The Donna's Revenge (Bab 2)

0
0
Deskripsi

Sudah baca bab 1? Mendebarkan ya, kejadian yang Antonella alami saat diculik Kevin. Dengan menggunakan taktik yang hanya bisa dilakukan wanita, Antonella untungnya berhasil lolos, meninggalkan Kevin yang tersiksa lahir batin (hihihi). Tak heran bila Kevin semakin bernafsu memburu Antonella! Bagaimana sepak terjang Kevin selanjutnya, dan bagaimana Antonella menyikapi situasi yang tidak menguntungkan baginya ini?

***
Baca dan dukung penulis yuk, biar semangat update sampai bab terakhir!


Keep in touch...

Bab 2 – Percikan Cinta Terlarang 

Melarikan diri dari ruangan bawah tanah tempatnya disekap bukanlah perkara mudah. Antonella harus berlari menembus area pekarangan yang dipenuhi pepohonan. Sesekali ia bersembunyi di balik batang pohon saat melihat anak buah Kevin tampak berpencar mencari keberadaan dirinya. 

Antonella memberanikan diri untuk terus bergerak, hingga akhirnya ia tiba di batas pekarangan. Suara deru kendaraan lalu lalang dari balik tembok tinggi membuatnya menghela napas lega. Spontan matanya memindai keadaan sekitar. Salah satu pohon di dekatnya memiliki dahan yang melintang, melewati tembok. Tanpa membuang waktu lagi, ia segera mendekati pohon tersebut, berupaya keras memanjat. 

Antonella berhasil melewati tembok, kemudian melompat ke bawah. Ia mendarat di areal tanah kosong, hanya sekitar lima meter dari jalan besar, yang langsung ia kenali. Ini adalah jalan raya dari dan menuju bandara. Syukurlah, setidaknya Antonella tidak buta lokasi. Namun untuk bisa kembali ke kediaman Maranzano di Lattingtown, ia harus menyeberang untuk mencapai sisi jalan yang lain. Tidak ada jembatan penyeberangan, tidak ada tempat menyeberang, Antonella harus memotong laju kendaraan yang melintas dengan kecepatan tinggi.

Tentu saja ia sadar hal ini berbahaya dan ilegal, namun, perasaan diburu adrenalin serta rasa takut bila anak buah Kevin berhasil menangkapnya, maka ia terpaksa nekad berlari menyeberang. Sebuah mobil hitam membunyikan klakson panjang pertanda terkejut melihat Antonella, bersamaan dengan itu, mobil berhenti tepat beberapa inchi dari Antonella yang tampak pasrah sekaligus takut.

"Hey! Kau mau bunuh diri?!" bentak seorang pria muda yang duduk di kursi depan, mengeluarkan kepalanya dari jendela.

"Maaf ...!" Antonella menyahut sebisanya sambil menutupi mata lantaran silau terkena lampu jauh mobil hitam tersebut. 

"A-Antonella?!" Pria muda yang tadi membentak tiba-tiba saja menyebut namanya. Spontan pria itu melompat keluar dari mobil, menghampiri.

Antonella membelalakkan mata saat menangkap sosok Alvaro mendekatinya. Anak itu spontan memeluk dirinya agresif.

"Tonie!! Aku mencari kamu ke mana-mana!!" seru Alva, terdengar nada lega sekaligus gembira dari suaranya. Dia melepas pelukan, menatap sang tante lekat dari atas sampai bawah, seolah mengecek bila ada sesuatu yang kurang dari Antonella.

"Alva .... Ya Tuhan, syukurlah bisa ketemu kamu!" balas Antonella tak kalah lega.

"Ayo masuk!" Tanpa sabar Alva menarik tangan Antonella masuk ke dalam mobil. 

Vincenzo Corti, satu-satunya kapten yang tersisa di struktur organisasi keluarga, duduk di kursi pengemudi. Pria yang beberapa tahun lebih tua dari Antonella itu mengamati saat sang Donna masuk dan mengambil tempat di jok belakang. 

"Antonella, Anda baik-baik saja??" tanya Vincenzo cemas.

Antonella menyunggingkan senyum menjawab pertanyaan Vincenzo. "Aku baik-baik saja. Nggak perlu cemas. Untung kamu berhasil mengerem tepat waktu!"

"Lekas jalan, Vincenzo," ujar Alva usai menutup pintu. Dia mengambil tempat di sebelah Antonella persis. 

"Hey, kenapa kau malah duduk di belakang?" tegur Vincenzo seraya mulai menjalankan mobil.

"Aku menemani Antonella," jawab Alva tak acuh. Kemudian dia berpaling pada Antonella. "Tonie, Tonie. Sungguh, aku lega melihatmu! Kemarin saat aku sadar telah lengah dan kehilangan kamu ... ugh!! Rasanya ingin mengamuk! Bisa-bisanya aku kecolongan! Udah jelas tugasku mengawal kamu, tapi malah bisa-bisanya aku gagal menjagamu! Malah kamu sampai harus disekap lama! Maafkan aku, Tonie, maaf," racau Alva. 

Antonella hendak menjawab, namun Alva kembali memberondong.

"Kamu nggak apa, kan? Kamu yakin, kamu nggak kenapa-kenapa?? Ada yang sakit? Ada ngerasa apa? Kita ke rumah sakit aja sekarang? Kamu diapain aja sama mereka? Mereka anak buah Kevin Castellano yang brengsek itu kan?? Kurang ajar banget beraninya mereka menyasar dan menyerang kamu!! Kamu diapain ajaa??" cecar Alva semakin menuntut jawaban.

"Alvaro, kalau kamu nggak kasih aku kesempatan ngomong, gimana aku bisa jawab pertanyaan kamu?" Antonella tak sanggup menahan geli menghadapi celotehan Alvaro yang tidak kunjung berhenti. 

"Eh." Alvaro baru menyadari kelakuannya.

"Sudah kubilang sejak lama, you need to learn how to shut your mouth up, Al," sela Vincenzo tanpa mengangkat pandangan dari jalanan, sementara Alva hanya merengut.

"Jadi ... iya, yang culik aku anak buah Kevin. Kevin sendiri juga ada tadi. Dia bilang ... nunggu kamu datang. Aku duga, dia juga nggak sabar mau habisi kamu karena kemarin kamu udah bikin mereka kerepotan pas mau tangkap aku," tutur Antonella pelan. 

Alva mendecih keras. "What a bastard! Aku penasaran mukanya seperti apa! Nggak sabar pengen nonjok!"

Antonella segera menukas, "Jangan cari mati ketemu dia ... dari jumlah aja, kita kalah jauh, nggak ada apa-apanya. Sebelum kamu bisa nonjok Kevin, kamu udah dihajar duluan sama pasukannya. Mereka banyakan, nggak hanya selusin dua lusin. Kamu bakal kewalahan sendiri."

"Kenapa malah bela dia, Tonie?" sungut Alva. "Tapi beneran, kamu nggak diapa-apakan?"

"I'm perfectly fine, Alva," jawab Antonella sambil tersenyum.

"Terus kamu bisa di tempat tadi, gimana ceritanya kamu bisa kabur?" 

Antonella sontak kebingungan sendiri. "Euh ...," gumamnya, berusaha merangkai cerita yang lebih bisa diterima. Tidak mungkin bukan, ia menceritakan bahwa tadi ia mempergunakan senjata femininnya untuk melumpuhkan Kevin Castellano?

"Aku berhasil melepaskan diri dari ikatan ... lalu kabur saat nggak ada yang melihat," lanjut Antonella. 

Alva mengangguk-angguk. "Untunglah kamu berhasil lepas, Tonie! Karena kalau nggak ... entahlah apa yang akan terjadi padamu! Kevin itu pasti cuma ingin kamu enyah dari bisnis, Tonie! Bukan hanya sekedar enyah, tapi juga sampai membunuh kamu!" serunya penuh emosi.

Antonella mengangguk. "Aku tahu."

"Nggak mungkin aku bakal diam saja! Aku bakal tuntut balas! Kalau dia mau main api, aku bakar sekalian!"

"Alvaro!" tegur Antonella. "Sudah kubilang, jangan cari mati dengan Kevin. Kamu kalah jumlah, kalah tenaga, kalah taktik pula. Sudah. Jangan pernah kepikiran untuk serang dia kecuali kamu sudah sekuat orang itu. Kamu tuh nggak ngerti-ngerti, dia itu Don Castellano. Tiga keluarga yang lain juga di belakang Kevin. Untuk sekarang ini, bisa dibilang dia nggak tersentuh, ingat itu."

Decakan Alvaro semakin keras. Dia beralih pada Vincenzo. "Menurutmu juga begitu, Vince?"

Vincenzo mengangguk. "Sayangnya, memang demikian, Al. Selagi kita belum mengumpulkan kekuatan ... ada baiknya kita korbankan harga diri kita sedikit, bersikap pro pada mereka," jawabnya.

"Kau ada saran apa, Vince?" tanya Antonella.

"Untuk sementara waktu, mungkin lebih baik kamu kembali ke Miani, Antonella. Untuk keselamatanmu sendiri. Kamu tetap bisa memantau dari kejauhan," jawab Vincenzo.

Alva mencecar, "Sementara waktu itu berapa lama? Kevin Castellano yang brengsek itu menyasar Antonella dan nggak mungkin bakal berhenti sebelum usahanya berhasil!"

"Setidaknya sampai situasi mendingin dulu," sahut Vincenzo.

Antonella mengangguk. "Ide yang bagus. Kamu bisa aku serahi tanggung jawab, Vince? Seperti sebelum ini?"

"Dengan senang hati, Tonie. Aku tidak akan mengecewakanmu. Aku sarankan agar kita video call setiap hari, supaya kamu tetap bisa update perkembangan internal kita dan juga situasi di sini nantinya," usul Vincenzo.

"Aku setuju. Kita balik lagi ke Miani, Alva. Segera siapkan segala sesuatunya. Jangan lupa kabari Zia," perintah Antonella.

Alva hanya mengangguk. "Oh iya. Aku belum kabari Zia. Zia cemas banget tahu kamu diculik, Tonie," ujarnya seraya mengambil ponsel lalu sibuk mengetik.

Antonella tersenyum. "Anak baik. Kamu berdua, Alva, Zia, keponakan kesayanganku ... jangan pernah berpikir untuk menjauhi aku ya? Kecuali kalian mau dendam Flav nggak terbalaskan ...."

"Itu tujuan aku dan Zia sejak awal mula, Tonie. Dan kami pasti membutuhkan kamu," sahut Alva. "Makanya, kamu juga harus jaga diri sebaik mungkin. Jangan sampai kamu kenapa-kenapa."

"Aww. So sweet," balas Antonella. "Tapi kamu juga harus ingat, Al, jangan cuma fokus jaga aku, meski memang karena itu tugasmu. Tapi please, jaga adik kamu juga, ya? Zia itu Princess Maranzano, harus dilindungi sebaik-baiknya."

"Hmm." Alva tampak fokus dengan ponselnya.

Antonella tersenyum maklum. Perhatiannya teralih pada barisan gedung pencakar langit dengan lampu-lampunya yang berkilauan. Tiba-tiba saja memori mengenai Kevin Castellano menyeruak di benaknya. 

Bukan memori perihal dirinya diculik. Bukan memori perihal horornya saat anak buah Kevin yang semuanya berbadan bongsor itu menarik tubuhnya keluar dari mobil lalu membiusnya. Namun memori yang terjadi baru saja antara dirinya dan Kevin. Adegan-adegan mendebarkan nan memacu hasrat, sebelum Antonella dengan kejamnya menendang selangkangan Kevin hingga dia rubuh tidak berdaya. Saat pria itu mencumbu bibir dan lehernya, saat dia dan tangannya yang kreatif itu menjelajah tubuh dan semua area sensitifnya ... Antonella tidak menyangkal bahwa ia menikmati kejadian tadi. Tentu saja, tubuhnya bereaksi positif pada perlakuan Kevin. Seandainya saja situasinya tidak rumit seperti sekarang, mungkin Antonella tidak akan ragu mendekati Kevin. Sebuncah rasa penasaran menyergapnya, ingin tahu seperti apa rasanya bila benda keras milik Kevin memasuki dan menjajah dirinya. 

Tapi bukannya Kevin udah punya istri? Ih, males banget sama suami orang. Kayak nggak ada laki-laki lain aja! Tapi ... tapi aku penasaran sih ..., batin Antonella. Dia kayaknya tipe ideal yang bisa puasin aku. Bener nggak, sih?

"Tonie? Kok mukamu merah? Kenapa? Demam?" 

Suara teguran Alva membuyarkan semua lamunan Antonella. "Eh. Oh. Nggak ... nggak kok. Nggak apa-apa," jawabnya tergagap. 

Alva mengernyit heran memandangi Antonella yang kini terlihat kikuk, menghindari beradu pandang dengannya. 

 

Mantan kepala keluarga Castellano, Maurice, yang kini tengah menikmati masa tua, menerima kunjungan rutin Kevin di rumahnya, sore itu. Meski telah pensiun, mantan Don berjulukan "The Angel Face" ini tetap memantau gerak Kevin, sesekali memberi saran dan nasihat untuknya. Sebagai orang yang telah "membentuk" Kevin dari yang semula pelaku kriminal kelas teri hingga berhasil menjelma menjadi sesosok kepala keluarga yang disegani, tentu saja Maurice tidak lantas lepas tanggung jawab atas keponakannya itu.

Sementara bagi Kevin, Maurice adalah satu-satunya yang paling bisa dipercaya. Sosok yang dia anggap seperti ayahnya sendiri.

"Dari wajahmu, bisa kuterka, kamu belum berhasil menunaikan tugas menyingkirkan wanita itu," ujar Maurice, menatap lekat sang keponakan yang duduk di hadapannya.

Kevin tersenyum getir. "Tebakan Uncle tepat," sahutnya dalam sekali helaan napas. 

"Kawasan Brookine adalah salah satu area yang sangat menjanjikan. Kau tidak termotivasi?"

"Tentu aku sangat termotivasi! Tapi mau bagaimana lagi? Sampai saat ini kami selalu gagal menyingkirkannya," jawab Kevin gusar. Sesaat dia teringat memori buruknya bersama Antonella, lalu berdecak pelan. Tindakan barbar wanita itu sempat membuatnya menjadi pesakitan, belum ditambah rasa malu saat menceritakan kronologi kejadian pada dokter pribadinya. 

"Kau dibuat kerepotan?" Maurice bertanya saat menangkap ekspresi masam Kevin.

Kevin menggoyangkan tangan di udara. "Nggak usah bahas itu, Uncle. Percayalah, hanya soal waktu. Aku pasti berhasil menyingkirkannya," katanya, merasa tak nyaman berada di bawah tatapan Maurice yang dirasa menghakimi.

Senyum di wajah sendu Maurice mengembang. Dia bersandar pada sofa, jemari kedua tangannya saling bertaut di atas perut, lalu katanya, "Aku percaya kau akan berhasil. Apa pun tujuanmu, apa pun langkah yang kau ambil, aku percaya, semua akan berjalan dengan lancar. Sebab aku sendiri yang mendidikmu."

Kevin membalas senyum sang paman. "Kau benar, Unc."

"Entah kenapa aku jadi ingat ...." Pandangan Maurice menerawang, menguak tabir memori yang terjadi kurang lebih 20 tahun lalu. "Saat aku dan Wayne, ayahmu itu, bertemu pasca perang usai. Kau ingat? Kau mengawalku waktu itu. Puas sekali saat aku menyaksikan wajah Wayne pucat pasi menyadari kau bersamaku," tuturnya.

Kevin mengangguk. Masih sambil tersenyum dia menyahut, "Ya, Unc. Aku ingat saat-saat itu. Mata Wayne seperti akan lepas begitu melihatku!"

Maurice balas mengangguk. "Aku bangga-banggakan kamu di hadapannya. Aku bilang, akan mewariskan kursi don padamu ... dan ekspresinya ... wah, campur aduk kurasa. Apa dia tidak pernah menghubungimu setelah itu? Atau mungkin sebelumnya?" 

Kevin menggeleng singkat. "Nope. Setelah aku melarikan diri dari rumah, aku dan dia sama sekali nggak pernah berhubungan. Bahkan hingga sekarang ini," jawabnya. 

Dia menghela napas panjang. "Kurasa dia kena mental, Unc. Salahnya sendiri, dia terlalu mengekangku. Membatasi mimpi-mimpiku. Membuatku hilang respek padanya bahkan sejak aku masih sekolah. Kalau dipikir, memang ironis. Aku justru menjadi apa yang dia takuti sejak dulu. Dia gencar memberantas mafia, tapi anak laki-laki satu-satunya malahan menjadi mafioso. Ironis. Bisa jadi bahan dongeng yang bagus buat cucu-cucuku kelak," ungkapnya seraya terkekeh. "Sampai sekarang nggak ada terobosan baru lagi dari Wayne? Aku sudah membayangkan bakal terlibat perang jilid dua dengan ayahku sendiri."

Gelengan kepala Maurice menjawab pertanyaan Kevin. "Seperti yang kau katakan, Wayne kena mental. Tak ada pergerakan apa-apa darinya, dia sudah meredup ... bukan lagi sebuah ancaman, Kev. Wayne Castellano sudah tamat riwayatnya, bisa kupastikan itu. Bayanganku, dia menghabiskan sisa umurnya dengan nelangsa, mungkin sakit-sakitan. Bagaimana tidak? Dia kehilanganmu, dan kehilangan Camila sekaligus. Kukatakan padanya, obsesinya menghancurkan sesama Sivily harus dibayar mahal dengan kehilangan dua anak sekaligus, maka wajar saja kalau dia patah arang," ujarnya.

"Aneh. Aku tidak merasakan apa-apa mendengar dia jatuh seperti itu," sahut Kevin.

"Mungkin karena dia telah meninggalkan jejak memori yang buruk di hidupmu, maka kau mati rasa. Dengan kata lain, apa yang terjadi pada keluarga Wayne adalah hasil dari ulahnya sendiri selama ini."

"Kau benar, Unc."

"Pada saat itu, aku sendiri pun tengah dirundung duka karena putriku jadi korban kecelakaan pesawat Flavio. Aku sempat hancur, marah pada dunia, terlebih, marah pada si bajingan Flav yang beraninya menyeret anakku. Namun dalam hati, aku selalu merasa Jessica masih hidup! Aku selalu yakin bahwa aku belum kehilangan Jessy. Untunglah, aku mendengarkan intuisiku itu, yang membuatku gigih mencari keberadaannya di Leighryn .... Tuhan telah sangat baik melindungi putri dan cucuku ...," tutur Maurice penuh haru.

Kevin terdiam sejenak. "Jessy masih belum bersedia kembali ke New Yord, Unc?" tanyanya.

Maurice menggeleng lemah, menghela napas. "Pasca aku berhasil menemukan keberadaan Jessy, tak terhitung banyaknya usahaku membujuk Jessy agar kembali pulang ke rumah. Tapi anak itu keras kepala. Ah. Mungkin bukan keras kepala ... kurasa dia hanya trauma. Setelah kupikir lagi, wajar bila Jessy trauma dengan kejadian 20 tahun lalu. Sedang hamil besar, terseret peristiwa semacam itu yang nyaris merenggut nyawa. Wajar Jessy trauma ... dengan statusku sebagai kepala keluarga Castellano. Mungkin dia hanya ingin lepas dari bayang-bayang nama Castellano. Aku tidak berhasil membujuknya untuk pulang. Jadi ... dengan berat hati aku membiarkannya menempuh hidup baru di sana, berdua dengan cucuku. Sebab yang paling penting buatku sekarang adalah agar Jessy dan cucuku tetap selamat, sehat dan berbahagia. Itu saja."

"Aku bisa memahami ... kau tidak bersalah, Unc. Jessy juga tidak bersalah karena memilih hidup baru di Leighryn," sahut Kevin setelah beberapa saat terdiam. "Apa kalian masih berhubungan sampai sekarang?"

"Tidak." Maurice menggeleng lagi. "Aku bebaskan anak itu. Kalau dia memang ingin menghubungiku, ia tahu dengan pasti bahwa ia bisa lakukan itu kapan saja."

"Sayang sekali," gumam Kevin. "Kau tidak penasaran dengan cucumu? Dia pasti sudah dewasa sekarang. Siapa namanya, Unc?"

"Tebak," jawab Maurice, lalu tertawa sumbang. "Jessy memberinya nama seperti nama suaminya. Denver."

Kevin mendengus geli. "Jessy. Seperti nggak ada nama lain saja."

"Biarlah. Sesukanya," sahut Maurice. "Namun yang kadang masih mengganggu pikiranku sampai saat ini ... sebenarnya di mana Camila?"

Kevin tersentak mendengar nama Camila disebut, namun refleks menjaga ekspresi wajahnya. 

Maurice melanjutkan, "Saat aku masih di posisimu, aku juga sekalian mengutus orang untuk melacak keberadaan Camila. Bukan untuk kuadukan pada Wayne, mana mungkin. Aku tentu cemas juga dengan kakakmu itu. Di mana dia sekarang? Apa kau tidak pernah kepikiran mencarinya? Atau kau mengetahui sesuatu?"

Kevin mengangkat bahu. "I have no idea, Unc. Menghilangnya Camila bersamaan dengan menghilangnya Reeve Galante yang melegenda itu. Aku yakin Camila pasti ikut Reeve kemana pun dia pergi. Kalau ingin menemukan Camila, harus temukan Reeve terlebih dahulu. Itu menurutku."

"Kau tidak penasaran ingin mencarinya?"

"Semua pihak mencari orang itu sampai ke ujung dunia, tanpa hasil. Kenapa aku harus repot?" Kevin menarik napas dalam-dalam. "Lagipula, tiap teringat Camila, aku pasti ingat Reeve juga. Reeve, si pengkhianat itu, adalah iparku? Rasanya malas sekali mengakuinya. Aku tidak ada hubungan dengan pengkhianat semacam Reeve."

Maurice mengangguk paham. "Sayang sekali, Camila malah mendukung pengkhianat ...." 

Sesaat Maurice tersadar akan sesuatu. "Ah. Wanita yang kau buru itu ... siapa namanya?"

"Antonella Maranzano," jawab Kevin. Alisnya terangkat, penasaran menunggu alasan mengapa topik pembicaraan mereka kembali pada Antonella.

"Perempuan itu baru muncul setelah 20 tahun berlalu. Tiba-tiba memperkenalkan diri sebagai penerus Flavio. Kenapa harus menunggu selama 20 tahun? Ke mana saja selama ini? Aku yakin pasti ada alasan di balik keputusannya mengambil alih posisi Flavio," tutur Maurice, keningnya berkerut dalam. 

Kevin menyadari ucapan sang paman ada benarnya. "Benar juga ... kira-kira apa alasannya, Unc?"

"God knows." Maurice mengangkat bahu. "Kemungkinan selalu ada. Bisa jadi Antonella membutuhkan koneksi dan kekuatan untuk bisa menelusuri kembali peristiwa yang lalu ... untuk membalas dendam kematian Flavio pada Reeve. Reeve itu pengkhianat terbesar, ada sekian banyak orang yang menyimpan dendam padanya. Bisa jadi, wanita itu juga."

Kevin tampak mencerna teori yang baru saja didengarnya. 

"Aku hanya menerka," imbuh Maurice. "Kalau kau dibuat kesulitan menghadapi Antonella, mungkin kau bisa ubah taktikmu. Lakukan pendekatan dengan cara lain, dengan begitu kau bisa dengan mudah melenyapkannya."

Kevin mengangguk. "Teorimu masuk akal, Unc, terima kasih. Aku akan diskusikan ini dengan orang-orangku," ujarnya.

 

"Haii, guyys! Aku sekarang udah balik ke Miani, loh!" 

Di pinggir pantai Miani, seorang gadis muda dengan semangat yang membara berlari kecil sambil menyiarkan langsung pengalamannya melalui ponsel. Wajahnya bersemu kemerahan, dengan mata hitam yang menyala, hidung mancung, dan senyum manis di bibir tipisnya. Rambut gelapnya yang ikal berkibar di udara, mengikuti irama angin laut. 

Ia adalah Fabrizia Maranzano, atau yang lebih dikenal sebagai Zia, seorang influencer media sosial dengan pengikut setengah juta orang. Zia terbilang rajin mengunggah video setiap hari, dan beberapa kali dalam seminggu ia melakukan siaran langsung. Banyak yang menggemari dan setia menunggu kemunculan Zia, sebab selain memiliki paras cantik, ia pandai membawa diri, luwes berinteraksi dengan semua pengikutnya.

"Kalian tahu nggak, sih? Aku tuh sukaaa banget liburan di pantai kayak gini! Apalagi pas matahari terbenam, duhh, cantiknyaaa! Nih, guys, lihat deh!" Zia mengarahkan lensa agar menangkap pemandangan yang ia saksikan. Semburat awan jingga mewarnai langit yang bersinar keemasan, mengiringi sang surya kembali ke peraduan di batas horizon. 

"Cantik, kann?" Zia berseru antusias sembari mengarahkan kembali lensa pada dirinya. 

Pipi Zia semakin merona saat menyadari untaian komentar yang masuk rata-rata menulis, "Lebih cantikan kamu, Zia!"

"Aduh ... apa sih, komennya bikin aku malu aja dehh," rajuk Zia.

"Stop it!" 

Zia tersentak kaget saat ponsel yang dipegangnya direnggut paksa oleh seseorang. Matanya terbelalak tak percaya, orang itu, Alvaro, dengan sengaja mematikan koneksi siaran langsung Zia. 

"Alvaaa!! Kok malah dimatiin?" protes Zia, tangannya gesit merebut kembali miliknya.

"Stop, jangan terusin! Udah aku bilang berkali-kali, Zia, kamu tuh nggak pernah dengerin? Jangan live! Jangan share kamu lagi di mana ke semua orang!" hardik Alva, berkacak pinggang memelototi adiknya itu.

Zia merengut. "Emang kenapa, sih? Followerku bakal nanyain aku kalau nggak tiap hari update!" balasnya.

Decakan dan teguran Alva tidak menyurutkan niat Zia. Tanpa menunggu izin, ia kembali melanjutkan siaran langsung.

"Guyys! Maaf ya, tiba-tiba koneksinya diputus!"

Mata Alva membelalak lebar menyadari betapa nekad dan keras kepalanya Zia. 

"Tadi kakak aku yang matiin sambungan internet. Kayaknya dia jealous sih, nggak punya follower. Hihihi. Nih, orangnyaa!" Zia sengaja mengarahkan lensa agar wajahnya dan Alva berada dalam satu frame. "Say hi ke dia dong, guys! Ada yang mau kenalan mungkin?" 

Terkejut, Alva refleks menutup wajahnya dengan tangan, beringsut menjauh. "Apa sih, Zia?!"

Zia menjulurkan lidah pada Alva, lalu kembali menyapa audiensnya. 

Meski kesal lantaran dibawa paksa Zia masuk ke video siaran langsungnya, namun ada satu hal yang Alva wajib sampaikan pada adiknya itu. Alva pun mengurungkan niat kembali ke kamar hotel.

Tidak lama kemudian, saat siaran langsung Zia usai, Alva tidak membuang waktu lebih lama lagi. Dia mendekati adik seayahnya itu, berkata, "Please. Aku harus gimana yakinin kamu, Zia, nge-live itu bahaya!"

Zia berdecak. "Apa sih, Alva ... bahayanya apa?" balasnya tak acuh.

"Kamu nggak ingat kalau kemarin Tonie diculik? Kondisi kita itu lagi jadi buron, Zia, kita lagi dicari-cari! Apalagi Tonie! Kamu mau Tonie kenapa-kenapa? Kamu mau terseret masalah gara-gara kamu live kasih liat kamu lagi di mana, dan dengan begitu, orang-orang yang mencari kita bakalan tahu posisi kita? Kamu tuh nggak ngerti sama sekali apa gimana, sih? Mereka itu bukan orang baik! Mereka incar nyawa Tonie, dan mungkin incar nyawa kita juga! Masa hal genting seperti ini aja kamu mesti dijelasin kayak begini, sih?!" desak Alva.

Mendapati ekspresi Alva yang terlihat cemas bercampur paranoid menggelitik Zia. Ia terkekeh.

"Woi! Siapa yang suruh ketawa?!" 

Zia semakin merasa geli. Semenjak bayi, Alva dan Zia selalu bersama-sama. Belajar bersama, tumbuh besar bersama. Tidak heran bila Zia hafal semua ekspresi wajah Alva baik dalam emosi positif maupun negatif. 

Kini, di usia dewasa, keadaan yang ada menuntut Alva untuk bersikap lebih tegas, galak sekaligus berani, pandai membaca situasi dan penuh perhitungan. Perubahan sikap yang kompleks ini belum membuat Zia terbiasa.

"Alvaa ... beneran deh, kamu tuh nggak pantes marah-marah ke aku. Aku liat kamu malah jadi gemes, kamunya ngambekan gitu," ledek Zia.

Alva melongo persis seperti ikan mas koki yang terlempar keluar dari akuarium, mendengar komentar Zia tentang dirinya.

"Udah, kamu tuh nggak usah parno!" ujar Zia santai. "Kamu nggak pernah liat username aku? Aku mana pernah sebutin kalau aku Maranzano ...," katanya lagi seraya memperlihatkan bio profilnya di media sosial.

Alva membaca sekilas bio Zia. Memang benar yang dikatakan Zia.

"Nggak ada Maranzanonya sama sekali, kan? Aku dikenal dengan nama 'Zia' aja di dunia maya. Aku juga tahulah, posisi kita tuh nggak enak ... nggak bisa hidup tenang. Aku juga jaga-jaga kalii," tutur Zia.

Kelegaan mewarnai wajah Alva mendengar penuturan Zia. "Ohh. Bilang dong dari awal. Aku udah parno, takut keberadaan kita terlacak!" 

"Aman, aman."

Alva menarik ucapan sesaat kemudian. "Tapi buat jaga-jaga, mending kamu hapus aja deh akun kamu. Mana tahu mereka terus bisa tahu nama kamu, nama panggilan kamu."

"Ih! Gila, masa hapus akun??" Zia nyaris berteriak. "Nggak! Capek-capek aku bikin persona sampai followerku 500.000. Nggak bakal aku hapus."

"Zia, dengerin."

"Aduh, Al, kamu tuh kuno amat, sih? Harus banget aku ajarin?" Zia menarik napas dalam sebelum menyampaikan pendapatnya. "Nih ya ... tujuan terbesar kita, menyasar pengkhianat yang bikin papa kita tewas, kan? Kamu pernah mikir nggak, kalau pengkhianat itu sekarang ini pasti udah punya anak. Anaknya bisa jadi seumuran kita, atau lebih muda. Apa yang anak-anak seumuran kita lakukan? Main ponsel. Main sosial media. Aku jadi seleb di sosmed itu bukan cuma pengen terkenal, tapi juga mancing siapa tahu ada anak pengkhianat itu yang jadi follower aku. Bisa jadi, kan?"

Alva mengerjap-ngerjapkan mata, seolah baru tersadarkan kemungkinan semacam itu.

"Bener, kan? Kalau, kalau anaknya laki-laki, pas banget, aku bisa sebar charm aku di sosmed, pancing dia muncul. Kalau anaknya perempuan? Yah, yang aku share kebanyakan kan, review alat kosmetik! Nggak mungkin cewek nggak tertarik buat dandan. Cakupan aku luas, Alva. Jadi jangan remehin aku terus," imbuh Zia menutup penjelasan.

"A-aku nggak main sosmed soalnya ...," aku Alva pelan.

Zia mengangguk pasti. "Iya! Kamu nggak gerak di sosmed, tapi kan kamu gerak di dunia nyata. Kamu yang cari orang itu, literally, cari secara fisik. Sementara aku, aku gerilya lewat dunia maya. Tonie juga setuju sama aku, kok. Emang Tonie nggak pernah bahas ini sama kamu?" tanyanya.

Alva menggeleng pelan.

"Nah. Now you know ...."

"Hmmm. Sorry," gumam Alva kemudian.

Zia tersenyum manis. "It's alright! Aku maklum sih, kamu itu meski cuma beberapa hari lebih tua dari aku, tapi cara pikirnya kayak generasi baby boomer. Nggak paham perkembangan zaman," ejeknya.

Alva melengos gemas. Dia bergerak cepat merangkul Zia, lalu mengacak-acak rambut adiknya itu dengan tangannya yang lain. "Puas ya, ledekin terus!" serunya.

"Awww, rambut akuu, Alvaaa! Nanti kusut!" 

Alva tertawa lepas. Masih sambil merangkul Zia, mereka berjalan santai menuju hotel. 

Diam-diam, Zia memandangi pemuda yang merangkulnya itu dengan tatapan kagum. Semakin hari, Alva terlihat semakin mempesona. Maskulinitas Alva benar-benar membuat pemuda ini menjadi magnet kaum hawa. Garis dahi, hidung, bibir dan dagu yang sempurna, dipadankan dengan garis rahang yang tegas dan kuat, belum lagi perawakannya yang tinggi atletis, hasil dari latihan intens setiap hari. 

Tidak heran banyak wanita yang sering bermain mata dengannya, yang tidak pernah sekalipun Alva tanggapi. Hanya yang menjadi masalah sekarang, bahkan sampai Fabrizia, adiknya sendiri, juga menaruh hati pada Alvaro.

Namun Zia tidak pernah mengakui bahwa dirinya menaruh hati pada Alva. Tidak ada seorang pun yang tahu, hanya Zia. Yang ia tahu, ia memang sering mendapati dirinya tengah menatap Alva penuh kagum, seperti saat ini. 

Zia! Astaga! Kok lagi-lagi ngeliatin Alva kayak gitu sihh?? Nggak ... nggak mungkin kan .... Nggak mungkinlah, aku punya rasa sama Alva. Nggak mungkin, dan nggak boleh! Haram! Tapi kenapa sih ... kenapa kok Alva makin hari makin .... Uurrgh. 

Zia menggeram dalam hati, gelombang perasaan bingung serta kalut menyelubungi dirinya.

Apa ini sifat yang aku warisi dari orang tuaku? Kalau diingat lagi, papa dan mama sebenarnya saudara sepupu. Mereka masih satu kakek .... Masa iya, sih? Aku mewarisi darah kecenderungan suka sama saudara sendiri?? Ini malah lebih parah. Alva kan kakakku sendiri!! Uuuhh! Aku nggak boleh piara perasaan semacam ini, harus aku singkirkan!

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Donna's Revenge (Bab 3)
0
0
Antonella dan Alva mulai mengumpulkan kepingan informasi mengenai lokasi sasaran mereka, Reeve Galante. Antonella sampai harus berurusan dengan mantan bos mafia bernama Roman yang terkenal berbahaya demi menggali info! Apakah mereka akan berhasil? Tapi, kenapa usaha Antonella lagi-lagi membuatnya harus berurusan lebih jauh dengan Kevin Castellano?*** Baca dan dukung penulis yuk, biar semangat update sampai bab terakhir! Keep in touch with author on  Instagram: @miss_camillemarion Facebook: Camille Marion Facebook fanpage: https://www.facebook.com/novelbycamille Youtube: @ImajinasiCamille***Perkenalan tokoh:
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan