apa itu buruk?” tanya Riri, mengamati seorang ibu paruh baya yang dengan cekatan melipat kaos-kaos dagangannya sambil sesekali tersenyum kepada pelanggan. “Dia tetap berjualan jujur, nggak memaksa orang buat beli.”

“Nah, makanya aku bilang keserakahan bisa jadi netral. Dia ingin mendapat lebih banyak keuntungan, tapi tidak dengan cara merugikan orang lain,” ujar Marlon. “Tapi lihat yang itu.”

Marlon mengarahkan pandangannya ke salah satu warung yang menjual makanan laut. Seorang pria muda tampak memanggil-manggil wisatawan, menawarkan harga murah untuk hidangan laut segar. Namun, di balik gerobaknya, Marlon melihat kantong plastik berisi sampah ikan yang dibuang begitu saja ke pasir, membuat bau amis menyebar ke sekitar.

“Ini lain lagi,” kata Marlon pelan. “Dia mungkin ingin untung banyak, tapi mengorbankan lingkungan karena kemalasannya untuk rapih dan membersihkan limbahnya.”

Riri mengangguk paham. “Jadi, ada batasnya?”

“Sepertinya begitu,” sahut Marlon. “Bukan tentang menghilangkan keserakahan atau kesederhanaan, tapi bagaimana menggunakannya dengan cara yang tepat.”

Mereka melanjutkan perjalanan, melihat lebih banyak interaksi di sekitar mereka. Ada anak-anak yang bermain pasir, ada pengamen yang menghibur pengunjung demi beberapa lembar uang, dan ada turis asing yang sibuk memotret segala sudut keindahan tempat itu.

Setelah beberapa saat, Riri menarik napas dalam-dalam. “Baiklah, aku akui. Ini menarik. Mungkin kita memang perlu melihat lebih banyak sebelum menyimpulkan sesuatu.”

Marlon tersenyum puas. “Tepat sekali.”

"Kita pulang naik kereta yu ri, nanti aku kasih penjelasan lagi di stasiun tentang asal-usul alat transportasi" ajak marlon dengan wajah so tau. "dasar sotau kau marlon, kamu itu cuma lahir beberapa menit duluan merasa paling tau tentang dunia" riri menjawab dengan nada kesal.

mereka mulai berkemas-kemas merapihkan barang bawaan mereka agar tidak ada yang tertinggal, setelah berkemas mereka mulai memanggil ojek untuk mengantar mereka ke stasiun terdekat untuk pulang ke kota Bandung.

setelah sampai di stasiun mereka langsung ke indomaret untuk membeli tiket online supaya lebih praktis, marlon berkata "kamu sadar tidak ri aku membeli tiket di indomaret agar tidak perlu mengantri di loket, lalu kereta ini juga dibuat memanjakan kemalasan manusia yang jaman dulu harus jalan kaki atau kuda untuk pergi kemanapun" riri mengerenyitkan dahi dan berkata "bodoh kau marlon, sudah jelas ini untuk efisiensi Waktu" Marlon tersenyum dan menjawab "inilah maksudku ri, karena rasa malas membuat Sebagian orang berpikir keras untuk mencari solusi untuk menghemat Waktu dan tenaga yang orang jaman dulu gunakan, tapi untuk orang malas, ini menjadi solusi mereka tidak perlu cape-cape berjalan jauh, atau berdiri lama mengantri di loket tiket".

"aku rasa argumenmu benar juga, ternyata kita bisa juga melihat dari sudut pandang ini" riri berkata dengan wajah seperti orang berpikir keras dan mulai duduk dikursi menunggu keretanya datang. 

Sebuah suara dari pengeras mengumumkan kedatangan kereta yang mereka tunggu. Mereka mengamati sekeliling, melihat para penumpang lain yang beraneka ragam - pekerja kantoran dengan tas laptop, ibu-ibu dengan belanjaan pasar, dan beberapa turis asing yang terlihat kebingungan mencari peron yang tepat.

Begitu naik ke dalam kereta, Marlon dan Riri mengambil tempat duduk dekat jendela, menikmati pemandangan yang berganti dari pantai ke areal persawahan hingga perlahan memasuki wilayah perkotaan. Riri menyandarkan kepalanya ke kursi, mencoba mencerna percakapan mereka sepanjang hari.

Riri lalu menatap ke luar, menyaksikan pemandangan sawah yang masih hijau sebelum berganti menjadi kumpulan pabrik dan gedung menjelang kota. Perubahan itu terasa seperti kilasan cepat dari perbincangan mereka tadi—tentang pergeseran dari tradisi ke modernitas.

“Benar-benar seperti melihat dua dunia bertabrakan,” ujar Riri sambil memandang ke luar.

Marlon menatapnya sekilas, lalu tersenyum. “Dua dunia yang bisa saling melengkapi kalau kita pintar mengaturnya.”

Riri mendesah pelan, matanya terpaku pada petak-petak lahan dan bangunan yang bersaing untuk ruang. Di kejauhan, ada rumah-rumah penduduk yang kian hari makin terhimpit

“Apa kita terlalu cepat menilai sesuatu ya?” gumam Riri, lebih kepada dirinya sendiri.

Marlon memandang keluar jendela, melihat rel dan tiang listrik berlarian mundur. “Mungkin itu naluri kita,” ujarnya.

setelah berjam-jam perjalanan akhirnya kereta sampai di stasiun Bandung, mereka berdua keluar dari kereta dengan teratur, mereka tidak diam dulu di stasiun dan langsung berjalan eluar untuk mencari taksi untuk mengantar mereka pulang ke daerah Cimbuleuit, saat sampai dirumah mereka disambut oleh ibunya dengan pelukan "aduh anak-anak mamah akhirnya pulang juga dari pantai, cepet beres-beres terus istirahat, kalo lapar, mamah udah masakin di meja makan yah" ibunya berkata setelah memeluk anak kembarnya yang baru pulang liburan.

Marlon dan Riri beranjak kekamarnya masing-masing untuk beres-beres barang mereka dan rebahan sebentar untuk menghilangkah Lelah badan, yang duduk berjam-jam dialam kereta.
Tanpa sadar merek berdua tertidur lelap malam itu tanpa mandi dan bersih-bersih badan, dan mereka bangun pagi dengan badan yang segar.

saat bangun pagi seperti biasa marlon melamun dulu di Kasur dan tidak langsung cuci muka, setelah dirasa proses pengumpulan nyawa berhasil, dia keluar kamar untuk cuci muka dan sarpan Bersama keluarganya.

untung hari ini dia masih libur dan dia tidak harus datang kekampus dan berpikir keras untuk mengikuti pelajaran, dia berniat untuk istirahat seharian hari ini dirumah dan bermain game seharian.

saat marlon masih enak memakan sarapan yang dibelikan ibunya, riri mulai keluar kamar dengan rambut yang berantakan "cuci muka sana, rambutmu berantakan banget, perawan ko acak-acakan" kata marlon dengan wajah jiji melihat riri. riri langsung mendekati marlon dan memiting kepala marlon mendengar ledekan sodara kembarnya itu "bilang sekali lagi kalo berani, aku gigit nanti telingamu ini, beraninya mengatai aku" ancam riri. Marlon hanya bisa tertawa kegelian dan meminta ampun pada riri, sampe akhirnya dilepaskan.

riri langsung cuci muka dan ikut sarapan Bersama marlon, hari ini pun berlalu dengan cepat karena mereka berdua hanya diam dan istirahat dirumah tidak melakukan kegiatan apapun.

HARI SELANJUTNYA

Pagi Hari pun tiba untuk Marlon, hari ini dia akan memulai untuk berkuliah lagi, setelah siap-siap dia pun pergi kekampus sendirian karena dia memiliki jadwal kuliah yang berbeda dengan kembarannya riri.

Saat sampai dikampus dia memarkirkan motornya dan langsung pergi kekelas menunggu dosennya datang, semester ini adalah semester terakhirnya dikampus, dan dia hanya menyisakan 2sks lagi dalam masa perkuliahannya, dia menjalani semester ini sambil Menyusun skripsinya.
dalam skripsinya dia ingin membahas tentang kenyataan dunia ini, dia merasa pandangan dan nilai-nilai yang dia perlajari selama ini kurang tepat, dia pikir pada dasarnya dunia ini tidak diciptakan hitam dan putih, dunia ini adalah ruangan besar abu-abu, masalah hitam dan putih tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.

Marlon bahkan percaya bahwa manusia tidak pernah diciptakan untuk menjadi makhluk yang sepenuhnya jujur. Manusia adalah makhluk sosial, dan demi menjaga keharmonisan dalam kelompoknya, kejujuran serta kebenaran sering kali dibatasi.

Sebagai contoh, dalam peradaban manusia paling awal, ketika kita hidup di gua dan harus berburu untuk mencari makan, pasti ada hierarki dalam kelompok tersebut. Pemimpin kelompok—yang mungkin dipilih berdasarkan kekuatan fisik atau kecerdasan—tentu memiliki privilege lebih dibanding anggota lainnya. Dalam struktur ini, setiap individu memiliki peran masing-masing sesuai dengan kemampuan mereka.

Namun, dalam lingkungan yang masih menganut hukum alam, kejujuran tidak selalu menguntungkan. Para anggota kelompok sering kali harus menahan diri untuk tidak mengungkapkan ketidakpuasan mereka demi menghindari konflik.

Misalnya, seorang anggota yang merasa tidak mendapat bagian hasil buruan secara adil mungkin tidak berani bersuara karena takut menantang otoritas pemimpin atau kelompok yang lebih kuat. Sementara itu, mereka yang lebih unggul secara fisik atau kecerdasan merasa bahwa hak istimewa yang mereka miliki adalah konsekuensi alami dari keunggulan mereka. Dari sinilah awal mula hilangnya keadilan dan kebenaran yang bersifat absolut.

Ketidaksetaraan ini juga bisa ditarik ke ranah spiritual, seperti konsep takdir. Manusia tidak diciptakan dengan kemampuan yang sama; setiap individu memiliki karakteristiknya masing-masing.

Ketimpangan ini menyebabkan perbedaan nasib di antara manusia sejak mereka dilahirkan. Kita tidak ditakdirkan menjadi mahluk dengan kemampuan yang sama, semua manusia memiliki karakteristiknya masing-masing, tapi karena hal ini lah maka akan mulai terjadi perbedaan antara manusia sejak mereka dilahirkan.

marlon menemukan bahwa keadilan tuhan di dunia, adalah ketidak adilan itu sendiri. dia merasa baik itu presiden, konglomerat, pegawai biasa, atau bahkan pengangguran akan merasakan ketidak adilan di dunia ini, hanya objek ketidak adilannya saja yang berbeda, untuk konglomerat yang sudah berumur mungkin dia merasa tidak adil karena kenapa dia tidak mendapatkan umur Panjang sehingga dia bisa menikmati hasil usahanya secara maksimal, keluarganya akan merasa tidak adil karena sang konglomerat tidak memiliki banyak Waktu untuk menemani keluarga karena karirnya.

setiap pilihan hidup pasti memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing, untuk mendapatkan sesuatu, kita juga pasti harus mengorbankan sesuatu, seperti kata pepatah "there is no free lunch in the world" mengandung makna bahwa segala sesuatu memiliki harga atau konsekuensi, baik itu berupa uang, usaha, waktu, ataupun peluang yang dikorbankan. Ini adalah pengingat bahwa manfaat atau keuntungan sering kali memerlukan pengorbanan atau pertimbangan tertentu. Dalam ekonomi, pepatah ini sering dikaitkan dengan konsep biaya peluang, di mana setiap pilihan memiliki alternatif yang harus dilepaskan.

nilai-nilai di masyarakat dan juga secara religi, kita sering diajarkan tentang hal-hal positif, kita secara tidak langsung sering diajarkan untuk mengkotak-kotakan dunia ini menjadi dunia bagian PUTIH yang sering diibaratkan dengan kebaikan dan kebenaran, sebaliknya ada juga dunia HITAM yang sering diidentikan dengan keburukan dan kejahatan, tapi dalam realitasnya dunia tidak bisa dibagi seperti ini, dunia sebenernya adalah keseimbangan keduanya, dunia seperti area ABU-ABU besar, dimana baik dunia bagian PUTIH ataupun HITAM memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing, tergantung dari sudut pandang kita melihat semua fenomena tertentu,tidak bisa secara general dibedakan seperti itu.

atas dasar pemikiran seperti ini lah, Marlon mencoba ingin membahas lebih jauh tentang kenyataan dan realitas dunia ini didalam skripsinya, dan agar lebih mudah mencari tolak ukur untuk mewakili PUTIH dan HITAM ini, dia akan mencoba membahas dari sisi spiritual dengan tema Seven Deadly Sins (Tujuh Dosa Mematikan) dan Seven Heavenly Virtues (Tujuh Kebajikan Surgawi) yang berasal dari tradisi Kristen dan sering dipandang sebagai panduan moral.

Ketika dunia spiritual dengan tegas membedakan hal ini, tetapi secara realita dunia hal ini tidak bisa semudah itu dipisahkan, baik itu Seven Deadly Sins ataupun Seven Heavenly Virtues memiliki fungsinya sendiri-sendiri untuk kelangsungan hidup di dunia ini di berbagai bidang, seperti ekonomi, inovasi, ataupun perubahan kultur dan kebiasaan manusia di dunia ini.

