
POV dari Narasumber.
Untuk nama dan tempat atau hal lain yang mengandung unsur sensitif akan mimin samarkan.
Selamat Membaca. . .
“Mas, iki lemahe opo se ?” (Mas, itu tanah apa sih?), tanya Ira kepada suaminya sambil terus menyapu teras depan rumahnya.
“Yo belduk pola, saiki lak musime angin gending” (mungkin debu, soalnya sekarang musim angin gending), jawab singkat Slamet suaminya.
Kecurigaan Ira kembali muncul, saat dia kembali menemukan sawuran tanah - tanah seperti tanah kuburan didepan teras warungnya.
Namun, saat mencoba bilang ke Slamet, omongannya selalu ditepis oleh suaminya itu.
“Gausah mikir aneh - aneh, mek beldug” (tidak usah berfikir aneh - aneh, cuman debu), tepis Slamet.
Hari - hari terus berjalan, sawuran tanah tersebut masih berserakan di depan rumah dan teras warungnya.
Hingga pada suatu malam, Slamet bermimpi di kejar sosok kera hitam namun berkepala manusia.
Meskipun wajahnya sedikit ngeblur, namun Slamet bisa memastikan bahwa sosok itu benar-benar berkepala manusia.
Oke kembali ke mimpi Slamet.
Dimana dia berada di suatu hutan, diantara pohon - pohon besar yang mengelilinginya.
Disaat Slamet lari, sesekali dia menoleh ke belakang. Dia melihat banyak sekali sosok kera yang mengejarnya, hingga dia tidak bisa menghitungnya lagi.
Dia lari menjauh,
Dia trabas semua yang ada di depannya, tak terkecuali rumput alang-alang.
Hingga, pada saat dia terkepung.
Dia liat dengan seksama satu sosok kera yang akan menyerangnya.
“Kok miripp...” gumam Slamet dengan badan yang terus gemetar.
Perlahan-lahan sosok kera tersebut berjalan mendekati Slamet.
Dengan mulut menganga dan mata melotot berwarna merah. Kera tersebut melompat ke dada Slamet,
Persis di sana di dadanya, Kera tersebut mencakar-cakar tubuh Slamet hingga membuat Slamet jatuh tersungkur.
Setelah satu kera berhasil membuatnya terjatuh, kemudian muncul kera-kera lain yang ikut menyerangnya.
“Ahhh.... tolongggggg.”
Serangan kera-kera tersebut hingga membuat Slamet terbangun dari tidurnya.
“Ahh.. haa.. haa.”
Slamet mencoba duduk dengan nafas yang terengah-engah kemudian dia beristighfar.
“Opo’o samean, mas?,” (Kenapa kamu, Mas?), kata Ira.
“Sektasan aku mimpi digodak ketek, dek!,” (Barusan saya bermimpi dikejar kera, dek), jawab Slamet.
Lalu, Slamet diam sejenak mengatur nafas sebelum melanjutkan ceritanya.
“Dodoku dicakar-cakar dek,” (Dada saya dicakar-cakar, dek), Slamet melanjutkan ceritanya.
Akhirnya, Ira pun ikut duduk menemani suaminya bercerita sambil sesekali menenangkan.
Kemudian, Ira memberinya segelas air putih agar suaminya lebih tenang lagi.
Setelah tenang, Ira menyuruh Slamet melanjutkan tidurnya, lalu disusul dengan Ira.
Paginya, Ira kembali mendapati teras depan rumahnya penuh dengan tanah. Perasaan curiga timbul dalam hatinya, namun siapa yang menabur tanah itu masih terus menjadi pertanyaan bagi Ira.
Singkat cerita, dagangan bakso miliknya perlahan mulai sepi, setiap hari selalu tersisa banyak. Kadang, dalam sehari hanya laku satu porsi saja.
Setiap malam setelah menutup warung, Ira dan Slamet selalu bercerita tentang keadaan warungnya yang setiap hari semakin sepi.
Rasa curiga Ira selama ini akhirnya terjawab setelah Slamet menceritakan sosok kera berkepala manusia yang ada dimimpinya beberapa hari lalu.
“Rupane iku persis mas Sugeng, dek,” (Wajah itu mirip banget sama mas Sugeng, dek), jelas Slamet.
“Hah!, sing genah samean mas, ojo asal ngarani uwong,” (Hah!, yang benar kamu mas, jangan asal menuduh orang), jawab Ira.
“Iyo dek, aku sik iling,” (Iya dek, aku masih ingat), tegas Slamet.
Slamet terus meyakinkan Ira bahwa apa yang dia lihat dimimpinya itu benar-benar mas Sugeng, tetangga sebelah warung baksonya.
Antara pecaya dan tidak, karena sebenarnya mas Sugeng ini selalu menunjukkan perilaku baik kepada keluarga Slamet, terlebih istrinya mbak Reni, beliau bersahabat baik dengan Ira.
Sering kali ketika Ira mengalami kesulitan, mbak Reni selalu membantu Ira, dan sering juga mbak Reni ini ater-ater beberapa makanan kepada keluarga Slamet.
*ater-ater = memberi.
Singkat cerita, hingga suatu ketika mbak Reni ater-ater jenang sapar kepada keluarga Slamet.
Dan setelah jenang sapar itu dimakan oleh Ira, malam harinya dia mengalami sakit.
Langsung saja Slamet membawanya ke dokter umum.
Beberapa hari berselang bukannya sembuh, malah penyakit Ira semakin parah.
Rasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum dibagian perut setiap pukul empat sore dan dua belas malam selalu dirasakan Ira setiap hari. Dan beberapa hari kemudian perut Ira membesar.
Karena merasa aneh dan juga karena mendapat saran dari beberapa tetangga termasuk mbak Reni dan mas Sugeng, akhirnya Slamet membawa Ira ke orang pintar.
Sebut saja namanya Kyai Hasyim, disana Slamet menjelaskan beberapa keluhan yang dirasakan Ira.
Ditengah-tengah penjelasan Slamet, tiba-tiba Kyai Hasyim memotong omongan Slamet.
“Awakmu tau duwe salah karo sopo, le?,” (Kamu pernah berbuat salah kepada siapa, le?), tanya Kyai Hasyim.
“Ndak ngerti, Kyai. Koyok e seh gak onok,” (Tidak tau, Kyai. Sepertinya sih tidak ada), jawab Slamet sambil berfikir dan terus flashback.
“Cobak Iling-ilingen maneh,” kata Kyai Hasyim.
Slamet terus mengingat, namun tidak mendapat jawaban yang pasti. Hingga akhirnya Kyai Hasyim kembali bilang “Cobak takokno bojomu pisan, dek e tau duwe salah nang sopo?,” (Coba tanya kepada istrimu juga, dia pernah berbuat salah kepada siapa?).
Setelah bicara, Kyai Hasyim memejamkan matanya sebentar, lalu...
“Ngene ae wes, iki wocoen, terus awakmu jaluk o sepuro nang uwong sing teko nang mimpimu,” (Begini saja, ini dibaca lalu kamu meminta maaf kepada orang yang pernah datang kemimpimu), kata Kyai Hasyim sambil memberikan selembar kertas berisi bacaan ayat suci Al-Qur’an.
Tak khayal membuat Slamet kaget, “Kok isok wero masalah mimpiku,” (kenapa bisa tau masalah mimpiku), gumam Slamet dalam hati.
Singkat cerita, sepulang dari rumah Kyai Hasyim, Slamet menceritakan semua omongan Kyai Hasyim kepada istrinya.
“Ya Allah, iyo mas, aku pas iko tau guyoni mbak Reni, tapi dek e koyok loro ati ngunu karo guyonanku, padahal niatku mek guyonan,”
(Ya Allah, iya mas, aku kapan hari pernah bercandain mbak Reni, tapi dia seperti sakit hati gitu sama candaanku, padahal niatku cuma bercanda), jelas Ira.
“Yowes jarno, wes kadung kedaden, saiki iki wocoen. Mene jaluk sepuro bareng nang mbak Reni karo mas Sugeng,”
(Yaudah biar, sudah kejadian, sekarang ini dibaca. Besok sama-sama minta maaf ke mbak Reni sama mas Sugeng,) kata Slamet sembari memberikan selembar kertas dari Kyai Hasyim.
Ira mengangguk, lalu perlahan membaca bacaan yang ada diketas tersebut. Kemudian Ira tidur.
