
Konten Valentine: What If Mellifluous
Seraya memeriksa kembali hasil meeting pagi tadi di iPad yang ia genggam, Rafa menyesap perlahan-lahan kopi hitam yang masih cukup panas itu. Ia membutuhkan ini untuk membuat matanya terus terjaga kendati semalam dirinya hanya tidur sekitar 2 jam sebelum harus kembali bangun karena harus menghadiri meeting pagi.
Pintu ruangannya di ketuk ketika Rafa baru saja meletakan secangkir kopi itu ke atas meja. Dan tanpa sedikit pun mengalihkan perhatiannya dari iPad, Rafa hanya berkata, “Masuk!”
Dan pintu ruangannya pun di buka oleh seorang wanita yang memiliki potongan rambut pendek. “Maaf, permisi, Pak. Ada Pak Regan yang ingin bertemu dengan Pak Rafael.”
Rafa menoleh sekilas dan mengangguk. “Suruh masuk aja. Terima kasih, Mika.”
Wanita yang di panggil Mika itu pergi dan kini, seorang pria yang memakai kemeja putih tanpa dasi sambil menenteng jasnya itu masuk ke dalam dengan gaya santainya yang sudah menjadi ciri khas.
“Sibuk banget Pak Rafael.” Godanya iseng seraya mengambil tempat di sofa, di samping Rafa dan memberi beberapa jarak di antaranya.
“Ada urusan apa? Nggak liat apa gue lagi sibuk sampai kurang tidur begini.” Balasnya.
“Nggak apa-apa kurang tidur. Asal nggak kekurangan belaian aja,” Regan tertawa singkat, ia bersandar pada soda seraya melempar sebuah kertas undangan pernikahan. “Gue ke sini nggak sekedar mau gangguin lo. Tapi mau ngasihin undangan.”
Rafa menoleh.
“Gue mau nikah. Akad sama resepsinya di Bali. Pastiin lo datang, nggak mau terima alasan apa pun buat nggak datang.”
“Lo serius?” tanya Rafa memastikan seraya meletakan iPad-nya dan beralih meraih undangan yang lempar Regan ke meja. Membaca nama calon pengantin yang tertera paling depan. “Viona? Cewek lo? Sejak kapan lo yang slengean gini bisa seriusin cewek?”
Regan membuang napas. “Nggak sengaja gue hamilin.”
“Damn!”
“And actually, dia bukan cewek gue. Kita bahkan baru kenal belum lama ini.” ungkapnya. “Ah, emang dasar aja gue goblok.”
Rafa terkekeh. “Lo goblok. Tapi setidaknya lo bukan pengecut dan tahu gimana caranya bertanggung jawab.”
“Masalahnya gue nggak cinta sama dia, Raf. Gue khawatir kedepannya nggak akan berjalan dengan bener.”
“Lo pikir dulu gue nikah sama istri gue karena gue cinta sama dia?”
“Tapi sekarang, lo cinta sama dia kan?” kekeh Regan. “C’mon, lo sama dia udah punya anak satu. Masa sih nggak ada perubahan perasaan.”
“I don’t know. Mungkin iya gue cinta sama dia dan mungkin juga nggak.” jawabnya. “Gue menghargai istri gue dan gue bertahan sama dia karena gue ngerti tentang komitmen, Gan.”
Regan membuang napas, kemudian tertawa lirih. “Selain karena tipe cewek kita yang sama. Nasib ngenes kita juga nggak beda jauh ya. Kita mungkin nggak di takdirin bareng sama cewek yang kita mau.”
“Calon istri lo ikut ke sini juga?” Rafa mengalihkan topik.
Regan mengangguk. “Kalau nggak ikut gue, dia nangis mulu. Pusing gue, Raf. Padahal gue lagi banyak urusan.”
“Bawaan bayi kali tuh.” Rafa tertawa. “By the way, congrats buat pernikahannnya dan congrats buat lo yang akan jadi bapak. Please, be a good figure for your little family. Jangan berulah terus. Tanggung jawab sama apa yang udah lo perbuat, jangan lari kalau lo nggak mau jadi pengecut.”
“Ya, gue lagi berusaha mematikan hasrat ingin kabur keluar negeri dan hidup damai di sana.”
“Dengan ninggalin tanggung jawab lo, lo nggak akan ngerasa hidup damai seperti apa yang lo bayangkan, Gan.”
“Ya ya ya, I know.” Katanya. “Gue mau lanjut pergi dulu. Mau fitting baju dan mau ngasih beberapa undangan lagi.”
“Rajin banget bagiin undangan sendiri.”
“Cuma ke beberapa orang deket aja.”
Rafa mengangguk paham. “Gue pasti datang ke nikahan lo, Gan.”
“Gue cabut dulu. Semangat lanjut kerja mencari nafkah, Bapak Rafael.”
Rafa hanya mendengus dan kembali pada iPad-nya. Membiarkan Regan melangkah pergi meninggalkan ruangannya.
Namun temannya itu kembali berbalik saat dia baru saja mencapai pintu dan memberitahunya sesuatu yang membuat tubuhnya sedikit menegang.
“Di nikahan gue nanti, ada Mentari yang hadir dan jadi wedding singer. Kemarin gue udah kontak dia dan ketemu dia langsung.”
Rafa tidak bereaksi. Tatapannya tak terarah.
“She’s fine. Makin cakep. Dan dia menjalani hidupnya dengan baik.”
Regan lantas pergi, meninggalkan Rafa yang masih bergeming dengan satu orang yang mulai memenuhi kepalanya.
***
Rafa baru saja tiba di rumahnya. Kepalanya yang berisik sedikit teralihkan ketika putrinya menyambut kedatangannya dengan manis. Senyum di bibir penuhnya praktis terukir bersama hati yang menghangat.
“Ini buat Una, Yah?” tanya anak itu dengan mata yang berbinar kala menerima hadiah dari ayahnya berupa boneka beruang dan deretan batang coklat yang terbungkus rapi dan di beri hiasan pita. “Buat Una?”
Rafa mengangguk, tersenyum. “Iya dong. Buat siapa lagi memangnya? Una kan kesayangan Ayah.”
“Makasih banyak, Ayah. Una sayang banget deh sama Ayah.”
“Happy valentine ya, cantiknya Ayah.” Rafa merendahkan tubuhnya dan mengecup singkat kening putrinya.
“Happy valentine juga buat Ayah Una yang hebat,” balas Aruna, mengecup singkat pipi Rafa. “Una juga punya hadiah buat Ayah di kamar. Tapi belum jadi. Nggak apa-apa besok ya, Yah?”
“Nggak apa-apa, Sayang. Makasih banyak.” Lagi, Rafa memberikan kecupan pada kening Aruna. “Una nungguin Ayah pulang dari tadi? Biasanya Una udah tidur jam segini.”
Anak berusia 4 tahun itu mengangguk. “Ayah pulangnya lama banget. Una belum sempet ketemu Ayah juga tadi pagi.”
“Una masih tidur dan Ayah harus buru-buru berangkat kerja.”
“Sepagi itu?”
“Em-hm.”
“Ayah capek?” Aruna bertanya seraya menggenggam tangan ayahnya. Anak dan ayah itu berjalan menuju ke ruang tengah.
“Capek. Tapi Ayah nggak apa-apa.” Jawabnya. “Una belum ngantuk? Bobo gih ke kamar. Mau Ayah temenin dulu nggak?”
Aruna menggeleng. “Nggak, Una udah berani tidur sendiri sekarang. Tanpa harus di temenin dulu.”
“Pinter,” Rafa mengusap kepala Aruna dengan lembut. “Ayah bangga sama Una.”
Anak itu tersenyum manis. Aruna memiliki wajah dari perpaduan Rafa dan istrinya. Namun kemiripan istrinya yang paling dominan, baik dari segi fisik maupun perilakunya.
“Una mau tidur dulu, Yah. Ibu tadi sebenernya udah nyuruh Una tidur, tapi Una bilang mau nungguin Ayah pulang dulu karena Ayah pasti bawa kado valentine.” Jelas Aruna. “Una juga pengen ketemu Ayah dulu. Takutnya besok Ayah pergi kerja pagi lagi pas Una masih tidur.”
Rafa terkekeh. “Besok Ayah berangkat kerja normal kok. Mau Ayah antar ke sekolah sekalian?”
Bersama senyum cerah dan mata yang berbinar, Aruna mengangguk. “Mau!”
“Ya udah, sekarang Una tidur. Biar besok nggak susah di bangunin Ibu.”
Aruna menurut. Ia bangkit dari sofa, mengecup pipi Rafa sekilas sebelum pamit. “Selamat malam Ayah. Una bobo dulu. Ayah juga bobo yang nyenyak ya.”
“Hm. Have a nice dream, Sweety.”
Dan kini, Rafa pun ikut beranjak. Alih-alih langsung ke kamar tidurnya, Rafa malah melangkah menuju ruang kerjanya. Mencoba menyibukan diri dengan beberapa pekerjaan yang sebenarnya bisa ia kerjakan besok. Hal ini ia lakukan demi mengalihkan pikirannya yang mengganggu.
Mentari.
Nama itu, bersama sosoknya masih saja memenuhi kepalanya. Terlebih tadi Regan menyebut-nyebutkan nama mantan pujaan hatinya itu dengan jelas. Serta memberitahu bahwa wanita itu akan hadir di acara pernikahannya.
Sudah lama sekali Rafa tidak mendengar kabarnya. Ia juga tidak tahu di mana wanita itu tinggal sekarang.
Namun syukurlah jika memang wanita itu baik-baik saja dan menjalani hidupnya dengan baik seperti yang sempat Regan katakan padanya tadi.
“Mas?” ketukan pintu terdengar bersamaan dengan suara seorang wanita dari luar ruang kerjanya. “Kamu di dalam? Boleh masuk?”
“Iya, masuk aja.”
Detik berikutnya pintu terbuka dan seorang wanita cantik yang mengenakan gaun tidur bersama rambut di ikat asal itu masuk ke dalam.
“Belum tidur?” tanya Rafa retorik. Pandangannya fokus pada laptop di hadapannya bersama jarinya yang sibuk menari-nari di atas keyboard.
“Belum, tadi aku teleponan dulu sama Mami. Terus barusan ngecek kamar Una, ternyata dia udah tidur sambil peluk boneka beruang,” jelasnya. “Itu dari kamu?”
Rafa mengangguk. “Iya, barusan. Hadiah valentine.”
Wanita itu mendekat dan berdiri di sebelah suaminya. “Kamu setiap valentine pasti selalu kasih Una hadiah. Tapi nggak buat aku, Mas.”
“Kamu mau juga hadiah valentine?” Rafa praktis menoleh. “Maafin aku, Kanaya. Aku pikir kamu nggak suka hal-hal semacam itu. Kamu juga nggak pernah bilang sama aku.”
Kanaya terkekeh seraya mengusap bahu suaminya. “Nggak, Mas. Aku bercanda. Jangan di bawa serius mulu dong.”
Rafa tersenyum. “Kalau kamu pengen apa-apa, bilang sama aku ya. Aku pasti kasih apa yang kamu mau kalau kamu bilang.”
“Iya, Mas.”
“Besok aku yang antar Una ke sekolah sekalian berangkat ke kantor.” Rafa memberi tahu. “Kamu ada kegiatan?”
“Nggak. Tapi hari minggu nanti aku mau ke rumah Mami. Mami katanya udah kangen banget sama Una. Kamu ikut ya?”
“Oh, aku lupa kasih tahu,” katanya. “Minggu aku harus hadir di nikahannya Regan. Di Bali. Jadi, hari sabtu malamnya aku harus terbang ke sana.”
Kanaya mengangguk-angguk. “Okay. Nggak apa-apa, nanti aku bilang Mami.”
“Kamu nggak akan ikut?”
“Mau sih, cuma Mami udah berharap banget aku ke rumah sama Una. Jadi, nggak apa-pa kalau kamu berangkat sendiri ke sana, Mas? Nggak apa-apa nggak aku temenin?”
Rafa mengangguk. “It’s okay. Salam nanti buat Mami ya. Maaf aku nggak ikut datang ke rumah.”
“Tidur yuk, Mas? Udah malem. Kamu nggak capek apa baru pulang ngantor langsung lanjut kerja lagi di rumah?”
“Iya, bentar ya. Sedikit lagi kok.”
“Jangan terlalu nge-push diri kamu, Mas. Istirahat yang cukup biar kamu nggak sakit.”
“Iya, sebentar lagi. Nanti aku nyusul.”
“Okay. Mau aku bikini teh hangat?”
“Nggak usah, Kanaya. Makasih, aku nggak akan lama nyelesaiin ini,” Rafa memberi seulas senyum. “Kamu tidur aja duluan ya? Nanti aku nyusul.”
“Okay.” Katanya, yang lalu memberi kecupan singkat di bibir suaminya. “Jangan begadang, aku tidur dulu.”
“Have a nice dream.”
Kanaya tersenyum. “I love you, Mas.”
Dan Rafa hanya membalasnya dengan senyuman sebelum istrinya itu keluar dari ruang kerjanya.
Hampir 5 tahun usia pernikahannya dengan Kanaya dan Rafa belum mampu membalas ucapan tersebut. Bisa saja ia membalas, namun itu hanya keluar dari mulutnya saja, bukan dari hatinya.
Keputusannya menerima perjodohannya dengan Kanaya dan melepas Mentari adalah hal tersulit yang pernah ia lakukan di dalam hidupnya. Banyak pertimbangan dan banyak pula yang ia korbankan. Termasuk perasaannya, termasuk hubungannya dengan mantan kekasih yang sudah tidak ia ketahui lagi kabarnya.
Membuang napas berat, Rafa membuka laci meja kerjanya untuk mencari kacamata anti radiasi. Namun, ia juga menemukan sesuatu yang membuat suasana hatinya semakin campur aduk.
Foto dirinya bersama Mentari.
***
Resepsi pernikahan Regan di gelar di sebuah resort yang memiliki pemandangan laut dan langit yang membentang, kedua pemandangan tersebut seolah dekat dan menyatu. Namun nyatanya saling berjauhan.
Harus Rafa akui, pernikahan Regan terbilang megah untuk ukuran pernikahan yang katanya terpaksa harus di laksanakan karena sebuah kecelakaan lupa memakai pengaman. Regan juga sangat natural sekali menjalani perannya menjadi pengantin paling bahagia di dunia.
Dan melihat itu, Rafa mendadak teringat dengan dirinya sendiri lima tahun yang lalu. Tepatnya saat dirinya menikah dengan Kanaya.
Tidak seharusnya Rafa menyesali itu sekarang. Pernikahannya sudah berjalan lima tahun dan ada seorang putri cantik yang hadir di keluarga kecilnya. Entah sehancur apa putri kesayangannya itu kalau tiba-tiba Rafa menuruti egonya sendiri.
Lalu, soal Mentari yang Regan bilang hari ini tampil di acara resepsinya.
Ya, itu memang benar. Mentari hadir dan Rafa sudah melihatnya. Dari jauh tentu saja. Dan, ya, Mentari tidak banyak berubah dari terakhir Rafa melihatnya.
Rafa terus menguatkan hatinya. Terus bertahan dan tidak goyah sedikit pun dengan mengingat keluarganya, terutama putri kecilnya yang sempat menelepon menanyakan kabar.
Hari sudah semakin sore, acara pernikahan masih ramai di gelar. Rafa sedang meminum segelas wine dan saat itu Regan datang menghampiri.
“Sendirian aja nih, Bapak Rafael,” ucapnya iseng. “Bini sama anak lo ke mana? Nggak lo ajak? Wah, parah. Mentang-mentang di sini ada mantan yang kepengen lo goda kembali.”
Rafa mendengus. “Kanaya sama Aruna ke rumah mertua gue. Mereka udah janji mau datang ke sana, makanya mereka nggak ikut,” jelasnya. “Buruk terus pikiran lo, Gan. Udah jadi suami dan calon bapak juga.”
“Lo udah ketemu Mentari?”
Rafa menggeleng. “Harus ya gue ketemu dia?”
Regan mengedikkan kedua bahunya. “Ya kali aja lo mau ngobrol sama dia. Nggak ada salahnya ngobrol doang, tanya-tanya kabar. Asal nggak goyah aja.”
“Sialan.”
“Lah, gue bener kan?” kekehnya. “Inget anak sama istri di rumah. Jangan lo baru nyesel sekarang karena ngeliat mantan makin cakep.”
“Kayak yang udah bener aja lo, Gan, ngomong ke gue begini.” Dengus Rafa.
“Tuh, orangnya di sana.” Regan menunjuk dengan dagunya, ke arah Mentari yang berdiri membelakangi. Memandang laut yang membentang dan langit jingga yang cantik. “Lagi break bukannya makan, malah asik ngeliatin sunset sendirian.”
Rafa hanya menatap tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut. Ada rasa rindu yang menggebu, hatinya meraung meminta sebuah pertemuan. Namun logikanya melarang keras.
“Apa salahnya temuin dia, Raf? Jangan sampai lo pulang-pulang nyesel dan nggak bisa tidur karena menyia-nyiakan kesempatan buat ketemu Mentari.” Ujar Regan. “Gue bukannya mendukung lo buat berkhianat atau apa pun. Tapi, nggak ada salahnya kan ngobrol sama mantan? Kalau ngerasa kangen juga wajar aja kok. Namanya juga orang yang pernah mengisi hati selama bertahun-tahun.”
Pada akhirnya, Rafa mengikuti kata hatinya. Menemui Mentari dan berbicara padanya. Yah, menanyakan kabar atau hal semacamnya sambil menguatkan hati agar tidak goyah.
“Hei.” Sapa Rafa. Kaku.
Mentari praktis menoleh dan wanita itu mengulas senyum cantik. “Hei.”
“A-apa aku ganggu?”
“No. Aku nggak masalah sama sekali.”
Rafa tersenyum. “Lama nggak ketemu. Apa kabar, Mentari?”
“I’m great,” jawabnya. “Mas Rafa sendiri?”
Mas Rafa. Sungguh Rafa benar-benar rindu panggilan itu keluar dari mulut Mentari. Ya Tuhan, tolong kuatkan hatinya agar tidak goyah.
“Cukup baik.” Rafa menjawab. “Kamu masih aktif manggung di acara wedding rupanya.”
“Yah, ini kerjaanku.” Kekehnya.
“Masih tinggal sama Langit? Apa kabar dia?”
“Iya, kita masih tinggal bareng. Langit nggak bisa jauh-jauh dari aku, Mas.” Mentari terkekeh. “Dan, ya, kabar Langit pun baik. Tapi dia lagi sering banyak ngeluh semenjak jadi budak korporat.”
Rafa tersenyum. Mentari terlihat baik-baik saja. Dia sepertinya memang mudah menerima dan melanjutkan hidupnya dengan baik. Bahkan saat Rafa mengungkapkan keputusannya, Mentari masih mencoba untuk tersenyum dan menerima. Walau matanya sangat kentara memendam luka karena saat itu perpisahan ada di depan mata.
Dan sekali lagi, tolong kuatkan hatinya agar tidak goyah. Baiklah, Rafa tidak akan membawa Kanaya di sini. Namun, ada Aruna yang menunggunya pulang. Ada darah dagingnya yang sangat menyayanginya dan berharap ayahnya kembali memeluknya dengan sayang.
“Apa kabar istri dan anak kamu, Mas?”
Butuh beberapa saat Rafa menjeda sebelum menjawab, “Baik.”
“Anak kamu cantik. Lucu. Perpaduan kamu dan Kanaya banget.” Komentarnya. “Kalau boleh tahu, anak kamu umurnya berapa, Mas?”
“Umur empat tahun. Baru masuk TK tahun ini.”
“I see.”
Entah kenapa, rasanya hati Rafa hancur perlahan. Padahal seharusnya, Mentari kan yang merasakan itu? Ah, mungkin Mentari memang sudah benar-benar menerima apa yang sudah menjadi jalan hidupnya. Seharusnya, Rafa juga begitu. Ia sudah punya keluarga dan seharusnya, yang Rafa lakukan adalah berusaha membahagiakan keluarganya.
Rafa malah mengatakan rindu berkali-kali untuk mantan kekasihnya dalam hati alih-alih mengingat keluarga di rumah. Keterlaluan ya?
Tapi, ya, seandainya mengungkapkan rasa rindu semudah membalikan telapak tangan.
Mentari, aku kangen…
Kalimat itu hanya tertahan di lidahnya saja. Namun, Rafa melontarkan kalimat lain yang tak kalah berarti.
“The sunset is beautiful, isn’t it?”
Mentari menoleh dan tatapan mereka saling mengunci satu sama lain, saling berpusat satu sama lain. Ada perubahan dari Mentari yang sebelumnya terlihat santai saat berhadapan dengan Rafa.
Tidak. Tidak boleh ada air mata lagi.
Dan menanggapi itu, Mentari hanya mengulas senyum seraya menguatkan hatinya. Berusaha menutup goresan luka yang kembali terbuka perlahan.
“Kamu sepertinya menjalani hidupmu dengan baik ya, Mentari.” Rafa berucap. “Dengan ada atau tanpa adanya aku di hidup kamu. Kamu akan tetap baik-baik aja.”
“I wish.” Balas Mentari, bersama pedih yang terasa di hati. “Baik-baik ya sama keluarga kamu, Mas. Mereka sangat butuh sosok kamu.” di banding aku.
“If this is the last time, I just wanna say,” Rafa menjeda. “I miss you, Sunny.”
Retakan di hatinya semakin menjalar tatkala panggilan tersebut di lontarkan oleh Rafa.
Sunny… hanya Rafa yang memanggilnya begitu. Dan hanya Rafa yang boleh memanggilnya begitu.
Dan lagi-lagi, Mentari tidak berucap. Ia hanya tersenyum. Tersenyum adalah cara terbaiknya untuk menutup luka dan mengobati dirinya sendiri.
“I have to go.” Ucap Mentari, yang bersiap pergi. “Aku harus bersiap buat acara malam.”
Rafa mengangguk paham. “Sampai ketemu lagi, Mentari.”
“Kamu yakin kita akan ketemu lagi, Mas?”
“Yah, nggak ada yang nggak mungkin kan? Kalau memang takdir mengharuskan kita untuk bertemu lagi, maka kita akan bertemu.”
Dan untuk apa kita bertemu kalau hanya luka yang tertoreh bersama rasa perih yang luar biasa menyakitkan di hati?
Jika hanya perih yang terasa, maka Mentari pun berharap dirinya tidak pernah bertemu lagi dengan Rafa.
“Jaga diri kamu baik-baik.”
Mentari mengangguk. “Jangan khawatir soal itu. Makasih, Mas. Dan, ya, sampai ketemu lagi.”
Sampai bertemu lagi untuk memulai kehidupan bersama seperti yang di harapkan. Mungkin di kehidupan selanjutnya. Atau semesta lain. Karena di dunia yang saat inimereka pijak, keduanya sudah tidak bisa bersama lagi.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