Sambil menunggu mulainya kelas, Marlon merenungkan ide-ide yang berenang dalam benaknya. Gedung kampus terasa riuh oleh suara mahasiswa lain yang sibuk mengobrol dan tertawa, tetapi bagi Marlon, suara-suara itu meresap jauh ke latar belakang. Pikirannya lebih berfokus pada bagaimana memadukan teori dengan realitas dalam penyusunan skripsinya.

Dia membayangkan diagram besar di kepalanya, di mana dua lingkaran—satu mewakili Seven Deadly Sins dan lainnya Seven Heavenly Virtues—beririsan di tengah. Di area abu-abu pertemuan itulah, pikir Marlon, terletak jawaban dari ketidakjelasan moral dunia ini.

Bagaimana keserakahan bisa mendorong inovasi, bagaimana kerendahan hati dapat menekan kompetisi. Dia ingin mengeksplorasi bagaimana sifat-sifat yang dianggap bertentangan ini sebenarnya saling melengkapi.

Marlon menyadari bahwa mengangkat tema ini bisa menjadi kontroversial, terutama di lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional. Namun, bagi Marlon, tantangan tersebut justru yang membuat gagasannya lebih relevan dan mendesak untuk dibahas. Ia ingin menggoyahkan asumsi-asumsi lama dan mendorong pembaca untuk melihat kompleksitas moral dan etika dari sudut pandang yang lebih luas. 

Saat dosennya masuk ruangan, ia segera tenggelam dalam diskusi tentang peran etika dalam teknologi modern—sebuah topik yang selaras dengan masalah yang ingin ia teliti.

Usai kuliah, Marlon menuju kantin kampus untuk makan siang sambil menulis catatan tambahan. Ia tersenyum sedikit saat membaca kembali ide tentang konglomerat yang merasa tidak adil kenapa umurnya tidak panjang. Dalam benaknya, ia melihat banyak contoh serupa di sekelilingnya, bahkan dari informasi yang dia dengar tentang konglomerat dunia seperti Rockafeller ataupun Morgan, hal ini belum bisa dia validasi, tapi cukup masuk akal jika dipikirkan dengan logikanya.

dia sering mendengar percakapan "maneh mah ngenah loba duit, sagala nyampak hayang itu iyeu teh", lalu dijawab "duit mah Enya aya, tapi aing hayang ulin mawa pamajikan jeung anak ge meuni hese waktuna, aya weh nu kudu digawean teh, aya weh nu kudu dipanggihan", ada juga percakapan para pengusaha teman ayahnya yg sering bilang "kamu enak sudah kaya di usia muda, kamu punya banyak Waktu untuk menikmati hasilnya" tapi dijawab juga oleh teman ayahnya yang muda "ah bapa bisa aja, kalo bicara sukses saya masih jauh dari bapak, dan juga saya belum bisa menikmati kesuksesan ini Bersama keluarga saya, karena masih di tahap growth, jadi banyak yang harus saya lakukan, 24 jam serasa kurang untuk mencapai titik sustain seperti bapak sekarang".

obroral-obrolan seperti itu seakan meyakinkan marlon bahwa memang keadilan tuhan itu adalah ketidak adilan itu sendiri, dimanapun posisi kita saat ini, pasti ada perasaan ketidak adilan didalam hidupnya.

Marlon semakin semangat untuk membahas tentang nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, baik itu bersumber dari leluhur, ataupun dari agama, bagaimana kondisi realitasnya dalam kehidupan.

Riri cukup tertarik dengan apa yang dikatakan kembarannya Marlon, kebetulan juga dia kuliah di Jurusan ekonomi Manajemen, dan pembahasannya ini bisa menjadi inside menarik untuk Riri “ayolah aku bantu menyelesaikan skripsimu, aku temani mencari fenomena-fenomena yang ada dimasyarakat tentang hal ini” ucap Riri dengan mata berkilau tanda bersemangat sekali sambil meremas pundak Marlon.

Marlon hanya bisa menyeringai sambil menahan sakit pundaknya diremas Riri dengan cukup keras dengan kukunya yang panjang. “yaudah ayo temani aku keliling kota dan ke beberapa daerah di indonesia untuk melihat kelakuan aneh masyarakat” ucap Marlon dengan bersemangat.

"Dan itulah awal dari perjalanannya dan petualangan saudara kembar Marlon dan Riri mencari kebenaran di dunia ini, babak baru akan segera dimulai."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dunia Abu-Abu Chapter 2 Pencarian Referensi
0
0
kelanjutan dari chapter pertama, Marlon dan Riri mulai mencari referensi untuk hal yang ingin mereka bahas. mereka akan bertemu dengan pria misterius yang akan merubah pikiran mereka selamanya. referensi yang didapatkan tentang kontradiksi di dunia ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan