
Hubungan antara Alea dan Rangga mulai tumbuh perlahan, seperti tunas yang baru muncul setelah musim hujan.
Meski dunia mereka sangat berbeda—Alea dengan rutinitas kerja dan beban keluarga, Rangga dengan hidup santainya sebagai ilustrator lepas—mereka menemukan ruang tenang di sela kelelahan masing-masing.
Pertemuan yang semula kebetulan mulai berubah menjadi kebiasaan yang dirindukan. Dalam senja yang tak lagi terasa terlambat, keduanya mulai berbagi cerita, luka, dan sedikit harapan.
Bab ini menyorot...
Bagian 1 – Hari yang Terasa Seperti Ulangan
Jumat paginya, Alea terbangun dengan rasa janggal. Bukan karena mimpi buruk, bukan pula karena alarm yang telat berbunyi—tapi karena langit di luar jendela tampak sama persis dengan pagi hari sebelumnya: kelabu, padat, seperti menyimpan sesuatu yang belum ingin ia beri tahu ke dunia.
Padahal, kemarin sore corak kemerahan saat senja sudah lumayan terlihat, kenapa hari ini jadi muram lagi?
Hampir seminggu penuh dengan hujan rasanya membuat hari-hari Alea hanya semakin penat. Walau, tak bisa dipungkiri, aroma tanah yang basah sejenak bisa menenangkan dirinya.
Dulu Alea suka sekali dengan hujan, tapi semenjak ia menjadi tulang punggung keluarga, ia merasa hujan hanya membuat ruang geraknya sempit. Dan semua serba terhambat. Membawa payung, jaket, kantong plastik untuk melindungi berkas-berkas yang harus ia bawa pulang, rasanya tangannya hampir penuh.
Pertemuan ekternal bisa tertunda, belum lagi saat harus berangkat dan pulang kerja naik bus dalam keadaan basah kuyup karena ia meninggalkan payungnya entah dimana.
Hari jadi penuh kabut, pikirannya pun kalang kabut.
Ia menatap jam digital di nakas: 05.25. Lima menit sebelum alarmnya biasa berdering. Di luar, suara ayam tetangga memecah keheningan pagi.
Alea duduk perlahan sembari menghela napas.
Selang beberapa menit, ia melangkahkan kakinya keluar kamar, untuk bergegas mandi dan bersiap berangkat kerja.
Alea menyempatkan diri mengetuk pintu kamar Zea saat melewatinya. Karena tidak ada jawaban, ia langsung membuka daun pintu. Tahu bahwa adiknya jarang mengunci pintu kamar.
Dilihatnya Zea masih terlelap, wajahnya menghadap ke dinding, rambutnya tergerai lemas. Dan ada sedikit senyum di bibirnya. Alea diam-diam bersyukur, karena setidaknya satu dari mereka bisa bermimpi dengan tenang.
***
Setelah menyiapkan sarapan sederhana dan menitipkan uang belanja di atas meja makan, Alea berangkat lebih awal dari biasanya. Ada hal yang ingin ia pastikan: apakah benar Rangga—lelaki dari taman waktu itu—akan kembali muncul di waktu dan tempat yang sama?
Bagian 2 – Ada yang Berubah di Halte
Langkah Alea terasa lebih ringan dari biasanya. Padahal ia sadar jadwalnya hari ini akan padat merayap.
Halte yang biasa hanya menjadi titik transit sempit kini seperti panggung kecil yang memuat satu kemungkinan baru. Ia berdiri di tempat yang sama saat pertama kali ia melihat Rangga—hujan ringan, jaket denim lusuh, dan sketsa cepat yang mengungkapkan lebih dari kata-kata.
Namun pagi itu, Rangga tak ada.
Ia mencoba menenangkan pikirannya.
Mungkin terlalu pagi.
Mungkin ia memilih rute lain.
Mungkin waktu itu hanyalah kebetulan.
Alea tampaknya kecewa. Sedikit. Walau tak ia akui dengan kata-kata.
Di kantor, konsentrasi Alea terbelah antara dokumen teknis dan bayangan sketsa dirinya yang kini tersimpan dalam map. Sejak sore kemarin, ada rasa ingin tahu yang tumbuh dalam diam. Ia jarang merasa terhubung dengan orang baru—apalagi seseorang yang tidak langsung membuatnya lelah karena harus menjelaskan banyak hal.
Rangga tidak bertanya. Ia hanya melihat. Dan entah mengapa, itu cukup berarti.
Bagian 3 – Taman yang Jadi Janji
Langit sore masih mengambang di ujung gedung-gedung tinggi ketika Alea keluar dari kantor dengan langkah lambat. Matanya lelah, tubuhnya kaku, dan isi kepala penuh angka yang berputar tak tentu arah.
Satu laporan tertunda. Dua klien baru. Tagihan listrik rumah. Biaya kuliah Zea. Dan entah apalagi yang belum terpikirkan.
Kali ini Alea memilih untuk naik ojol. Ia hanya ingin cepat sampai di taman kota. Tempat yang beberapa waktu lalu menjadi saksi pertemuannya dengan Rangga—laki-laki yang muncul seperti embun di tengah tanah retak, ringan tapi meninggalkan jejak.
Pukul lima lewat tiga sore, Alea sudah berdiri persimpangan taman kota -lagi. Padahal ia tahu, kemarin ia menunggu hingga pukul 18.00 pun, sosok yang jelas ia tunggu sama sekali tidak muncul.
Ketika Alea sampai, langit sudah menguning keemasan, dan matahari seperti enggan benar-benar tenggelam.
Ia tak berani berharap terlalu banyak hari ini, tapi tetap memutuskan berjalan perlahan menyusuri jalur pedestrian. Pepohonan berdiri tenang di kiri-kanan jalan.
Langkahnya sejenak terhenti.
Di bangku yang sama, akhirnya Alea melihat sosok itu.
“Datang juga dia.” ujar Alea dalam hati. Ia bahkan tidak merasa kalau ujung bibirnya tiba-tiba tertarik, mengulaskan sebuah senyum kecil tanda kelegaan.
Sedetik kemudian Alea tersadar dan mengoreksi senyumannya. Takut-takut ada yang salah pada dirinya.
Ia tak langsung mendekat pada Rangga.
Laki-laki itu duduk bersandar dengan kaki disilangkan, tablet gambar di tangannya, earphone tergantung di leher.
Merasa ada yang menatapnya, Rangga pun menoleh. Begitu melihat Alea, senyumnya muncul seolah tak ada jeda sejak pertemuan terakhir.
“Kamu datang,” katanya ringan.
“Kamu juga,” jawab Alea, melanjutkan langkah dan duduk di sisi bangku.
Tak ada basa-basi. Tak ada pertanyaan kosong. Hanya kehadiran yang terasa cukup.
Rangga melirik jam. “Kamu masih kerja sekarang?”
“Baru selesai. Hari ini rasanya lumayan mudah dijalani, walau jadwalku padat merayap. Dan, ya, kepala masih berat.”
“Kayaknya itu kondisi default kamu, deh,” candanya sambil mengangkat alis.
Alea tertawa kecil dan mengangguk mengiyakan. “Mungkin.”
“Gambar apa hari ini?” tanya Alea
“Senja,” jawab Rangga sambil duduk di sampingnya. “Tapi belum selesai.”
“Senja belum pernah terlambat,” gumam Alea, nyaris seperti pada dirinya sendiri.
Rangga menoleh. “Maksudnya?”
“Eh, bukan apa-apa.” Sahut Alea kikuk.
Kemudian perempuan itu menarik napas dalam, dan mulai menjelaskan “Kalau pagi itu alarm. Siang itu pengingat. Malam itu penutup. Tapi senja... dia selalu muncul di sela-sela. Dia kayak... jeda. Nggak wajib, tapi kalau kamu sempat perhatiin, dia bikin kamu ngerasa tenang.”
Rangga tak berkata apa-apa. Ia mengangguk-angguk tanda memahami perkataan Alea.
Alea kemudian menyender pelan. Rautnya tampak lelah, walau sudah ia sembunyikan dalam setitik senyuman.
Tidak ada pembicaraan hingga beberapa menit kedepannya. Baik Rangga maupun Alea, tampak sedang bergumul dengan pikirannya masing-masing.
“Kamu tahu nggak,” kata Rangga tiba-tiba, “kadang kita capek bukan karena aktivitasnya, tapi karena nggak ada tempat buat ngelepasin rasa itu.”
Lagi-lagi Alea bergeming. Memikirkan perkataan Rangga yang entah kenapa selalu terasa benar dipikiran Alea.
Lelah yang dialaminya selama ini sepertinya bukan karena kegiatan fisik yang ia jalani. Melainkan karena otaknya selalu berputar memikirkan bagaimana esok, walau ia sedang tertidur sekalipun.
Ia melirik Alea. “Kamu punya tempat itu, Lea?”
Alea hanya tertegun. Membalas tatapan Rangga dengan tatapan yang sulit dimengerti.
Pikirnya, “Laki-laki ini selalu tanpa basa-basi”.
Tapi perlahan ia menjawab, “Mungkin... belum. Tapi mungkin juga... lagi nyari.”
Rangga tidak merespon apapun atas jawaban Alea. Tapi senyumnya cukup jadi balasan.
Bagian 4 – Pertukaran Cerita
“Aku Ilustrator freelance,” ucap Rangga ditengah-tengah obrolan mereka yang rupanya semakin asyik.
Tidak terasa mereka duduk sudah hampir satu jam di taman. Membicarakan hal-hal remeh: riuhnya pejalan kaki yang tampak seperti tak punya beban, buku yang Rangga baca, minuman favorit Alea, dan masa kecil.
Sampai akhirnya mereka membahas mengenai pekerjaan mereka masing-masing.
“Kadang ambil proyek desain juga. Nggak terlalu besar, tapi cukuplah buat makan dan bayar cicilan motor.”
Jawaban itu membuat Alea tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena terdengar begitu jujur dan lepas, hal yang langka dalam hidupnya.
Ternyata Rangga adalah lulusan desain grafis yang kini bekerja lepas sebagai ilustrator dan pengajar workshop akhir pekan.
“Kalo kamu, Alea?”
“Aku kerja kantoran. Bagian HR di perusahaan outsourcing kecil. Ya, kadang klien suka telat bayar invoice, atasan seenaknya sendiri padahal masih merintis, dan gajian terasa seperti sulap—muncul sebentar, hilang selamanya.”
Rangga tertawa mendengar Alea yang mulai nyerocos. “Aku nggak bisa kerja kantoran. Terlalu banyak distraksi. Aku butuh ruang kosong,” lanjutnya.
Alea hanya mengangguk, memahami.
“Kamu lebih suka kerja di kantor ya?” tanya Rangga.
Bagi orang tua Alea, kerja kantoran adalah “pride”. Pergi pagi, pulang petang, dengan setelan, jas, dan sepatu hak adalah hal yang patut untuk selalu dibanggakan.
Terbukti bagaimana ibunya selalu melebih-lebihkan cerita, saat memamerkan pekerjaan putrinya di depan tetangga.
Dalam benak bu Rini, ibu Alea, mungkin anaknya tampak keren, seperti wonder woman. Tanpa tahu bagaimana strugglenya Alea menjadi budak koorporate.
Ibunya tidak salah. Memang benar, dengan kerja kantoran ia bisa mendapatkan penghasilan yang konstan tiap bulannya. Belum lagi dengan adanya tunjangan, asuransi kesehatan, dll. Seolah itu semua satu-satunya jalan untuk membuat hidup mereka tentram.
Alea tidak pernah marah, walau secapek apapun ia menghadapi hari-harinya yang riuh. Karena ia tahu dirinya adalah satu-satunya harapan untuk keluarganya saat ini. Saat ayahnya sudah tidak mampu lagi bekerja. Dan Zea masih harus menyelesaikan kuliahnya.
Alea menghela napas. Ia menengadahkan wajahnya ke langit jingga sore hari. Menimbang seberapa banyak beban yang harus dipikulnya lagi, lalu menjawab “Nggak juga, aku... nggak punya pilihan lain,” jawab Alea jujur.
“Aku harus kerja. Apa pun bentuknya. Ada keluarga yang bergantung.”
Untuk pertama kalinya, wajah Rangga menjadi serius. “Kamu kelihatan kuat. Tapi juga capek.”
Alea menunduk. “Ya.. begitulah.” Alea masih berusaha tersenyum. Walau getir merasakan dinamika hidupnya.
“Kita satu dunia ternyata. Dunia para pejuang tanggungan.” tambah Rangga sambil meringis.
Diam-diam, Alea memperhatikannya. Wajah Rangga bukan tipe yang langsung menarik perhatian. Tapi ada sesuatu dalam caranya bicara—ringan tapi hangat, santai tapi tidak sembrono.
“Alea, kalau suatu saat kamu butuh tempat mengeluh tanpa dihakimi... aku bisa jadi pendengar yang nggak banyak tanya.”
Kata-kata itu sederhana, tapi tepat sasaran.
Alea tidak menjawab. Ia hanya mengangguk.
Diam sejenak. Lalu Rangga menggambar sesuatu cepat di tabletnya dan menunjukkan pada Alea: sebuah pohon kecil di antara dua bangunan tinggi, daunnya hanya tinggal tiga lembar.
“Aku ingin jadi pohon itu,” katanya.
Alea mengernyit. “Kenapa?”
“Karena walau tempatnya sempit, dia tetap tumbuh. Meski lambat.”
Alea hanya diam, tidak tahu harus merespon bagaimana. Dan tidak tahu juga apa yang dimaksud oleh Rangga.
Bagian 5 – Saat Semua Terasa Berat Tapi Harus Dijaga Ringan
Di dalam bus, pikiran Alea masih tertinggal di percakapan singkat sore tadi.
Rangga.
Nama itu terus terputar di kepalanya seperti lagu yang tak sengaja dihafal. Ia tidak tahu kenapa pertemuan sepintas bisa meninggalkan kesan, tapi memang seperti itu rasanya—aneh, samar, tapi tidak bisa diabaikan.
Kali ini, ia tidak satu bus dengan laki-laki itu. Saat hendak pulang, Rangga bilang masih harus ketemu dengan teman-temannya untuk mengerjakan proyek. Jadilah mereka berpisah dipersimpangan jalan dekat taman kota.
Tak terasa bus sudah berhenti di halte dekat rumah Alea. Perempuan itu pun turun dengan sedikit tergesa.
Ia lupa kalau harus membelikan obat untuk ayahnya di apotek. Dan ini sudah jam 19.30 yang jelas sudah lewat dari jadwal ayahnya minum obat.
“Lea, pulang!” Perempuan itu membuka pintu. Kali ini, bukan derit engsel pintu yang menjadi satu-satunya yang menyambut kepulangan Alea, ada detak jam dinding tua disana.
Dan, tampak ayahnya sedang duduk di kursi ruang tamu.
“Tumben ayah duduk disini?” Sapanya langsung. Melihat jarang sekali ayahnya itu duduk di ruang tamu ketika sudah petang. Biasanya sudah tidur lebih dulu.
“Iya, Le, nunggu kamu ini.” nada ayah yang lembut yang selalu menjadi favorite Alea sejak kecil.
Alea kemudian duduk di sebelah ayahnya.
“Ada yang mau ayah bicarakan sama Lea?” Tanya perempuan itu to the point.
Tidak pernah ada basa-basi di rumah ini, semua serba pada intinya.
“Kamu belum makan, Le?” tanya sang Ayah sambil menggeser segelas cokelat hangat yang sudah ada di meja sejak tadi.
Alea tersenyum tipis. “Belum lapar, Yah. Nanti aja.”
Alea dan Rangga sempat membeli kebab di taman tadi. Jadi dia memang sednag tidak lapar, bukan hanya sekedar alasan saja.
Ayahnya mengangguk. Tangan kirinya menekan lutut seperti menahan pegal yang tak kunjung hilang.
Alea menatap sekeliling. Ruang tamu itu sepi, hanya cahaya lampu putih pucat dari langit-langit yang menerangi.
“Ibu ke mana?” tanya Alea pelan.
“Ke apotek, sama Zea. Beli obat ayah,” jawab Ayahnya sambil menggosok pelan telapak tangan satu sama lain, seolah ingin menghangatkan dirinya.
“Oh iya, Lea lupa, harusnya kan Lea yang mampir ke apotek tadi. Makanya Alea tadi buru-buru jalan dari halte. Niatnya cuma mau taruh tas, dan ganti baju, baru keluar lagi untuk beli obat ayah.” jawab Alea panjang lebar. Baru sadar kalau tujuan utamanya jadi tertahan saat melihat ayahnya duduk di sofa.
“Yasudah lah, kan sudah ibu dan Zea yang jalan.” sahut sang ayah.
Kemudian keheningan kembali mengisi ruangan, hanya terganggu oleh desiran angin yang menyelinap lewat jendela.
Alea mengambil gelas yang berisi cokelat panas tadi untuk diseruputnya pelahan.
Lalu suara Ayah pecah dengan pelan, seperti takut mengganggu malam. “Maaf ya, Le... Ayah tahu kamu pasti capek banget. Udah kerja dari pagi, belum makan, pulang malam. Masih juga harus mikirin biaya kuliah Zea.”
Alea mengalihkan pandangannya ke lantai, menghindari mata Ayahnya. Ia ingin bilang “nggak apa-apa”, tapi lidahnya seolah kaku.
“Zea...” Ayah melanjutkan, suaranya sedikit tercekat, “...bulan ini bukan cuma harus lunasin semesternya, Le. Dia juga butuh biaya buat magang. Katanya magangnya di luar kota. Ayah cuma bisa bantu sedikit dari uang pesangon ayah yang ibu simpan. Tapi...”
“Yah,” potong Alea pelan.
Ia meletakkan gelas ke meja, menatap ayahnya dengan senyum yang ia paksa tak bergetar.
“Nggak apa-apa. Aku bisa coba lembur lagi minggu depan. Mungkin beberapa waktu kedepan juga bisa cari kerja freelance atau tambahan akhir pekan.”
"Untuk biaya kuliah Zea, Lea udah ada, hari sabtu dan minggu Alea kan ikut Siska jadi WO.
“Tapi kamu juga manusia, Le,” jawab Ayahnya pelan. “Ayah lihat kamu tiap malam makin pucat. Mata kamu kadang sembab. Kamu nggak pernah ngeluh, tapi Ayah tahu.”
Alea mengembuskan napas. Dalam cahaya lampu yang lembut, wajahnya terlihat lelah tapi tetap mencoba tenang.
“Aku... cuma pengin semua tetap berjalan, Yah. Zea harus selesai kuliah. Ayah juga butuh obat teratur. Ibu kan juga butuh istirahat, gabisa kalau harus jualan lagi. Kalau bukan aku, siapa lagi?”
Ayah menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat. “Seandainya ayah bisa kasih kamu hidup yang lebih ringan...”
Alea berdiri, mendekati ayahnya, lalu duduk di lantai di samping kaki beliau. Ia menyandarkan kepalanya ke lutut Ayah.
“Yah, ayah kan sudah kasih yang terbaik. Rumah ini... tempat ini... keluarga kita... itu semua cukup. Aku yang harus berjuang sekarang. Dan aku mau, bukan karena terpaksa. Tapi karena aku cinta kalian.”
Ayahnya diam lama. Lalu satu tangan yang kasar dan hangat mengusap kepala Alea.
“Kamu anak yang luar biasa,” gumamnya pelan. “Maaf kalau hidup kamu jadi terlalu cepat dewasa.”
Alea tidak menjawab. Ia hanya menutup mata sejenak, meresapi dekapan kecil itu. Di dalam ruang tamu yang sepi itu, cinta dan beban saling bersanding dalam keheningan yang damai.
Bagian 6 – Janji temu dan Payet Pernikahan
Keesokan harinya, sesuai janji, Siska sudah menjemput Alea sejak habis subuh.
Hari ini mereka mengambil job sebagai panitia WO di Casakhasa. Sebenarnya, job ini sudah bukan sekali-dua kali mereka lakukan. Kedua sahabat ini memang tergolong perempuan-perempuan yang anti mager.
Setiap ada peluang mereka selalu mempergunakannya dengan baik. “Yang penting produktif, Le.” Begitu kata Siska. Dan Alea selalu mengiyakan ajakan sahabatnya itu karena memang ia butuh uang tambahan.
Bisa dibilang, walaupun Siska memiliki sifat yang bertolak belakang dengan Alea -Siska yang lebih santai, sementara Alea selalu serius dalam keseharian, tapi jika ia diberi tanggung jawab, Siska hampir selalu bisa menyelesaikannya dengan baik.
Melihat Siska yang bisa sesantai itu menjalani kehidupannya, kadang Alea iri. Tidak ada tagihan listrik dan air yang harus dipikirkan, tidak ada keluhan uang saku dan biaya kuliah yang kurang, dan tidak ada uang belanja harian yang benar-benar disetting sedemikian rupa agar on budget.
Tapi, ya, setiap orang pasti menghadapi masalahnya masing-masing. Dan kenyataan inilah yang membuat Alea tetap bisa bertahan dan bersyukur ia masih bernapas hingga saat ini.
Pagi ini, matahari bersinar malu-malu dari balik awan dan Alea sudah tampak sibuk di pelataran Casakhasa sejak tadi pukul 08.00. Ia mengenakan blouse hitam berlengan panjang dan celana bahan krem, dengan name tag kecil bertuliskan “Alea — Koordinator Bridesmaid” di dada kirinya.
Siska mendekat dengan daftar rundown di tangan, wajahnya berkeringat meski baru jam sepuluh.
“Gila, ini baru jam segini udah ribet aja. Listrik sempat mati tadi di dapur catering,” keluhnya sambil meniup poni yang menempel di kening.
Alea menahan senyum. “Kan udah aku ingetin sejak awal, kamu harus ajak partner cowok di divisi acara. Ini kerjaan WO setengahnya soal angkat-angkat, kelistrikan, lari kesana kemari, atur ini, atur itu. Masak sering nge WO sejak satu tahun lalu masi aja gak paham.”
“Masalahnya, panitia cowok yang bisa join job hari ini cuma 2. Lainnya pada banyak nolak karena ada acara lah, istirahat lah,” jawab Siska sarkastik.
Mereka berdua kemudian tergelak mengingat di usia mereka ini memang wajar saat mengambil kegiatan sesuai prioritas masing-masing. Bukan lagi tentang kesenangan, atau sekedar karena “kesetiakawanan”. Jadi ya, mereka toh akhirnya akan memaklumi.
Beberapa menit selanjutnya Alea dan Siska kembali bergerak ke posisi masing-masing. Alea memastikan bridesmaid berdiri sesuai urutan sebelum prosesi foto, lalu memeriksa ulang veil pengantin yang sempat miring tertiup angin.
Setelah semua sesuai, ia berjalan ke arah Siska yang sedang mengatur suara musik dari pengeras portable. Alea menyodorkan sekotak minuman isotonik padanya untuk menambah tenaga.
“Ini kerjaan tambahanmu yang keberapa bulan ini?” tanya Siska sambil menyesap minuman isotoniknya.
Alea menatap langit. “Kalau dihitung, mungkin keempat?”
Siska mengerutkan kening. “Kamu serius mau terus kayak gini tiap weekend? Gaada libur sama sekali, Le?”
“Selama aku butuh duit tambahan, ya,” jawab Alea ringan, walau matanya tak bisa menyembunyikan kelelahan.
Siska menatapnya sebentar, lalu menghela napas. “Aku tahu kamu kuat. Tapi bukan berarti kamu harus jadi superwoman tiap hari. Istirahat juga penting, Le. Kalau kamu mau, aku bisa bantu-”
Alea tersenyum memutus pembicaaran Siska. Ia hanya menepuk bahu sahabatnya itu dan melangkah lagi menuju ruang rias, tempat pengantin sedang touch-up terakhir sebelum prosesi akad.
Sesaat kemudian, terdengar suara musik lembut dari pengeras suara. Tamu-tamu mulai berdatangan. Alea dan Siska berdiri di sisi kanan pintu, memastikan jalur masuk bersih dan rapi.
Di sela keramaian, Siska melirik Alea dan bertanya setengah berbisik, “Kamu belum kepikiran buat nikah, Le?”
Hening. Seketika pikiran Alea kosong.
Alea mengedip pelan. “Kadang.” akhirnya jawaban itulah yang meluncur dari mulutnya.
Siska melirik. “Emang sudah ada calon?” Lanjutnya memastikan.
“Eum.. belum sih.” Alea tersenyum getir. Dalam benaknya, sempat terbersit wajah Rangga. Tapi, bagaimana mungkin dari pertemuan yang masih sesingkat itu, dia mengharapkan laki-laki yang masih asing menjadi pendamping hidupnya?
Lucu.
“Kalo ada yang lagi naksir kamu, dan kamu butuh cerita, bilang aja. Ntar aku dengerin kok!”
Alea mengangguk. “Iya, gampang lah itu.”
Siska tersenyum geli. “Hmm... Kalo diliat-liat ini kayaknya lagi ada, sih. Gimana perkembangan?”
Alea menoleh padanya, lalu mengangkat alis. “Mungkin. Tapi sekarang fokusku tetap keluarga dulu.”
“Dan lemburan?” tambah Siska menggoda.
Alea terkekeh. “Dan WO.”
Mereka berdua tertawa kecil, meski di antara tawa itu ada rasa letih yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang berjuang bukan hanya untuk dirinya sendiri.
Matahari mulai menampakkan sinarnya hampir di atas kepala. Walaupun begitu, cuacanya tidak terlalu terik. Tidak panas, dan tidak mendung, cuaca yang sangat mendukung acara pernikahan luar ruangan. Angin sepoi-sepoi berpadu dengan merdunya alunan musik pengiring. Sang pengantin berjalan bergandengan dengan sangat elok menuju pelaminan.
Kebahagiaan dan ketulusan terpancar dengan sangat jelas dari kedua mempelai. Pengunjungpun ikut larut dalam keromantisan dan kesakralan acara tersebut. Begitu juga dengan Alea.
Ini mungkin bukan pernikahannya sendiri. Tapi di tengah pesta orang lain, Alea tetap berdiri dengan tulus. Berharap acara pernikahannya nanti akan sekhusyuk ini.
Nanti.
Ya. Masih jauh. Pikirnya.
***
Rangga dan Alea kembali bertemu malam minggu ini. Kali ini bukan di taman, tapi di sebuah kedai kopi yang tak jauh dari rumah Alea.
Tadi, saat Alea baru menyelesaikan jobnya, dan mau masuk mobil Siska, handphonenya tiba-tiba berdering. Ada pesan masuk di whatsappnya.
📩“Hai, Alea! Sibuk? Mau bertemu di Kedai Malabar? Aku lagi disini.”
Isi pesan Rangga tanpa basa-basi.
Alea baru ingat, kemarin sore ia dan Rangga memang sempat bertukar nomor whatsapp. Tapi keduanya tidak saling mengabari sepulang dari taman itu.
Alea pun tak sempat gelisah menunggu pesan dari Rangga karena di malam itu ia langsung mandi dan pergi tidur sehabis berbincang serius dengan ayahnya.
Setelah menimbang ajakan Rangga, Alea menoleh pada Siska yang sedang mengemudi.
“Cik, aku turun di Malabar, deh ya.”
Alea memang terbiasa memanggil Cika, alih-alih Siska.
Siska menyahut “Tumben? Gak capek, Le?”
“Zea minta oleh-oleh.” Jawab Alea sekenanya. Ia belum berniat menceritakan soal Rangga pada sahabatnya itu.
“Oke deh. Aku tungguin kalo gitu.”
“Gaperlu deh, nanti aku bisa jalan aja, deket ini dari rumah. Kamu langsung aja deh, Cik. Mukamu udah lusuh banget itu abis jadi koor acara.” Alea terkekeh meledek. Siska menyembikkan bibirnya, tak terima diledek.
“Tapi emang iya sih, ya ampun rasanya badanku remuk, Le.”
“Makanya, kan, biar cepet bersih-bersih badan, istirahat deh.” Lanjut Alea.
Siska hanya mengangguk. Alea lega karena Siska tidak memaksa ikut. Ia pun langsung membalas pesan Rangga.
📩"Oke, tunggu ya. Baru kelar ng-WO."
***
Rangga menunggu di sudut dekat jendela dengan dua cangkir kopi dan croissant.
“Capek?” tanyanya.
Alea duduk. “Selalu. Tapi hari ini, nggak separah biasanya.”
Rangga tertawa. “Berarti ada kemajuan.”
Mereka berbicara lebih banyak malam itu. Tentang kegiatan Alea menjadi pendamping bridesmaid hari ini, tentang pekerjaan Rangga, dan sedikit merembet pada luka lama, tentang impian yang terkubur, tentang rasa takut dan kehilangan.
Rangga juga bercerita tentang ayahnya yang meninggal dua tahun lalu karena stroke, dan sejak saat itu ialah yang berusaha nenghidupi dirinya dan ibunya di rumah.
Alea sempat terdiam lama. Ternyata bukan dirinya saja yang sedang menanggung banyak beban di pundak. Rangga juga.
Bagian 7 – Langit Tak Lagi Sepenuhnya Abu-Abu
Pekan itu ditutup dengan satu pesan singkat dari Rangga yang masuk ke ponsel Alea:
📩"Aku nggak janji bisa bikin hari-hari kamu jadi terang, Lea. Tapi kalau kamu butuh tempat berhenti sebentar, aku bisa jadi bangku taman itu.”
Alea membalas:
📩“Terima kasih. Aku belum tahu cara bilangnya, tapi kehadiran kamu... nggak sia-sia.”
Alea tersenyum menatap jendela.
Dan untuk pertama kalinya, senja datang tanpa rasa terlambat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
