
Hay, Anila dan Satria hadir lagi.
Setelah mampu mengungkapkan isi hatinya.
Kini mereka mau jalan-jalan ke Bintan.
Dan … akhirnya di bab ini Anila pamit, setelah 365 hari menjalani kontrak di Batam.
Happy Reading
With love
Casey Athaya
31.10.22
365 Days Later
Bab Dua puluh
Pesan untukmu
***
My Abiyasa : Ta, jam tujuh siap ya. Kapal kita berangkat jam delapan.
Satu pesan yang sudah ditunggu Anila sejak subuh. Ia pun segera membalasnya.
Anila : Iya, Bi. Aku udah siap. Tinggal nunggu kamu aja.
My Abiyasa : Udah ah nangisnya. Kan mau ketemu Devan.
Anila tersenyum membaca pesan tersebut.
Ya, satu hari kemarin. Setelah tiga puluh hari berlalu merasakan puasa di kota Batam, sahur di PT, buka di PT sudah Anila lalui. Tentu saja semua membuat Anila mempunyai pengalaman baru. Dan puncak tangisnya ada pada hari idul fitri kemarin. Di saat takbir bergema di masjid Nurul Iman terdengar. Air matanya luruh begitu saja. Frame-frame kenangan lebaran bersama keluarga langsung berputar di benak Anila. Apalagi saat ini sang ibu sudah tidak ada, tangisnya semakin dalam.
Saat sholat Id. Teman-teman satu kamarlah yang menjadi keluarganya.
Tidak ada ketupat, tidak ada rendang, tidak ada opor ayam buatan ibu. Tetapi, ada banyak masakan beraneka macam yang dimasak bersama-sama di malam takbir.
My Abiyasa : Pasti ngelamun lagi. Cinta, ayahmu gimana?
Lamunan Anila buyar, kala pesan dari Satria kembali masuk. Ya, kini masalah terbesar Anila adalah ayah.
Anila : Nanti aku cerita pas di kapal ya.
My Abiyasa : Aih, nggak seru! Di kapal sampai ke Bintan trus pulang ke Batam lagi, maunya aku cuma bahas kita bukan yang lain. Dan, aku mau kamu nggak sedih, nggak nangis, tapi bahagia hari ini.
Anila : Bi--ayah mau nikah lagi.
Sudah delapan bulan Anila di Batam, empat bulan lagi sisa kontrak Anila. Itu artinya sudah delapan bulan juga sang ibu meninggalkan Anila. Lebaran pertama tanpa seorang ibu, hanya ayah yang Anila dapati di layar ponsel. Itu pun tak sehangat dulu, ayah tetap egois bahkan meminta izin untuk menikah lagi. Di mana cinta dam hati ayah untuk ibu? Bahkan, belum ada satu tahun kepergian ibu.
My Abiyasa : Lalu, tentang pernikahan itu--hm maksudku tentang perjodohan itu? Masihkah ayahmu memaksa meski kamu udah nangis-nangis kemarin telepon ayah bilang nggak mau?
Anila mengusap sudut matanya, setiap membahas hal tentang pernikahan itu. Anila merasa sakit, apalagi sang ayah telah memperlihatkan kesepakatan antara ayah dan lelaki dewasa bernama Anggara.
Anila : Iya, masih! Bahkan ada surat perjanjiannya. Bi--aku takut! Wajahnya serem, ehm--maksudku ya gitu deh! Dia layak jadi ayahku bukan suamiku. Tahu maksudku, kan?
My Abiyasa : Aku tahu! Lebih layak aku, kan? Karena aku yang paling layak untukmu. Percaya deh, semesta tidak akan memperburuk keadaan orang yang berdoa dengan tulus.
My Abiyasa : Udah! Ganti baju sana, sebentar lagi aku ke situ. Aku udah bawa jajanan kesukaanmu sama minuman. Jadi kamu nggak perlu bawa tas ransel, aku aja yang bawa. Pakai sweter warna hitam ya.
Anila : Iya, Bi. Bi--ada satu hal lagi yang mengganjal di hatiku.
My Abiyasa : Apa, Sayang?
Anila : Masih ingat Bagas? Mantan yang pernah aku ceritain. Dia mau liburan ke Batam. Mau ketemu sama aku? Boleh?
My Abiyasa : Boleh, tapi sama aku ya.
Anila tersenyum kembali. Sungguh kali ini Anila telah menemukan bahu pengganti dan rumah untuknya kembali.
***
Tepat pukul setengah delapan, motor yang dikendarai Anila dan Satria tiba di Pelabuhan Punggur. Kapal Roro yang akan mengantar mereka ke Pelabuhan Tanjung Uban Bintan.
Menunggu beberapa saat setelah membeli tiket. Kemudian mereka masuk ke kapal Roro yang sudah siap.
"Bi, kamu pernah ke Bintan?" tanya Anila. Setelah motor itu terparkir sempurna di dalam kapal bersama puluhan kendaraan yang lain.
Satria menggeleng, lalu ia merangkul bahu Anila mengajak naik ke dek atas.
"Pertama kalinya juga. Modal nekat, pakai google map. Tadi Devan nawarin mau dijemput di pelabuhan? Aku bilang enggak usah. Biar kita bisa nikmati perjalanan dari pelabuhan ke kawasan industrinya. Katanya sih jalanannya sepi." Satria tersenyum dan menatap wajah Anila dengan lekat.
"Bi, terima kasih." Anila membalas tatapan itu seraya tersenyum.
"Buat apa?"
Langkah mereka terhenti di dek atas. Duduk di pinggiran kapal yang masih belum bergerak.
"Udah jadi rumahku, aku pikir dulunya aku nggak akan punya rumah ternyaman lagi setelah kehilangan ibu dan--"
"Bagas?" Sahutan dari Satria membuat Anila terkesiap.
Kemudian Anila mendongak menatap wajah Satria. "Kok gitu! Bukan."
Satria terkekeh. "Aku kira kamu masih bucin sama mantan. Kamu juga jadi rumahku kok, Ta. Bukan hanya untuk singgah, tapi tempatku setiap hari akan kembali. Ta, tunggu aku ya. Jangan mau cepat-cepat dinikahkan. Ulur waktu sampai aku dan Devan datang, ya."
Anila mengangguk. Bayangan lelaki dewasa yang telah menunggu berkelibat di benak Anila.
"Ngapa sih?" tanya Satria melihat Anila terdiam.
"Aku ngeri bayanginnya. Mau lihat sosok lelaki itu, ayahku kirim foto ke aku," ucap Anila. Ia merogoh sling bag-nya, mengambil ponsel lalu mengusapnya menampilkan galeri dan menunjukkan kepada Satria.
Satria tertawa lirih setelah melihat foto itu dan menarik kedua pipi Anila dengan gemas. "Ini mah udah nggak layak dapetin gadis kayak kamu. Ganteng aku, jelas!! Kalah di good rekening mungkin, tapi masalah itu nanti aku usahain. Kita berjuang dari nol ya, Ta."
Anila meringis merasakan pipinya ditarik.
Satria semakin gemas, menatap kedua manik mata Anila. "Bilang ke ayahmu. Tunjukin foto kita berdua, kalau kamu udah bisa nemuin calon suami yang lebih dari lelaki itu."
"Heem, sepertinya kapal udah mau berangkat, Bi. Satu jam di kapal ngapain?"
"Mau ngapain? Ya duduk aja, kali. Keliling kapal sambil melihat lautan sekitar."
Keduanya tertawa. Lalu merasakan pergerakan kapal, semakin lama semakin menjauh dari dermaga. Angin bertiup kencang. Banyak penumpang lain juga menikmati dari pinggiran dek. Satria tak tinggal diam, ia merangkul bahu Anila mengajaknya berjalan-jalan di sekitaran. Berfoto berdua hingga tak terhitung sudah berapa banyak yang tersimpan di galeri ponsel masing-masing dan kemudian tersenyum bersama. Menghilangkan pikiran yang sedang kalut dan hanya ada bahagia di hati mereka.
Satu jam lebih sepuluh menit, kapal itu mulai melambat dan lalu berhenti di pelabuhan Tanjung Uban Bintan. Suasana baru bagi keduanya. Setelah dipersilakan untuk turun, mulailah mereka mengambil motor dan bersiap antre keluar dari kapal Roro.
"Bi, ternyata Bintan itu dekat, ya." Anila berujar sembari naik ke boncengan. Tak lupa tas ransel Satria, Anila letakkan di punggungnya.
Satria mengangguk. Ia fokus untuk turun dari kapal Roro.
"Perjalanan kita mulai, Sayang. Sorenya kita kembali ke Batam lagi. Jangan capek, ya. Besok udah masuk malam, kan?"
"Iya, sore pas senja di lautan, Bi. Dulu aku suka sekali senja. Karena namaku artinya angin senja. Entah kenapa sejak ibuku meninggal dan dimakamkan waktu senja, aku jadi membenci senja."
Satria paham. Lalu ia mengambil tangan Anila untuk dilingkarkan di perutnya sembari mengusapnya.
"Jangan benci senja. Tanpa senja kamu nggak akan lihat malam. Tanpa malam kamu nggak akan merasakan indahnya istirahat, tanpa malam kamu nggak akan lihat bintang dan bulan yang cantik. Jangan pernah membenci, karena nanti kamu akan jatuh cinta." Satria berkata lirih, motor mulai melaju dan berjalan keluar dari kapal. Lalu keluar dari pelabuhan.
Satria menghentikan motor sebentar di depan halaman pelabuhan. Ia mengeluarkan ponselnya.
"Bentar ya, Ta. Aku telepon Devan dulu."
Anila mengangguk, ia tetap menempelkan dagunya di pundak Satria. Melihat sang kekasih melakukan panggilan suara kepada sang kakak.
'Jangan membenci, nanti jatuh cinta.' Anila teringat kata itu. Lalu ia tersenyum. Ya, Satria yang niat membenci pada akhirnya jatuh cinta. Apa itu sebuah pengakuan?
"Kata Devan tiga puluh menitan sampai ke BIE, udah di share-lok, kok. Kamu yang pegang ponselnya, ya." Satria menoleh ke wajah Anila yang masih senyum-senyum, membuat pria itu gemas sekali. "Napa sih?"
Anila menggeleng, tidak mau menerima ponsel Satria.
"Pakai mata hati aja deh, Bi. Kalau aku pegangin ponsel nanti aku nggak bisa pegangan. Kita lihat jalannya dulu, habis itu ikutin. Nggak perlu dipegangi terus."
"Ish! Modus," sahut Satria. Ia kembali memasukkan ponsel di kantung jaketnya.
Anila terkikik. "Motor mas Riko ini berjasa sekali, loh. Dia selalu rela motornya dipake kita," ucap Anila.
Satria mulai menjalankan motor dengan pelan. Mengikuti jalan yang tertera di maps yang baru saja ia lihat.
"Aku nggak ingin beli motor lagi, Ta. Takut! Aku udah janji sama kamu nggak mainan balapan lagi. Beli mobil aja, Ta. Nanti kalau kamu udah balik Batam, balik udah jadi nyonya Abiyasa. Mau?"
Wajah Anila seketika memerah. Tersipu malu. "Mau, Bi."
"Ta," panggil Satria. Satu tangannya mengusap-usap telapak tangan Anila yang berada di perutnya.
"Iya, Bi."
"Kalau kita nikah sederhana aja nggak papa?"
"Nggak papa, akad nikah aja. Yang penting sama kamu. Jangan sama lelaki tua itu."
Satria tertawa lirih. "Semoga aku nggak telat datangnya."
Harapan itu tersemat di hati Satria. Harapan yang suatu hari bisa pupus, bisa juga terwujud. Dua anak manusia itu hanya punya rencana, berjuangnya yang tidak mudah. Dalam usia yang masih sangat muda, Satria dua puluh satu tahun, Anila sembilan belas tahun, tentu saja mereka hanya memikirkan bagaimana cinta keduanya bisa bertemu di majelis akad nikah. Belum terpikirkan badai apa yang akan mereka lewati dalam rumah tangga mereka nantinya dalam usia yang belum begitu matang.
***
Setelah empat puluh menit di jalanan yang sepi. Di kanan kiri masih banyak pohon nan rindang. Tak seperti bayangan Anila. Bintan tak seramai kota Batam.
Satria belok di kawasan BIE, kawasan industri pulau Bintan. Keadaannya tak jauh berbeda dari kawasan Muka Kuning. Banyak PT dan juga dormitori serta puja sera. Setelah berputar-putar mencari dormitori Devan. Pada akhirnya tibalah di depan rumah berjajar, dormitori yang ditempati oleh Devan, bukan seperti dormitori Anila dan Satria, yakni hanya berlantai satu. Mirip dengan perumahan.
"Udah sampai, Bi?" tanya Anila. Ia masih belum turun, padahal motor udah berhenti.
"Heem, turun yuk! Yang itu keknya rumahnya." Satria berujar sembari menunjuk salah satu blok.
"Di sini yang tinggal staf semua, Ta."
Anila mengernyit. "Iya? Anak-anak operatornya di mana?"
"Di yang sebelah sana mungkin, yang lantai susun empat."
Anila manggut-manggut. "Mbak Nay di sini juga?"
Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Melihat banyaknya rumah-rumah yang mirip. Seperti blok A. Tempat Anila ikut cumfire.
"Ajakin Devan sama Nayla nanti ke tepian laut, enak ya di sini. Kalau penat tinggal cus nongkrong di tepian laut." Satria mulai turun dari motor diikuti oleh Anila.
"Iya, kalau di Muka Kuning cuma ada bukit, Bi. Kalau di sini laut. Tapi, aku lebih suka Muka Kuning, Bi. Karena di situlah hatiku bertemu dengan kamu. Yang dulunya aku bilang enggak akan jatuh cinta atau baper sama kamu, ternyata aku menjilat ludahku sendiri. Apa ini namanya karma?"
Satria terkikik. Ya, dia ingat betul jika Anila berkata tegas waktu di pesawat tidak akan jatuh cinta atau baper. Kini malah jatuh ke pelukannya.
"Begitulah hati, Ta. Cepat sekali dibolak-balik oleh sang pemilik hati. Berharapnya cuma satu saat ini. Gadis kecilku ini tetap ada dipelukanku."
Satria menarik Anila dalam dekapannya, sembari berjalan ke arah dormitori Devan.
"Abi, ah! Malu!"
Bukannya melepas, Satria malah lebih erat medekap Anila dari samping. "Gemes! Pengan aku cium!"
Anila melotot, mencoba melepas tangan Satria yang mendekapnya erat. "Abi, jangan!!"
Keadaan dormitoi yang sepi, membuat Satria nyaman-nyaman saja berjalan sambil mendekap dari samping sang kekasih. Berbanding terbalik dengan dormitori Muka Kuning yang penghuninya banyak sekali.
Tiba di depan blok A nomor tiga. Satria melepas dekapannya. Ia mengetuk pintu dan keluarlah Devan. Anila, langsung menghambur ke pelukan sang kakak.
"Maaf lahir batin ya, Mas Devan. Maafin Anila jika banyak salah kata, dan tingkah Anila yang selalu membuat Mas kesal." Lirih Anila.
Devan mengusap lembut rambut Anila. "Mas yang harusnya minta maaf. Udah ninggalin kamu bertahun-tahun. Masuk, yuk! Sepi kok teman-teman pada jalan ke Lagoi. Kamu mau ke sana?"
"Nggak nginep, Dev. Langsung pulang nanti sore, Anila udah masuk malam besok," sahut Satria. Ia ikut terharu melihat kakak beradik berpelukan itu.
Anila mengurai pelukannya lalu mendongak menatap wajah sang kakak. "Mbak Nay mana?"
"Bentar lagi ke sini. Lagi masak katanya. Dormitorinya nggak jauh dari sini, namanya juga satu PT." Devan menjawab, sembari membuka pintu lebih lebar untuk keduanya masuk ke ruang tengah.
Setelah berbincang sebentar tentang perjalanan dari pelabuhan ke kawasan industri. Sosok yang ditunggu datang dengan membawa beberapa kotak makan yang dibungkus dengan tas. Nayla, gadis cantik berambut sebahu itu tersenyum dan mengucap salam lalu ikut duduk bersama di ruang tengah. "Capek ya, Anila?" tanyanya.
Anila menggeleng, ia mengambil tangan Satria lalu menggenggamnya. "Enggak, yang capek Abi mungkin."
Nayla tersenyum melihat kedua tangan itu bertautan. Hatinya lega, kini Satria telah menemukan orang yang tepat untuk dia mencurahkan rasa cinta dan sayang.
"Anila, ikut mbak yuk, ke dapur. Siapin makan buat para lelaki. Habis makan kita main ke lautan sana." Nayla bangkit dan membawa tas yang ia bawa tadi.
Anila menurut, setelah mendapat anggukan kepala dari Satria.
Di dapur Anila dan Nayla mencari piring dan gelas yang diisi air minum. Nayla membawa ayam kecap dan juga sayur tumis kangkung serta sambal merah.
"Anila," panggil Nayla.
Anila menoleh dan menghentikan tangannya yang sedang mengambil nasi.
"Heem," sahutnya.
"Mbak seneng lihat kalian udah jadian. Mbak cuma pesan satu. Abi eh maksudku Satria itu orangnya tertutup, jadi apa pun masalah dia jarang cerita. Jadi, aku mohon sama kamu nanti jika jadi istrinya. Ajari Satria untuk membuka diri semuanya, tentang apa pun itu. Entah suka atau duka. Kamu mungkin belum mengenal seutuhnya Satria, tapi lambat laun kamu akan kenal dia. Yang jelas dia orang baik. Kamu tahu keluarganya kan?"
Anila mengangguk.
"Mbak tahu kamu masih ragu. Tapi, Mbak udah bilang ke Devan untuk menyelamatkan kamu dari perjodohan itu. Devan udah bilang iya, dan akan datang denganku nanti saat meminta izin menikah. Mbak sama Devan mau nikah tahun depan, setelah kamu finish nanti kalau cuti kamu di ACC akan langsung ke rumahmu. Anila, jaga diri baik-baik saat kamu hanya berdua dengan ayahmu nanti. Kita nggak akan pernah tahu bahaya apa yang akan menghadang. Mbak khawatir sama kamu."
Pesan-pesan terucap dari bibir Nayla. Anila merasa sangat disayangi. Ternyata banyak orang yang mengkhawatirkan dirinya.
"Iya, Mbak. Anila akan jaga diri."
"Yuk, kita makan dulu. Walau belum siang, nggak papa lah ya. Kalian pasti lapar? Nggak mabuk laut, kan?" Kekehan Nayla terdengar setelah berucap.
__
365 Days Later
Bab dua puluh bagian dua
Pesan Terakhir
***
Senja memang tak pernah gagal memberikan pesonanya. Langit jingga dengan semburat kuning, seperti lukisan yang paling epik di canvas tanpa batas yaitu langit. Isyarat senja juga tak pernah salah, senja selalu berjanji akan datang lagi untuk mengantarkan sang malam datang.
Dua anak manusia yang kini sedang terombang-ambing di tengah lautan, ditemani oleh angin senja yang semakin terasa dingin. Angin kencang menerpa kulit dan rambut hingga tersibak berantakan.
Gadis itu merapatkan tubuhnya di dekat pria yang sedang mendekapnya. "Dingin, Bi," ucapnya.
Entah, Anila merasa perjalanan dari Bintan ini begitu terasa menyesakkan dada. Setiap pesan-pesan dari sang kakak tertanam di lubuk hati keduanya.
"Jagain Anila, Sat. Jagain Anila." Terngiang-ngiang kata Devan sebelum keduanya pamit dari dormitori kawasan BIE. Wajah tenang Devan penuh dengan permohonan.
Pria itu mengeratkan kembali dekapannya. Kapal seakan berjalan lambat. "Aku akan jagain kamu, Ta." Kecupan-kecupan kecil di puncak kepala Anila, Satria berikan. Sesekali ia mengusap-usap punggung sang gadis.
"Bi, apa aku jadi beban?"
Satria tersenyum mendengar pertanyaan konyol itu. "Beban? Apa itu beban? Hidup itu bukankah harus berpetualang, dan kamu teman berpetualangku."
Anila tersenyum, semakin menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.
"Terima kasih," ucapnya.
Anila tak menyadari jika sang pria sedang bertarung dengan pikirannya. Bertarung dengan hatinya, memikirkan cara untuk mengambil sang gadis dari ayahnya. Apa iya, dia mampu?
***
Empat bulan berlalu ...
Waktu yang paling ditakutkan Anila akan datang. Hari-hari sebelum dia akan pergi meninggalkan kota Batam. Waktunya hanya digunakan untuk menunggu sang kekasih mampir ke dormitori setiap malam.
Anila telah menyiapkan satu hadiah untuk Satria. Berharap hadiah itu bisa menemani sang pria menjalani hari di Batam tanpa dirinya. Satu buah buku berisi kolase-kolase foto dirinya dan Satria, dari momen pertama kenal hingga menjelang finish. Tak lupa Anila selalu menulis setiap momen di bawah foto, untuk mengingatkan Satria jika pria itu hampir lupa dengan janjinya.
Dan ... malam ini, satu hari sebelum Anila pulang ke Jogja esok hari. Ia menulis, menulis kata hatinya.
Dear, Abang Satria Abiyasa.
Anila tersenyum menulis kata itu. "Ah, kenapa jadi manggil Abang?" gumam Anila.
Dia pun merobek kertas yang sudah tertulis beberapa kata tersebut. Dia melirik sekilas ponsel yang ada di sebelahnya. Melihat digit digital yang ada di layar. "Masih jam lima, Abi pulang jam tujuh malam."
Jemari Anila kembali menulis di buku yang akan dia berikan kepada Satria. Setelah menempel satu foto terakhir yang mereka ambil saat jalan berdua di kawasan Nagoya.
Dear, calon imam.
Mas Satria Abiyasa
Saat baca ini pasti aku sudah ada di pesawat.
Aku harap Abi nggak nangis, ya.
Bi ...,
Terima kasih untuk 365 harinya.
Dari awal aku begitu kesal dengan tingkahmu, dari awal kamu sudah mencuri hatiku meski saat itu aku masih denial. Tak pernah mau mengakui jika aku ter-baper-baper atas gombalanmu.
Bi ...,
Terima kasih atas semua bantuanmu. Pelukanmu, kata-katamu dan semua pesanmu yang membuat aku tersenyum.
Oh, iya satu lagi.
Terima kasih untuk pinjaman pelukan ibumu. Itu membuatku sangat kuat hingga saat ini.
Meski dulu aku tak pernah mengakui jika butuh obat. Ternyata, kamu meyakinkan aku akan hal itu. Perpaduan self imun dan obat yang tepat membuatku kuat. Bahkan sayapku kini lebih kuat. Meski saat pulang ke Jogja nanti akan ada ribuan rindu yang akan bersarang di hati ini.
Satu hal yang tidak pernah aku sesali dalam perjalanan 365 hari ku di kota ini
'Aku menemukan kembali rumahku dan itu kamu. Jatuh cinta kepadamu bukan lagi hal yang aku sesali. Aku harap kamu pun begitu.'
Aku menunggumu.
Anila Swastamita
Gadis kecil yang menungggumu untuk dihalalkan.
Anila meletakkan pena setelah selesai menulis. Dia mengambil satu lip tint lalu mengoles ke bibirnya. Satu kecupan dia berikan di halaman yang baru saja tertulis sembari bergumam, "Hadiah buatmu dibuku dulu, ya."
Terakhir, Anila tutup buku kolase foto tersebut. Memasukkan ke kotak yang telah dia siapkan. Ada satu bunga plumrose yang Anila beli di florist, wangi bunga itu mengingatkan dengan buket bunga dari Satria saat Anila ulang tahun. Bunga yang berarti cinta dan kasih sayang.
Azan Maghrib terdengar, Anila gegas turun dari ranjangnya. Kini dia menempati kasur di bawah karena Suci telah finish. Anak-anak yang shift malam sudah mulai bersiap. Anila memandang sejenak, dia pasti akan merindukan hal-hal seperti itu. Berangkat bersama dengan transkib dan jika bangun kesiangan berebut kamar mandi.
Ponsel Anila berdenting, membuyarkan lamunannya.
My Abiyasa : Aku pulang setengah tujuh, Ta. Habis ini ke dorm. Sayang, jangan makan malam dulu. Habis ini ke Panasera.
Satria, pria itu sejak pagi sudah aneh. Seakan menghindari Anila. Entah, karena rasa sedihnya telah membuncah atau karena hatinya belum rela malam ini menjadi malam terakhir Anila di Batam.
Tentu saja Anila tersenyum mendapati pesan itu. Pesan yang ditunggu Anila sejak pagi.
Anila : Iya, Bi. Aku tunggu, karena ini weekday jam kunjung hanya sampaj pukul sepuluh malam. Inget itu, ya.
My Abiyasa : Aku culik kamu ke dormitoriku aja, nanti. Aku masukin lewat pintu belakang. Kamu jahat! Tega ninggalin aku.
Anila tertawa kecil membaca itu. Satria cowok yang trust isue-nya adalah cowok red flag. Namun, selama jalan dengan Satria, Anila tak pernah merasa Satria lelaki yang seperti itu. Bahkan bisa dibilang hanya berani peluk-peluk dan mengecup kening dan puncak kepala. Di mana red flag-nya?
Anila : Sementara aja, Bi. Kamu culik aku di Jogja aja, ya. Langsung bawa ke KUA.
Terkirim dan centang abu-abu. Jika sudah seperti itu, Satria sudah mengakhiri ruang chatnya.
Tiga puluh menit berlalu, Anila baru saja selesai mandi dan berganti pakaian. Ponselnya kembali berdenting, dia pun langsung membaca pesan itu.
My Abiyasa : Aku culik sekarang aja. Yuk! Aku udah di depan.
Tawa kecil Anila menyembur. Gegas dia mengambil kotak yang telah dia siapkan dan membawa serta ponselnya.
Senyum Satria terbit kala melihat Anila keluar dengan kaus warna hitam dan celana jeans selutut. Dengan rambut yang Anila biarkan tergerai
"Aku culik kamu," bisik Satria. Tangannya meraih bahu Anila dan merangkulnya. "Ke dormitoriku bentar, ya. Aku ganti baju dulu. Bau asem, seharian kerjaanku banyak banget. Bolak-balik produksi, nggak tahu kenapa error terus. Apa karena kamu mau pulang, ya?" Satria bekata sembari berjalan menyusuri jalanan blok P.
Anila memandang wajah lelah tersebut. "Lelah?"
Satria mengangguk lalu tersenyum. "Lihat kamu udah ilang lelahnya. Ta."
Keduanya tiba di depan kamar Satria. Pria itu membuka pintu lalu meminta Anila masuk.
Anila mengerjap sebentar. "Sepi? Nyulik aku beneran ini?"
Satria tertawa. "Yang masuk malam udah berangkat, yang masuk pagi belum pada pulang. Aku kan pulang tiga puluh menit sebelum bel. Sengaja, biar bisa puas berdua sama kamu." Kekehan singkat Satria terdengar. Anila menunduk kemudian.
Langkah kaki Anila mengukuti pria itu. Sampai di dalam kamar pria itu Anila tercengang, melihat penampakan kamar anak laki-laki. "Berantakan, ya? Dah nggak usah dilihat, ke ranjangku, yuk." Satria berkata sembari menarik pergelangan tangan Anila ke sudut. Letak ranjang Satria ada di ujung dekaf pintu kamar mandi.
Pria itu berdiri membelakangi Anila, membuka almari mengambil satu kaus.
"Bi," panggil Anila lirih.
Satria membalikkan tubuhnya. Lalu Anila menghambur ke pelukan lelaki itu.
"Aku pamit, Bi." Anila memeluk erat tubuh tegap itu. Dengan air mata membasahi pipi. "Ini hadiah buat kamu, buka saat aku sudah pergi dari sini besok pagi, ya." Isak tangis Anila semakin terdengar.
Satria terdiam, menangis dalam diam. Hatinya mencoba kuat. Hatinya mencoba menerima sebuah perpisahan. Gadis yang sudah menemani selama 365 hari, gadis yang mampu membuat hatinya kembali bergetar. Harus pergi dan hilang dalam pandangannya.
"Bi, aku pergi dulu. Jemput aku, ya." Lirih Anila.
Satria tahu gadis itu menaruh harapan besar untuknya.
"Jangan lama-lama ya, Bi," lanjut Anila.
Diam, Satria terdiam tidak bisa berkata apa-apa. Tangannya terangkat mengusap puncak kepala sang gadis. Dan memberikan kecupan yang sangat lama di sana.
Anila lebuh erat memeluk tubuh itu, menghirup aroma tubuh yang belum mandi itu kuat-kuat. Aroma tubuh yang pulang bekerja. "Aku akan merindukan semua ini, Bi. Jangan lelah untuk berjuang, ya. Aku tunggu kamu sama mas Devan menjemputku."
Anila memundurkan sedikit tubuhnya. Dia mendongak menatap wajah sang kekasih. Kedua tangan Satria menangkup kedua sisi wajah Anila. Pipinya telah basah air mata.
"Jangan nangis. Bukankah cinta iitu katamu harus dengan berjuang?Biarkan aku berjuang dengan caraku, Ta. Jaga diri baik-baik, kamu bisa teriak jika kamu ada dalam bahaya. Jangan keluar malam sendirian, jaga semuanya buat aku."
Anila mengangguk. "Kamu juga ya?"
Satria mengangguk, Anila telah memejamkan mata. Satria sedikit menunduk, Anila bisa merasakan embusan napas lelaki itu. Lalu, saat wajah itu semakin dekat. Jantung Anila berdetak semakin cepat, tubuhnya menegang. Gelanyar aneh mendatangi tubuhnya.
Anila merasakan kecupan basah di keningnya lama.
"Cinta nggak harus nyium bibir, kan?" bisik Satria. "Bukan karena aku nggak berani, tapi sayang jika aku merasakan saat ini. Karena jika aku candu, aku tak tahu nanti harus meminta pada siapa."
Anila kembali membuka kedua matanya. Dia tersenyum.
"Aku tunggu!!" Lirihnya.
Satria kembali memberikan kecupan di kening gadis itu beberapa saat dan lalu mendekap erat sang gadis.
"Aku sayang kamu, Anila Swastamita. Sayang itu menjaga bukan merusak! Jika kita jodoh jalan kita akan dipermudah. Tuhan itu baik, doa tulus kita pasti akan didengar, karena bukan hanya kita yang berdoa. Ayah dan ibuku juga berdoa."
Satria jelas mempunyai rasa ketakutan sendiri. Namun, dia lebih memilih melawan rasa takutnya itu dengan segala doa yang dia punya.
Keduanya larut dalam pelukan hangat. Kecupan-kecupan Satria tetap diberikan di kening dan puncak kepala sang gadis.
Sampai-sampai mereka tak sadar jika Riko sedari tadi memperhatikan dua sejoli yang sedang melakukan ritual perpisahan.
"Kok aku jadi ikut sedih lihat live kalian, sedih karena iri." Suara lelaki yang membuat Anila segera melepas pelukan dan bersembunyi di balik tubuh Satria.
"Ya Allah, Ko. Kenapa sih kamu pulang cepet?" Satria tetap mengusap kepala Anila yang berada di balik punggungnya.
"Kebelet!!" ujar Riko. Pria itu segera melenggang pergi ke belakang.
Huft!!
Hanya helaan napas panjang yang bisa mereka lakukan. Lalu kembali saling menatap dan tersenyum.
"Jangan lama-lama jemputnya, ya, Bi."
Bukan perpisahan yang keduanya takuti. Tetapi, ketakutan jika nanti tidak bertemu kembali.
-End-
__
Sampai jumpa di extra part.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
