
Permainan dengan mantra yang sangat khas “datang tak diundang, pulang tak diantar”, ini akan memasukkan beberapa roh gaib ke dalam boneka Jelangkung yang sudah dibuat sedemikian rupa.
Didalam permainan itu, orang yang bermain bebas menanyakan apa saja kepada roh yang masuk kedalam boneka Jelangkung tersebut.
Cerita ini diangkat dari kisah nyata, dimana salah satu pemainnya adalah ayah saya sendiri.
Sebut saja namanya Pak Toni, jadi semasa mudanya dulu, Pak Toni dan teman - temannya...
Pada suatu pagi, Toni, Toro, Agus, dan Narji sudah merencanakannya.
“Nanti malam ya, mumpung malam jumat”, kata Agus.
Semua mengangguk.
Peralatan berupa boneka yang terbuat dari batok kelapa sebagai kepalanya, dan kayu yang membentuk plus (+) sebagai tangan dan kaki.
Lalu, ada jepit yang dibuat untuk menjepit kapur, dimana kapur tersebut nantinya akan digunakan sosok yang masuk ke dalam Jelangkung tersebut untuk menuliskan jawaban ke papan tulis yang sudah disediakan.
Malam hari pun tiba, sesuai perjanjian sekitar pukul 10 malam, semua berkumpul ditengah sawah.
“Bonekanya biar kamu saja Ji yang pegang”, kata Agus.
Dan di iyakan oleh Toni “kan kamu yg lebih tau daripada kita” ungkap Toni.
Narji menyetujui, lalu dia mengambil boneka Jelangkung itu.
Yang awalnya suasana dingin ditengah sawah seketika menjadi panas saat Narji mulai memegang boneka Jelangkungnya.
Papan tulis disiapkan, semua mulai melantunkan mantra pemanggil arwah - arwah penasaran untuk masuk kedalam boneka Jelangkung tersebut.
Tangan Narji mulai bergerak sendiri, semakin lama semakin cepat.
Nampaknya sudah ada sosok yang masuk ke dalam Jelangkung itu.
“Siapa kamu?”, tanya toni.
Jelangkung itu mulai bergerak menuju papan tulis yang masih dipegang Narji dan menuliskan sebuah nama.
“Amir”, kata Toro.
Lalu Toro melanjutkan untuk bertanya “darimana asalmu?”.
“Paragtis?”, tanya agus.
“Dimana itu?”, kata agus.
Tulisan yang tidak begitu jelas membuat mereka harus pintar dalam mengeja kata atau kalimat dari jelangkung tersebut.
Jelangkung itu mulai bergerak kembali untuk menuliskan sesuatu.
“Paragtritis? Ohh... mungkin maksudnya itu Parangtritis gus”, kata Toro.
Meskipun tidak ada yang indigo, namun ke empatnya ini tergolong manusia pemberani.
Tidak lama Jelangkung itu menuliskan sebuah kata lagi “DARAH”.
Sontak saja membuat mereka semua kaget. “Darah apa?”, tanya Toro.
“KEMATIAN”, kata tulisan yang dituliskan oleh Jelangkung itu.
“Kamu bunuh diri?”, tanya Toni asal nyeletuk.
“DIBUNUH”, jawab Jelangkung itu.
Mereka semua lagi - lagi dibuat kaget, lalu bertanya lagi, “Dibunuh diparangtritis?”, tanya Toni lagi.
“TIDAK, DIRUMAH”, jawab si Jelangkung tersebut.
Suasana mulai mencekam, Toni menoleh kearah Agus sambil memberi isyarat dikeluarkan saja.
Lalu narji mencoba menyuruh arwah Amir ini untuk keluar dari boneka jelangkung itu.
Namun jelangkung itu kembali bergerak dan menuliskan, “CARI PEMBUNUHKU”.
Toni memberikan isyarat dengan menggeleng - gelengkan kepalanya, begitu juga dengan Agus dan Toro kepada Narji.
“Kami tidak bisa”, kata Narji sembari melanjutkan omongannya “Kamu pulang saja”.
Jelangkung itu kembali mengendalikan tangan Narji dan menuliskan kata “TIDAK”.
Narji pun kembali bilang kalau mereka tidak bisa mencari pembunuhnya akan tetapi dengan nada yang agak tinggi.
Jelangkung itu marah.
Jelangkung itu mengendalikan tangan Narji untuk bergerak semakin cepat. Seperti ingin terbang lalu turun kembali.
Karena khawatir dengan Narji, Agus reflek ikut memegangi Jelangkung itu, namun tetap saja mereka dibuat kuwalahan.
Tangan mereka berdua kalah kuat dengan energi arwah di dalam boneka Jelangkung.
Tidak lama mereka berdua terpental kebelakang dan jelangkung itu terlempar jauh.
Toro berdiri membantu membangunkan Narji dan Agus, lalu Toni mengambil boneka Jelangkung itu sembari berkata, “sudah keluar”.
Namun bukannya kapok, mereka malah mencoba memasukkan arwah lain lagi.
Mereka kembali duduk melingkar dan membacakan mantra - mantra pemanggil arwah.
Kali ini boneka Jelangkung dipegang oleh Toni, karena Narji sudah dibuat kelelahan oleh arwah Amir tadi.
Mantra sudah dibacakan, namun masih saja belum ada arwah yang masuk.
Seakan pantang menyerah, mereka terus mengulang mantra itu.
Baru yang ketiga kalinya mantra itu dibacakan Jelangkung itu mulai bergerak pelan, “masuk masuk”, kata Toni kepada temannya.
“Masih pelan, belum sepenuhnya masuk”, jawab Narji.
Lalu mereka membacakan kembali mantranya. Dan benar gerakan jelangkung mulai cepat.
Kali ini Toni kuwalahan.
Toni hanya diam karena bingung bagaimana cara mengendalikan jelangkung itu.
“Siapa yg ada disini?”, tanya Narji.
Jelangkung itu mulai menuliskan sebuah nama “SUSI ATI”.
“Cewek dia cewek, seru ini”, kata Agus.
Semuanya tertawa.
“Darimana kamu”, tanya Narji.
“LAW U”, kata dari tulisan Jelangkung itu.
“Kamu dari bangsa manusia apa jin?”, tanya Agus.
“MANUSIA”, kata Jelangkung.
“Meninggalmu karna apa?”, kembali Agus bertanya.
“GANTUNG”, kata Jelangkung itu. “SUSAH NAFAS”, lalu jelangkung itu menambahinya dengan tulisan susah bernafas.
“Mungkin maksutnya dia meninggal karena bunuh diri dengan cara gantung diri”, jelas Narji.
“Lalu keluargamu sekarang dimana?”, lanjut Narji.
“BARAT”, jawab Jelangkung tersebut.
“Kenapa kamu tidak kembali keluargamu?”, tanya Agus.
“KASIAN IBUK” kata jelangkung itu.
Toni memberi isyarat bahwa dia kelelahan memegangi Jelangkung itu yang terus bergerak.
“Tunggu, seru ini”, jawab Agus.
Jelangkung itu tiba - tiba menuliskan kata lagi diatas tulisan kasian ibuk.
“DARAH”.
“Darah apa? Disini tidak ada darah”, tegas Narji ke arwah yang ada didalam boneka Jelangkung tersebut.
“Ajem Celeng”.
Atau dalam bahasa indonesia berarti, “Ayam Hitam”.
Agus memberi isyarat menaikkan kepalanya kepada Narji, dimana maksut Agus darimana kita dapat ayam hitam itu.
“Ada gus, milik Pak Lek Mo” jawab Narji sambil bercanda.
“Mana mungkin kita menumbalkan ayam Pak Lek Mo, bisa - bisa dia marah”, jawab Agus dengan wajah serius.
“Tenang gus, dia hanya menggertak saja”, kata Narji menenangkan Agus.
Jelangkung itu bergerak cepat hingga membuat Toni jatuh tengkurap, dan masih terus bergerak cepat.
Toro dan Agus mencoba membangunkan Toni, namun tidak dengan Narji, dia hanya tertawa, “hahahaha”.
Toni bangun, namun tangannya masih terus memegang Jelangkung itu.
Papan tulis dihapus, Jelangkung itu mulai menuliskan kata per kata lagi.
“DARAH ATAU GENTAYANGAN”.
Arwah Susi yang berada di dalam boneka Jelangkung itu mengancam mereka bahwa akan bergentayangan diantara mereka.
Agus semakin ketakutan dibuatnya, “Ji, gimana ini?”, tanya agus.
Narji hanya tersenyum santai menanggapi pertanyaan Agus yang ketakutan.
Beda halnya dengan Toni, dia sudah tidak bisa mengontrol dirinya lagi, sesekali dia sampai dibuat berdiri lalu duduk kembali oleh jelangkung itu.
Gerakan jelangkung itu semakin cepat, lalu mendekati papan tulis dan menuliskan “MENGHANTUI KALIAN”.
Narji masih tertawa, karena menurutnya tidak akan mungkin arwah itu mengikuti mereka hingga pulang kerumah masing - masing.
Namun beda halnya dengan Agus dan Toro yang tidak bisa menutupi takutnya.
“Jika dia benar - benar menghantui kita gmana Ji?”, kata Toro.
“Sudah tenang, tidak mungkin”, jawab Narji.
“Ya sudah gini, kita akan membacakan mantra buat memulangkanmu, bagaimana...?”, Kata Narji ke Jelangkung itu.
“TIDAK BISA”, jawab Jelangkung itu dari hasil tulisan.
Agus menoleh ke Narji.
Begitupun juga dengan Toro, secara reflek langsung menoleh kearah Narji.
Narji langsung membacakan mantra untuk mengeluarkan arwah itu dari boneka jelangkungnya.
Namun hasilnya diluar dugaannya, arwah itu masih tidak keluar, jelangkung itu masih terus bergerak kekanan dan kekiri.
Toni merasa capek memegangnya, namun ketika Toni ingin melepaskan jelangkungnya, tangannya tidak bisa dia kendalikan.
“Ini kenapa bisa begini”, kata Toni dalam hati.
Jelangkung itu kembali menuliskan kata - kata “KALIAN MATI”.
Sontak semua pun kaget begitu juga dengan Narji.
Kali ini Narji tidak lagi bisa bercanda seperti sebelumnya, mantra yg ia baca untuk mengeluarkan arwah itu gagal.
“Ton lempar saja”, kata Narji.
Semua panik, setelah mendengar omongan Narji, Toni mencoba melemparkan boneka itu, namun tangannya masih sulit untuk dia kendalikan.
“Lempar Ton”, kata Narji.
“Ndak bisa Ji”, jawab Toni sambil nafasnya yang mulai tidak beraturan.
Nafas Toni yang ngos-ngosan membuat Toni sulit mengatur fokusnya, pikirannya pun kalang kabut.
Takut dialah yg menjadi tumbal keganasan arwah Susi untuk yang pertama kalinya.
Karena dia yang memegang Jelangkung itu.
“Gimana ini Ji”, kata Toni sambil tangannya terus bergerak kesana kemari sesuai keinginan dari Jelangkung tersebut.
“Lempar Ton”, Agus menjawab. Narji pun mengisyaratkan kepada Toni agar segera melempar jelangkung itu.
“Baca baca Ton”, kata Toro.
“Baca apa Tor”, kata Toni yang dibuat gugup oleh Jelangkung itu.
Tangan Toro mendekat kearah jelangkung itu, dia mencoba mengambil alih untuk memegang Jelangkung itu.
“Lepas Ton”, kata Toro.
Toni mengangguk sambil jarinya mencoba sedikit demi sedikit melepaskan genggamannya.
Akhirnya Toni berhasil melepaskan genggamannya, badannya tiba - tiba lemas dan dia pun terjatuh.
“Ton.... gak apa - apa kamu Ton”, kata Agus. Sedangkan Toro mulai sibuk mengendalikan Jelangkung yang bergerak terus.
Toni hanya mengangguk menandakan dia tidak apa - apa, meskipun badannya lemas.
“Tor... lempar Tor”.
Narji menggebu2 menyuruh Toro melempar Jelangkungnya.
Toro mulai tenang, menarik nafas dalam - dalam lalu melempar Jelangkung itu sembari menghembuskan nafasnya.
Jelangkung terlempar jauh, dan Toro juga terpental kebelakang, dia jatuh terlentang, matanya merem.
Sontak saja hal itu membuat Narji dan Agus panik.
“Tor..... gak apa - apa kamu Tor? Bangun Tor”, kata Agus, sambil tangannya menggoyang - goyangkan badan Toro.
Tidak ada jawaban dari Toro, matanya masih merem.
“Tor... Tor....”, kata Toni yang badannya masih terlentang sambil menoleh kearah Toro.
Toni menguatkan badannya untuk bangun lalu mendekati Toro.
“Jelangkungnya mana?”, kata Toni.
“Ini Toro tidak sadarkan diri, sedangkan kamu masih sibuk ngurusin Jelangkung?”, kata Agus marah, karena panik dengan keadaan Toro yang masih tidak sadar.
Toni hanya diam sambil matanya terus melihat kearah Toro yang terkapar.
“Ji gimana ini?”, kata Agus.
Agus menanyakan kepada Narji, karena diantara mereka berempat hanya Narji yang agak mengerti tentang gaib - gaib.
Narji menoleh kearah Agus, masih saja Narji terdiam.
Sebenarnya Narji sendiri bingung, apa yang harus dia lakukan agar Toro bisa terbangun.
