
Lin Yue melanjutkan perjalanannya untuk menangkap Ba Tianlang dan sementara itu tetap menangkap penjahat-penjahat lainnya. Ia merefleksi perjalanan yang sudah ia tempuh sampai tiba di titik ini…
Pagi itu di sebuah pasar kecil di desa di bawah bukit, dua penjahat pembunuh bayaran dari kelompok Tangan Darah Malam (夜血之手 – Ye Xue Zhi Shou) sedang mengintimidasi pedagang daging.
"Cepat berikan uang keamananmu, atau kau dan keluargamu akan kami buat jadi daging cincang," kata salah satunya, seorang pria bermuka bopeng dengan mata satu. Namanya Hei San (黑三) – "San si Hitam". Di sampingnya, seorang pria gemuk dengan dagu berlapis tiga tertawa sambil memainkan golok panjang. Ia dikenal sebagai Liu Pangzi (刘胖子) – "Si Gendut Liu".
"Cukup," suara tenang memotong ancaman itu. Lin Yue melangkah masuk ke tengah keramaian. Ini memang tujuannya datang ke desa di kaki lembah ini. Mengejar dua orang penjahat yang sudah meresahkan masyarakat, dan dari sana akan ada tambahan dua puluh tael perak mengisi pundi-pundi uangnya. Sorot mata Lin Yue tak menunjukkan amarah, hanya kejernihan yang tak bisa diselami.
"Hei! Kau pikir siapa dirimu, bocah cantik? Mau berlagak jadi jagoan di sini?" Hei San mengayunkan goloknya—cepat, tapi tidak cukup cepat untuk Lin Yue.
Dengan satu gerakan ringan, tubuh Lin Yue melayang setengah depa ke udara, menggunakan jurus yang ia pelajari saat ia memperdalam ilmu meringankan tubuh dan mendorong langkahnya dengan ringan dan cepat. Ujung sepatunya mendarat di lengan Hei San—disusul suara "kraak!" yang membuat merinding semua yang mendengarkan.
Sebelum Liu Pangzi sempat menarik napas ketakutan, Lin Yue telah bergerak. Pedangnya keluar dari sarungnya bagaikan kilat—jurus Hujan Menebar Bunga - Tianyu Sanhua berhasil mengalahkan Liu Pangzi. Lima tebasan indah, seolah kelopak bunga beterbangan... dan golok Liu Pangzi telah terlepas dari tangannya, tubuhnya terguling ke tanah, tidak mampu bergerak.

Semua orang yang melihatnya menyorakinya. Menyanjung dan berterima kasih kepadanya. Lin Yue sedikit tersenyum. Ada aroma kebanggaan dan kenikmatan memperoleh pujian yang mulai mengusik ketenangan batinnya. Tiba-tiba pesan dari guru keduanya: Zhen Wuying (真无影) muncul di benaknya.
"Yue'er," ucapnya dengan suara berat yang tenang di suatu pagi hari, "tenaga dalam bukanlah sekadar kekuatan. Ia adalah jembatan antara hati dan tubuh. Jika hatimu gelisah, aliranmu kacau. Jika kau sombong, maka tubuhmu akan hancur dari dalam."
Ingatan itu kembali menyeruak...
Dua belas tahun yang lalu...
Saat ia pertama kali bertemu dengan Zhen Wuying... sesuai petunjuk Hu Tiequan... di lereng Gunung Qingyan...
Ia masih mengingat semuanya dengan jelas, kabut pagi menggulung di lereng Gunung Qingyan, menyelimuti hutan pinus yang menjulang tinggi dan jalanan setapak yang sepi dari jejak manusia. Di tengah kabut itu, Lin Yue remaja berjalan tertatih namun teguh. Jubahnya sudah lusuh, wajahnya pucat, namun sorot matanya tetap tajam. Tekadnya membara... mengikuti petunjuk Ayah angkat dan Guru yang sudah begitu mengasihinya, "Zhen... Wuying... Dia... dia tinggal di puncak Gunung Qingyan... Dia akan mengajarkanmu... kekuatan sejati..." pesan itu terus terngiang di telinganya.
Sudah tiga hari ia mendaki tanpa kepastian arah. Gunung ini terkenal angker, dan banyak cerita mengatakan bahwa mereka yang mencoba mencari Zhen Wuying—jika ia benar-benar ada—tidak pernah kembali.
Hanya karena takdirlah maka saat kabut menipis, Lin Yue tiba di sebuah lembah tersembunyi. Sebuah pondok kecil berdiri di sana, diapit dua pohon plum tua yang sedang berbunga putih. Di depan pondok, duduklah seorang lelaki tua berambut panjang perak, mengenakan jubah putih bersih dan memejamkan mata seolah tak menyadari kedatangan siapa pun.

"Maaf, Tuan... apakah Anda Zhen Wuying?" tanya Lin Yue, suaranya parau.
Lelaki itu membuka mata perlahan. Tatapannya tenang, jernih seperti danau tanpa riak. Tak ada keterkejutan atau rasa ingin tahu di wajahnya, seolah ia sudah tahu Lin Yue akan datang.
"Aku sudah mendengar langkah kakimu sejak semalam. Kau membawa kesedihan dan kemarahan. Siapa namamu?"
"Lin Yue."
Zhen Wuying berdiri perlahan. Gerakannya begitu ringan dan halus, hampir tanpa suara. Tubuhnya tegak walau usianya sudah tidak muda lagi. Sorot matanya menajam, sejenak ia mengamati Lin Yue dari ujung kepala hingga kaki. Di depannya berlutut seorang remaja, tubuhnya cukup berotot untuk anak remaja seusianya, rambutnya diikat longgar, matanya penuh semangat dan rasa ingin tahu.
"Untuk apa kau datang ke sini?"
Lin Yue menggigit bibirnya. Ia tahu, jika ia menjawab karena ingin balas dendam, lelaki ini akan menolaknya bulat-bulat.
Seolah-olah membaca pikiran Lin Yue, Zhen Wuying berkata, "sudah banyak yang datang padaku untuk belajar... Tapi tak seorang pun pulang membawa manfaat. Karena yang mereka cari hanyalah kekuatan, bukan kedamaian."
Lin Yue mengangkat kepalanya dan dengan raut wajah yang menampakkan kesedihan, ia berkata, "Guruku, sekaligus ayah angkatku, Hu Tiequan telah tiada," ucapnya lirih namun tegas. "Sebelum menghembuskan napas terakhir, beliau memintaku untuk berguru padamu."
Zhen Wuying terpaku sejenak. Nama itu—Hu Tiequan—menyentuh hatinya. Seorang sahabat yang baik, pendekar yang senantiasa membantu sesamanya tanpa pamrih. Ia memejamkan mata, merasakan kesedihan kehilangan seorang sahabat, lalu menarik napas panjang.
"Tiequan... saat masih hidup, selalu melakukan hal yang baik. Aku tidak tahu mengapa sahabatku itu mengutusmu untuk berguru padaku, tetapi aku yakin bahwa itupun pasti didasari oleh pertimbangan yang bijaksana," gumamnya pelan. Ia memandang Lin Yue dengan lebih dalam, seakan menembus ke dalam batinnya.
"Aku akan mengajarimu... tapi bukan untuk membalaskan dendam. Kau akan belajar menundukkan bukan hanya kekuatan luar, tapi badai dalam dirimu sendiri. Kau akan belajar bahwa amarah adalah kelemahan, dan pengendalian adalah kekuatan sejati."
Zhen Wuying kemudian menambahkan, "tenaga dalam bukan untuk menyerang. Jika itu yang kau cari, maka kau akan gagal sebelum memulai."
"Aku ingin menjadi kuat, bukan hanya karena balas dendam... Tapi karena aku tidak ingin kehilangan lagi." Jawaban yang dalam dari seorang remaja yang mengalami terlalu banyak penderitaan dalam hidupnya.
Zhen Wuying memejamkan mata sejenak, lalu membuka pintu pondoknya. "Kalau begitu, mulai besok kau akan belajar. Bersihkan pikiranmu. Di sini, tidak ada kapak emas. Tidak ada nama besar. Hanya ada napas, waktu, dan niatmu sendiri."
Sejak saat itu Lin Yue berlatih bersama Zhen Wuying.
Latihan bersama Zhen Wuying sangat berbeda dengan apa yang diajarkan Hu Tiequan. Tidak ada pukulan, tidak ada lompatan. Setiap hari, Lin Yue duduk bersila selama berjam-jam, merasakan aliran hawa di tubuhnya, mengatur napas, mengamati suara angin, dan belajar mendengarkan detak jantung sendiri.
Pada minggu-minggu awal, Lin Yue merasa frustrasi.
"Guru, aku tidak merasa jadi lebih kuat. Tubuhku malah makin lemah! Ototku hilang dari badanku."
"Karena kau belum mengenali kekuatanmu sendiri," jawab Zhen Wuying tenang. "Kekuatan sejati bukan tentang merobohkan gunung, tapi tentang tidak goyah meski dihantam badai."
"Tenaga dalam bukan berada di ototmu, juga bukan di uratmu. Ia bersemayam di sini—di antara napas dan hati." Tambah Zhen Wuying.
Hari-hari berlalu tanpa jurus, tanpa gerakan indah. Lin Yue hanya duduk, bermeditasi, mendengarkan detak jantungnya sendiri.
Suatu hari, ia hampir menyerah.
"Guru... aku ingin menjadi pendekar. Bukan biksu yang hanya diam!"
Zhen Wuying membuka sebelah mata—dan berkata, "pendekar yang kuat bukan dia yang bisa mengalahkan sepuluh musuh. Tapi dia yang tidak dikalahkan oleh hatinya sendiri. Kau ingin menjadi pedang yang tajam, tapi tak punya sarungnya. Kau akan melukai siapa saja, termasuk dirimu sendiri."
Hari itu, Lin Yue diam. Dan sejak hari itu pula, ia mulai belajar mendengar suara aliran qi dalam tubuhnya. Setiap embusan napas seperti aliran sungai yang jernih. Ia mulai mengerti bagaimana mengatur kekuatan dari dalam, bukan sekadar otot atau kecepatan tangan.

Setalah Lin Yue memahami arti yang sesungguhnya dari qi, Zhen Wuying kemudian menunjukkan teknik pernapasan Xuan Qi Liu Yun (玄气流云)—"Aliran Awan Energi Murni". Teknik ini menuntut kesabaran luar biasa, karena kekuatan akan tumbuh perlahan tapi dalam, menyatu dengan darah dan tulang.
Suatu malam, Lin Yue terbangun karena suara petir menggema dari kejauhan. Ia melihat Zhen Wuying berdiri di tengah hujan, mengangkat satu tangan. Angin dan air seperti melingkar di sekeliling tubuhnya, seolah alam pun enggan menyentuhnya.
Keesokan paginya, Lin Yue yang terkagum-kagum melihat kejadian malam sebelumnya, memberanikan bertanya pada Zhen Wuying, "guru, apakah yang engkau lakukan di luar saat hujan itu... tenaga dalam?" tanya Lin Yue masih terpesona dengan apa yang ia saksikan malam sebelumnya.
“Itu adalah ketenangan yang tak bisa dikalahkan oleh badai.”

Setelah empat tahun tinggal di Gunung Qingyan, tubuh Lin Yue berubah. Ia jadi makin ramping, ototnya yang sebelumnya tampak menonjol, sekarang seolah hilang dari badannya. Tetapi sorot matanya lebih dalam. Langkah kakinya lebih ringan, napasnya stabil bahkan saat berjalan di medan berat.
Pelajarannya kini sudah selesai dan sebelum ia pergi, Zhen Wuying memberinya sehelai syal putih yang terbuat dari sutra halus. Tidak tampak istimewa, tapi Zhen Wuying menjelaskan:
"Ini bukan jimat. Tapi jika kau bisa menjaga sesuatu yang selembut ini dari robek di tengah pertempuran, maka kau sudah memahami apa itu keseimbangan."
Lin Yue membungkuk dalam, rasa hormat membuncah dari dadanya. "Terima kasih, Guru."
"Tenaga dalam adalah landasan, tapi bukan atap. Kau masih harus melengkapi dirimu dengan keluwesan dan presisi."
"Carilah seorang wanita bernama Lu Miaoran (陆妙然)," lanjutnya. "Ia tinggal di daerah Danxia, dikenal sebagai penari pedang, tetapi jangan tertipu oleh kelembutannya. Di balik gerakannya yang anggun, tersembunyi ilmu meringankan tubuh yang paling hebat yang pernah kukenal."
"Dia tidak akan mengajarimu, kecuali kau bisa membuatnya tertawa. Karena menurutnya, hanya orang yang hatinya ringanlah yang bisa terbang."
Zhen Wuying tersenyum samar, lalu menepuk bahu Lin Yue.
"Pergilah. Tapi ingat—setiap jurus yang indah bukan untuk membunuh, melainkan untuk menjaga. Setiap langkah yang ringan, bukan untuk melarikan diri, tapi untuk menghargai kehidupan."
Zhen Wuying hanya tersenyum samar saat menambahi, "dunia di luar tidak butuh pendekar yang kuat. Ia butuh pendekar yang bijak."
Lin Yue muda mengangguk patuh, meski kala itu ia belum sepenuhnya mengerti arti dari kedamaian dalam jurus.
Angin pagi menyapu pelan padang ilalang di kaki Gunung Heiwu, membawa aroma tanah basah dan bunga liar. Saat Lin Yue berpisah dengan Zhen Wuying. Lin Yue meninggalkan pondok Zhen Wuying dan kemudian berdiri di lereng Gunung Qingyan, memandang ke arah bayangan gunung yang menjulang dalam diam, dan melangkahkan kakinya ke daerah Danxia sesuai petunjuk gurunya yang kedua ini.
***
Angin musim semi menyapu lereng Danxia yang berundak warna merah bata. Kabut tipis menari di antara celah-celah tebing, menyelimuti dunia dalam balutan keheningan yang sakral.
Lin Yue berdiri di tepi jurang, menatap ke bawah ke arah bangunan kayu kecil di lereng. Atapnya sederhana, namun di halaman depannya membentang hamparan batu putih yang membentuk lingkaran sempurna—tempat latihan yang hanya ia kenal dari cerita Zhen Wuying.
Suara seorang wanita yang halus, nyaris tak terdengar, tiba-tiba menyambutnya. Di udara yang hening, suara itu memantul bagai senar guqin yang dipetik halus.
"Kau datang dengan langkah yang terlalu berat, siapa engkau dan apa keperluanmu di sini?"
Lin Yue menoleh cepat. Di atas batu besar, berdiri seorang wanita berjubah merah muda pucat yang tampak menyatu dengan warna bunga di sekitarnya. Rambutnya digelung rapi dihiasi giok, matanya sipit dan jenaka. Ia bergerak turun dengan lompatan ringan, hampir seperti menari. Ia sudah tidak muda lagi, namun wajahnya memancarkan ketenangan yang mendalam.

"Namaku Lu Miaoran (陆妙然), dan tempat ini bukan untuk orang yang penuh beban dan dendam."
Lin Yue memberi hormat.
"Aku datang ingin berguru."
"Semua orang bilang begitu," sahutnya ringan. "Tapi tidak semua bisa membuatku tertawa."
Wanita itu melangkah ke lingkaran batu dan mulai menari... atau lebih tepatnya seperti menari di udara. Tubuhnya seolah-olah begitu ringan sehingga seolah-olah bisa terbang dari satu tempat ke tempat lain. Ia kemudian mengambil sebilah pedang dan menari sambil menebas angin dengan pedangnya.
Setiap gerakannya adalah puisi—ringan, mengalir, tapi mengandung ketajaman yang menusuk. Langkahnya lincah, lompatan dan putaran tubuhnya nyaris tanpa suara. Bahkan dedaunan yang jatuh enggan menyentuh tanah ketika ia bergerak.
Lin Yue hanya bisa menahan napas. Tak ada satu jurus pun yang ia kenal, namun walaupun seperti sangat ringan tidak bertenaga, semuanya terasa mematikan.
Lu Miaoran menoleh padanya sambil tersenyum.
"Coba tirukan."
Lin Yue mencoba. Tubuhnya masih terlalu kaku. Ia bisa meniru gerakan, tapi tidak jiwa di baliknya.
"Kau terlalu tegang," gumam Lu. "Seperti kayu yang belum dibasahi hujan. Kau belum bisa meloncat, terbang dan menari dengan pedang sebelum hatimu ikut menari."
Hari-hari berikutnya adalah ujian. Bukan ujian kekuatan, melainkan keluwesan, kelembutan, dan kemampuan membaca gerak angin. Lu Miaoran menyuruhnya meloncat, melangkah dengan ringan dan menari di tengah hujan, membawa cangkir di atas kepala sambil berlari di antara bambu, bahkan menggodanya dengan kalimat-kalimat ringan.
"Wajahmu terlalu cantik untuk ukuran wajah seorang pria, tapi tatapanmu terlalu tegang untuk ukuran seorang pemuda. Apa kau takut aku jatuh cinta padamu?"
Lin Yue tersipu—dan untuk pertama kalinya, tertawa. Tawa yang ringan, canggung, tapi tulus.
Lu Miaoran menghentikan langkahnya. Ia tersenyum lembut.
"Nah. Sekarang engkau bisa mulai belajar dengan sungguh-sungguh."
Malam itu, di bawah sinar bulan yang pucat, Lu Miaoran duduk bersandar pada pohon plum dan memandangi langit.
"Kekuatan kadang ada dalam kelembutan," bisiknya. "Dan pedang terhebat bukan yang menebas paling banyak... tapi yang tahu kapan untuk disarungkan."
Latihan yang diberikan pada Lin Yue, semakin lama semakin beragam. Saat mengajar Lin Yue, tubuh Lu Miaoran seolah tak pernah menjejak tanah, jubah merah jambu mudanya mengepul seperti kabut pagi, dan tawa kecilnya sehalus suara kecapi.
"Yue'er... tahu kenapa burung walet bisa menari di udara?" tanyanya sambil berputar di udara. "Karena ia tak membawa beban. Kau harus belajar melepaskan—kebanggaan, dendam, amarah. Bila tidak, kau hanya akan terbang dalam lingkaran yang sama. Itulah dasar utama dari qinggong (ilmu meringankan tubuh.)"
Suatu hari Lu Miaoran bertanya pada Lin Yue, "Yue'er mengapa engkau ingin belajar qinggong?" Suara Lu Miaoran terdengar seperti bisikan angin, tetapi tegas.
Lin Yue, membungkuk hormat dan menjawab, "Guru, aku ingin mempelajari qinggong, seni berlari di udara supaya aku bisa menjadi lebih cepat dan lebih kuat."
Lu Miaoran membuka mata perlahan, pandangannya lembut namun tajam. "Kau pikir, kecepatan itu akan membuatmu lebih kuat?" tanyanya, suaranya bagaikan dentingan harpa yang menenangkan.
Lin Yue menunduk. Ia merasa bingung dengan pertanyaan itu, namun ia tetap menjawab.
"Kecepatan adalah segalanya dalam dunia persilatan, Guru. Jika aku bisa bergerak lebih cepat daripada musuhku, aku akan lebih unggul."
Lu Miaoran tersenyum tipis, lalu berdiri dengan gerakan yang begitu ringan, seolah angin membawanya tanpa beban.
"Kecepatan yang kau maksudkan itu adalah pelarian, bukan kekuatan. Apa yang akan kau lakukan setelah itu, setelah kamu berlari secepat angin? Kecepatan itu tak akan membawa kedamaian jika kau tidak bisa berhenti sejenak untuk merasakan dunia di sekitarmu."
Lin Yue terdiam, kata-kata itu menyentuh relung hatinya. Ia kemudian mengikuti perintah Lu Miaoran untuk berlatih qinggong, namun pelatihannya tidak hanya soal berlari di udara.
Setiap langkah yang ia ambil saat berlatih membawa pesan yang lebih dalam. Lu Miaoran mengajarkannya untuk bergerak dengan ringan, untuk melepaskan setiap beban dalam dirinya, mulai dari kebanggaan, ego, hingga kemarahan. Qinggong yang diajarkan bukan hanya soal lincah di medan pertempuran, tapi bagaimana melangkah dengan hati yang bebas.
Hari demi hari, Lu Miaoran memintanya untuk melompati lembah-lembah kecil dengan hanya mengandalkan angin dan keseimbangan tubuh. Tetapi, bukan kecepatan yang diutamakan—melainkan keseimbangan dalam setiap gerakan.
"Jika kau berlari dengan kecepatan yang tak terkendali, kau akan terluka. Berlarilah dengan hati yang tenang, dan angin akan membawamu jauh lebih cepat dari yang kau bayangkan," ujar Lu Miaoran dengan lembut.
Namun, pada suatu hari, ketika Lin Yue merasa dirinya mulai menguasai qinggong, Lu Miaoran membawanya ke sebuah padang terbuka yang dipenuhi dengan bunga-bunga liar. Mereka duduk di tengah padang itu, dikelilingi oleh keharmonisan alam.
"Sekarang, ambil napas dalam-dalam dan rasakan dunia sekitarmu. Tanpa kecepatan, tanpa tujuan. Hanya napas dan hati yang tenang," Lu Miaoran berkata sambil menatap langit biru yang cerah.
Lin Yue menutup matanya, merasakan angin berhembus lembut melalui rambutnya, dan perlahan-lahan ia mulai merasa ada yang berubah. Tiba-tiba, ia merasakan seakan tubuhnya mengalir dengan alam—ringan, bebas, tanpa beban.
"Ingat, Yue'er," suara Lu Miaoran kembali terdengar lembut namun tajam. "Kecepatan yang sejati bukanlah berlari. Tetapi berlari tanpa harus melupakan apa yang ada di sekitarmu. Percuma engkau belajar kecepatan tanpa tahu arahmu. Sekarang engkau harus belajar mengarah dengan tepat dan tajam. Engkau harus belajar tarian pedang."
Lin Yue kini mulai belajar bukan hanya ilmu meringankan tubuh tetapi juga menari dengan pedang.

Dua kali musim gugur datang dengan langkah ringan di lereng Danxia. Daun-daun maple merah berguguran seperti kelopak bunga, menciptakan lautan jingga yang menari di atas tanah. Di tengah warna-warna yang memudar, Lin Yue kini bergerak lincah dengan pedang di tangan—namun tak lagi hanya dengan kekuatan, melainkan dengan irama.
Setiap pagi, ia menari. Tidak lagi sekadar berlatih. Gerakannya adalah dialog dengan angin, dengan tanah, bahkan dengan bayangan dirinya sendiri. Di bawah bimbingan Lu Miaoran, tubuhnya telah berubah—lebih lentur, lebih sadar. Tapi lebih dari itu, jiwanya juga mulai menyatu dengan pedang yang ia genggam.
"Kau tahu, Yue'er," ujar Lu Miaoran suatu malam, saat mereka duduk di pinggir kolam yang dipenuhi bunga teratai. "Ada satu ujian terakhir sebelum kau bisa lulus dariku, banyak yang belajar-terutama para pria-yang tidak berhasil melewati ujian terakhir ini."
"Apa itu, Guru?"
"Kau akan tampil di depan penonton dan menari... sebagai penari pedang wanita..."
(Bersambung...)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
