
Dialah Alea,
Perempuan berusia 27 tahun yang memikul beban hidup sebagai tulang punggung keluarga. Di tengah rutinitasnya yang melelahkan dan kondisi finansial yang serba terbatas, Alea menjalani hari-harinya dengan keteguhan hati.
Namun, sebuah pertemuan tak terduga dengan pria asing bernama Rangga (28) di halte bus mengubah warna Seninnya yang biasanya kelabu itu, menjadi secercah merah.
Bab ini menggambarkan keseharian Alea, tekanan hidup yang ia hadapi, dan benih perasaan yang mulai tumbuh dari...
Bagian 1 — Pagi yang Berat
Langit Jakarta pagi itu diselimuti awan kelabu, seperti menggambarkan isi kepala Alea. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.47 saat dia berdiri di dapur kecil rumahnya. Ia menatap nasi putih di dalam rice cooker yang terbuka sembari memikirkan berapa lama lagi ia bisa bertahan dengan rutinitas ini.
Tangannya sibuk memotong tahu, sementara telinganya menyimak suara dari kamar belakang. Sebuah anugerah karena semua inderanya masih bisa bekerja masing-masing dengan baik disaat otaknya penuh sesak dengan berbagai hal.
“Lea, uang kuliah Zea semester ini gimana?” sambil berjalan mendekat, suara Ibu terdengar pelan, tapi mengandung cemas yang tak bisa ditutupi.
Alea menarik napas, mencoba menyelipkan jeda sebelum menjawab, “Aku usahain, Bu. Minggu ini ada tambahan lembur. Nanti aku transfer langsung lewat website kampusnya, bisa kan, Ze?”
Ibu tidak menjawab, hanya mengangguk, lalu kembali ke kamar. Alea tahu. Diam itu bukan lega, tapi lelah yang tertahan.
Di meja makan, Zea tetap duduk dengan headset terpasang di telinga. Ia tidak menggubris pertanyaan yang dilayangkan Lea tadi.
Adik perempuannya yang berusia 21 tahun itu sedang kuliah daring—suatu kemewahan yang terus Alea perjuangkan agar tetap bisa dinikmati Zea meski kondisi ekonomi mereka tidak lagi stabil sejak Ayahnya pensiun dari perusahaan tempat kerjanya dulu, dan mulai sakit-sakitan.
“Nanti siang kamu ada kelas apa?” tanya Alea sambil menyodorkan sepiring nasi dengan tahu goreng dan sayur kangkung buatannya tadi.
“Psikologi komunikasi sama komunikasi massa. Kak, makasih ya…” jawab Zea lirih, matanya menatap nasi dengan rasa bersalah yang sulit disembunyikan.
Alea tersenyum samar. “Belajar yang rajin. Kamu harus bisa jadi lebih baik dari aku.”
Bagian 2 — Kantor, Deadline, dan Perempuan Bernama Alea
Suasana muram pagi itu seolah enggan memberi semangat untuk memulai minggu. Alea menarik napas panjang di dalam bus yang penuh sesak. Ia mengencangkan tali tas kerjanya sambil melirik jam tangan. Sudah pukul 07.12.
“Telat lagi.” batinnya.
Ia duduk di pojok, berimpitan dengan ibu-ibu yang membawa kantong belanjaan dan remaja berseragam sekolah. Dari earphone kecil di telinganya, mengalun pelan musik instrumental yang menenangkan, semacam cara bertahan dari riuhnya dunia.
Pagi di Jakarta memang tak pernah sabar.
Pukul 07.30 Alea akhirnya tiba di kantor. Gedung lima lantai di bilangan Tebet itu adalah tempat ia bekerja sebagai HRD-GA untuk sebuah perusahaan alih daya (outsourcing) kecil.
Pekerjaan yang kompleks, penuh detail, jadwal padat, dan kadang miskin pengakuan. Tapi Alea bersyukur. Setidaknya ia merasa berguna. Itu cukup baginya—ya, untuk sekarang.
Alea langsung menuju meja tanpa menyapa banyak orang. Layar komputer dan dokumen laporan bulan lalu yang menumpuk sudah menyambutnya. Hidupnya seperti daftar tugas yang tak pernah selesai.
“Alea,” panggil suara dari seberang ruangan. Siska, sahabatnya yang bekerja di perusahaan berbeda, tiba-tiba muncul sambil membawa dua bungkus roti dan kopi kotak. “Nih, sarapan. Mukamu sudah kayak tagihan listrik.”
Alea menghela napas, menerima roti itu sambil tersenyum tipis. “Makasih. Aku lupa bawa bekal lagi.” dalihnya. Padahal ia sempat memasak tadi. Perempuan itu hanya enggan membawa bekal. Ribet pikirnya.
“Jangan cuma hidup buat bertahan, Le,” kata Siska sambil duduk di meja kosong. “Sesekali bolehlah hidup untuk bahagia.”
Bahagia. Kata itu terasa asing, seperti pakaian pesta yang sudah lama tersimpan di lemari, nyaris tak dikenalinya lagi.
Sekembalinya Siska, Alea langsung menghidupkan komputer, lalu mengetik email balasan untuk perusahaan klien, sambil sesekali mengecek Google Sheets yang penuh warna merah dan kuning—indikator siapa saja karyawan yang terlambat menyerahkan laporan mingguan padanya.
“Kak Alea, HR dari PT. Sempurna ngajuin pengunduran pembayaran invoice untuk bulan ini. Katanya baru bisa di transfer 2-3 hari kedepan,” ujar Amel, anak magang baru yang selalu bersemangat tapi belum terbiasa dengan tekanan kanan-kiri.
Alea memejamkan mata pening, kemudian menoleh sambil mengambil sticky note dari meja dan mencatat deadline pembayaran invoce klien.
“Oke. Tapi bilang ke mereka, tidak bisa lebih dari 3 hari. Karena tanggal 30 sudah harus mencairkan gaji untuk karyawan outsourcing mereka.”
“Aku lagi gaada tenaga untuk kasih alasan ke rekan-rekan kalo gaji mereka bulan ini harus telat lagi.” tambah Alea.
Ya, itulah resiko bekerja di perusaahan outsourcing. Apalagi untuk jabatan yang diemban Alea, semua operasional bertumpu padanya. Menjadi perantara bagi perusahaan klien dengan para karyawan outsourcing benar-benar membutuhkan tenaga ekstra, kesabaran yang luas, serta skill negosiasi yang tiada tanding.
Amel cuma manggut-manggut tanda mengerti. Di matanya, Alea seperti benteng kokoh yang tak pernah goyah.
Tapi di dalam, Alea lelah.
Ia diam-diam membuka aplikasi mobile banking. Sisa saldo: Rp187.000. Gajian masih seminggu lagi.
Bagian 3 — Pertemuan Pertama
Waktu menunjukkan pukul 19.25 saat Alea akhirnya meninggalkan kantor. Hujan rintik turun perlahan, dan langit Jakarta masih sama suramnya.
Di halte bus dekat kantor, ia menunggu. Walaupun ojol sudah bertebaran dimana-mana, Alea selalu pilih naik bus atau angkot. Ia merasa enggan kalau harus memesan ojol melalui aplikasi. Lagipula, naik ojol hanya membuatnya semakin cepat sampai ke rumah. Yang artinya ia makin cepat merasakan beban dan tekanan.
Alea mengenakan jaket abu-abu dan menenteng tas kerja yang berat dengan dokumen. Di sana pula untuk pertama kalinya ia bertemu dengan seorang pria yang rambutnya agak acak-acakan, mengenakan jaket denim lusuh, dan menenteng tablet gambar serta payung lipat.
Tampaknya, pria itu sedang menggambar sesuatu di tabletnya. Fokus. Tenang.
Sejenak kemudian, pria itu menoleh ke arah Alea. Ada senyum tipis yang tidak sengaja terbit saat tatapan mereka bertemu, lalu laki-laki itu mengalihkan pandangan kembali pada layarnya.
Alea menyadarinya. Dan entah kenapa, ia tak merasa risih.
Mereka naik bus yang sama.
Dan duduk berseberangan.
Sepanjang perjalanan, tak ada sapaan. Hanya sesekali melirik dari balik dunia masing-masing. Tapi saat Alea turun di halte dekat rumah, pria itu ikut menoleh.
Senyumnya muncul lagi—sekilas, namun meninggalkan jejak yang tidak mudah lepas.
Bagian 4 — Malam yang Tak Hening
“Aku pulang!” Seru Alea sembari membuka pintu rumah.
Tak ada seorangpun yang menyambut. Semua sibuk dengan dirinya masing-masing.
Rumah itu tak pernah benar-benar tenang dan menyenangkan sejak ayahnya sakit-sakitan dan ibunya sering meluapkan kekesalan pada hal-hal kecil.
Zea, adiknya, tampaknya juga baru pulang kuliah dan langsung masuk kamar tanpa banyak bicara.
Alea pun langsung masuk ke kamar orang tuanya untuk memberi salam. Tahu bahwa ibunya pasti disana sedang merawat ayahnya yang sakit.
Setelah itu, ia bergegas mandi dan ganti baju untuk langsung tidur tanpa memikirkan makan malam.
Namun, alih-alih terlelap, otaknya secara otomatis kembali memikirkan tagihan listrik, PDAM, biaya kuliah Zea, biaya makan sehari-hari, dan gaji bulan ini yang sudah hampir habis bahkan sebelum diterima. Hidup adalah hitung-hitungan konstan, dan ia adalah penjaga kas keluarga yang tak boleh lengah.
Di luar masih gerimis dan udara terasa dingin. Tapi, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hati Alea terasa sedikit lebih hangat.
Karena tak bisa tidur, Alea duduk di kasur sempitnya, menatap layar ponsel. Zea sudah tidur, dan suara kipas angin tua mendominasi keheningan kamar.
Pikirannya ganti pada sosok laki-laki yang ia temui tadi di halte. Ia tidak tahu siapa pria itu. Tapi wajahnya membekas terbayang.
“Aneh,” gumamnya. “Mungkin cuma karena capek.” ia menenangkan.
Makin larut, pikiran perempuan itu jadi makin mengada-ada, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Alea merasa ingin menceritakan hari itu pada seseorang.
Tentang nasi putih, tentang carut marut pekerjaan kantor, tentang Rp187.000 yang tersisa, dan… tentang senyuman pria di halte bus tadi.
Tapi tidak ada siapa pun untuk bercerita.
Hingga malam menua, dan langit masih muram.
Bagian 5 — Selasa yang Sama Sibuknya
Pagi berikutnya, Alea sudah berada di kantor sebelum pukul tujuh. Sisa kantuk masih tertinggal di sudut mata, tapi ia sudah duduk di depan komputernya dengan satu tangan menggenggam cangkir kopi dan tangan lain memeriksa notulensi rapat kemarin.
“Lea, Pak Wisnu bilang, beliau gak bisa jadi narasumber utama untuk pelatihan hari Jumat besok. Katanya beliau lagi ada janji temu sama prospek yang kebetulan juga temannya waktu kuliah.” suara Maya, rekan kerjanya dari divisi digital marketing, muncul di sela-sela notifikasi email yang berdatangan.
Alea menghela napas dalam, tapi tetap mengangguk. Pasalnya, ini bukan sekali dua kali pak Wisnu -yang merupakan atasannya itu mangkir dari jadwal pelatihan. Alasannya pun beragam, mulai dari anaknya yang sakit, hingga mengantar mertuanya pergi umroh.
Ujungnya? Pak Rama, sebagai sekertarisnya lah, yang menggantikannya menjadi pemateri di setiap pelatihan ketenagakerjaan.
Kalau PT. Sanjaya Karya Jaya, tempat kerjanya ini, adalah perusahaan yang sudah cukup besar, struktur organisasi jelas, karyawan banyak, maka Alea memaklumi jika atasan tidak bisa hadir dalam acara pelatihan.
Tapi, berhubung perusahaan ini masih rintisan dari pihak keluarga Pak Wisnu Sanjaya sendiri, dan karyawan yang menghandle semua operasional cuma ada 5, termasuk Alea, rasanya, pekerjaan ini sangat overwhelming. Melihat 1 orang diharuskan mampu mengerjakan banyak hal.
“Oke. Aku hubungi nama cadangan. Tapi kita harus revisi publikasi juga untuk karyawan outsourcing.”
Satu masalah selesai, dua lagi datang. Sepanjang hari, Alea nyaris tak berhenti berbicara—menyusun, mengatur, menyesuaikan. Semuanya berjalan dengan baik, atau setidaknya tampak seperti itu di permukaan.
Kesibukan inilah yang akhirnya membuat hati Alea membeku, sejak 4 tahun lalu, setelah ia memutuskan hubungan dengan mantan pacarnya, Rendi.
Tapi, sejak pertemuan kemarin malam, ruang hatinya yang kosong dan tidak bisa disentuh itu perlahan terasa hangat oleh senyuman orang asing itu.
Bagian 6 — Rabu di Taman Kota
Hari Rabu sore, ada rapat koordinasi eksternal di sebuah kafe dekat taman kota. Usai rapat, Alea memutuskan untuk duduk sebentar di bangku taman sebelum kembali ke kantor. Angin sore lembut, dan langit—meski masih kelabu—mulai menunjukkan semburat warna jingga.
Ia membuka kotak makan kecil berisi sisa roti dari pagi tadi. Sambil mengunyah pelan, ia membuka ponsel dan mengetuk layar tanpa tujuan. Lalu, sebuah suara familiar terdengar dari sebelahnya.
“Eh… kamu yang dari halte bus hari Senin, ya?”
Alea menoleh. Pria itu. Jaket denimnya masih sama, rambutnya tetap berantakan, dan di tangan kanannya, sebuah sketchbook lusuh.
Alea tersenyum kecil. “Kita naik bus yang sama, ya?”
“Kayaknya. Kamu turun di daerah Cipinang, kan?”
Ia mengangguk. Pria itu duduk di ujung bangku, menjaga jarak sopan. Tapi sorot matanya menyimpan kehangatan. “Aku Rangga,” katanya, mengulurkan tangan.
“Alea.”
“Nama yang bagus. Kayak... suara air,” katanya sambil tersenyum kikuk.
Alea terkekeh. “Itu karena kamu seniman. Semua hal disamakan dengan suara dan tekstur.”
Rangga menunjuk sketchbook-nya. “Boleh kulukis kamu?”
Alea terdiam sejenak, lalu mengangkat alis. “Kenapa?”
“Karena wajahmu kayak... orang yang nggak sadar kalau dia sedang lelah banget,” jawab Rangga pelan. “Dan orang kayak gitu biasanya menarik buat dilukis.”
Alea menatapnya lama. Tidak marah. Tidak risih. Tapi ada sesuatu dalam cara Rangga mengucapkan itu—jujur, tanpa basa-basi—yang membuatnya membuka ruang sedikit.
“Cuma sebentar, ya. Habis ini aku harus balik kerja.”
Bagian 7 — Sketsa dan Senyum
Dalam 10 menit, Rangga menggambar cepat dengan pensil 2B. Tangan kanannya lincah, matanya fokus.
Alea duduk diam, sesekali mencuri pandang ke arah kertas. Di antara sketsa yang belum selesai, ia melihat bayangannya—lelah, ya, tapi juga... hidup.
“Udah,” kata Rangga, menyerahkan potongan halaman itu padanya.
Alea menatap gambar itu lama. “Ini... bagus.”
Rangga hanya tersenyum. “Aku nggak pandai banyak ngomong. Tapi kalau kamu butuh istirahat dari dunia, duduk di taman ini jam lima lewat sepuluh sore, hari kerja. Aku biasanya ada di sini.”
Ia bangkit, melipat sketchbook-nya dan mengangkat tangan pelan. “Sampai ketemu, Alea.”
Dan ia pergi begitu saja.
Bagian 8 — Malam Tanpa Kode
Di rumah, Alea menatap sketsa itu lama. Zea tampaknya sudah tertidur di kamarnya, begitu juga dengan ayah dan ibunya. Sementara, suara motor dari jalan depan bergantian datang dan pergi.
Ia meletakkan gambar itu di dalam buku hariannya, lalu menuliskan catatan kecil di halaman samping:
"Seorang asing bernama Rangga, yang tahu bahwa lelah itu bisa terlihat dari mata yang diam. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa… dilihat."
⋯
Alea tidak tahu apakah ia akan datang lagi ke taman itu. Tapi satu hal pasti: sejak hari itu, langit abu-abu selama 3 hari kebelakang itu tidak lagi terasa sekelabu biasanya.
Bagian 9 — Percakapan Tengah Malam
Jam di dinding menunjukkan pukul 23.08. Alea masih terjaga di meja kecil di sudut kamarnya, di depan laptop yang layarnya dipenuhi file Excel dan dokumen presentasi.
Satu folder berjudul “Proposal Pelatihan Bogor – Revisi Final” terbuka lebar, tapi pikirannya tak sepenuhnya ada di sana. Ia melirik ke samping, ke arah sketchbook Rangga yang kini terjepit rapi di dalam map dokumen.
Ia memutuskan untuk menulis. Bukan untuk laporan, bukan untuk pertemuan tim esok hari. Tapi untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu kenapa lelaki itu terasa begitu tenang. Padahal ia juga tampak seperti seseorang yang sedang menunggu sesuatu yang belum tentu datang. Tapi, ada senyum di wajahnya, yang seolah bilang: ‘tidak apa-apa kalau kamu tidak baik-baik saja hari ini.’ Dan itu cukup."
Tangannya berhenti di atas keyboard. Tiba-tiba ia merasa ingin menelepon seseorang. Tapi siapa?
Tak ada.
Ia menoleh ke arah daun pintu yang bergeming. Bayangan wajah Zea terpatri jelas disana, memikirkan adiknya harus menyelesaikan studi dengan baik sudah cukup jadi alasan bagi Alea untuk terus bertahan.
Bagian 10 — Hari Kamis yang Menanti
Esok harinya, saat jam makan siang, Alea berdiri di depan kaca toilet kantor. Wajahnya lelah, tapi ada bayangan samar senyum yang tak bisa ia hapus sejak kemarin.
Ia mengirim satu pesan ke dirinya sendiri lewat aplikasi catatan di handphonenya:
"Tidak semua hari akan terang. Tapi mungkin ada seseorang yang bisa membuatmu merasa diterangi, meski langit abu-abu setiap hari."
Pukul lima lewat delapan sore, Alea berdiri di depan taman yang sama. 2 menit lagi, mungkin saja Rangga akan datang sesuai perkataannya kemarin.
Tapi, hingga 17.03.. tak ada siapapun.
Ia tahu: sepuluh menit lagi, mungkin, kalau dia menunggu, bisa saja ia akan melihat Rangga lagi.
Lalu Alea berjalan mengitari taman, 5 menit kemudian ia berhenti dan memilih untuk duduk lebih dulu. Di bangku paling sudut yang tak banyak dilewati orang.
Alea diam.
Menunggu.
Dengan cara yang perlahan.
Dengan harapan yang tenang.
Bukan hanya berharap kedatangan Rangga, tapi juga berharap agar hari esok tak lagi menakutkan. Karena mungkin, rumah bukan lagi sekedar bangunan yang menyebalkan bagi Alea.
Melainkan, rumah adalah rasa baginya. Dan mungkin, rasa itu baru saja dimulai— tumbuh di bangku taman, di tengah kota, di bawah langit yang masih abu-abu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