Semuanya diam tanpa kata, bingung!
Mereka saling menoleh satu sama lain, sesekali mereka melihat Toro yang masih terkapar.
Cukup lama terdiam, lalu Narji menyuruh teman - temannya membawa Toro pulang kerumah Narji.
Toro pun dibopong oleh Toni, mereka semua berjalan pulang melewati jalan setapak diantara tebu - tebu di sawah.
Belum sampai setengah perjalanan, tiba - tiba mereka dikagetkan oleh suara orang yang berlari melewati tebu - tebu disampingnya.
Karena kaget, mereka semua secara reflek berhenti. Narji yang berada dibarisan paling depan menoleh kebelakang, “kalian dengar?”, kata Narji.
“Iya Ji... dari kanan”, kata Agus.
“apa barusan Ji?”, kata Toni.
“Gatau juga, yaudah kita lanjut jalan lagi”, jawab Narji.
Hanya beberapa langkah, suara seperti tadi pun kembali terdengar, masih dari sisi kanan mereka, namun arahnya berbalik.
Lagi - lagi mereka semua berhenti. Agus menoleh ke arah suara itu.
Memang saja tebunya bergerak, namun Agus tidak berani mengucap sepatah kata pun.
“Lanjut yuk”, ajak Agus kepada teman - temannya.
Lalu mereka melanjutkan lagi perjalanan itu, mereka mempercepat langkahnya, Toro masih saja tidak sadarkan diri.
“Bagaimana dengan Toro, Ji..?”, tanya Agus lagi.
“Sudah biar, nanti kita minta tolong Mbah Roso saja”, jawab Narji dan terus berjalan tergesa - gesa.
Suara itu kembali terdengar, namun kali ini tidak menghilang, sosok perempuan jelas dihadapan Narji, yang membuat langkah Narji terhenti.
Toni dan Agus pun berhenti secara mendadak hingga saling menabrak.
“Setan Gus, setan Gus”, kata Toni.
“Iya Ton, kabur Ton”, jawab Agus.
Narji mundur beberapa langkah sambil matanya tetap saling menatap dengan sosok perempuan didepannya.
“Hihihihihi”, perempuan itu tertawa.
Toni dan Agus pun berlari kembali, melihat temannya lari, Narji membalikan badannya lalu ikut berlari juga.
Namun kecepatan lari mereka masih kalah cepat dengan sosok perempuan itu. Karena secara tiba - tiba sosok perempuan itu langsung berada dihadapan mereka lagi.
“Haaaaaaa”, Agus menjerit keras melihat sosok tadi sudah berada didepannya.
“Apa yang kamu mau”, kata Narji dengan suara keras dari barisan paling belakang.
“Antarkan saya pulang”, jawab perempuan itu.
“Susi, dia Susi”, kata Agus berbisik ke Toni.
“Iya Gus”, jawab Toni.
Narji menepuk tangan Toni, mengajak Toni kabur pulang.
“Kita tidak bisa”, jawab Narji sambil menarik tangan Toni untuk lari.
“Gus kabur.....”, jerit Narji.
Akhirnya mereka bertiga kabur kembali berharap tidak dihadang lagi oleh arwah Susi.
Tidak berfikir apa - apa dari ketiganya, mereka hanya fokus berlari dengan cepat agar bisa cepat sampai dirumah Narji.
Arwah Susi masih terus membuntuti mereka hingga mereka sampai dirumah Narji, namun arwah Susi berada diatas pohon tua.
Niat Narji yang ingin membawa Toro ke rumah Mbah Roso diurungkannya, karena Toro sudah siuman, meskipun keadaannya masih lemas.
“Sudah bangun kamu Tor”, kata Narji.
“Ee ee eeehhh”, kata Toro yang masih lemas tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan Narji, namun erangannya sudah cukup buat mereka memastikan Toro sudah sadarkan diri.
Ditengah - tengah istirahatnya, tiba2 suara tawa Susi menghancurkan ketenangan mereka.
“Susi Ji.....”, kata Agus
“Iya Ji, gimana ini Ji?”, sambung Toni.
Belum sempat Narji menjawab tiba - tiba Toro bangun, setelah duduk dia menanyakan kepada teman - temannya, “kenapa susi”.
“Kita biarkan saja, kita lupakan Susi agar dia tidak semakin mengganggu kita”, jawab Narji.
“Ada apa sih ini”, tanya Toro lagi.
“Susi mengikuti kita Tor”, jawab Agus.
“Oh iya saya ingat, tadi saya bermimpi dikejar - kejar hantu kuntilanak hingga kesudut ruangan”, kata Toro.
“Lalu gimana Tor”, tanya Narji dan Toni.
“Sudah gitu aja”, jawab Toro.
“Tapi Ji, kejadian kejar - kejaranku sama kuntilanak itu seperti lama sekali”, kata Toro yang kembali menjelaskan kejadian di mimpinya.
“Itu Susi”, sontak Toni nyeletuk.
“Iya Susi Tor”, sambung Agus yang semakin membuat Toro yakin.
“Susi? Arwah yang masuk kedalam jelangkung tadi?”, tanya Toro.
Mereka semua mengangguk dengan wajah penuh takut.
Toro langsung memalingkan wajahnya ke depan rumah.
Menyoroti bagian dari pohon - pohon besar didepan rumah Narji.
“He liat apa Tor”, tanya Agus sekaligus menegur Toro.
Gelagat Toro membuat Agus takut karena dia pikir aneh. Dari yang tadinya pingsan lama sekali, habis itu bangun - bangun cerita mimpi dikejar kuntilanak, lalu matanya tiba - tiba melihat kearah pohon besar.
“Biasanya kuntilanak itu tempatnya diatas pohon, siapa tau Susi disana”, jawab Toro singkat.
“Sudah lupakan saja tor”, kata Agus
Setelah itu mereka tidak lagi mendengar suara Susi, namun mereka melanjutkan obrolan hingga subuh.
Sesekali memang waktu mereka mengobrol, sekelebetan putih - putih terbang lewat.
Namun mereka tidak menghiraukan, hingga pada akhirnya setelah subuh mereka kembali pulang kerumah masing - masing.
Teror arwah Susi tidak berhenti disitu, saat siang hari suara tangisan Susi menghantui warga sekitar.
Kebetulan memang rumah Toro, Toni, Agus dan Narji masih satu desa.
Balita berumur 3 tahun, anak dari tetangga mereka yang bernama Mas Budi pun tidak berhenti menangis
Balita yang bernama Zahra itu selalu menunjuk ke arah jendela ruang tamunya, “ma ada kakak cewek jelek”, kata itu yg selalu terucap dari mulut Zahra
Teror arwah Susi terus berlanjut.
Susi selalu menampakkan diri dijendela - jendela rumah warga yang tidak jauh dari rumah Toro, Toni, Agus dan Narji. Begitupun rumah mereka juga sering menjadi teror arwah Susi.
Hingga, pada saat kesabaran sesepuh disana Mbah To telah habis, Mbah To berniat melaporkan kejadian yang mengganggu ketenangan disekitar rumahnya ini ke Mbah Roso, karena mbah roso memang terkenal dukun didesa tersebut.
Mbah Roso sering mengobati orang - orang sakit yang terkena santet, dan juga sering menyembuhkan orang - orang yang kesurupan.
Sehabis maghrib ketika Mbah To berniat akan menemui Mbah Roso tiba - tiba dihentikan Susi.
“Mau kemana mbah”, kata Susi.
Mbah To yang ketakutan mencoba tenang, lalu menjawab pertanyaan Susi dengan terbata - bata, “Siapa kamu, saya mau ke Mbah Roso. Pergi kamu”, jawab Mbah To.
“Saya tidak akan mengijinkanmu pergi mbah, sebelum kamu siapkan saya darah ayam hitam”, jawab Susi.
Mendengar jawaban Susi, Mbah To mulai naik darah.
“Tunggu sini kamu”, kata Mbah To yang kembali ke rumahnya, masuk kedalam rumahnya. Tidak lama Mbah To kembali keluar rumah membawa sebilah samurai.
“Sini kalau berani”, tantang Mbah To.
“Hihihihi”, Susi hanya menertawakan sikap Mbah To, lalu Susi terbang dan menghilang.
Mbah To pun melanjutkan perjalanannya ke rumah Mbah Roso.
Kepergian Mbah To diketahui oleh Toro. Lalu Toro berniat pergi menjemput Agus, Narji dan Toni untuk mengikuti Mbah To.
Mbah To terus berjalan dengan bantuan senter menyusuri jalanan sawah.
“Itu kesana Mbah To”, kata Toro.
“Ayok ayok ikuti”, kata Agus.
Mereka perlahan membututi Mbah To, dan Mbah To terus berjalan, namun tiba - tiba Mbah To berhenti, sepertinya dia curiga ada yang membuntutinya dari belakang.
Ketika tau Mbah To berhenti, mereka berempat langsung bersembunyi dibalik pohon dan semak - semak.
“Sini ji, ketauan kamu kalau disitu”, kata Agus karena Narji yang bersembunyi dibalik pohon.
Sambil tengkurap Narji merayap mendekat kearah Agus. “Bahaya gus”, kata Narji.
Mereka semua sudah bersembunyi jadi saat Mbah To menoleh kebelakang tidak ada siapa - siapa.
“Cuman perasaanku aja”, kata Mbah To, lalu melanjutkan perjalanannya menuju rumah Mbah Roso.
Toro dan teman yang lain juga ikut melanjutkan membuntuti Mbah To.
Semakin dekat dengan rumah Mbah Roso, arwah Susi tiba - tiba muncul diatas pohon. Posisi Mbah To waktu itu tepat berada dibawah pohon itu.
Suara tawa Susi yang khas membuat Mbah To berhenti sejenak lalu menengok keatas.
Kaget karena ada Susi disana, namun emosi didalam tubuhnya membuat Mbah To tidak takut sama sekali.
“Yak Toron” (Sini turun), kata Mbah To sambil mengacungkan samurai yang dia bawa tadi.
Susi hanya terus tertawa.
“Toron” (Turun), kata Mbah To.
“Susi itu...”, kata Agus yang takut sambil tangannya menggoyang - goyangkan badan Narji.
“Tenang gus, nanti ketahuan”, jawab Narji dengan nada rendah.
Agus yang panik membuat suara pada semak - semak yang membuat fokus Mbah To terpecah.
Dengan cepat Mbah To melihat kebelakang.
“Siapa itu”, kata Mbah To.
Karena tidak ada jawaban Mbah To kembali melihat kearah Susi, namun Susi sudah tidak ada ditempatnya
“Woy kuntilanak, kemana kamu, sini kalau berani”, teriak Mbah To menantang Susi yang tiba - tiba menghilang.
Karena berisik Mbah Roso pun keluar dari rumahnya, “siapa itu berisik”, kata Mbah Roso.
“Saya So”, kata Mbah To teriak.
“Ada apa To berisik sekali”, jawab Mbah Roso.
Mbah Roso pun melangkah mendekati Mbah To yang berada dibawah pohon.
“Ada apa to”, kata Mbah Roso.
“Panjang ceritanya So”, jawab Mbah To.
“Yaudah cerita saja pelan - pelan”, kata Mbah Roso.
Setelah menghela nafas panjang, Mbah To pun menjelaskan kepada Mbah Roso.
“Jadi gini So, akhir - akhir ini ada kuntilanak yang meneror warga di desa saya, sampai anak kecil pun digodanya, anak kecil itu menangis terus setiap malam hari”, jelas Mbah To.
“Terus”, kata Mbah Roso.
“Setiap tengah malam, kuntilanak itu selalu nongol dijendela - jendela rumah warga, kadang sampai mengetok pintu rumah warga, godaannya bukan cuma malam hari saja So, siang hari pun begitu kadang suara kuntilanak itu tertawa dan menangis sangat keras, hingga menakut - nakuti warga”, jelas Mbah To lagi.
Mendengar penjelasan Mbah To, Mbah Roso hanya mengangguk - anggukkan kepalanya.
“Disini aku mau minta tolong ke kamu So, buat mengusir kuntilanak itu dari desa saya”, kata Mbah To.
“Yaudah ayok sekarang saja”, jawab Mbah Roso.
Mbah To menyutujui, mereka pun berjalan ke desa Mbah To sembari Mbah To terus menceritakan kejadian - kejadian yang berasal dari ulah kuntilanak itu.
“Tadi saja sewaktu aku mau kesini, dia nongol diatas pohon itu”, kata Mbah To sambil menujuk ke pohon tadi.
Mbah roso hanya mengangguk - anggukkan kepalanya sambil terus berjalan.
Toro, Toni, Agus dan Narji mulai panik ketika tau Mbah Roso dan Mbah To akan berjalan mendekatinya.
Agus mulai merayap kearah balik pohon besar yang ditutupi semak belukar begitupun dengan Narji, sedangkan Toro dan Toni merayap bersembunyi dibalik batu besar.
“Aman Ji aman”, kata agus.
Agus memberi kode kearah Toro dan Toni kalau tempatnya sudah aman, begitupun sebaliknya.
Mbah roso dan mbah to tidak curiga, mereka berjalan terus hingga melewati ke empat pemuda itu.
“Sudah lewat Ji”, kata Agus.
“Yang lain kasih tau Gus”, jawab Narji.
Agus mencoba memanggil Toro dan Toni, Dia melempar kerikil kearah Toro dan Toni.
Kerikil itu mengenai tangan Toni.
Toni pun melihat kearah Agus.
Agus memberi isyarat kalau suasana sudah aman, Toni pun memberi tau Toro.
Akhirnya mereka berempat keluar dari persembunyiannya secara perlahan, mereka terus membuntuti Mbah Roso dan Mbah To.
“Agak jauh aja biar tidak curiga”, kata Narji.
Akhirnya jarak mereka agak jauh dari Mbah Roso dan Mbah To.
Jalan setapak terus dilewatinya, hingga kurang beberapa ratus meter lagi sampai ke desanya.
“Hihihi”
“Nah, kamu dengar So”, tanya Mbah To.
“Iya dengar To, biarkan dia menampakkan dulu” jawab Mbah Roso.
Jam semakin malam, waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, mereka sudah sampai didepan rumah Mbah To.
“Dimana biasanya To”, tanya Mbah Roso.
“Pindah2 So, biasanya dia nangkring diatas pohon - pohon itu”, jawab Mbah To.
“kemenyan merah yang waktu itu aku kasih masih ada To?”, tanya Mbah Roso.
“Masih ada So, buat apa?”, kata Mbah To.
“Buat mengundang dia. Agar dia mau datang”, jawab Mbah Roso.
Akhirnya Mbah To pun masuk kedalam rumahnya mengambil kemenyan itu, tidak lama kemudian dia keluar sambil membawa sebungkus kemenyan merah dan prapen.
“Ini So”, kata Mbah To.
Mbah Roso mengambilnya lalu mengeluarkan korek api dari sakunya.
Sambil menaruhnya ditanah, Mbah Roso mulai membakar kemenyan itu sambil membacakan beberapa mantra.
Toni, Toro, Agus dan Narji melihat dari kejauhan dibalik pohon mangga besar.
“Sini duduk disebelahku To”, kata Mbah Roso.
Mbah Roso menyuruh Mbah To ikut duduk dengannya. Mbah To mengangguk lalu duduk disebelah Mbah Roso sambil ikut membakar kemenyannya.
Setelah dikasih tau mantranya, Mbah To pun ikut membacakan mantranya bersama - sama dengan Mbah Roso.
“Ayo kita taruhan, Susi datang apa tidak?”, tantang Narji.
“tidak akan datang, Susi takut sama Mbah To”, jawab Toni.
“Iya dia takut mati dua kali hehehe”, kata Toro menambahi.
“Benar, samurai Mbah To tajam sekali”, agus juga menambahi.
“Oke kita taruhan, aku memilih Susi datang” kata Narji.
Akhirnya mereka saling menunggu.
Sedangkan Mbah To dan Mbah Roso masih membacakan mantranya.
“Tidak mungkin datang Ji, dia itu pengecut” kata Toni.
“Kata siapa aku tidak akan datang”
Mereka semua dibuat kaget dengan suara itu, diam - diam ternyata Susi sudah ada diantara mereka. Suara itu adalah suara Susi.
“Huaaaaa”
Serentak mereka pun keluar dari persembunyiaannya, berlari kearah Mbah Roso dan Mbah To yang masih sibuk membaca mantra.
Teriakan mereka mengacaukan fokus kedua Mbah itu, akhirnya Mbah Roso dan Mbah To menghentikan ritualnya.
“Ada apa le?, kok sampe teriak - teriak”, kata Mbah Roso bertanya kepada mereka berempat.
“Ituu Mbah, Susss....”, kata Agus yang dihentikan oleh Narji.
“Ada kuntilanak Mbah”, kata Narji menimpali omongan Agus, agar tidak ketahuan kalau sebenarnya teror Susi ini akibat ulah mereka.
Mbah Roso langsung berdiri. “Dimana le?”, tanya mbah roso.
“Disitu Mbah”, serentak mereka menjawab sambil menunjuk ke arah pohon mangga.
Tanpa basa basi, Mbah Roso pun langsung berjalan cepat kearah pohon yang dimaksud.
Mbah To dan keempat anak itu juga ikut mengikuti Mbah Roso.
Sesampainya mereka dibawah pohon itu.
Mbah Roso menengok kesana kemari mencari keberadaan Susi, begitupun dengan yang lain.
“Mana le, gaada ini”, tanya Mbah Roso.
Belum sempat mereka menjawab, suara tawa Susi menghentikan tanda tanya yang ada di kepala Mbah Roso.
“Aku disini Mbah”, kata Susi.
Semua sontak menoleh keatas pohon.
“Kamu siapa, apa tujuanmu mengganggu warga disini”, tanya Mbah Roso.
“Mereka yang membawaku kesini”, jawab Susi.
“Siapa?”, kata Mbah Roso.
Sebelum Susi menjawab, Narji langsung menimpali omongan Mbah Roso, “bagaimana kita bisa membawamu pulang ke tempat asalmu”.
“Saya mau darah”, kata Susi sambil terus tertawa.
“Jangan macam - macam kamu, disini tidak ada tumbal manusia”, jawab Mbah Roso.
“Darah ayam hitam”, kata Susi lagi yang kini menghentikan tawanya.
“Mbah, dirumah pean kan ada ayam hitam Mbah”, kata Narji.
“Iya Mbah kasih saja Mbah ke dia”, kata Agus pun menambahi.
Mbah Roso menoleh ke arah Agus dan Narji yang memelas.
“Iya Mbah minta tolong Mbah”, toni pun ikut menambahi
“Oke, saya kasih kamu darah ayam hitam, asal kamu benar - benar pergi dari sini”, kata Mbah Roso.
Mereka semua pun lega karena keputusan Mbah Roso yang merelakan ayamnya dijadikan tumbal.
Susi tertawa makin keras membuat mereka menutup telinganya.
“Besok pagi kamu datang ke rumah, saya siapkan darah ayam hitamnya. Setelah itu kamu pergi dari sini dan jangan sampai kembali lagi”, kata Mbah Roso.
Susi meng iyakan perjanjian dengan Mbah Roso, lalu dia menghilang.
Mbah Roso pun menyuruh Mbah To dan keempat anak itu agar datang kerumahnya menyiapkan tumbal ayam hitam esok paginya.
Mereka pun menyutujui, lalu mereka pun pulang ke rumah masing - masing, begitupun dengan Mbah Roso yang kembali menuju rumahnya.
Singkat cerita, keesokan paginya.
Satu per satu dari mereka berdatangan ke rumah Mbah Roso.
Mbah Roso pun menyuruh Narji dan Toni untuk menyembelih ayamnya, lalu Agus, Toro dan Mbah To disuruh menyiapkan sesajen yang lain.
Sesudah disembelih, darah ayam itu ditaruh disebuah baskom.
“Jangan semua, dipindahkan aja kegelas”, kata Mbah Roso.
Akhirnya Narji memindahkan darah itu kesebuah gelas, lalu menaruhnya diantara sesajen yang lain.
Setelah membersihkan badan, mereka pun memulai ritualnya, mantra dibacakan oleh Mbah Roso, dan diikuti oleh yang lain.
Tidak lama setelah mantra dibacakan, arwah Susi pun datang. Tawanya yang khas sehingga dapat dikenali oleh mereka.
“Sudah itu darahnya”, kata Mbah Roso.
Tidak lama dari itu, suara tawa Susi pun menghilang.
Lalu mengeras kembali, seperti keluar dari dalam rumah Mbah Roso.
Perlahan - lahan suara tawa itupun menghilang.
“Sudah pergi dia?”, tanya Agus ke Mbah Roso.
“Sudah le”, jawab Mbah Roso.
Lalu Mbah Roso menyuruh mereka pulang kerumah masing - masing setelah memastikan kuntilanak itu tidak akan datang dan mengganggu mereka lagi.
Akhirnya mereka pun pulang.
Ditengah perjalanan, mereka memutuskan untuk pisah dengan Mbah To, mereka menyuruh Mbah To pulang dulu karena mereka masih mau nongkrong di warung.
Setelah pisah, mereka pun berjalan ke warung kopi yang tidak jauh dari situ.
“Gampang kan cara ngusirnya” tiba - tiba Narji nyeletuk.
“Iya. Untung aja Mbah Roso mau mengasihkan darah dari ayam hitamnya”, jawab Toni.
“Bagaimana? Sudah kapok bermain Jelangkung?”, tanya Narji.
“Ndak sih”, jawab Toro dan Toni serentak.
“Ah sudahlah, nanti ada kejadian seperti ini lagi”, kata Agus.
“Kamu penakut Gus”, kata Narji.
“Kata siapa aku penakut, oke ayo kita main lagi”, tantang Agus.
“Oke besok malam kita agendakan”, jawab Narji menerima tantangan dari Agus.
Tantangan itupun juga disetujui oleh Toni dan Toro.
Bersambung. . .
Bagaimana kelanjutan permainan mereka selanjutnya ? Apakah mereka benar - benar akan bermain lagi ?
Seperti apa keseruannya ? Tunggu di Jelangkung Part 2.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
