
"50 juta perbulan kalau kamu mau menjadi Ibu susu untuk anak saya."
Mata Kaluna membulat lebar. Sebagai Mahasiswa semester akhir yang membutuhkan banyak uang, Kaluna tentu saja tergiur. Lagipula, ini bukanlah hal yang sulit baginya, ia masih bisa menghasilkan ASI setelah melahirkan anak di luar nikah yang kini ia titipkan di panti asuhan.
Niat awal hanya ingin menjadi Ibu susu bagi anak Liam, namun justru terperangkap dalam kehidupan duda tampan yang sangat menggoda itu.
Sembilan belas
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu menegangkan bagi Kaluna. Tangannya gemetar, hatinya gelisah, dan pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Ia terus menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa takut yang semakin menggigit dadanya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam tas. Dengan tangan gemetar, ia buru-buru mengeluarkannya. Nama Liam terpampang di layar. Jantungnya berdegup semakin kencang saat ia menggeser tombol hijau.
"Halo, Pak Liam?" Kaluna segera mengangkat telepon, suaranya penuh kegelisahan.
"Langsung ke rumah sakit aja. Aku share lokasi." Suara Liam terdengar tegang di seberang sana.
Tubuh Kaluna langsung menegang. "Keadaannya parah, Pak?" tanyanya panik.
"Dia kejang waktu di rumah. Aku nggak mau ambil risiko, jadi langsung kubawa ke rumah sakit."
Jantung Kaluna berdegup kencang. Tangannya mencengkeram ponsel erat-erat, berusaha menenangkan dirinya sendiri meskipun pikirannya sudah dipenuhi ketakutan.
"Yaudah, ini aku masih di jalan. Tolong jaga Nara dulu," ucapnya dengan suara bergetar.
"Aku di IGD. Kalau udah sampai, langsung masuk aja," ujar Liam sebelum menutup telepon.
Kaluna menghela napas panjang. Kepanikan mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat dadanya terasa sesak.
"Pak, tolong lebih cepat," pintanya pada sopir taksi.
"Baik, Mbak." Sopir itu segera menekan pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju lebih cepat melewati kepadatan lalu lintas.
"Siapa yang sakit, Mbak?" tanya Sopir itu.
"Anak saya, Pak," jawab Kaluna.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Kaluna hanya bisa berdoa dalam hati, berharap saat ia tiba di rumah sakit, Nara masih baik-baik saja.
Begitu mobil berhenti di depan rumah sakit, Kaluna langsung membuka pintu dan berlari ke dalam gedung. Jantungnya berdebar kencang, dan tubuhnya terasa panas karena cemas. Ia bahkan tak peduli dengan tatapan beberapa orang yang melihatnya berlari tergesa-gesa melewati lorong rumah sakit.
Begitu sampai di depan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), matanya segera menangkap sosok Liam yang berdiri dengan ekspresi tegang di depan pintu.
"Pak Liam!" panggilnya panik.
Liam langsung menoleh. Begitu melihat Kaluna, pria itu segera menghampirinya dan meraih tangannya.
"Nara gimana?" tanya Kaluna dengan mata berkaca-kaca.
Liam menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya. "Udah membaik. Dokter bilang dia kejang karena demamnya yang naik mendadak," jelasnya.
Kaluna hampir lemas mendengar itu. Ia menutup mata sesaat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. "Syukurlah..." gumamnya lirih.
"Dokter lagi nyiapin kamar buat Nara. Dia harus diopname semalam buat pemantauan," lanjut Liam, masih menggenggam tangan Kaluna seakan ingin menenangkannya.
Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari dalam IGD. Kaluna langsung menghampirinya dengan wajah penuh harap.
"Dok, gimana kondisi anak saya?" tanyanya dengan suara cemas.
Dokter itu tersenyum tipis. "Untuk saat ini, kondisinya sudah stabil. Kejang yang tadi terjadi kemungkinan dipicu oleh demam yang naik dengan cepat. Kami sudah memberikan penanganan dan berhasil menurunkan suhunya. Namun, kami tetap menyarankan untuk menginap satu malam agar kami bisa memantau perkembangannya lebih lanjut."
Kaluna mengangguk pelan. Kali ini ia benar-benar lega karena mendengar penjelasan langsung dari dokternya.
"Perawat akan segera memindahkannya ke ruang perawatan anak. Anda bisa ikut menemani di sana," kata Dokter itu lagi.
"Baik, Dok," ucap Liam.
Tak lama, seorang perawat keluar dari IGD sambil mendorong ranjang bayi tempat Nara terbaring. Kaluna segera menghampiri, matanya berkaca-kaca melihat putrinya yang tampak tidur dengan tenang. Tangannya terulur, mengusap lembut pipi bayi mungil itu.
"Cepat sembuh, Nak," bisiknya.
Mereka pun mengikuti perawat yang mendorong ranjang bayi menuju kamar perawatan. Sesampainya di sana, Kaluna segera duduk di kursi dekat tempat tidur bayi. Sementara itu, Liam pergi ke apotek rumah sakit untuk mengambil obat yang diresepkan dokter.
*****
Sepanjang sore, Nara tampak tenang. Suhunya stabil, napasnya teratur, dan ia sesekali membuka mata untuk melihat sekeliling sebelum kembali tertidur. Kaluna tetap setia di sisinya, sesekali mengelus kepala bayi itu dengan penuh kasih sayang.
Liam, yang sejak tadi ikut berjaga, akhirnya duduk di sofa di dalam kamar rawat, mencoba beristirahat sejenak. Namun, meski matanya terpejam, pikirannya tetap waspada. Ia tak ingin lengah jika sesuatu terjadi lagi pada Nara.
"Aku istirahat sebentar," ujar Liam. Sementara Kaluna hanya mengangguk.
Waktu berlalu hingga malam tiba. Kaluna masih terjaga, sementara Liam akhirnya tertidur di sofa. Kamar perawatan itu terasa sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang menunjukkan detak jantung Nara.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.
Sekitar pukul tujuh malam, suara rintihan pelan terdengar dari ranjang bayi. Kaluna yang awalnya bersandar di kursi dengan mata terpejam, langsung tersentak bangun. Ia mendekat, memperhatikan Nara yang tampak gelisah.
"Nara?" panggilnya pelan.
Bayi itu mengerang kecil, lalu tubuhnya tiba-tiba mulai kaku.
Kaluna membelalakkan mata. "Pak Liam, bangun! Nara kejang lagi!" teriaknya panik.
Liam langsung terbangun. Begitu melihat kondisi Nara, ia tanpa pikir panjang menekan tombol darurat di samping tempat tidur. Sementara itu, Kaluna dengan tangan gemetar berusaha menenangkan bayinya, meski ketakutan telah menguasai dirinya.
Pintu kamar terbuka dengan cepat. Beberapa perawat masuk, diikuti oleh seorang dokter. Mereka segera mengambil alih, memeriksa kondisi Nara dengan sigap.
"Letakkan dia di tempat tidur, Bu," ujar salah satu perawat.
Kaluna dengan hati-hati meletakkan Nara kembali ke ranjang. Seorang perawat segera memasang alat pemantau tanda vital, sementara dokter memeriksa respons tubuh bayi mungil itu.
"Suhu tubuhnya naik lagi. Kami akan segera menstabilkannya," kata Dokter.
Kaluna hanya bisa berdiri di tempatnya, menatap penuh ketakutan saat dokter dan perawat bekerja menangani Nara. Air matanya mengalir, napasnya berat, dan dadanya terasa sesak. Sementara itu, Liam hanya berdiri di sampingnya sambil memeluknya.
Ruangan itu dipenuhi kesibukan. Dokter dan para perawat bekerja dengan sigap, berusaha sekuat tenaga untuk menstabilkan kondisi Nara. Detak jantung bayi itu lemah, tubuhnya masih kejang sesekali meskipun dokter telah menyuntikkan obat anti-kejang.
"Tolong, selamatkan dia..." lirih Kaluna dengan air mata yang mengalir deras.
Seorang perawat sesekali melirik monitor yang menunjukkan tanda-tanda vital Nara. "Dok, saturasi oksigen menurun drastis!" serunya.
Dokter segera mengambil langkah cepat, memberikan bantuan pernapasan lebih lanjut, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan kondisi Nara. Namun, alarm dari monitor berbunyi nyaring, tanda bahaya yang membuat semua orang di ruangan itu menahan napas.
"Tekanan darahnya turun!" seru perawat lain.
Dokter dengan cepat memulai tindakan resusitasi. Ia menekan dada kecil Nara dengan hati-hati, memberikan napas buatan, sementara para perawat tetap berusaha menjaga kestabilan bayi itu.
"Tolong... jangan berhenti... tolong selamatkan dia..." isaknya, nyaris tidak bisa berdiri jika saja Liam tidak menahannya.
Namun, detik-detik berlalu, dan suara dari monitor detak jantung semakin melemah. Hingga akhirnya hanya terdengar suara panjang yang menusuk telinga.
Biiiiiiiiip...
Dokter terdiam sejenak, lalu melirik jam tangannya dengan ekspresi penuh duka.Perlahan, ia melepaskan stetoskop dari telinganya, menarik napas dalam, lalu menatap Kaluna dan Liam dengan sorot mata penuh belas kasih.
"Maafkan kami... Kami sudah berusaha sebaik mungkin."
Dua puluh
"Maafkan kami... Kami sudah berusaha sebaik mungkin."
Dunia Kaluna seakan runtuh saat mendengar kalimat itu. "ENGGAK!" teriaknya histeris, kakinya melemas seketika.
Liam, yang tubuhnya kini terasa mati rasa, dengan cepat meraih Kaluna yang hampir jatuh. Namun, ia sendiri hanya bisa terdiam, menatap tubuh mungil Nara yang kini tidak lagi bergerak. Tidak ada lagi napas, tidak ada lagi detak jantung.
Sebuah kenyataan pahit menghantam mereka tanpa ampun. Nara telah pergi.
Tangisan Kaluna memenuhi ruangan, isakannya terdengar memilukan. "Nara, bangun, Sayang... tolong bangun..." ia meraih tubuh kecil itu, mengguncangnya pelan, seolah berharap bayi itu akan membuka matanya lagi. "Jangan tinggalin Mama, Nak..."
Liam hanya bisa menggigit rahangnya kuat-kuat, matanya memerah, dan dadanya terasa begitu sesak. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar tak berdaya.
Dokter dan perawat yang berada di ruangan hanya bisa menundukkan kepala, memberikan waktu bagi mereka untuk meratapi kehilangan yang begitu mendalam.
Hanya dalam sekejap, kebahagiaan kecil yang mereka miliki telah direnggut begitu saja.
"Yang kuat ya, Bu. Ini sudah takdir dari Tuhan," ujar sang Dokter sambil menepuk pelan pundak Kaluna.
Kaluna masih terisak, menolak menerima kenyataan. Ia mendekap tubuh kecil itu erat-erat, tidak peduli pada keheningan yang menyelimuti ruangan. "Tolong kembalikan dia... Aku mohon..." suaranya penuh kepedihan. "Nara butuh Mama... Mama juga butuh Nara..."
Liam menunduk, mengusap air matanya yang jatuh tanpa bisa ia tahan. Meskipun bukan darah dagingnya, kehilangan Nara terasa begitu menyakitkan. Bayi itu sudah ia anggap seperti anaknya sendiri, tetapi Tuhan hanya memberinya kesempatan untuk bersama sebentar saja.
