
Yudha yang baru lulus kuliah, kesulitan mencari pekerjaan. Saat ia melihat lowongan untuk magang di Jepang, ia menjadi tertarik…
Hari ini adalah hari kelulusanku. Rasanya campur aduk. Senang karena akhirnya perjuangan kuliah selesai, tapi juga ada sedikit kecemasan tentang masa depan. Aku, Yudha Sanjaya, kini siap untuk menghadapi dunia. Dan aku tidak menghadapinya sendirian. Aku menghadapinya bersama kekasihku: Mawar Putri Laksana.

Mawar terlihat cantik sekali dengan toga merahnya, senyumnya merekah saat namanya dipanggil ke atas panggung. Aku ikut bangga melihatnya. Kami sudah berpacaran selama dua tahun dan walaupun perbedaan kami begitu mencolok, tetapi kami tetap bisa menjalani hubungan kami dengan baik.
Aku berasal dari keluarga sederhana, bisa dibilang keluarga yang agak berkekurangan, dan kalau bukan karena bea-siswa, aku mungkin tidak akan bisa kuliah. Kedua orang tuaku dan seorang adikku saat ini masih tinggal di kota kecil tempat kelahiranku di Kutoarjo. Dan saat aku menerima bea-siswa untuk berkuliah ke Jakarta, mereka sempat kuatir. Tetapi kekuatiran mereka tidak terbukti karena aku berhasil menyelesaikan kuliahku tanpa kesulitan yang berarti. Walaupun.... "Yud, Bapak sama Ibu ketok'e ora iso tinda'an ke sana (Bapak dan Ibu kelihatannya tidak bisa pergi ke sana)." Kedua orang tuaku tidak bisa hadir di acara wisuda ini tetapi aku memakluminya.
Sebaliknya, Mawar adalah anak tunggal dari keluarga yang berada. Ayahnya, yang kini sudah bercerai dengan ibunya, adalah pengusaha yang sukses dan ia membiayai seluruh perkuliahan Mawar. Bukan hanya uang kuliah, tetapi juga memilihkan kost yang eksklusif, membelikan mobil untuk kegiatan Mawar dan lain sebagainya. Yang kusukai dari Mawar adalah walaupun ia berasal dari keluarga kaya, tetapi Mawar bukanlah seorang gadis yang sombong. Ia sangat rendah hati, lembut dan penuh perhatian.

Setelah acara wisuda selesai, kami dan teman-teman merayakannya di sebuah kafe. Mawar terus menggandeng lenganku, sesekali mencuri pandang dan tersenyum padaku. Aku tahu, dia pasti punya harapan besar tentang masa depan hubungan kita setelah ini. Begitu juga aku.
Namun, beberapa minggu setelah wisuda, kenyataan pahit mulai menghantamku. Mencari pekerjaan ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sudah puluhan lamaran kukirim, tapi belum ada satu pun panggilan wawancara. Setiap hari aku memeriksa email dengan harap cemas, tapi hasilnya selalu nihil. Mawar berusaha menyemangatiku, tapi aku tahu dia juga tidak bisa berharap terlalu banyak. Atmosfer PHK jauh lebih intens daripada pencarian tenaga kerja.
Suatu malam, saat sedang iseng mencari lowongan di internet, aku menemukan iklan menarik: MAGANG DI JEPANG - HUBUNGI 0811-6394-253. Saat kuhubungi nomor telpon itu, pihak pemasang iklan menjelaskan tentang program magang di Jepang. Gaji yang ditawarkan lumayan besar, dan yang lebih penting, ada pelatihan bahasa Jepang sebelum keberangkatan. Aku langsung bersemangat. Ini bisa jadi kesempatan bagus untuk memulai karirku.

Keesokan harinya, aku menceritakan ide ini pada Mawar saat kita sedang duduk di taman di dekat rumahnya. Reaksinya jauh dari yang kuharapkan. Wajahnya langsung berubah tegang, dan tangannya yang tadi menggenggam tanganku, kini terlepas.
"Jepang?" tanyanya dengan nada dingin.
"Iya, Sayang. Magang. Cuma setahun kok. Peluang bagus banget buat aku," jawabku antusias.
Mawar menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tapi kenapa di Jepang? Aku nggak setuju, Yud. Kamu tahu khan aku punya trauma sama negara itu!"
Aku menghela napas. "Aku tahu, War. Tapi ini magang, bukan liburan. Aku janji akan fokus kerja dan menjaga diri baik-baik."
"Fokus kerja kamu bilang?" Mawar tertawa sinis, matanya mulai berkaca-kaca. "Papahku aja yang katanya fokus kerja di sana, malah selingkuh di sana dan akhirnya cerai sama Mamah! Kamu mau jadi kayak dia?!"
Kata-kata itu seperti tamparan keras di wajahku. Aku tahu luka itu masih sangat dalam di hatinya. Ayah Mawar, Pak Chandra Laksana, adalah seorang pengusaha sukses dan sering berpergian ke luar negeri untuk urusan pekerjaan. Suatu kali ia pergi ke Jepang dan di sana berkenalan dengan seorang wanita Indonesia yang sedang magang di Jepang. Ia akhirnya berselingkuh dengan wanita itu. Wanita itu kemudian meninggalkan tugas magangnya dan mengikuti papahnya Mawar kembali ke Indonesia.
Perselingkuhan itu cuma berlangsung selama enam bulan karena mamahnya Mawar, Bu Intan, akhirnya memergoki suaminya dan si wanita itu di lobby satu hotel. Pak Chandra akhirnya memutuskan hubungan dengan si selingkuhan dan berusaha memperbaiki hubungan dengan istrinya. Tetapi sang istri sudah terlanjur tersakiti dan setelah proses yang panjang dan menyakitkan, mereka akhirnya bercerai. Mawar sampai sekarang masih merasa belum bisa pulih dari rasa trauma yang menghantuinya akibat hal itu.
Aku berusaha meraih tangan Mawar dan berusaha menenangkannya. "Aku beda, War. Aku nggak akan pernah menyakitimu seperti itu."
"Nggak ada bedanya, Yud! Kalian laki-laki sama saja!" air matanya mulai menetes. "Kalau kamu tetap pergi, kita putus! Pilih, aku atau Jepang?!" Ultimatum itu membuatku terdiam membeku.
Aku berpikir sejenak dan kemudian menjawab, "baik, aku nggak akan pergi, War," ucapku pelan, menatap mata Mawar yang masih basah. Taman yang penuh dengan aktivitas suka cita dan kegembiraan terasa suram bagi kami berdua.

Mawar mendongak, ia mengambil tissue dan mengeringkan matanya dari air mata yang sempat mengalir. "Janji?"
"Iya, aku janji. Aku nggak akan ambil tawaran magang di Jepang itu," ujarku lebih mantap. "Aku nggak mau kehilangan kamu."
Raut wajah Mawar sedikit melunak, tapi belum sepenuhnya lega. "Kamu yakin, Yud?"
Aku mengangguk. "Kamu lebih penting, War. Aku bisa cari kerja lain di sini. Mungkin memang belum rezekinya aja."
Mawar terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku erat. "Makasih, Yud. Aku takut banget kamu pergi."
Beberapa minggu berlalu. Aku kembali mengirim lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan, tapi hasilnya tetap nihil. Setiap kali Mawar bertanya tentang perkembangan pencarianku, aku hanya bisa menjawab dengan senyum kecut. Aku bisa merasakan kekhawatiran di matanya, meskipun dia berusaha menyemangatiku.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam di sebuah warung tenda langganan, aku memberanikan diri bertanya lagi. "War..."
Dia menoleh, batal menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. "Kenapa, Yud?"
"Ehmm... soal tawaran magang di Jepang itu..." Aku menggantung kalimatku, merasa ragu.
Mawar langsung meletakkan sendoknya. "Jangan bilang kamu masih mikirin itu!" Nada suaranya meninggi, membuatku sedikit terkejut.
"Bukannya gitu, War. Tapi sampai sekarang aku belum dapat kerja juga. Aku udah coba ke mana-mana. Magang di Jepang itu lumayan bagus, gajinya juga lumayan. Mungkin setelah setahun di sana, aku punya pengalaman yang bisa jadi modal buat cari kerja di sini." Aku mencoba menjelaskan dengan hati-hati.
Mata Mawar berkilat marah. "Jadi, kamu lebih mentingin pekerjaan itu daripada aku?! Kamu udah janji nggak akan pergi!"
"Aku tahu, Sayang. Tapi aku juga nggak enak terus-terusan nganggur. Aku pengen punya penghasilan sendiri. Aku pengen kita bisa punya masa depan yang lebih baik," balasku, berusaha menenangkan emosinya. "Itu cuma untuk setahun aja koq." Tambahku.
"Masa depan yang lebih baik tanpa aku di dalamnya?!" Mawar berdiri, suaranya bergetar. "Kamu tahu betul aku punya trauma sama Jepang! Kamu tahu betapa sakitnya aku setiap kali mendengar nama negara itu! Tapi kamu tetap mau ke sana?! Kamu nggak pernah benar-benar mengerti perasaanku!"
"Bukan gitu, War..." Aku ikut berdiri, mencoba meraih tangannya.
"Cukup, Yud! Aku nggak mau dengar alasanmu lagi!" Dia menepis tanganku kasar. "Dulu papahku bilang mau kerja di sana demi keluarga, tapi nyatanya dia malah menghancurkan keluarga kita! Dan sekarang kamu juga mau ke sana? Aku nggak bisa! Aku nggak kuat!" Air matanya tumpah lagi.
"Lalu aku harus bagaimana, War? Aku juga bingung. Aku pengen kerja, aku pengen kita tetap bersama, tapi..." Aku menghela napas frustrasi.
"Tapi kamu lebih memilih Jepang!" potong Mawar dengan nada sinis. "Oke, Yud. Kalau memang itu pilihanmu, aku nggak bisa menahan. Kita putus!" Tanpa menunggu jawabanku, dia berbalik dan berlari meninggalkan warung.

Aku terdiam mematung, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Kata-katanya menghantamku seperti palu godam. Putus? Aku merasa sedih dan sedikit tertekan dengan keputusan ini.
Beberapa hari kemudian, aku berusaha menghubungi Mawar untuk mencoba memperbaiki hubungan tetapi panggilan telpon-ku tidak dijawab olehnya. Setelah seminggu lebih aku tidak bisa menghubunginya, aku merasa bahwa hubunganku dengan Mawar memang sudah benar-benar berakhir.
Aku mencintainya. Sangat mencintainya. Tapi di sisi lain, aku juga merasa terdesak dengan keadaan. Aku butuh pekerjaan. Aku nggak mau terus-terusan menjadi beban orang tua. Kesempatan magang di Jepang ini seperti satu-satunya jalan keluar.
Setelah kejadian ini, aku benar-benar merasa tidak punya alasan lagi untuk tetap tinggal. Aku menghubungi pihak biro tenaga kerja dan menanyakan apakah tawaran magang itu masih berlaku. Ternyata masih. Akhirnya aku mulai mengurus semua persyaratan yang dibutuhkan dengan lesu.
Beberapa hari kemudian, aku mengikuti pelatihan bahasa Jepang di sebuah biro tenaga kerja. Suasananya cukup ramai dengan calon peserta magang lainnya. Kami belajar dasar-dasar bahasa Jepang, mulai dari perkenalan diri sampai percakapan sehari-hari. Aku berusaha fokus, tapi pikiran tentang Mawar terus menghantuiku. Aku sudah mencoba menghubunginya beberapa kali, tapi pesanku tidak pernah dibalas.
Hari keberangkatanku makin mendekat dan aku memberanikan diri menghubungi orang tuaku untuk meminta restu. Mereka terlihat khawatir, terutama Ibu. Tapi setelah aku menjelaskan situasiku dan betapa sulitnya mencari pekerjaan di sini, mereka akhirnya mengerti.
"Le, nek iki dalan sing kowe pilih, Ibu mbek Bapak cuma iso ndoa'ke, (Nak, kalau ini jalan yang engkau pilih, Ibu dan Bapak hanya bisa mendoakan,)" kata Bapak. Ia kemudian melanjutkan, "tapi eling Le, neng negorone wong, kowe mesti luweh ati-ati. Ojo mergo percoyo mbek sembarang wong. (tapi ingat, Nak, di negara asing, kamu harus lebih berhati-hati. Jangan gampang percaya dengan sembarang orang.)"
"Iya, Pak, Bu. Yudha janji akan baik-baik di sana," jawabku berusaha menenangkan mereka meskipun hatiku sendiri masih terasa berat.
Hari keberangkatanku tiba. Aku berdiri di Bandara Soekarno-Hatta, membawa koper yang berisi pakaian dan sedikit perbekalan serta memegang paspor dan tiket pesawat di tanganku. Di ruang tunggu, aku melihat beberapa calon peserta magang lainnya yang juga akan berangkat ke Jepang. Wajah mereka terlihat antusias dan penuh harapan. Berbeda denganku yang masih menyimpan rasa kehilangan dan ketidakpastian.

Perasaanku sendiri bercampur aduk. Ada sedikit Excitement tentang petualangan baru di negeri Sakura, tapi juga ada kesedihan yang mendalam karena perpisahanku dengan Mawar. Aku menoleh ke belakang, berharap melihat sosoknya di antara kerumunan orang, tapi dia tidak ada.
Pengumuman keberangkatan pesawatku ke Tokyo terdengar. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri. Ini adalah awal dari babak baru dalam hidupku. Aku tidak tahu apa yang menantiku di sana.
Sebelum masuk ke dalam pesawat, aku meraih ponselku dan membuka kontak Mawar. Aku mengetik sebuah pesan singkat, meskipun aku tahu dia mungkin tidak akan pernah membacanya.
"Aku harus pergi, War. Selamat tinggal. Semoga kamu bahagia."
Setelah mengirim pesan itu, aku menghela napas panjang dan berjalan menuju pintu keberangkatan. Jepang. Sebuah negara yang menyimpan trauma bagi mantan kekasihku, dan kini menjadi harapan sekaligus ketidakpastian bagiku. Aku tidak tahu apa yang menantiku di sana, tapi aku bertekad untuk sukses dan membuktikan bahwa keputusanku ini benar, walaupun aku harus menghadapinya sendirian.
Selamat tinggal, Indonesia. Selamat tinggal, Mawar…

(Bersambung...)
(Akhirnya teman-teman, cerita yang udah dinanti-nanti, mulai di-remake lagi. Vote, komen dan dukung terus ya Teman-teman...)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