Besok paginya, Ira bangun seperti biasa, perutnya yang membuncit berangsur-angsur menyursut, meskipun tubuhnya masih lemas.
Selama Ira sakit, hampir seminggu dagangan baksonya tutup. Pemasukan tidak ada, mereka hanya mengandalkan sisa uang dari dagangannya yang lalu.
Singkat cerita setelah Ira benar-benar sembuh dari penyakitnya, Slamet mengajaknya ke rumah mbak Reni dan mas Sugeng.
Slamet berniat meminta maaf atas kesalahan Ira kepada mbak Reni.
Sesampainya di rumah mbak Reni dan mas Sugeng, mereka disambut baik oleh mas Sugeng.
Obrolan dimulai, Ira mulai menjelaskan kesalahannya kepada mbak Reni.
“Iyo ndak popo, Ra. Lawong cuman guyon kok,” (Iya tidak apa, Ra. Lawong cuma bercanda kok), jawab mbak Reni.
Dengan legowo mbak Reni memaafkan kesalahan Ira, begitu juga dengan mas Sugeng.
Sudah tidak ada lagi rasa curiga, mereka pulang dengan perasaan senang.
Lalu, besoknya Ira dan Slamet kembali membuka warung baksonya, dan sudah tidak ada lagi sawuran lemah kuburan di warungnya.
Tiba-tiba, setelah 3 hari warungnya buka, kebetulan selama 3 hari itu jualannya laris, Ira kembali mendapati ada banyak tanah berserakan di teras depan warungnya. Ira bingung, “mosok se iki ulahe mas Sugeng karo mbak Reni maneh,” (masak sih ini ulah dari mas Sugeng dan mbak Reni lagi), gumam Ira dalam hati.
“Masss, reneo ta!” (Masss, kesini ta!), Ira memanggil Slamet, maksud hati ingin menunjukkan sawuran tanah-tanah itu kepada suaminya.
Mendengar Ira memanggilnya, Slamet langsung bergegas menemui Ira.
“Opo, dek?,” (Apa, dek?), tanya Slamet.
“Mas, delok en iki,” (Mas, lihat ini), kata Ira sembari tangannya menunjuk ke arah teras depan warungnya yang banyak tanah.
Slamet diam sejenak, dia seperti memikirkan sesuatu. Kemudian, Slamet kembali masuk ke dalam warungnya. Lalu, dia kembali ke depan sambil membawa sapu.
“Wes jarno, ndak usah dipikiri,” (Biarkan saja, tidak usah dipikir), kata Slamet sambil membersihkan tanah-tanah yang berserakan di warung baksonya.
Ira hanya diam, sesekali menghela nafas panjang.
Singkat cerita, pukul 10 pagi warung baksonya buka, dan hingga sore hari hanya laku 2 porsi saja.
“Koyok e lemah mau iku digawe nyepikno warung iki maneh, mas,” (Sepertinya tanah tadi itu dibuat menyepikan warung ini lagi, mas), kata Ira.
Mendengar omongan Ira, Slamet hanya tersenyum.
“Ojok sabar-sabar teros pok o, mas” (jangan sabar terus, mas), kata Ira dengan nada yang sedikit meninggi.
“Yo’opo maneh, dek,” (Mau bagaimana lagi, dek), jawab Slamet.
“Yo opo ta, budalo nang Kyai Hasyim maneh ngunu ta, takon-takon cara mageri warung iki,” (Gimana ta, coba berangkat ke Kyai Hasyim lagi, tanya-tanya cara memagari warung ini), jawab Ira.
Slamet mengangguk. “Sesok wes,” (Besok saja), jawab Slamet sambil melangkah ke depan warungnya. “Tutup ae ta, dek,” (Tutup saja ta, dek), kata Slamet ke istrinya sambil teriak.
“Sekarepmu,” (Terserah kamu), jawab Ira juga dengan teriak.
Dengan perasaan kesal Ira menemani Slamet menutup warungnya, kemudian Ira langsung bergegas pulang kerumahnya, yang kebetulan rumahnya ada di belakang warungnya.
Hari-hari selanjutnya warungnya masih saja sepi, itu semua karena Slamet yang masih belum pergi ke rumah Kyai Hasyim.
Setiap hari, suasana di dalam rumahnya selalu panas, Ira dan Slamet selalu bertengkar karena masalah-masalah sepele. Hal itu juga dikarenakan warungnya yang setiap hari sepi.
Hingga pada suatu malam, Ira bermimpi melihat pocong. Dimana pocong itu berada di depan pintu warungnya membelakangi Ira.
Ira diam terpaku, dia kaget melihat ada pocong didepan matanya.
Tau Ira sedang memperhatikan pocong itu, tiba-tiba pocong itu menoleh kebelakang, melihat tajam Ira.
Sontak membuat Ira ketakutan, dia mundur hingga tidak terasa tersandung kursi, yang membuat dia terjatuh dalam posisi duduk dibawah.
Pocong tersebut langsung membalikan badannya, terbang perlahan mendekati Ira.
Terus saling menatap. Tatapan tajam dari pocong tersebut membuat Ira menangis, tiba-tiba pocong itu belok ke arah tempat baksonya, dia buka tutup dandang nya lalu meludahi kuah baksonya.
“Ojok... ojok....” (Jangan.... jangan.....)
Ira terus menjerit memohon agar pocong itu tidak merusak baksonya.
“Dek, tangi... wes subuh,” (Dek, bangun... sudah subuh), kata Slamet sambil menggoyang-goyangkan tubuh istrinya.
Aneh menurut Slamet, karena Ira bangun dengan keadaan capek, lalu nafasnya terengah-engah.
“Opo’o samean?,” (Kenapa kamu?), tanya Slamet.
“Aku ngimpi ning warung onok pocong, mas,” (Saya bermimpi di warung ada pocong, mas), jawab Ira.
Lalu, Ira menjelaskan mimpinya.
Selesai mendengar penjelasan dari Ira, Slamet menyuruh Ira melakukan shalat subuh terlebih dahulu.
Ira beranjak dari tempat tidurnya, lalu pergi ke kamar mandi sekalian mengambil wudhu. Setelah itu melakukan shalat.
Sehabis shalat, Ira berdzikir.
Ditengah dzikirnya, tiba-tiba Ira lari beranjak dari tempat shalatnya sambil berteriak.
“Mass... mas..,” sambil lari Ira terus teriak.
Sesampainya diruang tengah, Ira duduk disebelah suaminya.
“Opo ae merame ae,” (Ada apa bikin rame saja), kata Slamet.
“Onok pocong, mas,” (Ada pocong, mas), jawab Ira.
“Endi onok pocong, nyeleneh tok ae,” (Mana ada pocong, ngide aja), kata Slamet.
“Sumpah, mas. Dek e nangis pas aku wirit,” (Sumpah, mas. Dia nangis sewaktu saya berdzikir), kata Ira menegaskan kepada Slamet.
“Terus,” kata Slamet.
Kemudian, Ira menjelaskan bahwa pocong itu datang dalam keadaan terlentang didepannya, dia juga menangis sambil meminta tolong kepada Ira untuk dilepaskan tali perjanjian dengan dukunnya.
Karena takut, Ira lari dan tidak melanjutkan dzikirnya.
“Ndak ngomong nang samean, sopo dukune?,” (Tidak bilang ke kamu, siapa dukunnya?), tanya Slamet.
Ira hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lalu, Ira menyuruh suaminya untuk segera datang ke Kyai Hasyim, takut nantinya santet itu merembet ke anaknya.
Sore harinya, setelah menutup warung, Slamet dan Ira berangkat ke rumah Kyai Hasyim.
Sesampainya disana, mereka menjelaskan kepada Kyai Hasyim tentang keanehan yang dialami istrinya.
Kyai Hasyim hanya diam sambil tersenyum. Kemudian, Kyai Hasyim masuk ke kamarnya.
Lama mereka menunggu, setelah itu Kyai Hasyim keluar, dan memberi mereka air dalam plastik kecil.
“Kuncine gun sabar, wes dak peduli sopo sing ngirim, pokok kon kabeh selamet, serakno nang Pengeran,”
(Kuncinya sabar, sudah jangan perdulikan siapa yang mengirim santet, pokoknya kalian semua selamat, serahkan semua kepada Allah) kata Kyai Hasyim.
Lalu, sambil duduk Kyai Hasyim melanjutkan omongannya, “Iku banyu diombe sak keluarga karo anakmu pisan.” (Air itu untuk diminum satu keluarga termasuk anak kalian juga).
Slamet dan Ira mengangguk, dan tidak lama berpamitan pulang.
“Pokok ndak usah dendam,” (Pokoknya jangan sampai dendam), kata Kyai Hasyim berpesan kepada Slamet dan Ira.
Kemudian Slamet dan Ira pun pulang.
Sesampainya dirumah, Ira dan Slamet meminum air dari Kyai Hasyim, juga sebagian diberikan kepada anaknya.
Keesokan harinya, Ira kembali dikagetkan dengan tanah yang masih disawurkan di depan warungnya, dan kali ini juga disawurkan di teras depan rumahnya.
Ira hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil menyapu tanah-tanah itu.
“Mosok iki lemah kuburan?,” (Apa iya ini tanah kuburan?), gumam Ira dalam hati sambil tetap menyapu.
Setelah membersihkan rumah dan menyiapkan segala sesuatu untuk dagangan baksonya, Ira dan Slamet membuka warungnya.
Disaat Slamet membuka warungnya, mereka dikagetkan dengan suara ledakan diatas genting warungnya. Keras sekali bak suara petir.
Meskipun awalnya kaget, namun mereka berusaha tetap tenang. Dan terus bersholawat dalam hati sambil membuka warung baksonya.
Hari itu dagangannya berjalan lancar, meskipun tidak habis, setidaknya mereka bisa mendapatkan keuntungan.
Hari itu mereka senang, dan berniat datang lagi ke rumah Kyai Hasyim.
Namun, hari demi hari mereka seperti dibuat sibuk, hingga lupa tidak ke rumah Kyai Hasyim. Hingga, sampai pada suatu ketika mereka mendapat telfon kalau Kyai Hasyim meninggal dunia.
Penyesalan langsung datang dalam hati mereka, tanpa basa basi lagi mereka langsung berangkat ke rumah Kyai Hasyim.
Singkat cerita, sepeninggalan Kyai Hasyim, keadaan warungnya semakin morat-marit. Setiap hari sepi pembeli, pertengkaran antara Slamet dan Ira semakin sering terjadi.
Karena tidak kuat lagi, akhirnya Slamet memberanikan diri menemui mas Sugeng, dia datang langsung ke rumah mas Sugeng.
“Mas, ndak usah mateni sandang pangane uwong. Mending samean langsung pateni aku, carok ayo aku,” (Mas, tidak usah menutup rejekinya orang. Mending kamu langsung bunuh saja saya, bertengkar sama saya), kata Slamet.
*Carok = bertengkar untuk menyelesaikan masalah, biasanya kedua belah pihak membawa celurit, dan yang meninggal dunia adalah yang kalah.
Mas Sugeng hanya senyum-senyum tipis sambil sesekali menghisap rokoknya.
Slamet yang geram langsung duduk di depan mas Sugeng, kemudian, menunjuk wajah mas Sugeng dan berkata, “Mbok sepikno warungku, karepmu opo?. Aku kan wes mari jaluk sepuro.” (Kamu buat warungku sepi, maksutmu apa?. Saya kan sudah meminta maaf).
Mas Sugeng hanya diam sambil terus senyum-senyum tipis.
Slamet yang terus ngomel-ngomel, membuat mas Sugeng angkat bicara.
“Loro atine bojoku gara-gara bojomu, disin-isino nang ngarep wong akeh,” (Sakit hatinya istriku karena istrimu, dipermalukan di depan orang banyak), kata mas Sugeng.
“Terus karepmu opo?,” (Lalu, maumu apa?), tanya Slamet.
“Delok ae, bojomu opo bojoku sing mati disek,” (Lihat saja, istrimu apa istriku yang meninggal dunia dulu), jawab mas Sugeng.
Tak khayal jawaban mas Sugeng membuat Slamet kaget, namun Slamet tidak tinggal diam.
“Tak serahno Pengeran, mas. Pengeran ndak turu, Pengeran wero sopo sing bener,” (Tak serahkan kepada Yang Maha Kuasa, mas. Yang Maha Kuasa tidak tidur, Yang Maha Kuasa tau siapa yang benar), kata Slamet sembari berjalan pulang ke rumahnya.
Mas Sugeng hanya tertawa keras.
Setelah kejadian itu, Slamet menjadi sabar, dia juga menyuruh istrinya untuk tetap sabar saja. Slamet tidak ingin membalas dengan metode santet juga, karena takut dengan karma buruk.
Warungnya selalu rugi, hingga tidak ada lagi yang dibuat modal untuk jualan, Slamet duduk sambil merenung. “Gusti, modalku wes entek, aku kudu yopo?” (Ya Allah, modal saya sudah habis, saya harus gimana?), gumam Slamet dalam hati.
Hari itu mereka tutup.
“Mas, nek ngene terus, sesok kate mangan opo?,” (Mas kalau gini terus, besok mau makan apa?), kata Ira.
“Aku yo bengong, dek. Serahno kabeh nang Gusti Pengeran yo...” (Saya juga bingung, dek. Serahkan semua ke Yang Maha Kuasa saja ya....), jawab Slamet.
Ira mengangguk sambil mengeluarkan sedikit air mata.
“Gara-gara aku iki, mas,” (Karena saya ini, mas), kata Ira sambil terus menangis.
“Sabar yo, dek. Pasti nemu dalan,” (Sabar ya, dek. Nanti, pasti bakal menemukan jalan).
Karena kekurangan modal, mereka memutuskan tidak berjualan bakso seperti biasanya. Mereka hanya mengandalkan keahlian Slamet di bidang elektro demi mendapatkan uang untuk makan sehari-hari.
Mereka sudah lagi tidak memperdulikan mbak Reni dan mas Sugeng lagi, sejak meninggalnya Kyai Hasyim, mereka hanya mengandalkan kesabaran saja dan biarlah Allah SWT yang membalas perbuatan santet mas Sugeng dan mbak Reni.
Dan benar saja, karma selalu ada. Pada suatu ketika mbak Reni terkena absaab. Dimana saat makan malam, mbak Reni hanya diam terpaku di tempat duduknya, dengan mata melotot dan mulut terbuka.
*Absaab = Seperti melamun, namun sudah tidak sadarkan diri, semacam kerasukan jin.
innalillahiwainnailaihirojiun, karena itu hingga membuat mbak Reni menghembuskan nafas terakhirnya.
Slamet mengingatkan Ira untuk tidak ada perasaan dendam kepada keluarga mas Sugeng, dia menyuruh Ira istrinya untuk tetap datang melayat bersamanya.
“Sepurane yo nek bojoku duwe salah,” (Maafkan ya jika istriku punya salah), kata mas Sugeng dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Iyo, mas. Sing sabar yo,” (Iya, mas. Yang sabar ya), jawab Ira.
Setelah acara penguburan, mereka berdua langsung pulang ke rumah.
“Mandaro wes mari yo, mas,” (mudah-mudahan sudah selesai ya, mas), kata Ira kepada Slamet sepulang dari ngelayat.
“Iyo amin.., dek,” (iya amin.., dek), jawab Slamet.
Singkat cerita, ternyata prasangka mereka salah, mas Sugeng tidak berhenti mengirim santetnya, dia terus berusaha menyakiti Slamet dan Ira.
Kali ini, bukan lagi lewat metode sawuran lemah kuburan, tapi melalui metode panah.
Dimana, pada suatu malam, ketika Slamet hendak membeli rokok, Slamet melihat ada orang sedang duduk seperti semedi di tengah sawah.
Karena penasaran, Slamet mendekati orang itu, saat semakin dekat dengan orang itu, Slamet kaget, “kok mas Sugeng,” gumam Slamet dalam hati.
Dimana setelah bersemedi, mas Sugeng mengambil sesuatu seperti busur panah, dan anak panah, dimana di ujungnya diberi telur yang dililiti bunga melati.
TAMAT
Akan segera hadir, cerita lanjutan dari narasumber, di sana mimin akan menuliskan cerita tentang santet panah dan efek buat narasumber.
Jangan lupa berikan like dan komentar positif kalian, agar mimin lebih semangat lagi dalam menulis. Terimakasih 🙏
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