Seorang perawat akhirnya melangkah maju, dan berkata dengan lembut. "Bu, kami harus membawanya ke kamar jenazah."
Kaluna membeku. Matanya yang sembab menatap perawat itu dengan ketakutan. "Enggak... Enggak! Dia bukan jenazah! Dia masih anakku, masih hidup...!" jeritnya. Ia menarik tubuh Nara lebih erat ke dalam dekapannya.
Liam menghela napas panjang, ia kemudian mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu Kaluna. "Ikhlas, Lun. Kasihan Nara kalau kamu kayak gini," ucapnya lirih.
Kaluna menggeleng kuat, air matanya semakin deras mengalir. "Jangan ambil dia... Aku mohon..."
Liam menguatkan hatinya. Dengan lembut, ia meraih tubuh mungil Nara dari pelukan Kaluna, meski ia bisa merasakan betapa eratnya wanita itu mempertahankan anaknya. "Maaf, Lun..." bisiknya.
Tangisan Kaluna semakin pecah saat Liam menyerahkan Nara kepada perawat. Tubuhnya melemas, lututnya akhirnya menyerah hingga ia jatuh berlutut di lantai.
Ketika tubuh mungil itu dibawa pergi, keheningan menyelimuti ruangan. Hanya suara tangis Kaluna yang terdengar, menyayat hati siapa pun yang mendengarnya.
"Nara..." isaknya, suaranya penuh kepedihan. "Maafin Mama... Maafin Mama, Sayang..."
Liam kembali menghela napas panjang. Ia kemudian ikut berlutut dan merengkuh Kaluna ke dalam pelukannya.
Malam itu, duka menyelimuti mereka. Dan kehilangan itu meninggalkan luka yang tidak akan pernah sembuh.
*****
"Nggak apa-apa, Nak... Mama udah ikhlas," lirih Kaluna sambil mengusap batu nisan mungil di hadapannya. "Setidaknya Mama sempat merawat kamu sebelum kamu pulang." Suaranya bergetar, tangannya gemetar saat menyentuh nama kecil yang terukir di sana. "Bahagia di surga, ya, Sayang... Nanti jemput Mama kalau Mama udah di sana."
Air matanya terus mengalir tanpa henti, jatuh membasahi tanah merah yang masih basah.
Liam berdiri di sampingnya, diam tanpa suara. Matanya menatap nisan kecil itu dengan sorot pilu, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang cukup untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakan Kaluna saat ini.
"Maafin Mama, ya, Sayang..." suaranya bergetar, matanya kembali memanas. "Mama sempat ninggalin kamu sama orang lain, padahal Mama yang bawa kamu ke dunia ini. Makasih udah bertahan, meskipun cuma sebentar. Satu minggu ini bakal jadi kenangan terindah dalam hidup Mama."
Liam menghela napas, lalu tanpa ragu ia meraih tangan Kaluna, dan menggenggamnya erat. "Ayo pulang," ucapnya lembut. "Ini udah hampir tengah malam."
Kaluna tidak langsung merespons. Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menguatkan hatinya. Kenyataan ini pahit, tapi ia tahu, ia harus melanjutkan hidup. Dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk pelan, membiarkan Liam membimbingnya pergi meninggalkan makam kecil itu, meninggalkan bagian dari dirinya yang tak akan pernah bisa ia genggam lagi.
Perjalanan pulang terasa hening. Kaluna menatap kosong ke luar jendela mobil, matanya masih sembab, sementara Liam fokus mengemudi dengan tenang. Tidak ada kata-kata di antara mereka. Hanya kelelahan, duka, dan kehilangan yang mengisi udara di dalam mobil.
Begitu tiba di rumah, Kaluna melangkah masuk dengan tubuh lemas. Udara di dalam rumah terasa berbeda, sepi, kosong, dan menyakitkan. Semua sudut ruangan masih membawa jejak keberadaan Nara, meskipun bayi itu hanya sempat tinggal di sini sebentar. Selimut kecilnya masih terlipat rapi di sofa. Botol susunya masih ada di meja, belum sempat dibersihkan.
"Mau tidur bareng?" tawar Liam sambil melangkah masuk ke kamar Kaluna.
Kaluna menggeleng pelan. "Kenzo di mana?" tanyanya, suaranya terdengar lelah.
"Kenzo sama Sus Tina," jawab Liam singkat.
"Yaudah, sana pergi. Aku mau tidur," ujar Kaluna, memberi isyarat agar Liam keluar dari kamarnya.
Liam tidak langsung pergi. "Nggak papa tidur sendirian?" tanyanya lagi, ragu.
"Ya nggak papa, lah. Kalau tidur bareng malah jadi masalah. Nanti ketahuan sama pembantu kamu," balas Kaluna, nada suaranya sedikit ketus.
"Ya nggak papa. Suka-suka aku, kan ini rumahku," balas Liam santai.
Kaluna mendengus pelan. "Halalin dulu, baru boleh tidur bareng lagi," ucapnya tanpa basa-basi.
Liam terdiam sejenak, lalu senyum tipis terbit di wajahnya. Ucapan Kaluna barusan bagaikan kode halus yang memberinya harapan. Namun, untuk saat ini, ia tidak ingin membahasnya lebih jauh.
"Yaudah, istirahat," ucapnya lembut sebelum berbalik meninggalkan kamar.
Kaluna hanya menatap punggung Liam yang semakin menjauh sebelum akhirnya menutup pintu perlahan. Ia butuh waktu sendiri, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa malam ini akan terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
Suasana kamar terasa begitu hening. Kaluna menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih kalut. Tubuhnya berbaring di atas ranjang, tetapi pikirannya tetap gelisah.
Saat matanya hampir terpejam, suara nyaring dari ponselnya tiba-tiba memecah keheningan. Ia mengernyit, meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Layar ponsel menampilkan nama yang tak ingin ia lihat saat ini. Ya, siapa lagi kalau bukan ayahnya?
Kaluna mendesah pelan, lalu dengan terpaksa mengangkat panggilan telepon itu.
"Kenapa?" sapa Kaluna dengan suara lemas.
"Besok adik tirimu harus bayar daftar ulang. Kalau kamu nggak mau menikah dengan teman Ayah, carikan Ayah uang dua ratus juta sebelum besok siang," ujar suara di seberang dengan nada tegas.
Dua puluh satu
Kaluna mengabaikan pesan itu. Tanpa ragu, ia langsung menghapusnya dan memblokir nomornya. Memikirkan hal itu hanya akan membuatnya semakin gila. Ia sudah cukup hancur karena kehilangan Nara, apakah sekarang ia juga harus menanggung kegilaan ayahnya?
Dengan napas berat, Kaluna meletakkan ponselnya di nakas, lalu membenamkan wajahnya ke bantal. Matanya terasa panas, tapi ia terlalu lelah untuk menangis lagi. Biarlah. Besok adalah urusan besok. Untuk saat ini, ia hanya ingin tidur.
*****
Pagi datang terlalu cepat.
Kaluna terbangun saat mendengar suara tangisan nyaring dari luar kamarnya. Ia mengerjapkan mata, butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa itu suara Kenzo.
Kaluna menghela napas berat sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Kepalanya masih terasa berat dan berdenyut, namun suara tangisan Kenzo memaksanya untuk segera bergerak.
Begitu keluar kamar, ia mendapati Sus Tina tengah berusaha menenangkan Kenzo yang menangis meronta-ronta.
"Sini, Sus, biar sama saya aja," ucap Kaluna pelan.
Sus Tina menoleh, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Mbak udah nggak papa?" tanyanya ragu.
Kaluna menggeleng kecil dan mencoba tersenyum tipis. "Nggak papa," jawabnya, meskipun hatinya sendiri masih terasa kosong.
Dengan sedikit ragu, Sus Tina akhirnya menyerahkan Kenzo ke dalam pelukan Kaluna. Ajaibnya, tangisan bayi itu langsung mereda seketika. Mata bening Kenzo yang masih berkaca-kaca menatap Kaluna, sementara tangan mungilnya dimasukkan ke dalam mulut.
"Lapar, ya, Nak?" lirih Kaluna, mengusap pipi Kenzo dengan lembut sebelum membawanya masuk kembali ke dalam kamar.
Kaluna duduk di tepi tempat tidur, mendekap Kenzo dengan lembut. Bayi itu menyusu dengan tenang, sesekali tangannya yang mungil menggenggam baju Kaluna erat, seolah takut terlepas.
"Tumbuh jadi anak yang sehat, ya," lirih Kaluna sambil mengusap lembut pipi Kenzo. "Jangan bikin papamu sedih kayak Tante. Cukup Nara aja yang pergi, kamu jangan."
Kenzo hanya mengerjapkan matanya yang bening, bibir mungilnya sedikit terbuka seolah ingin merespons, tapi yang keluar hanyalah gumaman kecil. Kaluna tersenyum tipis, merasa gemas dengan ekspresi polos bayi itu.
Tak lama kemudian, Liam masuk dengan langkah pelan, membawa sepiring makanan dan segelas minuman di tangannya. Ia meletakkan semuanya di meja samping Kaluna sambil berkata, "Sarapan dulu, ya."
Kaluna meliriknya sekilas. "Aku nggak lapar," gumamya pelan.
"Lapar atau nggak, kamu tetap harus makan. Tubuh kamu udah lemah. Kalau nggak diisi energi, nanti kamu sakit," ujar Liam dengan nada tegas.
Kaluna terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Yaudah, nanti aku makan," balasnya tanpa menatap Liam.
"Mau aku suapin?" tawar Liam.
Kaluna menggeleng. "Nggak usah," jawabnya.
"Yaudah, aku berangkat kerja dulu," ujar Liam sambil beranjak dari duduknya.
Sebenarnya, Liam tak tega meninggalkan Kaluna di rumah saat mereka masih berduka. Namun, mau bagaimana lagi? Tanggung jawabnya menuntutnya untuk tetap berangkat kerja.
*****
Setelah selesai sarapan dan menyusui Kenzo, Kaluna menyerahkan bayi itu kepada Sus Tina untuk dimandikan. Sementara itu, ia memilih untuk bersantai di belakang rumah, ditemani oleh Mbok Sri.
Wanita paruh baya itu duduk di sampingnya, sesekali mengelus punggung Kaluna dengan lembut, seolah ingin menyalurkan ketenangan. Kaluna hanya diam, menikmati hembusan angin pagi yang menerpa wajahnya. Meski hatinya masih terasa kosong, setidaknya keberadaan Mbok Sri membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
"Yang sabar, ya, Neng. Mbok ngerti gimana rasanya kehilangan anak satu-satunya," ujar Mbok Sri dengan suara lembut, penuh iba. "Anak kehilangan orang tua itu ibarat kehilangan masa lalu, tapi orang tua kehilangan anak, itu ibarat kehilangan masa depan."
Kaluna terdiam. Kata-kata Mbok Sri menusuk hatinya dengan begitu dalam. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata.
"Aku masih belum bisa percaya, Mbok," gumamnya lirih. "Rasanya masih kayak mimpi. Baru seminggu yang lalu, Nara ada di sini, tapi sekarang dia udah pergi."
Mbok Sri menepuk lembut punggung Kaluna. "Nggak apa-apa, Neng. Nangis aja kalau memang masih berat. Kadang, manusia itu butuh waktu buat ikhlas."
Kaluna menutup wajahnya dengan kedua tangan, isakannya semakin terdengar jelas. Sementara itu, Mbok Sri hanya tersenyum lembut, tangannya tetap mengusap punggung Kaluna dengan penuh kasih sayang.
"Tuhan kasih cobaan ke hamba-Nya sesuai dengan kemampuannya masing-masing," ujar Mbok Sri dengan suara hangat. "Mbok doain Neng selalu kuat. Insyaallah, nanti Tuhan kasih gantinya. Semoga Neng diberi keturunan yang sehat suatu saat."
Kaluna masih terisak, dadanya naik turun menahan sesak. Beberapa saat kemudian, tangisannya mulai mereda. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan, lalu tanpa ragu memeluk tubuh Mbok Sri erat.
"Makasih ya, Mbok... Aku kayak punya Ibu lagi," ucapnya lirih.
Mbok Sri tersenyum lembut. Tangannya yang hangat terulur, mengusap kepala Kaluna dengan penuh kasih sayang.
"Sama-sama, Neng. Kalau Neng Luna kangen pelukan Ibu, peluk Mbok aja. Anggap Mbok ini Ibu Neng sendiri," ujar Mbok Sri tulus.
Kaluna mengangguk pelan, matanya kembali terasa panas. Bertahun-tahun hidup tanpa pelukan seorang ibu, akhirnya hari ini ia bisa merasakan hangatnya kasih sayang yang selama ini dirindukannya. Walau bukan dari ibu kandungnya, pelukan Mbok Sri tetap terasa begitu menenangkan.
"Mbok barusan masak sup iga. Neng mau makan lagi nggak?" tawar Mbok Sri.
Kaluna menggeleng pelan. "Nanti aja, Mbok," jawabnya lirih.
Kaluna masih duduk diam di belakang rumah, menikmati angin sepoi-sepoi yang sedikit menenangkan hatinya. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.
Seorang pembantu tiba-tiba muncul dari dalam rumah, wajahnya terlihat sedikit tegang. "Mbok Sri," panggilnya pelan.
Mbok Sri menoleh. "Kenapa?"
Pembantu itu menelan ludah sebelum menjawab, "Ada Nyonya Diana di depan."
Sejenak, raut wajah Mbok Sri berubah. Ia buru-buru berdiri, berniat melangkah ke dalam rumah. Namun sebelum sempat bergerak, seorang wanita paruh baya dengan penampilan anggun dan elegan sudah lebih dulu muncul dari arah pintu belakang.
Langkahnya mantap, penuh wibawa, tetapi ekspresinya dingin dan tajam. Matanya menyapu seluruh area belakang rumah sebelum akhirnya berhenti di depan Mbok Sri dan Kaluna.
"Mbok Sri," sapa Diana dengan nada datar, tetapi jelas terdengar ketus.
Mbok Sri tersenyum kecil, sedikit membungkukkan badan sebagai bentuk hormat. "Nyonya," sapanya sopan.
"Di mana cucu saya?" tanya Diana dengan nada dingin.
"Tuan Muda masih mandi, Nyonya," jawab Mbok Sri dengan sopan.
Tatapan Diana beralih pada Kaluna yang masih berdiri di samping Mbok Sri. Matanya menyipit, meneliti Kaluna dari ujung kepala hingga kaki, seolah-olah menilai apakah wanita itu pantas berdiri di hadapannya.
"Ini siapa?" tanyanya, nada suaranya terdengar tidak senang.
"Ini Ibu susu Tuan muda, Nyonya," jawab Mbok Sri.
Diana mendengus pelan, ekspresi wajahnya seketika berubah menjadi kesal. "Kok Liam nggak bilang apa-apa ke saya? Kurang ajar memang anak itu. Sembarangan saja memilih ibu susu tanpa persetujuan mamanya," gerutunya sambil berbalik dan melangkah cepat meninggalkan gazebo dengan penuh emosi.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
