An Angel At My Door

1
0
Deskripsi

Aku tiba-tiba kedatangan tamu hari itu. Di hari ketika aku memutuskan untuk berkemas dan mengakhiri segalanya. Tamu tersebut tinggi, berpakaian hitam, dan bersayap. Tamu tersebut adalah malaikat maut; bertanya apakah bagiku semua lebih baik diselesaikan sampai disini dan untuk saat ini?

Kamis, 16:20 Waktu Setempat

Hari itu, aku berkemas. Tidak ada yang akan kusimpan. Semuanya akan kubawa pulang ke kota asalku, atau langsung aku buang saja. Aku memang berniat meninggalkan pekerjaan yang tengah kurintis disini. Kulirik tumpukan partitur dan instrumen-instrumen yang terletak begitu saja di sudut ruangan. Aku tidak butuh semua itu lagi, yang harus berakhir memang harus berakhir. Setelah itu, aku merebahkan diri di tengah ruangan, dikelilingi oleh kardus-kardus besar berisi barang-barang yang sebentar lagi akan berpindah tangan. Aku tidak akan jadi musisi lagi, karena itu semua instrumen yang aku miliki akan berpindah tangan ke beberapa teman yang berjanji akan datang untuk mengambil bagian mereka sebentar lagi.

Dan saat itulah ketika kudengar ada yang membunyikan bel di depan pintu rumahku. Aku berjalan dengan agak terburu-buru, karena sore itu hujan deras turun dan siapapun yang membunyikan bel di depan sana pasti menanggung resiko terserang penyakit akibat terguyur hujan yang diselingi sambaran petir itu. Namun, aku sedikit heran. Jika itu memang salah satu temanku, mengapa tidak ada yang berseru memanggilku seperti biasa?

Dugaan itu terbuktikan benar ketika aku membuka pintu dan menemukan sosok tinggi, mengenakan mantel hujan hitam panjang dan menghadap belakang. Sosok itu terlihat datang kesini dengan kaki, tanpa kendaraan yang terparkir di sekitar rumahku. Aku bingung karena suhu udara mendadak turun dengan drastis begitu sosok tinggi itu muncul di hadapanku. Ia berbalik dan menurunkan tudung hitamnya dan perlahan, aku bisa melihat wajahnya yang pucat tanpa ekspresi dan tentunya tidak kukenali. 

Pada saat itu aku tidak sadar, akulah yang mengundang sosok ini untuk datang. Bahwa di tengah keputusasaanku, aku berdoa untuk meminta datangnya sosok ini untuk menjemputku. Hanya saja, aku tidak sadar bahwa itulah yang kukatakan dalam doaku. Sosok itu sepenuhnya melepas mantel hujannya, dan sayap hitam terbentang di belakangnya. Dia adalah malaikat maut.

“Inikah waktuku?” Tanyaku dengan hujan deras masih bersahutan dengan petir di belakang.

“Ini belum waktumu, tapi Tuhan mendengar doamu. Bahwa kau ingin menghentikan semuanya disini sekarang. Karena itu, aku bertanggung jawab atas pencabutan nyawamu. Setidaknya itulah yang kudengar setelah kau berkata amin.”
 

Aku tidak paham mengapa aku pernah berdoa seperti itu. Dalam benakku terbayang rencanaku untuk mengakhiri karierku dan kehidupanku di ibukota ini dan berkemas pulang, namun aku tidak ingin mati setelahnya. Aku hanya ingin berhenti. Berhenti bukan mati. Menyerah bukan ingin pulang untuk selama-lamanya.

“Si…silahkan masuk. Aku punya kopi.” Tawarku. Malaikat itu masuk dan mengamati dekorasi rumahku. Beberapa barang yang belum kukemas dan beberapa yang sudah tidak pada tempatnya; terkumpul dalam kardus-kardus dan siap dipindahkan pada siapapun yang mau menerimanya. Aku berdebar, mengamati malaikat itu mengambil duduk di salah satu kursi makanku. Aku berpindah ke dapur untuk menyeduh dua cangkir kopi, sambil sesekali melihat pantulan malaikat itu di cermin dapur seraya merasa was-was akan apa yang akan dia lakukan dengan pencabut nyawanya.

Sore itu menjadi sore terganjil dalam hidupku (yang jika benar perkataan malaikat itu, sangat singkat) dengan adegan diriku menghabiskan secangkir kopi bersama malaikat maut yang jelas-jelas menunggu keputusan. Aku mendorong cangkir, kemudian mencoba meluruskan segalanya. “Aku tidak ingin mati.” Kataku.

“Bukankah itu doamu?” Tanya si malaikat maut.

“Tidak, aku hanya memutuskan untuk menyerah dan pulang ke kota asalku. Biarlah kupikirkan mau jadi apa aku disana. Tapi, kalaupun aku tidak memulai apa-apa setelah ini, bukan berarti aku ingin mati dan mengakhiri kesempatan apapun yang bisa datang di hidupku.”

“Begini.” Si malaikat ikut mendorong cangkirnya. “Manusia punya riwayatnya masing-masing. Dan di kala ia merasa seolah semuanya berakhir disini saja, Tuhan selalu membuatnya tersadar bahwa jalan hidupnya masih terbentang di depan. Namun, jika seorang manusia dengan putus asanya berdoa untuk mengakhiri perjuangannya seperti apa yang kamu lakukan kemarin malam, Tuhan mendengarnya dan setuju untuk menutup buku riwayatmu.”

Aku terperangah. “Omong kosong. Aku masih punya harapan lain untuk hidup.”

“Benarkah? Kalau begitu, berikan padaku agar bisa menjadi alasan kepergianku dari rumahmu ini.” Malaikat itu bermain-main dengan perasaanku. Aku tersandar di kursiku, kehabisan kata-kata. Malaikat itu, mengeluarkan sebuah jam pasir dan meletakannya di atas meja makan. “Begini saja. Kutunggu sampai besok malam. Kalau besok malam saat aku kembali kau sudah punya alasan untuk melanjutkan hidup, akan kubiarkan kau hidup.”

Aku terperangah. “Besok malam?”
“Benar. Dan, kau tidak boleh bohong. Aku tahu apa yang sesungguhnya kau rasakan, apa yang kau pikirkan. Kalau sampai saat itu kau tidak tahu apa yang akan kau lakukan untuk melanjutkan hidup, sebaiknya pulang saja.”

Dan dari situ, aku benar-benar bingung harus memutuskan apa. Aku membawa sisa-sisa cangkir kotor ke tempat cuci piring, menangis di atasnya. Aku tidak ingin mati. Tapi, aku tidak ingin melanjutkan hidupku. Aku menyesal terlahir dengan kepercayaan bahwa aku dapat sukses dengan menjadi musisi. Nyatanya, hingga sekarang aku tidak mencetak pencapaian apapun, dan pulang ke kota kelahiran adalah keputusanku. Lalu sampai disana… apa?

Kamis, 19:30 Waktu Setempat

Aku berjalan di trotoar kota yang mulai sepi. Barusan kutelepon sahabatku, Rian, dan jawabannya: “Oke, gue temui lo sepulang kerja. Jam 9 malam di kafe biasa ya.” Jawaban itu membuatku ingin menendang botol kaca yang berserakan di jalan. Mungkin, aku memang bukan sahabat yang baik bagi Rian. Dia sangat sering membantuku secara finansial, memperkenalkanku pada orang-orang di bidang musik yang membantu karierku naik. Kalau aku tiada, Rian mungkin akan terbebas dari segala bebannya.

Aku melirik air yang mengalir deras di sungai bawah jembatan. Indah sekali… mengingatkanku pada sungai di kota kelahiranku tempat aku sering bermain saat kecil. Aku, Rian, dan anak-anak lainnya yang saat ini sudah jadi “orang”. Hanya Rian yang cukup rendah hati untuk tetap menjadi temanku yang sampai saat ini masih jadi benalu bagi saat ini. Sejenak kuulurkan tanganku untuk merasakan derasnya air di tanganku. Saat tiba-tiba…

“Mas! Hidup masih sangat berharga!”

Aku menoleh ke sumber suara. Seorang perempuan muda, seperti baru pulang kerja atau kuliah, berlari ke arahku. Aku segera mengangkat tangan di udara. “Saya nggak ngapa-ngapain, Mbak. Nggak usah panik.” Jawabku. Gadis itu berubah menjadi panik, lalu malu. Dia berulang kali meminta maaf padaku. “Maaf, Mas. Saya nggak tahu. Habis, udah malam dan jalan sepi gini, pikiran saya jadi macam-macam.” Dia menundukan badannya berulang kali.

“Nggak apa. Mbak sendiri, jam segini masih di jalan, udah sepi gelap pula. Nggak takut rampok, Mbak?”

“Saya udah biasa, kok Mas. Yaudah kalau Masnya nggak apa. Saya balik dulu.” Dan ia pun berbalik badan.

“Tunggu, Mbak!” Panggilku. “Rumahnya dimana? Saya antar, ya! Bahaya Mbak!” Aku pun menyusul langkahnya.

“Masnya kan orang asing juga, sama aja bahaya nya, Mas.” Ketusnya.

“Saya orang sekitar sini, kok Mbak. Nggak usah curiga. Beneran Mbak nggak apa?” Tanyaku.

“Nggak apa!” Jawabnya sambil makin menjauh.

“Oke, tapi sebelum pergi, saya mau tanya sesuatu boleh nggak, Mbak?” Aku agak teriak karena dia mulai cepat jalannya. “Apa yang akan Mbak lakukan kalau Mbak tahu dalam waktu 24 jam lagi, Mbak akan mati?”

Pertanyaan itu dijawab dengan melayangnya high heels yang cewek itu gunakan. Mata kiriku biru terkena high heels. Cewek itu cuma kembali untuk mengambil sepatunya dan kembali lagi ke jalan pulangnya. Barulah aku sadari, betapa anehnya pertanyaan tadi, apalagi kalau diucapkan oleh orang asing yang kau temui di jalan kosong pada malam hari. Bodoh, bodoh, bodoh.

Kamis, 21:00 Waktu Setempat

Aku jadi menemui Rian di kafe yang biasa. Sahabatku sudah menunggu dengan kemeja dan dasinya yang biasa. Terlihat rapi dan siap menyongsong masa depan yang cemerlang. Aku sendiri hanya mengenakan kaos yang kugunakan sejak tadi pagi, jaket butut, dan mata kiriku lebam.

“Ya ampun Bobby!” Rian geleng-geleng. “Kepentok apa lo?”

“Sepatu high heels cewek asing. Nggak penting.” Jawabku. “Gue mau langsung ke intinya.”
“Silahkan. Kenapa lo terdengar kayak mau say goodbye? Hahaha!” Rian tertawa.

“Kayaknya gue nggak bakal ketemu lagi sama lo." Jawabku.

“Lah? Lo mabok atau apa, sih?”

“Yan, gue harap lo nggak bakal membantu gue lagi secara finansial atau apapun. Jangan pernah bantu gue lagi, Yan. Gue nggak pantas menerima bantuan lo itu. Jangan peduli lagi sama gue, dan mulai pikirkan hidup lo sendiri. Itu kalau kita masih bakal ketemu lagi setelah ini. Dan gue optimis kita nggak bakal ketemu lagi.” Kataku.

“Bobby, gue nggak paham sumpah.”

“Gue harus jelasin ini ke lo.” Dan setelah itu, semuanya aku jelaskan pada Rian.

“Ini terlalu gila untuk jadi nyata!” Komentar Rian begitu aku selesai menjelaskan.

“Itulah yang terjadi!” Seruku.

“Tapi lo masih muda!” Bantah Rian.

“Karena itu! Dia minta gue menjelaskan apakah gue punya harapan lain untuk dijalankan!”

Dan sesudahnya, hening antara kami. Rian menyeruput minumannya. 

“Gue nggak ingin lo menyerah sebetulnya.” Kata Rian. “Nggak ada jaminan lo bakal berhasil atau enggak. Gue bahkan baru mau bilang sama lo kalau usaha gue sebetulnya kena tipu.” Rian menghabiskan minumannya dalam sekali teguk. “Hidup gue seolah terampas begitu saja dari gue. Akan tetapi, begitu gue sadar akan situasinya, gue langsung berjanji pada diri gue sendiri untuk tetap berusaha bantu lo, mengingat lo ingin berhenti main musik dan pindah ke kampung halaman lo. Nggak penting darimana rejeki itu datang pada gue. Yang penting gue udah niat untuk bantu lo, Tuhan pasti akan menunjukan jalannya.”
 

Rian berdiri dari duduknya, meraih jasnya. “Dan ucapan lo barusan menurunkan semangat gue. Nggak paham dari mana motivasi gue akan datang kalau nggak dari lo. Karena, gue yakin lo pasti nggak kenal sama yang namanya menyerah.” Rian berbalik dan menuju pintu keluar. Dengan pelan, aku berbisik, “maaf, Rian…” Tapi apa boleh buat, dia nggak dengar juga.

Kamis, 00:00 Waktu Setempat

Aku membuka jendela kamar. Kulihat percakapan terakhir di ponselku bersama Rian. Aku baru saja mengetik; “Rian, gue minta maaf, yang tadi itu bodoh dan nggak logis, tapi gue punya pertanyaan buat lo. Dan pertanyaan itu adalah; kalau lo tahu akan mati dalam waktu 24 jam, lo mau apa dan mau ngapain?”

Aku menghela napas. Memutuskan untuk tidur. Sebelum tidur, aku mengecek lagi ponselku. Rian sudah menjawab; “Gue cuma mau lo bilang ke gue dengan sungguh-sungguh bahwa lo nggak mau dan nggak akan menyerah.”

Jumat. 09:00 Waktu Setempat

Pagi yang normal. Seluruh tetanggaku seolah tidak menyangka bahwa kurang dari 24 jam lagi, tetangga mereka akan meninggal. Semua terlihat biasa saja. Aku keluar dan berpikir untuk meminta maaf pada Rian atau mencari gadis yang kemarin. Atau pergi ke suatu tempat yang sepi dan berdoa seharian. Banyak orang mendapat pencerahan setelah berdoa. Entahlah, di kota ini tidak ada sudut yang sepi. Aku berjalan seperti orang bingung.

Di perempatan ponselku berbunyi. Nomor salah satu produser musik yang pernah kukontak. Malas, aku mengangkat teleponnya. “Halo. Bobby Adrian disini.”

“Ah! Bobby! Bisa ketemu nggak hari ini?”

“Maaf, Mas. Saya mau pindah ke luar kota.” Jawabku.

“Lho? Nggak mau jadi terkenal?” Tawar produser musik itu.

“Nggak ada gunanya terkenal, nggak ada gunanya jadi kaya, kalau semua itu saya dapatkan dalam sejenak kemudian hilang.” Sumpah, aku tidak paham lagi apa yang aku katakan. Aku memutus sambungan itu dan mulai berjalan sendiri lagi. Padahal kalau kupikir, kenapa tidak ku terima saja tawaran itu? Jadi atau tidaknya kan tidak penting. Aku juga sudah punya rencana untuk pindah. Kalau misalkan gagal kan, tinggal pindah lagi saja ke kota kecil itu.

Kemudian, aku berpikir tentang menjadi jutawan. Uang melimpah, mobil mewah, pakaian bermerek dan penggemar dimana-mana. Mungkin, produser itu bisa menjanjikannya untuk terwujud dalam waktu dekat. Aku terus mengkhayalkan gaya hidup itu sambil berputar-putar di alun-alun.

Jumat, 12:00 Waktu Setempat

Pada kenyataannya, kita tidak bisa mengandalkan siapa-siapa. Aku pernah percaya pada banyak produser musik dan kolaborator yang berjanji akan menjadikanku terkenal. Semuanya sama saja. Begitu pula dengan keputusan. Aku sadar bahwa aku tidak bisa mengandalkan orang lain dalam membuat keputusan ini. Semuanya ada di tanganku. Maka, aku memutuskan untuk pulang dan mengunci diriku dari orang-orang. Kulihat jam pasir itu semakin berkurang isinya. Waktuku hampir habis. Saatnya membuat keputusan karena tentunya aku belum mau mati.

Aku memutuskan untuk mengambil kitab suci dan mulai membacanya. Dalam tenang, dalam diam, aku berusaha mencari jawaban dalam halaman demi halaman. Aku terus melakukannya hingga matahari mulai turun di luar tirai jendelaku. Aku menengadah keluar. Apakah jawaban itu sudah aku temukan?

Jumat, 15:00 Waktu Setempat

Terdengar ketukan di pintu. Kututup kitab suciku. Kulihat dari lubang pintu, dua temanku yang akan mengambil gitar dan bass yang kumiliki. “Oh, Syarif dan Satrio. Masuk aja.” Kedua temanku itu bergegas masuk, sembari melihat-lihat isi rumahku. “Sofa ini nggak dijual juga?” Tanya Satrio. Aku menggeleng. “Tadinya mau gue jual tapi nggak usahlah, gue masih butuh juga.” 

“Padahal, kalau lo jual mesin cuci ini, gue beli juga, lho. Lumayan banget daripada nggak kepake.”

“I…itu Rian yang beliin. Gue nggak mau kasih ke siapa-siapa.”

“Oh? Maaf deh. Kalau gitu, gue bisa lihat kayak gimana bass nya?”

Aku menuntun mereka berdua melihat instrumen-instrumen milikku yang belum terbungkus. “Yang ini juga boleh kalian tawarin ke teman-teman kalian, yang ini jangan ya… ini gitar pertama gue waktu masih manggung pertama kali…” 

Aku tertunduk melihat gitar tersebut. Ada banyak sekali kenangan yang terkait dengan gitar tua ini. Bagaimana semangatku bangkit untuk pertama kalinya. Kupandang instrumen-instrumen lain. Kualihkan pandangan ke Syarif dan Satrio, yang bingung mengapa aku tiba-tiba memandang mereka.

“Bobby? Kok diam? Jadi berapa?”

Siapa mereka? Mengapa aku membiarkan saja orang lain masuk dan mengambil semua barang yang bersejarah bagi hidupku? Mengapa pula aku jual pada mereka? Mereka tidak paham betapa pentingnya semua ini bagiku, mereka hanya menjualnya pada teman-teman mereka dan peduli pada berapa harganya.

“Bobby?”

“Nggak, nggak gue jual.”

“Bobby!”

Aku berlari keluar dari rumahku. Menjauh dari Syarif dan Satrio, menjauh dari semuanya. Disitulah, kurasa, episode-episode yang sudah lewat muncul di kepalaku. Dan alasan mengapa aku sangat mencintai musik. Sebelum aku paham betapa sulitnya menjaga keuangan agar tetap stabil, hanya dengan bayaran dari acara-acara dimana aku tampil.

Di ujung kota dapat kulihat jalan tol menuju kota asalku. Kalau aku masih hidup, besok aku akan melewati jalan itu. Ah, benarkah begitu? Kalau aku masih hidup, besok aku akan tetap disini. Kalau aku masih hidup, tidak ada alasan bagiku untuk pulang kembali. Karena pulang kembali artinya menyerah. Dan kalau aku menyerah, sama saja dengan menyerahkan diriku pada sosok itu, agar ia membawaku ke hadapan Tuhan.

Jumat, 19:00 Waktu Setempat

Aku kembali ke rumahku. Pintu masih terbuka, Syarif dan Satrio duduk di meja makan dengan gusar. Begitu aku muncul, mereka berdua langsung mengucap syukur dan menghampiriku.

“Syukurlah, Bobby. Gue kira lo marah sama kita. Maaf, ya. Gue baru sadar bahwa lo nggak bakal berhenti main musik. Gue ini bodoh, ya? Teman macam apa gue ini yang berpikir bahwa seorang Bobby, yang gigih dan sepenuh hati mencintai musik, mau berhenti?” Kata Syarif.

“Benar. Kita langsung tergiur aja sama permintaan teman-teman kita yang janji bakal bayar berapa pun harganya. Nggak bisa kita biarkan itu menghancurkan pertemanan kita, iya kan Bobby?”

Aku tersenyum tipis. Tidak kujawab pertanyaan Satrio barusan. Aku berjalan lesu ke dapur, butuh kopi. “Ambil aja semuanya.” Aku melempar senyum getir. Syarif dan Satrio bengong.

“Bobby, nggak bisa gitu.” Bujuk Syarif.

“Iya. Kalaupun lo berencana untuk tetap balik ke kota asal, lo nggak bisa jadiin ini semua cuma-cuma. Lo butuh modal untuk mulai lagi .” Imbuh Satrio.

“Udah, udah. Ambil aja semuanya. Syarif, itu sofanya juga. Satrio, itu mesin cucinya juga buat lo.” Aku mendorong mereka berdua keluar dari rumahku.

Jumat, 22:00 Waktu Setempat

Aku tersenyum setelah mendorong Syarif dan Satrio keluar dari rumahku. Lega rasanya berhasil membiarkan mereka mengambil semua yang aku miliki. Besok pagi, saat mereka kembali lagi, aku sudah tidak bernyawa. Atau hilang. Sesungguhnya aku tidak tahu. Aku duduk di tepi jendela. Bayangan tentang kehidupanku yang singkat muncul di depan wajahku. Namun entah mengapa aku mulai bisa menerima kenyataan itu. Aku memandang kembali jam pasir itu. Butirannya yang mulai bergerak turun. Hingga kurasakan seolah tidak ada lagi yang tersisa. Aku menutup mata.

Sabtu, 09:00 Waktu Setempat

Oh, apakah itu suara kicauan burung di surga? Mengapa terdengar jelas sekali seolah ada di dekatku? Aku perlahan bangun dan meregangkan badan. Terkejut karena aku masih disini. Rumahku dan semacamnya. Kesederhanaan hidup dan segala kekuranganku. Jam pasir.. bagaimana dengan jam pasir itu?

Aku segera menuju meja makan. Kulihat jam pasir itu masih disana. Perlahan, kulihat isinya. Dan aku pun paham. Jam pasir itu telah terbalik. Kulihat butirannya bergerak perlahan ke bawah, dengan perlahan turun satu demi satu. Lihatlah betapa banyak butiran yang masih tersisa di atas, menunggu untuk meluncur keluar begitu waktu mereka tiba.

Jadi, aku…

Masih punya waktu…?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan