Ibu Susu Anak Hot Duda (DUA PULUH LIMA - DUA PULUH ENAM - DUA PULUH TUJUH)

0
0
Deskripsi

"50 juta perbulan kalau kamu mau menjadi Ibu susu untuk anak saya."

Mata Kaluna membulat lebar. Sebagai Mahasiswa semester akhir yang membutuhkan banyak uang, Kaluna tentu saja tergiur. Lagipula, ini bukanlah hal yang sulit baginya, ia masih bisa menghasilkan ASI setelah melahirkan anak di luar nikah yang kini ia titipkan di panti asuhan.

Niat awal hanya ingin menjadi Ibu susu bagi anak Liam, namun justru terperangkap dalam kehidupan duda tampan yang sangat menggoda itu.
 

Dua puluh lima

Liam tertawa sinis, merasa pertanyaan itu terlalu konyol untuk ditanggapi.

"Pertanyaan yang nggak penting untuk dijawab," ucapnya dingin.

"Demi kebaikan Kenzo, Liam. Sebaik-baiknya perempuan itu, tetap nggak bisa menggantikan posisi Delia sebagai ibu kandungnya," balas Diana.

Liam tersenyum miring, menatap ibunya dengan tatapan tajam. "Serius, Mama ngomong kayak gini? Setelah semua yang dia lakuin selama ini?" tanyanya dengan nada mengejek. "Dia bukan cuma gagal jadi istri, tapi juga gagal jadi orang tua. Dia bahkan nggak pantas dipanggil 'ibu'. Hidupnya bukan buat Kenzo, tapi buat pacarnya dan buat dirinya sendiri."

Diana menghela napas. "Setidaknya—"

"Setidaknya apa?" potong Liam dengan cepat. "Mama mau bilang kalau setidaknya dia lebih baik dari Kaluna?"

Diana terdiam, tidak menjawab, tapi juga tidak menyangkal.

Liam berdecak kesal. "Kenapa sih, Ma? Kenapa Mama selalu tutup mata sama semua keburukan dia?  Ini anak Mama sendiri loh yang dikhianatin, kenapa kesannya Mama malah bela dia?" suaranya naik, mencerminkan kemarahan yang selama ini ia pendam.

"Bukan gitu, Liam. Mama cuma—"

"Cuma apa?" potong Liam lagi, nadanya semakin dingin. "Cuma mau mencari pembenaran buat Delia? Cuma mau meyakinkan diri sendiri kalau pilihan Mama dulu nggak salah?"

Liam geleng-geleng kepala. "Dari dulu sifat Mama nggak pernah berubah. Mama selalu memandang sebelah mata orang-orang yang ekonominya di bawah kita. Udah cukup sekali aja aku jadi korban keegoisan Mama dan Papa. Ke depannya, aku bakal cari pasangan bukan karena hartanya, tapi karena ketulusannya."

Ya, alasan Liam dijodohkan dengan Delia tidak lain dan tidak bukan adalah karena harta. Mereka berasal dari kalangan atas, sehingga orang tua mereka sangat mengharapkan pernikahan itu demi mempertahankan status dan kekayaan keluarga. Namun, rencana mereka tidak berjalan mulus.

Setelah menikah, Delia justru berselingkuh dengan mantan kekasihnya, sementara Liam, meski telah terikat pernikahan, diam-diam masih mencari cara untuk mendapatkan wanita yang benar-benar dicintainya—Kaluna Pranatha.

"Kebaikan seseorang itu nggak bisa diukur dari harta," ujar Liam tegas, tatapannya menusuk ke arah ibunya. "Delia memang punya segalanya. Dia punya harta dan tahta. Tapi sayangnya, dia nggak punya hati dan akal sehat. Sedangkan Kaluna? Dia memang nggak punya kekayaan dan status sosial yang tinggi, tapi dia punya hati yang tulus dan kebaikan yang luar biasa, terlepas dari masa lalunya yang kelam."

Diana mendengus pelan. "Mama nggak setuju kalau kamu sama Kaluna," ucapnya tegas.

Liam tertawa sinis. "Aku nggak butuh persetujuan Mama. Aku bakal lakuin apa yang aku mau. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diatur-atur," balasnya tajam. "Dan satu lagi, kalau dulu Mama nggak maksa aku nikah sama Delia, mungkin sekarang aku udah hidup bahagia sama Kaluna."

Tanpa menunggu respons, Liam segera berbalik dan melangkah keluar dari kamar.

Diana tertegun, seolah sesuatu dalam pikirannya tersentak. "Liam, jangan bilang—"

Telat. Liam sudah keluar. Tak ingin kehilangan momentum, Diana buru-buru mengejarnya.

"Liam! Kamu jangan melawan orang tua!" serunya lantang, berusaha menyamai langkah putranya yang menuruni tangga dengan cepat. "Kalau kamu masih nekat menjalin hubungan sama wanita miskin itu, Mama sama Papa nggak akan ragu buat menendang kamu dari perusahaan!"

Liam menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu, lalu berbalik menatap ibunya dengan senyum miring yang menghiasi di wajahnya.

"Silakan," ucapnya singkat. "Lihat aja siapa yang bakal menyesal nanti."

Tanpa berkata lebih banyak, Liam melangkah keluar, meninggalkan Diana yang masih berdiri di tangga dengan ekspresi geram.

*****

Begitu sampai di rumahnya, Liam langsung membawa Kenzo menuju taman belakang rumah setelah Mbok Sri memberitahu jika Kaluna ada di belakang.

Ia menghela napas panjang, sebelum akhirnya berjalan mendekati Kaluna yang duduk di tepi kolam.

"Mama Luna..." panggil Liam, menirukan suara anak kecil sambil menggoyang-goyangkan tubuh Kenzo.

Kaluna yang terkejut langsung menoleh ke belakang. Begitu melihat ada Kenzo di sana, matanya langsung berbinar. Ia pun buru-buru bangkit dari duduknya dan mengambil alih Kenzo dari gendongan Liam.

"Tante kangen banget sama kamu, ih," ujar Kaluna sambil menciumi pipi Kenzo.

"Panggil Mama aja kali," celetuk Liam sambil duduk di kursi berjemur.

"Ma.. Ma.. Ma.." celoteh Kenzo sambil meraba wajah Kaluna dengan tangan mungilnya.

"Tuh kan, Kenzo aja maunya manggil Mama," sahut Liam.

Kaluna hanya tersenyum tipis. Ia kemudian duduk di kursi di samping Liam, dan membenahi posisi Kenzo di pangkuannya.

"Kok boleh dibawa pulang?" tanya Kaluna.

"Emang siapa yang bisa ngelarang bapak buat bawa anaknya sendiri?" balas Liam santai, sembari menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatap langit sore.

Kaluna menghela napas ketika Kenzo terus meraba-raba dadanya, mencari sumber kenyamanan yang selama ini ia kenal. Bayi itu mulai gelisah, bibir mungilnya bergerak seolah mencari sesuatu.

Liam melirik sekilas, lalu tersenyum tipis. "Haus dia," ucapnya.

Kaluna hanya mengangguk. Tanpa banyak bicara, ia mulai membuka kancing bajunya perlahan, memberikan ruang bagi Kenzo untuk menyusu. Begitu menemukan yang dicarinya, bayi itu langsung menyedot dengan rakus, sementara tangannya masih menggenggam pakaian Kaluna erat.

"Rakus banget, Nak," ucap Liam sambil tertawa kecil.

"Sama kayak bapaknya," celetuk Luna.

Liam tersenyum penuh arti. Jiwa liarnya tiba-tiba muncul begitu melihat anaknya menyusu. Namun karena tidak mau mengganggu, ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan mandi terlebih dahulu.

Kaluna tetap duduk di sana, menikmati semilir angin sore yang menenangkan sambil memperhatikan wajah tampan Kenzo yang menyusu dengan tenang di pelukannya.

Tak lama kemudian, Mbok Sri datang dengan langkah tenang sambil membawa satu piring singkong goreng yang masih hangat.

"Ini, Nduk. Makan dulu," ujar Mbok Sri sambil menyodorkan piring itu pada Kaluna.

Kaluna tersenyum kecil, menerima piring tersebut dengan tangan satu, sementara tangan lainnya tetap menopang Kenzo yang masih menyusu. "Makasih, Mbok," ucapnya lembut. Mbok Sri mengamati Kenzo sambil tersenyum lembut. "Dia benar-benar nyaman sama kamu, Nduk," ucapnya.

"Alhamdulillah, Mbok. Nggak pernah rewel sejak pertama kali bertemu," balas Kaluna dengan senyum tipis, matanya masih menatap Kenzo yang perlahan mulai mengantuk.

Namun, ketenangan sore itu terusik oleh suara ribut dari dalam rumah. Kaluna mengernyit, menoleh ke arah sumber suara. "Itu suara apa, Mbok?" tanyanya pelan.

Mbok Sri menghela napas berat. "Adik Mas Liam datang," jawabnya.

"Adiknya?" Kaluna mengulang dengan kening berkerut. Ia kira Liam tidak punya adik.

"Iya, Nduk. Namanya Alex. Kamu harus hati-hati sama dia," ujar Mbok Sri memperingatkan.

"Kenapa, Mbok?"

Mbok Sri menatapnya serius. "Dia itu resek, suka bikin onar. Sering mabok-mabokan, main perempuan, dan uangnya dihambur-hamburin buat hal nggak jelas," ungkapnya lirih.

"Pokoknya, jangan sampai kamu terlibat urusan sama dia. Mas Liam pasti nggak suka kalau kamu dekat-dekat sama dia."

 

Dua puluh enam

Kaluna masih duduk di dekat kolam, menikmati angin sore sambil menyusui Kenzo. Suasana yang tadinya tenang mendadak terusik ketika seorang pria berperawakan tinggi dengan wajah yang sangat mirip dengan Liam muncul dari pintu belakang.

"Eits... ada cewek cantik, nih," goda pria itu dengan senyum jahil.

Kaluna tersentak, refleks menarik kardiganya untuk menutupi sebagian dadanya yang terlihat. Jantungnya berdegup lebih cepat, bukan hanya karena malu, tapi juga karena rasa waspada yang muncul begitu saja.

"Siapa kamu?" tanya pria itu sambil duduk di kursi samping Kaluna.

Kaluna menelan ludah, berusaha tetap tenang. "S-saya ibu susu Kenzo," jawabnya gugup.

Pria itu tertawa kecil, seolah menikmati kepanikan Kaluna. Tatapannya tak lepas dari dirinya, terutama ke arah dada yang masih samar terlihat di balik selendang, membuat bulu kuduk Kaluna berdiri. Ada sesuatu dalam caranya menatap yang terasa mengganggu.

Kaluna merasa tidak nyaman. Tatapan pria itu membuatnya ingin segera pergi dari sana. Dengan hati-hati, ia merapikan selendangnya, lalu bangkit dari kursi, berniat masuk ke dalam rumah.

Namun, sebelum ia sempat melangkah, pria itu tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya. Cengkeramannya cukup kuat, membuat Kaluna terkejut.

"Udah mau pergi aja?" ujarnya dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. "Kita kan belum kenalan lebih jauh."

"Lepasin," desis Kaluna dengan tatapan tajam.

Pria itu malah terkekeh, seolah tidak terganggu dengan perlawanan Kaluna. "Santai aja, aku cuma mau ngobrol. Sebagai Om Kenzo, aku juga berhak mengenal kamu dengan baik, kan?" ujarnya sambil mengeratkan cengkeramannya.

Kaluna kembali mencoba menarik tangannya, tapi sia-sia. Ia mulai panik, matanya mencari-cari seseorang yang bisa membantunya. Namun sebelum ia sempat berteriak, suara langkah kaki terdengar mendekat dengan cepat.

"Lepasin." Suara dingin Liam terdengar, disertai dengan tatapan yang begitu tajam.

Pria itu tersenyum miring. Namun tak kunjung melepaskan tangannya. Ia justru melempar tatapan yang terkesan menentang.

Liam menggeram kesal.Tanpa banyak bicara, ia langsung mengayunkan tinjunya ke wajah pria itu.

Bughh!

Satu pukulan keras mendarat telak di rahangnya, membuat pria itu terhuyung ke belakang. Tapi Liam tidak berhenti di situ. Ia kembali mencengkeram kerah baju pria itu, menatapnya dengan mata yang berkilat marah.

"Berani-beraninya lo nyentuh dia," geram Liam sebelum mendorong pria itu dengan sekuat tenaga.

Byurrr!

Tubuh pria itu jatuh ke kolam dengan suara keras, menciptakan riak air yang cukup besar. Kaluna terkejut, sementara Liam masih berdiri tegap, menatapnya dengan ekspresi dingin dan rahang yang mengatup kuat.

Pria yang jatuh ke dalam kolam tersedak dan mengumpat kasar. "Gila lo, Liam!" teriaknya sambil berenang ke tepi.

Liam tidak peduli. Ia merangkul Kaluna dengan protektif, memastikan wanita itu baik-baik saja.

"Sekali lagi lo berani ganggu cewek gue, gue bikin patah kaki lo," ancam Liam, suaranya dingin dan tajam.

Pria itu yang baru saja berhasil naik ke tepi kolam, mengibaskan rambutnya yang basah sambil mendengus kesal. "Mana gue tahu kalau dia cewek lo," balasnya.

"Pulang sekarang! Jangan bikin rusuh di rumah gue," usir Liam tegas, matanya menatap tajam penuh peringatan.

Pria itu berdecak kesal, tapi ia tetap melangkah pergi. Namun, saat melewati Kaluna, ia tiba-tiba berhenti dan mendekat. Dengan suara rendah, ia berbisik di telinga Kaluna, membuat wanita itu refleks mundur dengan wajah tegang.

"Nama gue Alex. Hubungi gue kalau butuh bantuan. Cowok lo bukan manusia soalnya, dia iblis yang kebetulan dikasih nyawa," ucapnya menakut-nakuti.

Bugh!

Belum sempat Alex melangkah lebih jauh, Liam sudah menendang pantatnya dengan keras, membuat pria itu tersungkur ke depan dengan gerakan yang tidak elegan.

"ARGH! SIALAN! SAUDARA MACAM APA LO?!" pekiknya kesal sambil berusaha bangkit.

Liam tidak menjawab. Dengan gerakan cepat, ia meraih tangan Kaluna dan menariknya masuk ke dalam rumah tanpa memberi Alex kesempatan untuk bicara lagi.

"Fuck kata gue, teh. Niat ke sini mau minta duit, malah dapet pukulan combo," gerutu Alex sambil menepuk-nepuk celananya yang kotor.

*****

Malam itu, angin berembus sejuk di balkon lantai dua rumah Liam. Kaluna duduk di atas sofa panjang, memangku Kenzo yang sibuk menggigiti biskuit di tangannya. Sementara itu, Liam duduk di sampingnya dengan kaki terjulur santai, sambil menyesap kopi hitam yang masih mengepul.

"Adikmu itu emang agak-agak, ya?" tanya Kaluna sambil mengambil satu cireng dari piring dan menggigitnya pelan.

"Bukan agak-agak lagi, tapi emang gila," jawab Liam santai.

Kaluna terkekeh kecil, sementara Liam hanya menggeleng, mengingat kelakuan Alex yang selalu bikin masalah.

"Dia itu aib keluarga. Dari kecil, kerjaannya cuma bikin onar," ujar Liam.

"Oh, ya?" Kaluna menaikkan alisnya, penasaran.

Liam mengangguk. "Mama sama Papa udah capek banget sama dia. Dulu bahkan hampir dikirim ke rumah Kakek di Belanda gara-gara ketahuan balapan liar waktu masih umur lima belas."

Kaluna membelalakkan mata. "Serius? Lima belas tahun udah balapan liar?"

Liam mendengus. "Iya. Itu baru satu dari sekian banyak kelakuan gila dia. Belum lagi kebiasaannya mabuk-mabukan, berantem di klub, terus ngutang sana-sini buat judi."

Kaluna menghela napas. "Emang beban banget sih, kalau punya anak kayak gitu."

Kaluna melirik Kenzo yang mulai menguap kecil sambil mengusap matanya. Bocah itu terlihat mengantuk, sesekali kepalanya terangguk-angguk.

"Kenzo udah ngantuk. Aku bawa ke kamar dulu, ya," ujar Kaluna lembut.

Liam mengangguk. "Iya, tidurin dulu sana."

Kaluna menggendong Kenzo dengan hati-hati, membawanya masuk ke dalam rumah menuju kamar.

Setelah membaringkan Kenzo di atas kasur, ia ikut berbaring di sampingnya dan mulai mengeluarkan payudaranya untuk menyusui bayi tampan itu.

"Minum yang banyak, ya. Biar cepet gede," ucapnya sambil membelai kepala Kenzo dengan lembut.

Setelah memastikan bocah itu nyaman di tempat tidurnya, Kaluna menarik selimut hingga menutupi tubuh mungilnya. Ia tersenyum tipis, menikmati momen hangat itu sebelum akhirnya bangun dengan hati-hati agar tidak membangunkan Kenzo.

Namun, sebelum ia sempat berdiri, sebuah lengan kuat melingkar di pinggangnya dari belakang. Kaluna tersentak sedikit, ia menoleh dan mendapati Liam yang kini sudah berbaring di sampingnya dengan senyum manis.

"Tidur aja. Aku udah ngantuk," ujar Liam pelan, suaranya terdengar dalam dan hangat. Ia menarik pinggang Kaluna dengan lembut, membawanya kembali ke posisi semula.

Jantung Kaluna berdebar kencang saat Liam mendekapnya erat. Ada perasaan aneh yang kembali menyelinap di hatinya. Entah kenapa, ia merasa begitu nyaman dipelukan Liam.

"Good Night. Have a Nice Dream," bisik Liam lembut, sebelum mengecup kening Kaluna dengan penuh kasih.

Pipi Kaluna langsung merona, dan tanpa sadar, senyum kecil terukir di bibirnya.

 

Dua puluh tujuh

Tak terasa, sudah lima bulan Kaluna menjalani perannya sebagai ibu susu Kenzo sekaligus kekasih semu bagi Liam. Berbagai badai telah ia lewati, mulai dari kehilangan anak pertamanya, penolakan Diana, hingga kegilaan ayahnya yang masih terus berusaha menjualnya kepada preman.

"Aku berangkat ke kantor dulu. Nanti kalau mau belanja ke supermarket, telfon aku aja. Jangan pergi sendiri," ujar Liam sambil merapikan dasinya.

Kaluna hanya mengangguk sambil fokus memakaikan baju untuk Kenzo yang baru saja selesai mandi.

"Uangnya masih ada?" tanya Liam.

"Masih. Jangan ditransfer lagi. Nanti aku bingung gimana cara ngabisinnya," sahut Kaluna cepat. Ia khawatir Liam akan kembali mengiriminya uang.

Sejak tinggal bersama, Liam selalu memenuhi semua kebutuhannya, mulai dari makanan, pakaian, hingga hal-hal kecil lainnya. Bahkan setiap kali Kaluna ingin berbelanja, Liam selalu memberinya uang dan melarangnya memakai uang gajinya sendiri.

"Nggak papa. Simpan aja. Nanti aku transfer lima juta lagi," ujar Liam santai sambil berjalan keluar kamar dan menenteng tas kerjanya.

"KEBANYAKAN, PAK LIAM!" seru Kaluna keras, namun Liam hanya melambaikan tangan tanpa menoleh.

Kaluna mendengus kesal. "Emang orang kaya hobinya kayak gitu semua, ya? Suka buang-buang uang?" gerutunya sambil menghela napas.

Ia menggeleng pelan, masih tak menyangka ada di posisi seperti sekarang. Saking banyaknya uang, sampai bingung cara menghabiskannya.

Sebelum bertemu Liam, uang adalah musuh besarnya. Jangankan menabung hingga ratusan juta seperti sekarang, untuk menyisihkan sepuluh ribu saja rasanya mustahil. Uangnya selalu habis untuk makan dan bertahan hidup.

"Mama... Mama..." panggil Kenzo dengan suara manisnya.

"Iya, Sayang. Pakai skincare dulu, ya," ujar Kaluna lembut sambil mengoleskan baby lotion ke kulit halus Kenzo.

Kenzo mengangguk kecil. "Ya," ucapnya singkat dengan suara yang begitu menggemaskan, membuat Kaluna tersenyum gemas.

Setelah selesai mendandani Kenzo, Kaluna menggendongnya dan turun ke bawah. Ia menyerahkan si kecil pada Sus Tina yang sudah menunggu di ruang tengah.

"Sama Sus Tina dulu, ya. Mama mau masak buat Kenzo," ujar Kaluna.

Kenzo mengangguk singkat. "Ya," ucapnya.

Saat ini, ia sudah mulai terbiasa dengan panggilan Mama. Awalnya terasa canggung, tetapi seiring waktu, ia akhirnya menerima dan menyesuaikan diri. Lagipula, Kenzo memang seperti anaknya sendiri. Meskipun tidak terikat oleh darah, ada bagian dari dirinya yang mengalir dalam tubuh Kenzo melalui air susunya.

Kaluna segera menuju dapur untuk memasak MPASI. Tangannya mulai cekatan menyiapkan bahan-bahan, memotong sayuran, dan memasak dengan penuh kasih sayang. Hari ini, ia berencana membuat bubur ayam wortel yang lembut dan bergizi untuk Kenzo.

*****

Liam melangkah masuk ke dalam kantornya dengan langkah tegas, auranya memancarkan kewibawaan yang tak terbantahkan. Semua karyawan yang berpapasan dengannya segera menunduk hormat, tak ingin mengganggu fokus atasannya yang terkenal dengan kedisiplinan tinggi.

Begitu tiba di ruangannya, Liam mendapati Niko sudah duduk santai di atas sofa, sibuk bermain game di ponselnya.

Pluk!

Sebuah bungkus permen melayang dan mendarat tepat di dada Niko, membuatnya tersentak kaget.

"Astaga! Kaget, buset!" protes Niko sambil buru-buru menurunkan ponselnya.

"Main mulu. Nih, kerjaan numpuk," tegur Liam tegurnya sambil menjatuhkan diri ke kursi kerja.

Niko mendengus dan mencebikkan bibirnya. Kemudian ia bangkit dan berjalan menghampiri meja Liam.

"Buka," perintah Liam sambil menyodorkan iPadnya. 

Niko menerima iPadnya dan segera membukanya. "Apa? Kerjaan tambahan?" tanyanya.

"Cariin tiket pesawat sama hotel terbaik di Islandia," jawab Liam tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.

Niko mengernyit. "Mau ngapain?" tanyanya.

"Liburan," jawabnya singkat.

"Sama gue?"

Seketika, Liam langsung menatap Niko dengan ekspresi sinis. "Najis," ucapnya ketus.

Niko mendengus pelan. "Terus sama siapa? Kaluna?"

Liam hanya mengangguk singkat, lalu kembali fokus ke pekerjaannya.

"Lah, beneran?" Niko memastikan sekali lagi, masih tak percaya.

"Nikahin dulu, Bro, baru ajak liburan ke luar negeri. Nanti anak orang lo hamilin lagi," celetuk

Niko sambil menggeser layar iPad untuk mencari penerbangan terbaik. Namun, Liam tidak menghiraukannya.

"Bisnis atau first class?" tanya Niko.

"First class," jawab Liam tanpa pikir panjang.

"Hotelnya yang bintang berapa? Empat atau lima?" tanya Niko lagi.

"Lima, lah," jawab Liam tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.

"Permalam sepuluh juta. Mau?"

Liam akhirnya menoleh. "Fasilitasnya apa aja?" tanyanya.

Niko menggulir layar iPad dan menunjukkan gambar hotel yang dimaksud. "Ada kulkas, minibar, kamar luas, interior mewah, plus view yang bagus banget," jelasnya.

"Ada kulkas, minibar, kamar luas, interior mewah, plus view yang bagus banget," jelasnya

Liam mengangguk sekali. "Yaudah, pesan yang itu aja."

"Dua kamar berarti dua puluh juta, ya?" Niko memastikan.

"Siapa yang bilang pesan dua kamar?"

Niko mengernyit bingung. "Terus?"

"Pesan satu kamar," kata Liam dengan nada datar namun tegas.

"Lah, nggak papa nih? Kan kalian belum suami istri," ujar Niko ragu.

Liam berdecak kesal. "Kebanyakan omong. Cepat pesan sekarang!" perintahnya.

Takut dimarahi, Niko segera menyelesaikan pemesanan dan langsung melakukan pembayaran. Setelah itu, ia meletakkan iPad kembali di atas meja dengan santai.

"Jangan lupa bawa k*ndom yang banyak," celetuknya tiba-tiba.

Liam menatapnya sinis. "Nggak usah ngajarin orang yang udah pengalaman," balasnya ketus.

Niko terkekeh. "Gue nggak diajak, nih?" tanyanya.

"Asal mau cebokin Kenzo selama di sana, gue pesenin tiket sekarang," sahut Liam santai.

Niko mendengus kesal. "Nggak usah. Makasih," ujarnya ketus sambil beranjak menjauh.

Namun, sebelum ia benar-benar pergi, Liam kembali bersuara. "Oh iya, lo tahu toko bunga yang paling bagus di daerah sini?"

"Cewek gue punya toko bunga," jawab Niko.

Liam mengangguk. "Pesenin buket mawar yang besar. Kalau bisa, mawarnya diimpor langsung dari Bulgaria," pintanya.

Niko mengangkat alis. "Mahal, Bro. Sekitar delapan juta. Mau emang?"

Liam berdecak kesal. "Jangan ngomongin soal harga di depan gue. Uang delapan juta nggak bakal bikin gue miskin. Diri lo aja bisa gue beli, apalagi cuma mawar Bulgaria."

Niko mencebik, kesal tapi tak bisa membantah. Mau protes pun percuma, yang disombongkan Liam memang kenyataan. Dengan harta yang dimilikinya sekarang, Liam bahkan bisa membeli satu pulau kalau mau.

"Buat apa sih, emang?" tanya Niko lagi.

"Buat Kaluna. Besok siang dia sidang skripsi," jawab Liam.

Niko mengangguk-angguk paham. "Jangan dikasih bunga. Mubazir. Kasih ini aja, nih. Dia pasti seneng," ujarnya sambil menunjukkan gambar di ponselnya pada Liam.

Liam melirik sekilas. "Sialan!" umpatnya begitu melihat gambar lingerie seksi di layar.

Niko tertawa terbahak-bahak. Puas mengerjai bosnya.

Namun, tawanya mendadak terhenti saat Liam menatapnya sambil tersenyum menyeringai.

"Boleh, deh. Beliin satu, biar dipakai di Islandia nanti," celetuk Liam, membuat Niko semakin tertawa terbahak-bahak.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ibu Susu Anak Hot Duda (DUA PULUH DELAPAN- DUA PULUH SEMBILAN- TIGA PULUH)
0
0
50 juta perbulan kalau kamu mau menjadi Ibu susu untuk anak saya.Mata Kaluna membulat lebar. Sebagai Mahasiswa semester akhir yang membutuhkan banyak uang, Kaluna tentu saja tergiur. Lagipula, ini bukanlah hal yang sulit baginya, ia masih bisa menghasilkan ASI setelah melahirkan anak di luar nikah yang kini ia titipkan di panti asuhan.Niat awal hanya ingin menjadi Ibu susu bagi anak Liam, namun justru terperangkap dalam kehidupan duda tampan yang sangat menggoda itu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan