8 Bayangan di Cermin

0
0
Deskripsi

"Jangan pergi."

Suara itu berbisik langsung ke telinganya.

Dina melompat mundur, tubuhnya membentur meja rias dengan keras. Napasnya terengah-engah. Ia meraba-raba saku jaketnya dan menemukan ponselnya—tapi saat ia menyalakan layar, tidak ada sinyal.

Ia mencoba menyalakan senter ponsel. Cahaya redup menerangi ruangan untuk sesaat—cukup untuk melihat sekeliling.

Dan cukup untuk melihat Mita masih terduduk di sudut ruangan, tidak bergerak.

Jika Mita ada di sana...

Lalu siapa yang tadi menggenggam tangannya?

Dina tersentak bangun, tubuhnya bergetar hebat. Kepalanya berdenyut, napasnya terengah-engah. Udara di sekelilingnya terasa dingin dan lembap, seolah ia berada di ruangan bawah tanah yang sudah lama ditinggalkan. Saat matanya terbiasa dengan kegelapan, ia menyadari sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Ia tidak berada di belakang aula sekolah lagi.

Dina berada di dalam ruang rias panggung.

Cermin besar yang memenuhi dinding ruangan itu berdebu, bercak-bercak hitam menutupi sebagian besar permukaannya. Lampu di sekitarnya berkedip-kedip, menciptakan bayangan aneh di permukaan cermin. Ruangan ini adalah tempat di mana para siswa biasanya bersiap sebelum acara sekolah, tetapi sekarang... ruangan itu terasa seperti perangkap.

Ia mencoba berdiri, tetapi kakinya terasa lemas. Ingatannya tentang apa yang baru saja terjadi kembali mengalir. Mita. Pesan misterius. Sosok di ujung lorong. Lalu—kegelapan total. Sesuatu telah menculik mereka.

Dina menoleh ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa.

"Mita?" suaranya terdengar serak.

Tidak ada jawaban.

Ia menelan ludah. Aku harus keluar dari sini. Dengan hati-hati, ia melangkah ke arah pintu. Jari-jarinya meraba kenop pintu dan mencoba memutarnya.

Terkunci.

Dina mengumpat dalam hati. Ia mengetuk pintu, kemudian mendorongnya dengan bahunya, tetapi tidak ada gunanya. Ruangan ini dibuat kedap suara—bahkan jika ia berteriak, tidak ada yang akan mendengarnya.

Sebuah suara tiba-tiba menggema di ruangan.

Pelan.

Seperti gesekan jari di atas kaca.

Dina membeku.

Matanya beralih ke cermin besar di dinding. Ia tidak bergerak, tidak berani bernapas.

Ada sesuatu di balik cermin.

Cahaya lampu yang redup membuat pantulan di dalam kaca terlihat lebih aneh dari biasanya. Tetapi saat Dina menatap lebih lama, ia menyadari sesuatu yang lebih mengerikan.

Pantulannya tidak mengikuti gerakannya.

Dina melangkah mundur, tetapi sosok di dalam cermin tetap berdiri diam, menatap lurus ke arahnya. Matanya... kosong. Tidak ada cahaya kehidupan di sana, hanya kegelapan yang dalam.

Lalu, bibir pantulan itu mulai bergerak.

Dina tidak bisa mendengar suara, tetapi ia bisa membaca gerakan mulutnya.

"Jangan lihat ke belakang."

Dina menegang.

Darahnya terasa membeku di dalam pembuluhnya.

Jangan lihat ke belakang?

Sesuatu berdiri di belakangnya.

Jantungnya berpacu. Tubuhnya terasa kaku, tetapi instingnya memerintahkan satu hal: lari.

Namun, sebelum ia bisa bergerak, pantulan di dalam cermin tiba-tiba berubah. Bayangannya menghilang, digantikan oleh sesuatu yang lebih menyeramkan. Seorang gadis.

Berambut panjang, wajahnya samar tertutup rambut. Tapi yang paling mengerikan adalah—senyumannya.

Senyuman yang tidak seharusnya ada di wajah seseorang yang sudah mati.

Ayu.

Dina ingin menjerit, tetapi suaranya terjebak di tenggorokannya. Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa berpaling.

Sampai sesuatu menyentuh bahunya.

Dingin.

Jari-jari kurus yang mencengkeramnya pelan.

"Dina..."

Suara itu berbisik langsung di telinganya.

Dina menjerit dan terhuyung mundur, tubuhnya membentur meja rias. Dengan panik, ia menoleh ke belakang—tetapi tidak ada siapa-siapa.

Tangannya gemetar saat meraih napas, berusaha mengendalikan kepanikannya.

Ini tidak nyata. Ini tidak nyata.

Tetapi saat ia menoleh ke cermin, wajah Ayu kini tepat berada di depannya—hanya beberapa senti dari permukaan kaca.

Dina tersentak mundur, tetapi sesuatu menarik perhatiannya.

Ayu mengangkat tangannya, menunjuk sesuatu.

Sudut ruangan.

Dina menoleh ke sana.

Dan di sanalah Mita.

Ia duduk bersandar di dinding, matanya terbuka tetapi kosong, bibirnya terbuka sedikit, seolah ia mencoba berbicara tetapi tidak bisa.

Dina merangkak mendekatinya, mengguncang bahunya. "Mita! Bangun! Kita harus keluar dari sini!"

Mita tidak bereaksi.

Tapi bibirnya bergerak, mengucapkan sesuatu yang hampir tak terdengar.

Dina mendekat, mendekatkan telinganya.

"...dia datang."

Lampu di ruangan berkedip semakin cepat.

Cermin mulai bergetar.

Lalu, dalam satu kilatan cahaya terakhir, pantulan Dina berubah menjadi sesuatu yang tidak seharusnya berada di dunia ini.

Dan kemudian lampu padam.

Kegelapan total.

Dan suara langkah kaki mulai mendekat.

Kegelapan menyelimuti ruangan seperti kabut pekat yang mencekik. Dina tidak bisa melihat apa pun—bahkan tangannya sendiri terasa asing dalam kehampaan ini.

Lalu, suara itu datang.

Tap. Tap. Tap.

Langkah kaki pelan, teratur, mendekat.

Dina menahan napas. Ia tahu ia tidak sendiri di ruangan ini. Sesuatu ada di sini, bersamanya.

Ia mendengar tarikan napas berat di belakangnya—bukan miliknya, bukan milik Mita.

Dingin menjalari tengkuknya.

Jangan lihat ke belakang.

Itulah yang dikatakan pantulan dirinya tadi di cermin. Tapi insting manusia terlalu lemah terhadap rasa takut—keingintahuan bercampur ketegangan, membuat tubuhnya bergetar tanpa kendali.

Dengan gerakan pelan, Dina meraih tangan Mita, mencengkramnya erat.

Dingin.

Tapi tidak hanya itu.

Jari-jarinya terasa lebih panjang dari biasanya.

Jantung Dina berdebar kencang. Ia tahu ini bukan tangan Mita.

Sesuatu sedang menyentuhnya.

Ia menggigit bibirnya untuk menahan teriakan. Tangannya perlahan, sangat perlahan, melepas genggaman itu. Tapi saat ia menarik diri, jari-jari dingin itu tiba-tiba mencengkramnya lebih erat.

"Jangan pergi."

Suara itu berbisik langsung ke telinganya.

Dina melompat mundur, tubuhnya membentur meja rias dengan keras. Napasnya terengah-engah. Ia meraba-raba saku jaketnya dan menemukan ponselnya—tapi saat ia menyalakan layar, tidak ada sinyal.

Ia mencoba menyalakan senter ponsel. Cahaya redup menerangi ruangan untuk sesaat—cukup untuk melihat sekeliling.

Dan cukup untuk melihat Mita masih terduduk di sudut ruangan, tidak bergerak.

Jika Mita ada di sana...

Lalu siapa yang tadi menggenggam tangannya?

Seketika, ponsel di tangannya berkedip dan mati. Cahaya kembali menghilang.

Kemudian, suara lain terdengar.

Gemerisik.

Seperti sesuatu yang bergerak di atas permukaan kaca.

Dina merasakan seluruh tubuhnya kaku saat menyadari sumber suara itu. Cermin.

Dengan sisa keberanian yang dimilikinya, ia menoleh.

Dan di dalam kegelapan, dalam pantulan samar, sesuatu sedang merayap keluar dari cermin.

Jari-jari pucat itu menekan permukaan kaca, menciptakan retakan kecil yang menyebar seperti jaring laba-laba. Sosoknya belum sepenuhnya keluar, tetapi kepala yang tertunduk, rambut panjang yang menjuntai, dan mulut yang sedikit terbuka itu cukup untuk membuat Dina kehilangan kata-kata.

Itu Ayu.

Tapi bukan Ayu yang ia kenal.

Senyum yang terlalu lebar, rahang yang terbuka lebih besar dari manusia normal, dan mata kosong yang hanya memantulkan kehampaan.

Cermin itu bukan hanya memantulkan masa lalu.

Cermin itu adalah pintu.

Dan sesuatu sedang mencoba keluar.

Dina berusaha berdiri, tetapi kakinya gemetar hebat. Ia meraih lengan Mita dan mengguncangnya. "Bangun! Kita harus keluar dari sini!"

Mita masih tidak bergerak.

Sementara itu, retakan di cermin semakin melebar. Dari celah-celahnya, sesuatu merembes keluar—bukan darah, bukan air, tetapi kegelapan itu sendiri.

Dina menahan napas. Tidak ada waktu lagi.

Ia mengangkat tubuh Mita dengan sekuat tenaga dan menyeretnya ke pintu. Ia menggedor pintu itu keras-keras.

"Tolong! Buka pintunya! Siapa pun!"

Tidak ada jawaban.

Retakan cermin kini menyebar ke seluruh permukaan.

Dan kemudian—

PRAK!

Cermin itu pecah.

Sosok yang ada di dalamnya jatuh keluar.

Dina tidak menunggu untuk melihat lebih jauh. Dengan panik, ia menendang pintu sekali lagi.

Dan entah karena dorongan keputusasaan atau keberuntungan, pintu itu terbuka.

Ia menyeret Mita keluar, hampir tersandung di lorong. Saat mereka keluar, lampu-lampu kembali menyala, menerangi ruangan yang baru saja mereka tinggalkan.

Dina menoleh.

Tidak ada apa-apa.

Cermin yang tadi pecah kini kembali utuh.

Tidak ada sosok mengerikan, tidak ada retakan, tidak ada bayangan.

Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Dina mengatur napasnya yang masih memburu. Ia menatap Mita, yang kini mulai tersadar.

Mita mengerjap, matanya kosong, tetapi kemudian ia berbisik, "Dina... kita harus pergi."

Dina mengangguk cepat. "Ya. Sekarang."

Mereka berlari menyusuri lorong, meninggalkan ruang rias itu.

Tapi sebelum mereka berbelok di ujung lorong, Dina menoleh sekali lagi.

Cermin itu tetap utuh.

Namun, di permukaannya, samar-samar, ia bisa melihat sesuatu.

Senyum yang terlalu lebar.

Dan kemudian, cermin itu berbisik.

"Ini belum selesai."

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 9 Rekaman Rahasia
0
0
Lalu, sesuatu terjadi.Di layar, sesaat sebelum Ayu berlari ke belakang panggung, bayangannya tampak memanjang dengan cara yang tidak wajar. Seolah-olah ada sesuatu yang berdiri di belakangnya—sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa, tetapi tertangkap oleh kamera.Lalu, saat Ayu menghilang di balik tirai...Bayangannya tetap di panggung.Dina merasa seluruh tubuhnya menegang. Itu bukan hanya rekaman biasa. Ada sesuatu yang salah.Mita terengah-engah. “Apa itu?”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan