
Hay, man teman.
Hadir dengan cerita baru, nih!
Baca dulu blurb-nya.
Blurb :
Anila Swastamita-gadis delapan belas tahun yang memutuskan untuk merantau ke pulau Batam dengan keadaan hati yang terluka.
Ya, malam yang seharusnya menjadi malam perpisahan dengan sang kekasih-Bagaskara menjadi malam yang indah, namun kata 'putus' harus diterima oleh Anila. Dengan alasan klasik 'Tidak bisa LDR.'
Seiring berjalannya waktu, Anila bertemu dengan sosok pria yang menawarkan menjadi obat untuknya yaitu Satria Abiyasa-lelaki...
365 days Later
Bab satu
From JGJ to BTH
***
"Kita putus!!"
Gadis bernama Anila Swastamita terdiam mendengar ucapan lirih dari pria bernama Bagaskara Dananjaya.
"Gas, kamu serius? Sudah setahun, loh." Anila masih meragukan ucapan yang baru saja dikatakan oleh sang kekasih.
Pria itu mengangguk. "Aku nggak bisa--"
"LDR," sambung Anila dengan cepat. "Alasan yang sangat klasik, aku ke Batam kerja bukan cari cowok, kamu tahu sendiri keadaan aku gimana? Aku nggak bisa di Jogja terus, Gas. Kamu ngerti, kan?"
Anila sudah merendahkan dirinya sebagai perempuan, entah dia terlalu cinta atau takut tak ada yang menyayanginya lagi. Kata putus dari Bagas yang sudah menemaninya setahun ini terdengar begitu menyakitkan.
"I'am so sorry!" Bagas berkata kembali sembari meraih pergelangan tangan Anila.
Anila menepisnya lalu ia membalikkan tubuhnya. "Aku tahu, selamat tinggal! Entah, kapan kita akan bertemu lagi? Tapi, terima kasih untuk satu tahun ini. Aku berangkat besok siang penerbangan pukul setengah satu, kumpul di Disnaker Kota. Aku kasih tahu kamu bukan berarti berharap kamu akan ikut mengantarku, enggak! Terima kasih."
Anila mengayunkan langkah perlahan meninggalkan taman kota. Tempat mereka berada saat ini, Nila pikir malam ini akan menjadi perpisahan romantis ala sepasang kekasih yang akan berpisah, namun kenyataan menghantamnya telak. Kata putus menjadi bekal untuknya merantau di pulau seberang.
Air mata itu berjatuhan menemani langkah Anila menuju ke rumah yang tak jauh dari taman kota. Kadang Nila tertawa sendiri, menertawakan dirinya sendiri, begitu lemah hatinya.
"Sudahlah, Nila. Waktumu masih banyak, jangan pikirkan lagi, dulu kamu pernah berkata ingin putus dengan Bagas karena pacaran sama dia rasanya flat-flat aja, kan? Karena Bagas nggak pernah protektif, nggak pernah perhatian dan nggak pernah lain-lainnya layaknya lelaki yang mempunyai kekasih. Sekarang sudah terjawab, kan? Kalau Bagas setahun ini hanya main-main, bukan seserius yang kamu kira. Ia hanya kasihan denganmu!" gumam Anila sepanjang perjalanan. Dia lampiaskan rasa kesalnya dengan menendang-nendang batu sepanjang jalan yang ia lewati.
***
"Ibu, nggak usah diantar nggak papa. Nila berangkat sendiri, naik ojek online. Ke Disnaker deket, kok." Anila berpamitan.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan pagi, sementara pihak Disnaker meminta semua peserta yang akan berangkat harus berkumpul tepat pukul sepuluh pagi.
Ibu mengangguk, raut wajah sedih tergambar jelas dari kulit yang mulai keriput. "Janji sama Ibu, kamu harus bahagia. Jangan pikirkan ayahmu, biar Ibu yang akan urus."
Anila tersenyum, kedua tangannya terangkat mengusap dua sisi wajah ibu. "Tujuan Nila ke Batam membantu Ibu membayar semua tanggungan ayah. Ibu, Nila mohon, jika sudah tidak kuat Ibu bisa berpisah, jangan pikirkan Nila atau Mas Devan, kami sudah besar jangan pikirkan kami lagi. Tapi, pikirkan kebahagiaan Ibu."
Satu tetes air mata jatuh di pipi lembut ibu. "Devan! Entah dimana kakakmu itu sekarang? Dia sudah benar-benar benci dengan ayahmu sehingga tak mau kembali ke rumah ini."
Anila tersenyum kembali. "Di manapun Mas Devan berada, pasti dia mengharapkan Ibu bahagia. Ayah belum bangun?"
"Kamu mau pamit?" tanya Ibu.
Anila mengangguk. "Ayah harus tahu kan aku akan pergi, Bu."
Ibu mengangguk dan lalu menunjuk ke kamar utama di mana ayah berada.
Anila menyeret langkahnya pelan, kemudian mengetuk pintu. "Ayah, ini Nila. Cuma mau pamit aja, kalau ayah masih tidur nggak papa, Nila pamit, ya, Yah. Nitip Ibu."
Tidak ada sahutan.
Nila masih terdiam di depan pintu. Menunggu beberapa menit.
Tetap tidak ada sahutan apa pun, ibu kembali mendekati Nila.
"Pergilah! Ayahmu pasti belum bangun, jangan khawatir akan ibu, Nak. Ibu akan baik-baik saja," ucap Ibu. Usapan lembut tangannya kembali dirasakan oleh Nila.
Nila menunduk, lalu mencium tangan Ibu.
"Nila berangkat, doain sehat dan bahagia di sana, ya, Bu. Nanti sampai di sana, Nila akan kabari Ibu."
Ibu tak lupa memberikan kecupan. "Hati-hati."
Baru saja hendak mengeluarkan ponsel untuk memesan ojek online, Bagas datang dengan motornya. Pria itu tersenyum dan turun dari motor menghampiri ibu dan Nila yang berada di teras depan.
"Ayo, Nila."
Nila masih terdiam. Masih tak habis pikir dengan kedatangan pria itu. Bukankah tadi malam semua telah usai?
"Nak Bagas, terima kasih," ucap Ibu.
"Kebetulan saya nggak ada jam kuliah jadi bisa nganterin Nila. Ayo, Senjaku."
Nila terkesiap, Bagas masih memanggil dengan panggilan kesayangan.
"Hm-hm, iya!" Nila meraih helm yang disodorkan oleh Bagas.
Tas ransel yang sudah ada di punggung pun menemani perjalanan Nila menuju ke Disnaker.
Angin senja itulah arti nama Anila Swastamita, Bagas sering memanggil Nila dengan sebutan senja, karena pria itu sangat suka dengan senja. Nila berambut panjang terurai sebahu, dengan poni bagian depan sedikit panjang. Wajah khas anak Jogja dengan lesung pipit di kedua pipinya, menambah manis saat gadis itu tersenyum.
"Kenapa kamu nganter aku, Gas?" tanya Nila sepanjang perjalanan.
Embusan angin mengaburkan suara Nila. Sehingga Bagaa tak mendengar.
"Gas!"
"Eh, kenapa?"
"Kamu kenapa nganter aku?"
"Putus bukan berarti silahturhmi juga ikut hilang, kan, Nila. Satu tahun kita bersama, ribuan cerita sudah kita buat, apa salah kalau aku ingin mengantar kamu untuk terakhir kalinya, ya mungkin bisa ketemu lagi, tapi nggak tahu kapan? Aku minta maaf sekali lagi," ucap Bagas lirih.
Nila samar mendengar, namun juga cukup jelas.
Benar apa kata Bagas, satu tahun sudah dijalani bersama. Ribuan cerita juga sudah banyak dibuat, bahkan ribuan tawa, sedikit tangis telah terukir di hati. Kenapa Nila jadi kekanakan sekali?
"Kamu masih menyimpan nomorku, kan?" tanya Bagas.
"Heem," sahut Nila.
"Hubungi aku kalau kamu butuh aku. Mantan bukan berarti musuh, kita bisa tetap berteman."
Sekali lagi Nila ditampar oleh ucapan Bagas.
Benar, mantan bukan musuh. Setidaknya pria ini selama 365 hari telah memberinya banyak arti. Kenapa hanya satu hari mengatakan hal yang tak jadi keinginan Nila, lalu dia bisa membencinya? Bukankah itu tak adil, 364 hari bahagia dihancurkan hanya dalam satu hari.
Begitulah manusia, satu hal buruk bisa menutup ribuan kebaikan.
"Makasih, Gas."
Motor itu berhenti tepat di depan kantor Disnaker.
Nila gegas turun dan menyodorkan kembali helm yang ia pakai.
"Baik-baik di Batam, jangan lupa tetap belajar. Karena aku tahu impian kamu. Masih sama kan dengan yang kamu ceritakan sama aku?"
Nila tersenyum.
"Mungkin akan berubah saat aku di sana nanti, karena beda tempat akan beda cerita. Kamu juga baik-baik di Jogja. Lancar kuliahnya sampai jadi sarjana baik, aku masuk ya, Bye!"
Ucapan terakhir Nila. Ia pun kemudian melambaikan tangan dan masuk bersama dengan puluhan calon karyawan lain dari Jogja.
Nila menoleh kembali ke arah Bagas dan tersenyum.
"Impianku hanya satu kembali ke hati kamu, tapi mungkin akan berubah dengan seiringnya waktu."
___
365 Days Later
Bab dua
Bertemu orang-orang baru.
***
"Anila Swastamita!"
Anila masih melihat kanan dan kiri, ada rasa iri menyeruak di hatinya kala melihat para calon karyawan diantar oleh orang tua atau saudara, bahkan juga kekasih.
Gadis itu tersenyum miris.
"Anila ... Anila Swastamita!"
Terdengar kembali panggilan nama. Saking larutnya Anila dalam kerumunan orang, ia mengabaikan panggilan dari pihak pendamping yang akan mengantar sampai ke pulau Batam.
Orang-orang mulai berbisik dan menoleh, ikut mencari-cari orang yang bernama Anila.
"Anila Swastamita!" Panggilan ketiga kalinya. Anila mengerjap, ia bergegas maju ke depan.
"Maaf, Pak. Tadi nggak dengar di belakang soalnya," ucap Anila dengan lirih.
Bapak itu tersenyum lalu menyerahkan tiket pesawat atas nama Anila.
"Makasih, Pak."
Anila berjalan kembali ke barisan. Dia belum punya teman, senyum pun dia berikan kepada siapa saja. Anila tahu mana yang akan berangkat atau hanya sekedar mengantar sampai ke Disnaker.
"Sendirian, Mbak?" sapa seorang gadis.
Anila mengangguk. "Iya, ayah dan ibuku nggak bisa nganterin. Jadi ya sendirian aja."
Gadis berponi pendek itu mengangguk. "Sama, oh iya kenalkan aku Rasti. Kamu Anila?" Tangannya menjulur seraya tersenyum.
"Kok tahu namaku?" Anila menyambut tangan itu.
"Yang dipanggil sampai tiga kali, kan?" Kekehan singkat dari gadis bernama Rasti terdengar. Anila jadi ikut tertawa karena malu.
Tidak sulit bagi Anila untuk berkomunikasi dengan orang baru. Anila suka senyum, jika ada yang mengajaknya berkenalan ia sambut dengan ramah.
Sembari menunggu semua diberi tiket, Anila melihat ponselnya. Ada satu pesan yang menggelitik hatinya, ingin rasanya tertawa tapi juga menangis.
Ya, Bagas. Pria itu masih saja mengirim pesan padahal semua telah usai.
Bagas : Senjaku, baik-baik, ya. Tetaplah selalu menjadi indah dengan rambutmu yang terurai panjang. Tetaplah memandang ke depan dengan kedua bola mata bulatmu. Di depan sana banyak yang indah. Maafkan aku telah menghadirkan luka untukmu.
Bagas : Tetaplah beri kesejukan kepada siapa saja, karena kamu adalah angin senja terindah.
Anila mengusap layar ponselnya yang meredup. Memilih tak membalas dan menyimpan kembali ponsel ke dalam tas.
Satu per satu anak yang akan berangkat sudah mendapatkan tiket. Pendamping mengumpulkan semuanya untuk briefing. Tak lama setelah itu mereka menuju ke bis yang akan mengantar ke Bandara.
Langkah awal Anila dimulai.
Satu tahun ke depan ia ada dalam ikatan kontrak.
Satu tahun ke depan ia akan menjalani hidup baru.
Satu tahun ke depan niatnya hanya ingin membantu ibu.
Satu tahun ke depan ia akan menemukan hal baru di tempat baru.
Mengukir cerita, membawa diri ke dalam alur semesta.
"365 days later, aku nggak tahu apa yang akan terjadi. Dimulai dari hari ini, dimulai dari hati yang penuh luka. Bismillah!" gumam Anila. Kakinya melangkah naik ke bis, mencari bangku kosong, tapi ia sudah tak menemukan di barisan depan. Ia berjalan sampai ujung belakang, di barisan paling belakang belum ada yang menempati, Anila segera duduk di pojok dekat dengan jendela. Melihat lambaian tangan para pengantar, hatinya tersayat perih.
"Beruntung mereka yang diantar oleh orang tersayang," gumamnya lagi.
Detik berikutnya Anila mengembuskan napas. Hatinya berkata, "Kamu juga beruntung Nila, diberi hati yang kuat. Belum tentu mereka sekuat kamu, tapi kamu dengan usia segini sudah ditempa menjadi seperti ini. Nila, bukan kamu yang menginginkan lahir di dunia ini. Tapi semua memang sudah takdir. Tak perlu membenci kedua orang tuamu, karena mereka juga tak salah, mereka hanya menjalani peran sebagai orang tua dengan ujian yang kamu tak tahu."
Sungguh, jika bisa memilih takdir. Tak ada anak yang ingin lahir dalam keluarga yang tak baik-baik saja, bukan?
Larut dalam lamunannya, Anila sampai tak sadar jika bis mulai bergerak pelan, di sisinya juga telah ada satu orang pria berkaus putih dengan jaket warna hitam.
"Hai," sapanya.
Anila mengangguk dan tersenyum.
"Pertama kali ke Batam?" tanyanya.
Anila kembali mengangguk.
"Welcome to perantauan, dimana nanti kamu akan merasakan apa itu artinya rindu. Rindu dengan lambaian tangan orang tua dan juga masakan rumah," ucapnya lagi.
Anila kembali tersenyum dan mengarahkan pandangan kembali ke luar jendela. Lambaian tangan para pengantar semakin terlihat kecil, itu artinya bis telah jauh dari halaman Disnaker.
Tanpa mempedulikan orang di sampingnya. Anila memejamkan mata.
***
Satu per satu anak-anak mulai memasuki terminal keberangkatan. Setelah baording pass, semuanya naik ke ruang tunggu. Layar yang menunjukkan keberangkatan pesawat Anila dan teman-teman berubah, informasi menyebutkan akan ada delay selama satu jam.
Bahu Nila merosot begitu saja mendengar informasi.
"Mana lapar lagi, tadi belum sarapan! Huft!" gerutu Nila.
Menoleh ke kanan dan ke kiri, banyak yang sudah bergerombol. Tetapi, Nila belum menemukan satu teman yang benar-benar mau duduk bersamanya.
"Boleh duduk sini?" tanya seseorang.
Nila yang sedang menunduk membenarkan tali sepatunya langsung mendongak. "Laki-laki ini lagi?" gumamnya dalam hati.
Anila mengangguk. "Ini tempat umum, nggak perlu juga minta izin ke aku. Btw, kamu juga calon karyawan atau pendamping?" tanya Nila. Ia penasaran, pasalnya satu rekrutan Nila hanya perempuan semua kenapa tiba-tiba ada beberapa lelaki.
"Kita satu PT," jawabnya.
Nila mengerutkan keningnya. "Kok bisa?"
"Ya bisalah, Batam itu nggak hanya untuk perempuan kan? Emang ada tulisannya itu kawasan khusus untuk perempuan? Enggak, kan?"
Nila menyunggingkan senyum.
Pria di sampingnya ini memang friendly, terlihat dari gaya bicaranya.
"Aku lihat kamu sendirian terus? Nggak ada gitu teman satu sekolah atau teman saat tes?"
Nila menggeleng.
"Aku udah lulus enam bulan yang lalu, ya teman-teman sekolah udah duluan ke sana. Akunya aja telat, masih betah di Jogja."
"Kamu nggak bawa bekal? Padahal delay lama, nih! Nggak tahu juga kenapa harus transit ke Jakarta."
Pria itu terus menerus mengajak berbicara Anila yang menunduk memeluk tas ranselnya.
"Baru kali ini aku temuin cowok yang banyak bicara, aku kira ke Batam itu hanya untuk perempuan. Ternyata ada lelaki juga. Berisik, tauk!!"
Bukannya marah pria itu malah terbahak.
"Calon playboy kelas kakap di dormitori, kan?"
Nila memicingkan mata. "Dormitori?"
Pria itu mengangguk. "Oh iya, kenalkan namaku Satria Abiyasa, kamu Anila?"
"Kok tahu?" Anila menatap heran, kenapa pria itu tahu namanya.
"Aku juga nggak tuli, pendamping tadi manggil nama kamu sampai tiga kali untuk ngasih tiket."
"Oh, kamu merhatiin aku?"
"Pede sekali, gadis kecil kayak gini diperhatiin. Banyak yang anak senior Batam tuh, lihat. Anak baru datang sama ex-Batam kelihatan bedanya." Pria itu menunjuk sekumpulan anak-anak perempuan yang sedang duduk di ruang tunggu Bandara.
Anila mengangguk-angguk.
"Jadi kamu beneran nggak bawa bekal?"
Anila menggeleng. "Aku kira hanya dua jam aja, jadi pikirku beli di sana aja. Aku cuma bawa bekal hati yang luka."
Pria bernama Satria itu menoleh, menatap wajah Anila.
"Kenapa ya Batam selalu jadi tempat pelarian luka? Kota itu padahal bukan apotek untuk mencari obat, tapi kota jika kamu nggak hati-hati lukanya akan semakin melebar."
Anila mengerjap ia sadar dengan ucapannya yang salah.
"Hm-ehm, bukan itu maksudku!"
"Selow aja kali, aku udah pernah ke Batam dan ini yang kedua kalinya." Tawa pria itu terdengar.
"Perempuan itu aneh!" ujar Satria.
"Aneh?" Anila mengernyit heran.
Satria tersenyum. "Setiap manusia itu sudah pasti akan terluka, tinggal kita bijak saja dalam memilih cara menyembuhkannya. Mau mencari obat di apotek atau berjuang sembuh dengan sendirinya mengandalkan self imun. Artinya apa? Kamu ngerti?"
Anila menggeleng. Ia semakin larut dalam obrolan seru dengan Satria.
"Kamu memilih membeli obat di apotek artinya kamu memilih ada orang yang membantu menyembuhkan luka, bisa cocok bisa tidak, jika tidak cocok lukanya akan semakin lama sembuh kalau cocok ya akan membaik dengan cepat. Dan ... kalau kamu memilih dengan cara self imun, kamu emang kudu sabar artinya kamu harus berjuang menjadikan luka itu sebagai caramu menempa hati agar lebih kuat."
Anila memperhatikan pria itu berbicara dengan bijaknya. Entah, umur pria itu berapa? Yang pasti sudah lebih dewasa dari dirinya.
"Bijak sekali, jadi ingat Mas Devan!" gumam Anila.
Satria mendengar gumaman Anila. "Devan pacar kamu?"
"Hm--bukan! Kakak aku," sahut Nila. "Lagian kamu kenapa kepo sekali, baru juga kenal aku beberapa jam yang lalu," lanjutnya. Tatapan Nila jadi menciut ketika Satria membalas menatapnya.
"ABG labil," ujarnya. Ia terkekeh kemudian. Tatapan penuh arti yang tak bisa ditangkap oleh Anila.
Anila melotot, dia dibilang ABG labil. Siapa Satria?
Dengan kesal Anila meninggalkan pria aneh itu lalu duduk di kursi tunggu yang lain, tak jauh dari Satria. Melipat kedua tangannya di depan dada lalu menatap dari jauh sosok yang membuat Nila rindu dengan sang kakak.
"Andai ... ah! Tidak, kata ibu aku nggak boleh berandai-andai. Mas Devan kemana, ya? Dua tahun menghilang, nggak kangen kah sama adikmu ini?" lirih Anila.
Satria sebenarnya sadar sedari tadi Anila memperhatikan dirinya. Namun, ia pura-pura melempar pandangan ke sembarang arah. Anila menlisik dari jauh tubuh pira itu, benar-benar mengingatkan dengan sang kakak, suka memakai sneakers, kaus dan jaket serta celana jeans. Rambutnya yang terlihat acak-acakan malah membuatnya semakin terlihat tampan.
"Ah, Nila apa-apaan kamu!"
Anila mengerjap-ngerjap. Mengembalikan kesadarannya. Baru saja semalam ia kehilangan pria yang setahun ini menemaninya, lalu ada pria bernama Satria datang mengembalikan ingatan kepada sang kakak.
Dua lelaki istimewa Nila, Devan dan juga Bagas. Tetapi, dua-duanya dengan sepenuhnya sadar telah meninggalkan luka batin kepada Nila.
Masihkah mereka istimewa?
Tentu saja jawaban Nila, iya.
Bagas sebagai rumah, tempat Nila selalu kembali jika hati lelah.
Devan sebagai bahu, tempat Nila menangis kala mendengar ayah dan ibu bertengkar.
Namun, semesta telah mengatur semuanya. Kini, Nila harus berjalan sendirian.
Mau tidak mau, suka atau tidak suka, rela atau tidak rela, hidup harus tetap berjalan.
Tentang semua luka dan masalah?
Benar kata Satria, kamu mau memilih mencari obat atau menyembuhkan sendiri. Itu pilihan!
___
Sampai sini dulu,
Sampai jumpa di bab berikutnya
With love
Casey Athaya
21.10.22
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
