Chapter 20: Menghadapi Trauma... Menemukan Cinta...

2
0
Deskripsi

Hubungan Jeanny dengan Pak Erick jadi berubah. Ke arah mana hubungan mereka? Plus, ada sosok yang kembali mengganggu Jeanny. Ikuti ya kelanjutannya

Chapter 20: Menghadapi Trauma...Menemukan Cinta...

Pagi itu masih terasa lembab sisa hujan semalam. Aku bangun lebih awal dari biasanya karena memang aku tertidur di sofa dan tidur dengan posisi yang tidak nyaman. Aku duduk dan merasakan bahwa.... ya ampun, bulu mata palsuku masih menempel di ujung kelopak mataku. Rambutku awut-awutan dan kayaknya mukaku belum sempat kubersihkan dari makeup tadi malam.

Aku melangkah ke kamarku dan melihat Santi masih tertidur dengan lelap. Aku terharu karena ia rela tidur di salon demi menjaga supaya aku bisa pulang ke salon tadi malam. Santi memang baik hati dan selalu memikirkan orang lain. 

Dengan beringsut-ingsut berusaha supaya tidak membangunkan dia, aku mengambil baju yang mau kukenakan hari ini dan menuju ke kamar mandi untuk mandi. Tidak lupa kubawa susu pembersih dan micellar water untuk menghapus wajahku dari makeup semalam.

Saat mandi, pikiranku kembali ke peristiwa tadi malam. Kencan yang... luar biasa dengan Pak Erick. Aku merasakan perasaan yang aneh tentang kejadian tadi malam. Mungkin karena semalam pikiranku penuh... tentang Pak Erick. Aku masih belum bisa memutuskan, perasaan yang berkecamuk di hatiku ini perasaan apa sebenarnya?

Setelah mandi, aku mulai bersiap-siap untuk melakukan tugasku di salon. Kubuka kunci pintu salon supaya Mbak Dyah dan Ririn bisa masuk, kemudian aku mulai membersihkan salon.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Santi keluar dari kamar dan melihatku, ia langsung menghampiri dan memelukku. “Aduh Beb, aku kuatir banget tadi malam.”

Aku balik memeluknya, “sorry San, makasih ya San udah rela tidur di salon. Tapi....”

“Tapi kenapa, Say?” Tanyanya cemas.

“Kamyu mendingan sikat gigi dulu deh...” kataku sambil mengernyitkan hidung.

Ia mencubit pinggangku sambil tersenyum dan mulai melangkah ke kamar mandi.

Aku berdiri di depan cermin salon sambil melanjutkan merapihkan rambutku yang masih agak kusut. 

"Eh, Jeng Jeanny! Tadi malam kemana aja? Santi sampai kelabakan nyari kamu lho Beb.” Suara Ririn yang masuk ke ruang salon langsung membahana memenuhi salon.

Aku tersenyum kecil, lalu duduk di meja rias sambil membuka laci—mencari lipstik favoritku yang biasanya kupakai untuk  menyambut tamu.

"Nggak kemana-mana, Say. Biasa aja, kencan..." jawabku sambil mulai poles bibirku.

"Ciieee... udah mulai berani kencan ya baby bences kita. Tapi muka lo glowing banget. Abis berapa ronde, Say?" celetuk Ririn sambil kedip-kedip genit.

Aku cuma nyengir.

Pintu salon kembali terbuka dan Mbak Dyah masuk ke dalam. Ia melihatku dan menatap dengan tajam, “Jean, biasakan kasih kabar ke kita-kita ya seberapa pun larutnya, apalagi kalau kamu dari tempat mangkal.”

post-image-67f733a632fa6.jpg

Ucapan Mbak Dyah halus tapi aku merasa ada ketegasan dari cara berbicaranya.

“I...iya Mam, maaf...” jawabku. Tapi sejenak kemudian Mbak Dyah langsung memelukku dengan penuh kehangatan. Aku tahu bahwa ia sangat perduli dengan kami semua.

Aku kembali merias wajahku dan mendengar pintu kamar mandi terbuka. Santi sudah selesai mandi dan mulai mengganti baju.

Mbak Dyah masuk ke ruang dalam dan mulai menyeduh kopi. Bau harum kopi langsung semerbak memenuhi seluruh pelosok salon. Ririn membantu merapihkan salon dan kemudian menyusul masuk ke ruang dalam.

Selesai merapihkan diri dan merapihkan ruangan salon aku masuk ke ruang dalam dan... langsung ditodong tatapan tiga pasang mata. Santi ternyata sudah di sana. Semua ingin tahu apa yang terjadi tadi malam. Mereka tahu aku nggak bisa bohong kalau udah dipojokin gini.

"Jean, ayo ngaku gimana rasanya semalam? Kamu beneran nyoba terima tawaran kencan? Dan kata Santi, kamu kencan sama Pak Erick ya? Dosen kamu khan itu? Dia tahu nggak kalau yang dikencani itu ternyata Andy?" Mbak Dyah memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan sambil menggodaku dan tersenyum menyelidik.

“Aduh, akyu pikir yang beginian adanya cuma di sinetron, ternyata ada juga di kehidupan nyata. Gimana reaksinya dia, Say? Dia tahu nggak kamu Andy?” Tanya Ririn bersemangat. "Gila ya dunia ini kecil banget!" tambahnya sambil menepuk-nepuk pahanya sendiri.

post-image-67f73395b4483.png

Aku cuma bisa ketawa kecil, tapi di dalam hati rasanya campur aduk. Aku ceritain ke mereka semuanya mulai dari perjalanan ke hotel, hotel yang dipesan, kencan kami sampai akhirnya diantar pulang. Aku ceritakan semuanya kepada mereka, termasuk perasaan aneh yang timbul dalam diriku, perasaan bahwa aku seharusnya memang jadi wanita, dan perasaan nyaman saat bersama Pak Erick.

Mereka semua terbengong-bengong mendengar ceritaku.

“Jangan buru-buru mutusin ya. Di eksplorasi aja semua perasaan kamu itu.” Mbak Dyah kembali memberi saran dengan bijaksana.

“Iya, Mam.” Aku mengangguk kecil.

***

Malam sebelum salon tutup, kami masih merapihkan salon dan membersihkan lantai dari sisa-sisa rambut pelanggan terakhir.

Santi udah heboh nyalain hair-dryer, Ririn sibuk ngatur-ngatur alat makeup, dan Mbak Dyah nyiapin daftar pelanggan besok.

"Jean, lo tuh kok dari tadi diem aja sih? Biasanya udah cerewet dari sebelum jam tujuh!" celetuk Ririn sambil nunjukin alis barunya.

Aku nyengir kecut. "Lagi banyak mikir, Rin..."

Santi langsung nyamber, "Masih kepikiran Pak Erick yang tajir? Atau Mas Indra yang gagah dan keren serta selalu bikin deg-degan?"

Aku baru mau menjawab, tapi suara notifikasi ponsel memotong semuanya. Sebuah message masuk. Begitu kubuka, jantungku langsung seperti lepas dari dada dan naik ke tenggorokan. Isinya:

“Selamat pagi. Mohon segera datang ke kantor Satpol PP besok. Ada kekurangan dalam berkas anda. – Herdi”

Rasanya seluruh tubuhku langsung lemas. Aku tidak menyangka bahwa orang ini akan kembali datang dan mengganggu ketenanganku. Aku yakin tidak ada kekurangan apapun dalam berkasku, jadi Pak Herdi pasti mau cari-cari alasan buat bisa ketemu dengan aku lagi. Aku duduk terhenyak dan hanya bisa berdiam, ponsel masih kugenggam erat.

"Ada apa, Jean?" tanya Mbak Dyah melihatku dengan nada khawatir.

Aku menyodorkan ponsel-ku, mereka bertiga membacanya, dan langsung ramai.

"Wah si brengsek itu lagi!" Santi langsung ngegas.

"Dia pasti ngada-ngada, Say. Kamu hati-hati lho Beb," kata Ririn.

Aku menarik napas panjang. "Aku nggak mau kayak begini terus. Aku harus hadapin ini besok."

Mereka semua langsung protes serentak. Tapi aku tetap bersikukuh. "Aku nggak mau jadi korban terus. Aku harus lawan rasa takutku."

Suasana malam itu jadi agak menegang gara-gara message sialan itu. 

***

Paginya suasana masih tegang karena message yang masuk kemarin malam. Mbak Dyah, Ririn dan Santi masih berusaha mencegahku pergi. Mereka berpikir lebih baik aku melapor ke Mbak Vivin, siapa tahu Mbak Vivin bisa memberi saran. Aku hanya mengangguk-angguk kecil, tapi aku sudah memantapkan diri untuk menemui Pak Herdi dan akan meng-konfrontir dia.

Jam sebelas siang, aku pamit ke Mbak Dyah dan teman-temanku, siap pergi ke kantor satpol-pp. Aku sengaja berdandan agak lebih menor supaya Pak Herdi terpesona dan menurunkan penjagaannya.

Aku mengambil jaket dan tas selempangku. Tapi sebelum pergi, aku mengechek ulang semua yang sudah aku persiapkan malam sebelumnya. Sesampainya di kantor Satpol PP, aku berjalan perlahan ke lantai dua. Nafasku berat, tanganku dingin. Tapi aku memaksakan diri tersenyum saat ketemu resepsionis.

post-image-67f733e91c6f2.png

"Mau ketemu Pak Herdi bisa?" tanyaku.

Resepsionis menanyakan namaku dan saat kuberitahukan namaku ia hanya berkata, "silahkan masuk. Dia sudah menunggu."

Sebelum masuk aku sengaja mengambil kotak bedakku dan melihat wajahku. Sebenarnya niatku bukan ingin tampil cantik tapi sebenarnya dengan berpura-pura bercermin, aku menyempatkan diri untuk menyimpan ponsel-ku dalam mode rekam suara, kuaktifkan dan kusembunyikan dalam saku dalam jaketku.

Pintu kubuka. Pak Herdi duduk santai sambil ngopi. Begitu melihat aku, dia langsung tersenyum lebar, senyum yang membuat bulu kudukku berdiri.

"Wah, Jeanny... akhirnya kamu datang juga. Duduk sini," katanya sambil menunjukkan kursi di depannya.

Aku duduk perlahan, tapi badanku tetap tegang.

"Ada yang kurang ya, Pak?" tanyaku, suaraku dibuat setenang mungkin.

"Hmm... sebenernya sih nggak terlalu penting. Cuma ada beberapa data yang kayaknya harus dilengkapi langsung. Tapi... kita bisa omongin ini santai aja kan, Jeanny?"

Dia bersandar, nadanya mulai berubah. Aku mencium gelagat buruknya. Ponsel-ku masih merekam dari saku.

"Pak, kalau mau bahas administrasi, silahkan. Tapi saya mohon, jangan lagi-lagi pakai kesempatan ini untuk hal yang tidak seharusnya."

Dia terdiam. Wajahnya sedikit mengeras, mungkin tidak menyangka aku berani berbicara seperti itu.

"Wah... kamu jadi galak sekarang ya," dia tertawa kecil. "Padahal waktu itu kamu bilang keenakan khan waktu kupeluk—"

"Pak!" potongku cepat. "Bapak bukan cuma memeluk saya, Bapak merendahkan harga diri saya!” Suaraku tergetar, air mata kembali menggenangi sudut mataku. Aku hampir menangis mengingat hal yang sudah ia lakukan terhadapku.

“Sekarang saya datang sebagai warga negara yang ingin menyelesaikan kewajiban administratif saya. Bukan untuk diingatkan soal pemaksaan... yang menjijikkan waktu itu." Aku kembali terisak.

Wajahnya mulai berubah. Tegang. Tangannya mencengkeram gelas kopinya.

“JANGAN SEMBARANGAN MENUDUH YA!!” Bentaknya. “SAYA TIDAK MEMAKSA!!”

“Kalau ada hal-hal yang terjadi, itu karena kita sama-sama suka!” Ia berusaha mengelak. Tetapi terlambat. Aku sudah dapat bukti yang kubutuhkan. Aku memandangnya, menghapus air mataku dan tersenyum kecil.

Ia seolah-olah baru menyadari sesuatu, "kamu merekam aku ya?" Dia melirik tajam ke arah dadaku.

Aku tenang, walau jantungku dag-dig-dug kayak genderang.

"Kalau Bapak merasa ada yang salah dengan perkataan Bapak sendiri, berarti Bapak sadar, kan?"

Dia mendengus. "Kamu pintar sekarang ya..."

Aku berdiri. "Kalau tidak ada urusan lagi, saya permisi. Terima kasih, Pak Herdi."

Ia memandangku dengan tajam, tiba-tiba ia berkata, “hati-hati kamu ya! HATI-HATI!!”

Aku melangkah keluar tanpa menoleh. Tapi begitu pintu tertutup di belakangku, lututku rasanya tidak mampu menopang badanku. Aku seperti mau roboh. Aku buru-buru masuk ke toilet dan mendengarkan hasil rekamannya. Jernih. Berisi bukti kalau dia masih mau mengganggu aku.

post-image-67f734056072c.png

Sesampainya di salon, Santi dan Ririn langsung nyambut aku seperti orang-orang yang menunggu hasil pemilu.

"Gimana, Jean? Kamu nggak kenapa-kenapa, Beb?" tanya Ririn.

Aku nyengir lemas. "Dia nggak ngapa-ngapain aku, dan…. nggak akan bisa ngapa-ngapain aku lagi, soalnya aku.... aku dapet buktinya."

Mereka semua keheranan. Aku mengeluarkan ponselku dan memutar ulang hasil rekamanku. Semua mendengarkan dengan serius.

Santi langsung memelukku dari belakang setelah rekaman selesai kuputar. "Gila, kamu keren banget. Berani! Aku bangga sama kamu Beb, sumpah!"

Aku akhirnya hanya bisa menangis. Tapi kali ini bukan karena takut. Tapi karena aku merasa kuat.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa... mungkin, aku tidak selamanya harus lari.

***

Malam itu setelah salon tutup, aku duduk sambil meminum teh hangat di meja dalam, sambil melihat file tugas akhirku yang belum selesai. Akhirnya aku mengambil ponselku dan mulai mengetik pesan.

"Selamat malam, Pak Erick, maaf mengganggu malam-malam. Ini dengan Andy Pak, ingin asistensi  soal tugas akhir. Kapan kita bisa ketemu ya Pak, dan kalau bisa apakah kita bisa ketemu di luar kampus? Saya tunggu kabarnya."

Sebenarnya aku agak deg-degan juga mengirimnya, tapi aku memang butuh asistensi tugas akhir ini. Tiba-tiba ponselku bergetar menandakan ada message masuk.

"Kalau besaok siang jam dua di Kafe Taman Sari bisa? Saya ada waktu kosong."

Aku langsung menjawab, "Siap, Pak. Terima kasih."

Malam itu aku tidur sambil memikirkan apakah besok aku harus menemuinya sebagai Andy atau menemuinya sebagai Jeanny? Tubuhku, terutama wajah dan rambutku sudah banyak berubah, jadi bertemu sebagai Andy juga malah akan menimbulkan pertanyaan, tetapi apakah aku harus menemuinya sebagai Jeanny? Aku terus memikirkan hal ini sampai akhirnya tertidur.

Pagi itu aku bangun dan langsung bersiap-siap membuka salon seperti biasanya. Aku sudah memutuskan akan menemui Pak Erick hari ini sebagai Jeanny, maka aku menyiapkan diri untuk tampil secantik mungkin sebagai Jeanny. “Kali ini aku mau tampil proper, tetap Jeanny, tapi yang elegan.” Pikirku. Rok midi hitam, blus biru muda, makeup natural, rambut disisir rapi. Harus kelihatan sopan tapi tetap cantik, gitu loh.

Siang itu setelah minta ijin (lagi) kepada Mbak Dyah, aku langsung menuju cafe Taman Sari. 

Aku sengaja datang agak lebih awal dari jam yang dijanjikan. Sempat bingung juga mau duduk di mana, tapi akhirnya aku memilih pojokan dekat jendela. Tempatnya lumayan cozy, dan aku bisa melihat pintu masuk. Jantungku deg-degan nggak karuan. Bukan karena takut ngerjain tugas akhir… tapi karena aku tahu, yang bakal datang itu orang yang malam Minggu lalu sempat aku temani—dan dia belum tahu kalau yang menemaninya itu tidak lain adalah Andy yang sekarang sudah menjadi Jeanny.

Lima belat menit kemudian... Pak Erick datang.

Pak Erick tampak kebingungan melihat-lihat ke dalam cafe tetapi tidak melihat yang dicari. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelponku. Aku menerima panggilannya, “hallo?”

“Saya sudah di cafe, kamu di mana Andy?” Tanyanya sambil berjalan masuk ke dalam cafe.

“Saya sudah di dalam Pak.” Jawabku.

“Di mana? Saya sudah di dalam cafe.” Ia melangkah ke dalam cafe sambil matanya melihat ke kiri dan ke kanan. Ia berjalan pelan ke arahku tanpa sadar bahwa akulah yang sedang ia telpon.

“Saya di sini Pak,” kataku perlahan.

“Di mana?” Tanyanya lagi, dari nada suaranya terasa ia mulai tidak sabar tapi ia masih terus berjalan dan sekarang sudah berada di sebelah kananku.

Aku menutup ponselku, dan langsung berkata, “saya di sebelah kanan Bapak.”

Ia melihat ke kanan dan menjumpai... sepasang mata dengan bulu mata lentik ber-maskara dan bauran eye-shadow coklat memandang kepadanya. Mata dari wajah yang halus tertutup bedak tipis yang rapih dengan bibir pink muda yang terbuka sedikit. Wajah yang melekat pada tubuh langsing mengenakan blus biru muda dan rok midi hitam. Wajah yang dibingkai oleh rambut panjang berwarna hitam tergerai sempurna.

post-image-67f73433c1e6a.png

“Selamat siang Pak, ini Andy, atau sekarang Bapak bisa panggil saya dengan Jeanny.” Aku tersenyum memperkenalkan ulang diriku.

Matanya terbelalak. Dia sempat berhenti dua detik, seperti tidak percaya. Lalu memandang sekali lagi, dan akhirnya tanpa melepas pandangan, duduk di hadapanku.

"Selamat siang sekali lagi, Pak," aku tersenyum pelan. "Silakan duduk... eh, sudah duduk ternyata."

Dia masih diam. Matanya nggak lepas dari wajahku. "Kamu... Andy?"

Aku mengangguk, pelan. "Iya, Pak. Saya Andy, tapi sekarang saya memakai nama Jeanny."

Dia mengernyitkan dahinya, “Jeanny? Jeanny... kayaknya pernah d...” Tiba-tiba ia terkesiap dan mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik, “yang pas malam minggu itu....”

Aku hanya menganggukkan kepala sambil tetap tersenyum.

Ia menarik napas panjang, membetulkan posisi duduknya dan kembali melihatku, masih terlihat bingung.

"Jadi... kamu yang malam itu?" Ulangnya.

Aku tersenyum canggung. "Maaf, Pak. Saya nggak bermaksud menipu. Saya cuma... ya, saya belum sempat jujur. Saya juga nggak tahu kenapa waktu itu tiba-tiba menemui Bapak waktu Bapak mencari teman kencan. Tapi jujur, itu kali pertama saya berkencan Pak.” Kurasakan wajahku memerah saat menyatakannya.

“Kalau sekarang, saya memang butuh ketemu Bapak soal tugas akhir, dan saya rasa sudah waktunya Bapak tahu saya yang sebenarnya." Tambahku.

Dia diam. Lama. Lalu tiba-tiba tertawa kecil, agak gugup. "Wah... saya nggak nyangka. Sama sekali nggak nyangka. Tapi... kamu cantik. Sangat...cantik."

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku cuma tersenyum, walau pipiku terasa panas banget. "Terima kasih, Pak. Saya cuma... berusaha memahami diri saya sendiri sekarang."

Pak Erick akhirnya mulai santai. Kami mengobrol. Awalnya membahas kencan kami di malam Minggu, kemudian kami masuk membahas tugas akhir.

Setelah pelayan datang buat menerima pesanan, kami berdua mulai membuka laptop dan membuka file tugas akhirku. Aku jelaskan garis besar kerangka yang sudah aku susun, sambil sesekali mengecek ekspresi Pak Erick. 

Dia masih terlihat tidak fokus, matanya beralih dari laptop ke wajahku dan kembali ke laptop. Senyumnya pun seolah tanggung seperti ada yang dipikirkan.

“Ini sebenarnya sudah hampir selesai And.... maksud saya Jeanny...” ujarnya sambil terus membaca-baca draftku.

Aku mengangguk. “Iya, Pak. Memang, saya rasa cuma tinggal mengambil kesimpulan akhir dan melengkapi dengan gambar-gambar dan grafik-grafik yang dibutuhkan.”

“Betul... betul sekali.” Jawabnya. Tiba-tiba Pak Erick tersenyum tipis. “Kamu nulis ini sebagai Andy?”

“Iya, absensi kemahasiswaan saya khan sebagai Andy, Pak,” jawabku pelan. “Saya pikir… lebih mudah begitu dulu saja.”

Dia tidak langsung menjawab. Cuma berdiam, agak melamun.

Aku memberanikan diri bertanya, “Pak… Boleh jujur nggak?”

Dia mengangkat alis, “Tentu.”

“Pak Erick… gimana perasaan Bapak sebenernya setelah tahu aku... ya, aku yang semalem itu?”

Dia menarik napas dalam. “Aku… jujur aja ya. Kaget. Tapi bukan cuma karena kamu ternyata Andy. Tapi karena aku… semalem tuh ngerasa nyaman. Bahkan sebelum tahu siapa kamu sebenarnya.”

Aku tersenyum sedikit, “Berarti… Pak Erick nggak merasa jijik, atau aneh, atau gimana gitu?”

Dia menggeleng pelan. “Enggak. Sama sekali enggak. Saya cuma bingung. Mungkin... saya juga sedang mencari tahu diri saya sendiri, Jean.”

Deg.

Itu kali pertama dia memanggil aku dengan panggilan yang lebih akrab, lebih personal.

“Aku nggak janji apa-apa ya,” lanjutnya, “Tapi... aku pengen tahu kamu lebih jauh. Bukan sebagai mahasiswa bimbingan, tapi... sebagai kamu. Jeanny.”

Aku diam. Hatiku campur aduk. Tapi aku tersenyum juga. “Kalau gitu… kita bisa mulai dari ngobrol santai. Mungkin… ketemu lagi? Bukan bahas tugas?”

Dia tertawa kecil. “Itu maksudku tadi. Aku boleh ngajak kamu makan siang? Lain hari, bukan sekarang.”

Aku nyengir. “Asal Bapak yang traktir ya?”

“Deal.”

(Hubungan Jeanny dan Pak Erick berlanjut jadi makin akrab. Tapi bagaimana hubungannya dengan Mas Indra? Chapter-chapter berikut akan timbul pergolakan. Ikuti terus ya ceritanya.)

(Bersambung...)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chapter 21: Pilihan...
3
5
Hubungan Jeanny dan Pak Erick jadi makin serius. Lalu bagaimanakan hubungan Jeanny dengan Mas Indra?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan