Dosenku Mantan Suamiku (Prolog + Bab 1)

3
0
Deskripsi

Pernah diminta menjadi istri kedua oleh pria tampan dan kaya raya, Luna justru berakhir diceraikan dalam keadaan hamil akibat difitnah oleh istri pertama.

Lima tahun berlalu, takdir kembali mempertemukan mereka di kampus yang sama. Ardan, yang dulunya seorang pengusaha besar, kini beralih menjadi Dosen di tempat Luna belajar.

“Setelah lima tahun, saya pikir kamu sudah hancur, ternyata masih belum. Entah apa alasannya, Tuhan masih memberi nyawa ke tubuh pengkhianat.”— Ardan Willy Kusuma.

"Aku curiga...

Prolog

*Flashback lima tahun yang lalu

Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka.

Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius.  

"Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. 

Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. 

"Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius.

Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. 

Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah. 

Di dalam rumah, Ibu Panti sudah duduk di kursinya dengan wajah yang tampak tenang, meskipun matanya menyiratkan kekhawatiran. Pasangan suami istri itu duduk di sofa, tepat di depan Luna, menatapnya dengan penuh perhatian dan harap. 

"Kami datang ke sini untuk memberikan tawaran kepadamu, Luna." Tuan Kusuma mulai membuka percakapan, sementara Nyonya Kusuma masih terdiam. 

"Aku mau di adopsi?" tanya Luna dengan wajah tak suka pada Ibu pantinya. 

"Dengerin dulu, Nak," sahut Ibu pantinya dengan lembut.

Luna menghela napas. Kemudian kembali menatap pasangan itu dengan wajah tak nyaman.

"Perkenalkan, saya Ardan, dan ini istri saya, Wulan." Pria itu kembali berbicara, sementara sang istri di sampingnya hanya diam, matanya tetap memandang Luna dengan penuh perhatian.

"Kami ingin menawarkan sesuatu kepadamu, Luna." Kali ini Nyonya Kusuma yang angkat bicara. "Kami sudah tujuh tahun menikah, tetapi kami belum dikaruniai anak." 

Luna mendengarnya dengan wajah masam, pikirannya langsung mengarah pada kemungkinan bahwa pasangan ini datang untuk mengadopsinya.

"Aku nggak mau diadopsi. Aku sudah besar, aku masih nyaman tinggal di sini," ujar Luna dengan tegas

"Kami bukan bermaksud mengadopsi kamu, Luna," sahut Nyonya Kusuma.

"Terus?" tanya Luna dengan tatapan sinis. 

"Saya ingin menawarkan kamu untuk menjadi istri kedua suami saya dan melahirkan seorang anak untuk keluarga kami," lanjut Nyonya Kusuma. “Kami akan memberi imbalan satu milyar rupiah dan merenovasi seluruh bangunan panti ini. Setelah anak itu lahir, kamu bisa bercerai dari suami saya tanpa membawa anak itu, dan kamu bisa melanjutkan hidupmu seperti biasa.”

Luna terkejut. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar. Ia menatap pasangan suami istri itu dengan tatapan tak percaya.

"Kami juga akan menjadi donatur tetap di panti ini jika kamu menerima tawarannya," tambah Tuan Kusuma dengan suara penuh harap.

Tanpa ragu sedikitpun, Luna langsung menjawab dengan lantang. "ENGGAK!" 

Tuan Kusuma dan Nyonya Kusuma saling bertukar pandang, lalu menghela napas. Kemudian Tuan Kusuma kembali angkat bicara dengan nada yang lebih serius, "Pikirkan baik-baik, Luna. Kalau kamu merasa ini sangat berat, setidaknya pikirkan Ibu Panti dan adik-adikmu. Dengan uang sebanyak itu, kamu nggak akan hidup susah lagi. Adik-adikmu juga pasti terpenuhi kebutuhannya. Mereka nggak akan lagi tidur di kamar yang bocor, nggak akan kekurangan makanan, dan nggak lagi kekurangan uang jajan." 

Luna terdiam. Di satu sisi, tawaran itu bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi panti asuhan dan keluarganya. Namun di sisi lain, tawaran itu sangat melukai harga dirinya. 

Ia cantik, muda dan berprestasi. Banyak pria lajang yang menyukainya. Bagaimana mungkin ia harus menyerahkan hidupnya kepada pria tua yang sudah beristri? Meskipun pria itu terlihat masih gagah dan tampan, Luna tetap tidak bisa menerimanya.

"Luna..." Ibu Panti hendak berbicara, namun Luna langsung menyahut dengan cepat. "Nggak mau, Bu. Aku masih kecil. Aku aja kayak anaknya mereka." Mata Luna mulai berkaca-kaca, menahan tangis yang ingin pecah.

"Ibu banyak hutang, Nak. Ibu juga sudah nggak punya uang lagi buat biayain adik-adik kamu. Ibu cuma bisa sekolahin kamu sama Andaru aja. Ibu sudah nggak sanggup lagi, karena buat makan saja Ibu harus hutang ke mana-mana," ucap Ibu Panti dengan mata yang berkaca-kaca. Luna tak tega melihatnya. Mengingat betapa seringnya ibunya sakit-sakitan, Luna semakin bimbang dengan tawaran itu.

Luna bukan anak yang kurang ajar. Ia tahu caranya berbalas budi. Selama ini ia juga selalu membantu ibunya mencari uang dengan berjualan. Namun itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. 

Sekarang, keadaan ekonomi mereka semakin memburuk. Tak ada satupun donatur yang mau berdonasi ke panti ini karena uang yang disumbangkan sering kali diselewengkan oleh bendahara panti yang kini sudah kabur entah ke mana. 

Satu-satunya cara untuk menyelamatkan kehidupan mereka adalah dengan menerima tawaran itu. Luna tak ingin ibunya semakin sakit, dan ia juga tak mau adik-adiknya putus sekolah atau sampai kekurangan makanan setiap harinya. 

Mereka tumbuh bersama di sini. Meskipun tak sedarah, Luna sangat menyayangi mereka.

"Bagaimana?" tanya Nyonya Kusuma. 

"Kenapa kalian nggak mencoba bayi tabung aja?" Luna balik bertanya, mencoba untuk mencari kejelasan. 

Nyonya Kusuma tersenyum tipis, senyum yang penuh keputusasaan. "Kami sudah pernah mencobanya, Luna, tapi gagal. Kami sudah nggak punya harapan untuk memiliki anak lagi, karena rahim saya sudah diangkat." 

Luna menatap Nyonya Kusuma dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ia merasa terjebak dalam keputusan yang begitu sulit.

"Aku... aku akan coba bantu," kata Luna akhirnya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Tapi hanya sekali, hanya untuk anak itu. Setelah itu, aku ingin hidupku kembali seperti semula.”

Tuan Kusuma dan Nyonya Kusuma saling berpandangan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Namun, mereka hanya mengangguk penuh rasa terima kasih.

Luna menunduk, matanya basah, tetapi ia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk membantu adik-adiknya dan Ibu panti yang telah merawatnya selama ini. Dengan perasaan berat, ia menerima tawaran itu, meskipun hatinya masih belum ikhlas.  

*****  

Selama lima bulan pertama pernikahan, Luna masih sering menangis. Ia belum bisa menerima nasibnya yang dinikahi oleh pria yang sudah beristri dan usianya 15 tahun lebih tua darinya. Luna benar-benar merasa tertekan. Meski Ardan selalu baik dan perhatian padanya, ia tidak merasa nyaman menjadi istrinya karena Wulan mulai menampakkan sifat aslinya. 

Jika Ardan ada di dekat mereka, Wulan selalu bersikap manis dan perhatian. Namun, jika Ardan tidak ada, Wulan tidak segan-segan memarahinya, bahkan menyiksanya dengan sesuka hati. Ia selalu diperintah layaknya pembantu, padahal posisinya kini sudah mengandung anak Ardan.

"Kehadiran kamu cuma merusak hubungan saya sama Mas Ardan! Kamu nggak tahu diri! Semenjak ada kamu, perhatian Mas Ardan jadi terbagi. Dia bahkan jarang senyum ke saya lagi!" Wulan memarahi Luna sambil menjambak rambutnya dengan keras.

Luna menangis, tak punya daya untuk melawan karena tubuhnya sedang sakit. Ia sudah sering melaporkan kejadian ini ke Ardan, namun Ardan hanya menanggapinya dengan kata-kata tanpa tindakan nyata.

"Tolong aku, Mas. Aku nggak kuat kalau tinggal sama Mbak Wulan terus. Aku disiksa kalau nggak ada kamu, Mas!" 

"Udah saya tegur. Wulan memang begitu sikapnya, tapi sebenarnya dia baik. Kamu harus bisa beradaptasi sama dia, nanti lama-lama juga terbiasa." 

Semakin hari, Luna semakin menderita. Apalagi saat kandungannya memasuki usia enam bulan, Wulan tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat hingga menyebabkan Luna hampir keguguran.

"Kalau akhirnya Mbak Wulan cemburu, kenapa dulu Mbak harus memaksa saya untuk jadi istri kedua Mas Ardan? Andai waktu itu Mbak Wulan nggak maksa, mungkin saya nggak akan menderita, dan Mbak Wulan juga nggak akan kehilangan perhatian Mas Ardan," ucap Luna dengan suara lemah.

"Terus kenapa kamu terima?! Dasar mata duitan! Saya melakukan itu karena saya takut diceraikan Mas Ardan!" teriak Wulan dengan emosi yang memuncak.

Luna sudah pernah bertanya pada Wulan, kenapa dari sekian banyak wanita, ia yang dipilih untuk menjadi istri kedua Ardan. Dan Wulan menjawab, bahwa ia dipilih karena anak-anak di panti asuhan dianggap tak berharga dan bisa diperlakukan semena-mena. Selain itu, Wulan mengaku bahwa Luna memiliki wajah yang cantik, yang dianggapnya akan menghasilkan keturunan dengan gen yang baik untuk masa depan mereka.

Sungguh jahat sekali bukan?

Di usia kandungan Luna yang sudah menginjak delapan bulan, menjelang kelahiran anaknya, Wulan semakin cemburu pada perhatian yang diberikan Ardan kepada Luna. Karena rasa cemburunya yang semakin mendalam, Wulan bahkan rela menyewa pria bayaran untuk melancarkan fitnahnya terhadap Luna.

Akibatnya, Ardan marah besar dan berakhir menceraikan Luna karena terpengaruh oleh ucapan Wulan yang mengatakan bahwa anak yang dikandung Luna bukanlah anak Ardan, melainkan anak dari pria lain yang konon tidur bersama Luna setiap kali Ardan tidak ada di rumah.

 

 

1. Bertemu kembali 

Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.

Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.

“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”

Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. 

"BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. 

Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka.

"Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.

Namun, bocah itu dengan cepat menepis tangan Juli. "Nggak mau! Maunya sama Bunda!" teriaknya. 

Luna mendesis kesal. Tak sabar lagi menghadapi tingkah putranya yang setiap pagi selalu begini. "Bunda panggilin Om Paket, ya, kalau masih nangis. Biarin aja, biar jadi anaknya Om Paket," ancamnya.

Ini adalah kelemahan anaknya. Bocah itu punya trauma kecil terhadap pengantar paket, karena sebelumnya pernah digoda akan dimasukkan ke dalam keranjang karung yang dibawanya.

"Enggak, Bunda! Cio Nggak mau!" teriaknya kencang. 

"Udah, kamu berangkat sana. Nanti terlambat. Biar Ibu yang urus Cio," ujar Juli dengan lembut.  

Luna mendengus kesal, lalu dengan gerakan cepat ia mengambil tas dan kantong besar berisi beberapa kotak jajanan yang akan dijualnya di kampus.

"Sialan kamu, Mas Ardan. Dari sekianya banyaknya sifat baik, kenapa harus gen tantrum yang kamu turunin ke anak aku? Lama-lama aku bisa darah tinggi kalau kayak gini terus," gerutunya kesal.  

Luna masih teringat cerita Ibu mertuanya tentang Ardan kecil yang dikenal sering tantrum hingga membuat semua orang di rumah kerepotan. Siapa sangka sifat itu kini diwarisi oleh Cio, putra mereka. 

"Untung punya Ibu sabar," gerutunya lagi sambil melangkah ke halaman depan dan menaiki motor matic kesayangannya. 

*****  

Setibanya di kampus, Luna memarkir motornya di tempat biasa. Namun, hari ini suasana terasa berbeda. Kampus tampak lebih ramai dari biasanya. Ia sempat melihat sekumpulan mahasiswa berkumpul di depan papan pengumuman.

"Ada apa sih?" gumam Luna penasaran sambil berjalan mendekat.

"Dosen baru, Lun. Ngajar di kelas kamu," jawab salah satu temannya.

"Pak Edi jadi resign?" tanya Luna. 

“Iya, diganti sama Dosen itu.”

Luna yang penasaran segera membaca pengumuman itu. Ia tertegun, matanya membesar saat melihat nama yang tertulis di sana. Dr. Ardan Willy Kusuma, Dosen baru yang menggantikan salah satu Dosen di jurusannya. 

"Wah, nggak mungkin..." bisik Luna tak percaya. "Dia pengusaha, nggak mungkin tiba-tiba ganti profesi jadi Dosen," gumamnya lagi. "Enggak, ini pasti namanya aja yang sama. Lagian dia tinggalnya di Jakarta, nggak mungkin kalau tiba-tiba pindah ke Bandung." 

Tak mau pusing-pusing memikirkan itu lagi, Luna segera masuk ke dalam kelasnya dan duduk di bangku barisan tengah dengan hati yang masih gelisah. Meski belum terbukti bahwa Dosen itu benar-benar mantan suaminya, namun jantungnya sudah berdebar kencang.

"Please... semoga bukan dia," gumamnya dalam hati. Berharap bahwa apa yang ia khawatirkan tidak akan menjadi kenyataan. 

Setelah semua mahasiswa masuk dan duduk di tempatnya, suasana kelas menjadi hening. Semua mata tertuju pada pintu, menunggu kedatangan Dosen baru yang akan menggantikan Pak Edi di kelasnya. 

Tak lama kemudian, pintu kelas terbuka. Seorang pria dewasa dengan tubuh tinggi gagah dan wajah yang tampan sempurna, masuk dengan langkah yang penuh percaya diri. Meskipun terlihat sudah matang, pesona yang dimilikinya tak pudar. Membuat para mahasiswi langsung terpesona melihatnya.

"Selamat pagi, semuanya," suara Ardan mengalun tenang namun penuh wibawa. “Saya Dr. Ardan Willy Kusuma, dan saya yang akan menggantikan Pak Edi di mata kuliah ini.”

Berbeda dengan teman-temannya tampak antusias, Luna justru terjebak dalam kegelisahan yang tak bisa ia hindari. Ia membeku di tempat, menatap Ardan dengan tatapan yang sulit dijelaskan. 

Ardan belum menyadari kehadiran Luna di sana. Ia lanjut memperkenalkan dirinya di depan para Mahasiswa. 
Semua menyambutnya dengan antusias, bahkan beberapa dari mereka ada yang langsung bertanya. 

"Sebelumnya ngajar di mana, Pak?" tanya seorang mahasiswa.

"Saya belum pernah mengajar. Saya hanya pengusaha yang ditawarkan untuk menjadi Dosen di kampus ini," jawab Ardan dengan tenang.

"Wah, mantap nih. Diajar langsung sama yang udah berpengalaman," sahut mahasiswa lain dengan antusias.

Ardan hanya tersenyum tipis, merasa senang dengan sambutan mereka.

"Umur berapa, Pak?" tanya mahasiswa yang duduk di bangku belakang. 

Ardan kembali tersenyum, menjawab dengan santai, "38." 

"Wah... pasti mudanya ganteng banget ya, Pak," sahut mahasiswi lain dengan ceria.

Lagi-lagi Ardan hanya tersenyum tipis, tak merasa terganggu dengan godaan mereka. Ia sudah terbiasa mendapatkan perhatian karena ia memang memiliki ketampanan yang luar biasa. 

"Anaknya berapa, Pak?" tanya seorang mahasiswa lagi. Kali ini menyentuh ranah privasinya, jadi Ardan memilih untuk tidak menjawabnya. 

Ardan segera melangkah menuju meja dosen untuk duduk. Namun, saat hendak duduk, matanya secara tak sengaja menangkap sosok wanita cantik yang duduk di bangku tengah. 

Ardan terdiam sejenak. Tubuhnya membeku dan jantungnya berdegup kencang. Matanya terpaku pada Luna yang kini menundukkan kepala, seolah menghindari pandangannya. 

Beberapa mahasiswa yang menyadari perubahan sikap Ardan langsung menoleh ke arah Luna. Namun, lamunan Ardan terputus ketika salah satu mahasiswa melontarkan godaan.

"Itu namanya Luna, Pak. Cantik emang, banyak yang suka. Tapi sayangnya dia janda satu anak," ucapan pria bertubuh gendut itu mengundang gelak tawa teman-temannya. Sementara Luna hanya bisa menarik napas panjang, berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak.

"Enggak. Siapa juga yang tertarik? Istri saya lebih cantik," balas Ardan dengan nada ketus. Tampaknya ia masih menyimpan dendam pada Luna, terbukti dari tatapannya yang kini berubah tajam. 

"Cieee..." goda beberapa mahasiswa. Luna yang sudah muak segera bangkit dari tempat duduknya dan pura-pura izin ke toilet. 

"Maaf, Pak. Saya izin ke toilet sebentar," ujar Luna. 

Tanpa menunggu jawaban dari Ardan, Luna langsung berjalan keluar dari kelas. Tindakannya itu membuat beberapa teman-temannya bergumam dengan suara pelan, menganggap Luna tidak sopan karena semena-mena terhadap Dosen baru.

"Yang akan presentasi, silakan bersiap-siap. Saya keluar sebentar," ujar Ardan, kemudian melangkah keluar kelas, mengikuti Luna yang sudah berjalan menuruni tangga.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dosenku Mantan Suamiku (Bab 2 + Bab 3)
2
1
Pernah diminta menjadi istri kedua oleh pria tampan dan kaya raya, Luna justru berakhir diceraikan dalam keadaan hamil akibat difitnah oleh istri pertama.Lima tahun berlalu, takdir kembali mempertemukan mereka di kampus yang sama. Ardan, yang dulunya seorang pengusaha besar, kini beralih menjadi Dosen di tempat Luna belajar.“Setelah lima tahun, saya pikir kamu sudah hancur, ternyata masih belum. Entah apa alasannya, Tuhan masih memberi nyawa ke tubuh pengkhianat.”— Ardan Willy Kusuma.Aku curiga sama kamu deh, Mas. Dari tadi ngikutin aku mulu. Kamu masih suka sama aku?— Drucia Luna.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan