
Pernah diminta menjadi istri kedua oleh pria tampan dan kaya raya, Luna justru berakhir diceraikan dalam keadaan hamil akibat difitnah oleh istri pertama.
Lima tahun berlalu, takdir kembali mempertemukan mereka di kampus yang sama. Ardan, yang dulunya seorang pengusaha besar, kini beralih menjadi Dosen di tempat Luna belajar.
“Setelah lima tahun, saya pikir kamu sudah hancur, ternyata masih belum. Entah apa alasannya, Tuhan masih memberi nyawa ke tubuh pengkhianat.”— Ardan Willy Kusuma.
"Aku curiga...
2. Dendam yang tersisa
“Mau ke mana kamu?”
Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.
Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam.
“Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin.
Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya.
“Memangnya saya ngizinin?”
Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”
Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas.
Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya.
Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan langkahnya.
“Setelah lima tahun, saya pikir kamu sudah hancur, ternyata masih belum. Entah apa alasannya, Tuhan masih memberi nyawa ke tubuh pengkhianat.”
Kata-kata itu menusuk seperti belati. Luna mencengkeram pegangan tangga dengan erat, mencoba meredam gemuruh di hatinya. Dadanya terasa sesak, dan rahangnya mengeras menahan air mata yang nyaris tumpah.
Tanpa menoleh, Luna mempercepat langkahnya. Ia tak ingin terlihat lemah di depan pria itu. Rencana untuk ke kantin berubah seketika. Ia memilih taman, tempat yang lebih sepi untuk menyendiri.
Sesampainya di taman, Luna langsung menjatuhkan tubuhnya di kursi panjang. Kepalanya tertunduk, dan jari-jarinya meremas ujung kursi dengan erat, menahan emosi yang meluap-luap.
“Hiks… hiks…”
Isakan tangis akhirnya pecah. Ucapan Ardan terlalu tajam, menusuk hingga menghancurkan pertahanan hatinya.
Selama beberapa tahun ini, tak ada yang membuatnya menangis selain drama korea sad ending. Namun kini, luka yang ia pikir sudah sembuh kembali dibuka oleh pria yang sama.
“Cio, Bunda sumpahin wajah kamu nanti persis Ayah kamu kalau udah besar, Nak. Nggak apa-apa sekarang Bunda dibilang pengkhianat. Suatu saat, Bunda bakal buktiin kalau semua tuduhan itu salah.”
Kalimat itu sudah sering Luna ucapkan sejak putranya lahir ke dunia. Ia selalu berharap Cio memiliki wajah yang sama persis dengan ayahnya, agar suatu hari ia tidak perlu repot-repot menyangkal segala tuduhan yang pernah dilontarkan padanya.
Di tengah kegalauannya, suara ponsel yang berdering dari saku celananya memecah lamunan.
Luna mengambil ponsel itu dengan gerakan malas. Namun, begitu melihat nama pengirim pesan yang tertera di layar, senyum tipis langsung terukir di wajahnya.
Dokter Dylan:
[Nanti biar aku aja yang jemput Cio ke sekolah. Aku udah janji mau ngajak dia makan pizza.]
Luna tersenyum tipis. Jika part terburuk dalam hidupnya adalah bertemu dengan Ardan dan Wulan. Maka part terbaik dalam hidupnya adalah kehadiran Cio dan Dylan.
Meskipun hubungan mereka belum memiliki ikatan resmi, Dylan selalu berhasil memberikan kenyamanan di tengah kehidupan Luna yang penuh lika-liku. Mereka saling menyukai satu sama lain, namun belum ada yang berani mengungkapkan.
*****
Setelah jam perkuliahan berakhir, Luna pergi ke kantin terlebih dahulu untuk mengambil box kue yang tadi ia titipkan di salah satu penjual.
Sudah lama Luna melakukan ini. Menitipkan kue yang ia buat di kantin. Ia bekerja sama dengan ibu-ibu di kantin yang sangat baik hati. Beruntungnya, banyak mahasiswa yang menyukai kue buatannya. Keuntungannya memang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk membiayai hidup anaknya.
"Lun, minggu depan bisa, kan, buat pesenan 300 pcs? Ini ada pesanan dari tetangga Ibu buat hajatan," ujar wanita paruh baya itu. Namanya Yanti, dia sangat baik pada Luna.
Luna mengangguk sambil tersenyum manis. “Bisa banget, Bu. Tapi mungkin agak lama selesainya, soalnya Ibu saya mau pergi keluar kota, jadi nggak ada yang jagain anak saya.”
"Iya, nggak papa, Lun. Yang penting jadi," jawab Bu Yanti sambil tersenyum hangat.
"Yaudah, saya pulang dulu ya, Bu."
Luna berbalik dan melangkah meninggalkan kantin. Namun, ia terkejut saat melihat Ardan yang berdiri di depan kantin dengan wajah datar dan kedua tangan yang diselipkan ke dalam saku. Tak ada orang di sana, karena kantin sedang sepi.
"Syukurlah kalau kamu hidup susah. Itu karma buat kamu karena sudah mengkhianati saya," ujar Ardan dengan nada sinis.
Luna hanya menghela napas, tak ingin membuang waktu untuk menanggapi ucapan Ardan yang begitu menyakitkan. Dengan cepat, ia melanjutkan langkahnya, melewati Ardan begitu saja.
"Hidup susah katanya? Dia nggak tahu aja kalau omsetku perbulan bisa tembus sepuluh juta. Belum lagi uang dari adik-adikku yang selalu ngasih jatah buat Cio," gerutunya kesal.
Selain menitipkan makanan di kantin, Luna juga membuka lapak di depan panti setiap sore. Kebetulan letak pantinya yang berada di depan jalan raya, jadi sering dikunjungi oleh pembeli.
Adik-adik lelakinya yang sudah beranjak dewasa juga sudah bekerja semua. Mereka tidak ingin Luna mengorbankan hidupnya lagi demi mereka, jadi mereka berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan juga kebutuhan anak Luna.
"Apa kamu nggak pernah baca kutipan Mimi Novic? Keindahan karma adalah Anda tidak perlu menyaksikannya bekerja. Lakukan saja apa yang benar, dan dia akan melakukan sisanya." Sepertinya Ardan belum puas mengganggu Luna. Ia terus mengikuti langkah Luna dengan cepat dan kembali melontarkan kata-kata yang menyinggung soal karma.
Luna yang sudah lelah akhirnya berhenti dan menatap pria itu dengan sorot tajam. "Apa kamu nggak punya kerjaan lain? Kamu udah tua loh, Mas. Kamu nggak malu ngomong kayak gini? Kayak anak kecil banget, sumpah," ucapnya kesal.
Ardan terdiam sejenak. Namun, ia tetap menatap Luna dengan tatapan penuh dendam. Luna mendengus kesal, lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya tanpa peduli lagi.
Tiba di parkiran, Ardan masih mengikutinya. Namun kali ini, Ardan sedikit menjaga jarak, karena banyak mahasiswa yang sedang berada di sana.
"Saya belum puas membalas semua pengkhianatan kamu. Tunggu saja, penderitaan kamu akan semakin bertambah," ucap Ardan, suaranya masih penuh kebencian.
Luna mengabaikannya, ia tidak ingin ada yang curiga, terutama teman-temannya. Dengan cepat, Luna berjalan menuju motornya dan segera menaikinya. Meski hatinya masih kesal, ia berusaha untuk tidak terprovokasi.
Ketika sudah di jalan raya, Luna merasa ada yang mengganjal. Ia menyadari ada mobil yang terus mengikutinya dari belakang. Curiga jik itu adalah Ardan, Luna langsung membelokkan motornya dengan cepat, membuat mobil itu langsung mengerem mendadak.
Luna tersenyum miring, merasa puas dengan reaksinya. Ia kemudian berhenti dan memarkir motornya di depan sebuah toko. Dalam hatinya, ia yakin pria itu pasti akan berbalik arah dan menghampirinya.
Dan benar saja, tak berselang lama, mobil itu langsung berbalik arah dan menghampirinya.
"Aku curiga sama kamu deh, Mas. Dari tadi ngikutin aku mulu. Kamu masih suka sama aku?" tuduh Luna blak-blakan saat Ardan baru saja membuka kaca mobilnya.
3. Batas kesabaran
“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”
Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.
“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”
Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.
“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi dimakan sama anak hasil hubungan terlarang.”
Kata-kata terakhir itu membuat Luna benar-benar membeku di tempat. Matanya membesar, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Sungguh, kalimat seperti itu keluar dari mulut Ardan? Anak hasil hubungan terlarang, katanya? Luna tak bisa menerima ini.
"Aku ingat terus omongan kamu ya, Mas. Kalau suatu saat anak yang aku lahirkan itu terbukti anak kamu, kamu jangan nyesel," ujar Luna sambil mengusap air matanya yang mengalir tanpa permisi.
"Aku bisa terima kalau kamu menghina aku, tapi kalau udah bawa-bawa anak yang nggak bersalah, aku nggak terima. Apalagi anak yang kamu tuduh lahir dari hubungan terlarang itu sebenarnya lahir dari pernikahan yang sah."
Ardan hanya terdiam, menatap Luna dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Uang itu masih ada, kok. Nggak pernah aku pakai. Besok aku balikin sekalian sama kartu ATM-nya," ujar Luna lagi. "Sesusah-susahnya aku, aku nggak pernah ngasih makan anakku pakai uang kamu. Meskipun sebenarnya itu udah kewajiban kamu buat kasih makan darah dagingmu sendiri."
Luna menekankan kalimat terakhirnya dengan tajam sebelum mengusap air matanya dengan kasar. Tanpa menunggu tanggapan dari Ardan, ia segera menaiki motornya dan melaju pergi.
Ardan tetap terdiam di tempatnya, matanya terpaku pada punggung Luna yang semakin menjauh bersama deru motornya.
Drrt... drrt…
Ardan mendengus kesal, kemudian meraih ponselnya yang bergetar dan membaca pesan yang baru saja masuk.
Bank Citra Jaya:
[Dengan hormat, Kami mengingatkan bahwa pembayaran untuk pinjaman/angsuran Anda telah melewati tanggal jatuh tempo.
Hingga saat ini, pembayaran sebesar 200.000.000 belum kami terima. Kami mohon agar pembayaran segera dilakukan paling lambat hari ini untuk menghindari denda atau tindakan lebih lanjut.
Pembayaran dapat dilakukan melalui transfer ke rekening.
Jika ada pertanyaan, hubungi kami di (022) 765-4321.
Hormat kami, Bank Citra Jaya.]
"Sial!" Ardan melempar ponselnya ke atas meja dengan kasar. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi, lalu memijat pangkal hidungnya dengan jari-jarinya, memejamkan mata sejenak untuk meredakan kepala yang mulai pusing.
Setelah hatinya mulai tenang, ia kembali mengendarai mobilnya lagi dengan kecepatan sedang.
*****
"BUNDA!!!"
Luna disambut oleh teriakan ceria buah hatinya saat memasuki rumah. Cio berlari menuju pintu dengan wajah berseri-seri.
Luna tersenyum, meski lelah. Tangannya terbuka, menyambut pelukan hangat anaknya. "Kok udah di rumah? Katanya makan pizza sama Om Dylan?" tanyanya.
"Udah. Om Dylan cepet-cepet soalnya ada pasien," jawab Cio dengan antusias.
Luna tertawa kecil, lalu mencium puncak kepala anaknya. Kemudian ia menuntun anaknya untuk segera masuk ke dalam rumah.
"Bunda, nanti kalau ulang tahun, Cio mau dirayain kayak temen-temen," pinta bocah itu dengan penuh semangat.
Sambil meletakkan tasnya, Luna menanggapi ucapan bocah itu. "Dirayain? Emang Cio mau dirayain di mana?" tanyanya.
"Di sekolahan. Cio mau tema roblox," jawab Cio, matanya berbinar penuh harap.
Luna terkekeh pelan, tersenyum melihat antusiasme anaknya. “Iya, nanti Bunda omongin dulu sama Om Dias.”
"Yeay!" Cio langsung melompat kegirangan, meskipun bundanya belum memberinya kepastian.
Luna harus berdiskusi dengan Ibu dan adik-adiknya untuk membahas persiapan ulang tahun itu. Jika tidak dirundingkan dengan mereka, khawatir adik-adiknya sibuk dengan pekerjaan mereka.
"Bunda, nanti Om Dylan diundang, ya!" pintanya lagi dengan semangat.
"Iya, Sayang," balas Luna seraya mengambil air minum di dalam kulkas.
"Cio suka banget sama Om Dylan. Cio mau Om Dylan jadi ayahnya Cio," celetuknya tiba-tiba, membuat Luna hampir tersedak air yang baru saja diminumnya.
"Bunda juga suka sama Om Dylan, kan? Kata Om Dylan, Bunda pernah cium pipi Om Dylan," goda Cio sambil tersenyum nakal.
Mata Luna melotot tajam. "Enggak, ya! Om Dylan bohong itu," bantahnya sambil memalingkan wajahnya ke samping.
Ia memang pernah mencium pipi Dylan, tapi itu tidak sengaja. Gara-gara ia tersandung dan ditolong Dylan, ia malah mendaratkan bibirnya di pipi pria itu. Kejadian itu sangat memalukan, hingga membuat Luna enggan mengingatnya lagi. Namun si Ardan kecil ini malah mengungkitnya dan bahkan menggodanya.
Enggan menanggapi anaknya lebih lanjut, Luna beranjak menuju dapur untuk membantu ibunya yang sudah sibuk menyiapkan adonan kue.
"Adonan donatnya udah Ibu cetak, kamu tinggal goreng aja," ujar Juli.
Luna mengangguk. "Berarti tinggal buat kue lapis aja?" tanyanya.
"Ini udah Ibu buatin adonan. Kamu goreng donatnya dulu, nanti Ibu yang buat kue lapis," jawab Juli.
Luna pun mulai menggoreng donat satu per satu, berusaha fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya masih terombang-ambing memikirkan mantan suaminya.
*****
Di rumah yang sederhana namun tetap terkesan mewah, Ardan terlihat sedang menyiapkan sesuatu di dapur. Setelah selesai, ia membawa piring tersebut ke ruang tamu dan memberikannya kepada istrinya yang sedang duduk di kursi roda.
"Ck, kok makanan ini lagi sih, Mas? Aku pengen kepiting saus padang. Masak dari pagi sampai sore dikasih makan ayam goreng terus?" protes wanita itu dengan nada jengkel.
Ardan mendengus kesal, tampak mulai kehabisan kesabaran. Ia duduk di sofa dan membuka laptopnya sambil menggerutu. “Buang aja kalau nggak mau. Kamu pikir aku pengangguran? Bisa goreng ayam aja udah syukur. Aneh-aneh, mau minta kepiting saus padang.”
Wanita itu semakin kesal, wajahnya memerah. "Ya belikan di luar kalau nggak bisa masak!" jawabnya tajam.
Ardan mengerling ke arah istrinya dengan ekspresi marah yang mulai memuncak. "Jangan bikin aku marah, Lan. Apapun yang kamu mau udah aku turuti. Aku sampai terlilit hutang juga gara-gara kamu. Sekarang, aku nggak bisa bayar dan jadi buronan Bank. Masa nggak ada sedikit pun rasa kasihan di hati kamu?"
Wanita itu terdiam sejenak, namun amarahnya tidak surut. Tiba-tiba ia membanting piring ke lantai dengan keras. Bunyi pecahan piring yang memekakkan telinga itu diikuti oleh nasi dan ayam goreng yang berantakan di atas karpet.
"Aku nggak mau makan kalau nggak ada kepitingnya," ucapnya ketus.
Ardan terdiam, napasnya naik turun menahan emosi. Sesaat, ia hanya bisa menatap ke arah tumpukan makanan yang berserakan.
"Pantesan Tuhan nggak kasih kamu sembuh. Kamu belum berubah. Sifat buruk kamu masih dipertahankan. Egois, keras kepala, boros, pemarah, dan suka mendominasi orang lain," desis Ardan dengan nada tajam.
Dengan tubuh yang kaku, Ardan bangkit dari tempat duduk, mengambil kunci mobil dari meja, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan menuju pintu, meninggalkan wanita itu di rumah sendirian.
"MAS, KAMU MAU KE MANA?!" teriak wanita itu dengan suara melengking. Namun Ardan tak menghiraukannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
