
Baru sehari kembali ke rumah Ghandy, Valen sudah ‘disuguhi’ yang tidak-tidak. Dia sendiri kelimpungan dibuatnya. Meski pikirannya menolak, namun tubuhnya tidak! Mau jadi apa hubungan kakak beradik yang terlalu jauh menyimpang dari norma tersebut?
***
Baca dan dukung penulis yuk, biar semangat update sampai bab terakhir!
Keep in touch with author on
Instagram: @miss_camillemarion
Facebook: Camille Marion
Facebook fanpage: https://www.facebook.com/skandalcintapewariskedelapan
Youtube: Camille Marion
45 - Tumbuh Besar Bersama Sekaligus Tidur Bersama
"Oh ya. Sayang emang," sahut Valen malas. "Tapi gue males cosplay jadi gembel lagi."
"Kenapa nggak?" Michael bertanya terburu. "Gih, jadi gembel lagi. Nanti gue bantu sediain properti yang menunjang. Gerobak, misalnya. Pas banget kan tuh, gembel dorong gerobak."
Valen mengatupkan bibir.
"Daripada bawa jazzy, mobil operasional pembantu di sini, bagusan lu bawa gerobak sih."
"Lu ada masalah apa sih sama gue, Mike?" ketus Valen. Sebelum Valen kabur dari rumah, sikap Michael kerap angot-angotan terhadapnya. Kadang mendukung, bahkan memberi nasihat, kadang mengejek, merundung dirinya. Namun setelah Valen kembali, sikap Michael menjadi benar-benar menjengkelkan. Michael kerap memandanginya dengan tatapan jijik dan bermusuhan, seperti tengah melihat kotoran.
Pandangan bermusuhan itu tampak jelas lagi sekarang, dengan agresif Michael menunjuk dada Valen sambil berkata mendesis, "Denger ya, gue cuma bakal bilang sekali ini aja. Jauhi Irene. Jauhi Alexandra. Gue nggak mau lihat lu kegeeran karena perhatian mereka, terus lu ngerasa bisa deket-deket sama mereka. Lu pikir gue nggak tahu, apa aja yang lu lakukan? Irene dan Alexa itu milik gue, lu paham nggak?!"
Valen mengerutkan alis. Ternyata sikap permusuhan Michael padanya lantaran tidak terima dia dekat-dekat dengan Irene dan Alexa. Valen mendengus geli.
"Apa?! Siapa suruh lu cengengesan?!" bentak Michael.
"Mike. Ko Mickey," panggil Valen. "Lu nggak perlu repot kasih gue warning segala. Gue juga nggak kepengen terus-terusan terlibat dalam hubungan yang aneh dan nggak sehat dengan saudara sendiri."
Gantian Michael yang memandangi Valen dengan kening berkerut.
"Silakan lu kekepin Irene dan Alexa, silakan. Gue nggak bakal ganggu. Justru gue bakal bersyukur kalau mereka cuma fokus melayani lu. Jujur aja, gue jengah tiap kali mereka mendekat dan merayu gue," sambung Valen.
Michael tertawa sinis. "Munafik. Di mulut bilang begitu, tapi tetep aja lu bawa mereka tidur."
Bahu Valen terangkat. "Mau gimana lagi? Gue laki-laki. Lu juga harusnya paham kalau kaum kita sulit menolak godaan. Gue cuma mau lu tahu, kalau gue bukan ancaman .... Apanya dari gue sih yang bikin lu kayaknya merasa terancam dan jadi memusuhi gue? Gue nggak minat rebut Irene atau Alexa ... makanya gue bilang, silakan lu kekepin aja mereka."
Michael masih memandangi Valen dengan agresif, seperti tak ragu menerkam.
"Tapi kalau gue boleh saran ... Ko Mickey, mendingan udahan aja main inses-insesannya. Lu semua selalu mengagungkan pikiran logislah, apalah, tapi soal ini kalian sama sekali nggak ada logis-logisnya. Masa iya lu tidur sama adik sendiri, sama kakak sendiri? Gila, sinting itu namanya! Kan lu punya banyak temen cewek yang bisa jadi selimut lu, nggak usahlah sama saudara sendiri. Haram."
"Nggak usah sok ngatur!" sentak Michael tidak terima. "Gue nggak butuh nasihat atau apa pun dari bocah gembel ingusan kayak lu."
Valen mengangkat bahu tidak peduli, malas berdebat lebih jauh. "Oke, suka-suka lu aja. Udah ya, gue ada urusan," ujarnya sambil masuk ke mobil yang dia pilih tadi.
"Lu camkan baik-baik warning gue tadi! Kalau nggak, gue nggak segan sama lu!"
Ujaran Michael disahut Valen dengan menginjak pedal gas dalam-dalam.
***
Xander tengah menikmati secangkir kopi di sebuah kafe, matanya fokus mengamati layar laptop di hadapannya. Dia baru akan memantik batang rokok kedua saat kehadiran seseorang mengalihkan atensinya.
"Hey, Xander!" Valen menyapa Xander hangat, menghampirinya.
Xander bangun, menyambut sang sepupu dengan sebuah pelukan. "Gimana kabar lu, Valen?" tanyanya sambil menepuk-nepuk bahu Valen. "Lu rada item sekarang, kurusan banget," simpulnya begitu mereka berdua duduk berhadapan.
Valen hanya tertawa ringan. "Gue kan dijemur panas-panasan di jalanan tiap hari. Lu sendiri gimana kabar?"
"Baik. Eh, gue seneng banget dapet kabar kalau lu udah balik! Serius. Gue sempet cariin lu, atas permintaan Fredo."
Valen mengangguk. "Iya. Ko Fredo udah cerita juga. Thanks ya. Cuma segelintir yang cemasin gue."
"Nggak ada lu nggak lengkaplah," sahut Xander. "Jadi ceritanya gimana? Beneran, lu sampai ....." Xander tak tega melanjutkan ucapannya.
"Jadi gembel?" Valen mengangguk. "Emang. Nggak punya tempat tinggal, laper, haus, dijemur, tidur di emperan toko atau halte. Asli, gue pernah jadi gembel kotor yang bau badannya menyengat .... Kumisan, jenggotan, rambut gue gondrong nggak keruan. Ini, gue baru dari salon langganan rapiin rambut," ujarnya sambil menggerakkan kepala, memamerkan rambut barunya yang telah rapi. Dia tersenyum dan mengangguk pada waiter yang membawakan kopi miliknya.
Xander tampak miris mendengar ucapan Valen. "Itu semua karena lu nggak pernah dengerin gue," katanya.
"Iya. Gue salah, gue akui gue keliru menilai orang, dan mengabaikan semua omongan lu dan Fredo," sahut Valen.
Xander bergumam tidak jelas.
"Tapi ya sudahlah. Kan gue udah balik. Gue juga udah berserah diri pada ketentuan 'yang kuasa', alias Bernard si tuhan kecil kita," lanjut Valen sinis. "Gue udah buang mimpi gue, Xan."
"Good. You're awake, now. Kita memang harus bangun dan jangan bermimpi terus. Jalani hidup dan kenyataan yang ada di depan lu, jangan terbuai mimpi."
Padahal mimpi adalah pemacu semangat seseorang untuk meraih mimpi itu .... Tapi gue sadar, hal itu nggak berlaku di sini, ujar Valen dalam hati.
"Satu resiko lagi yang harus gue tanggung dengan kembali ke rumah Ghandy, Xan," kata Valen.
Xander menyimak.
"Yaitu, menahan diri supaya nggak terjebak godaan have sex dengan cici-cici gue," lanjut Valen.
"Anj*ng!" maki Xander yang terkejut. "Jadi beneran, lu juga ikut-ikutan inses kayak si Michael, Franco, Sonny?!"
Valen meringis, teringat kejadian semalam dengan Irene. "Cewek-cewek di rumah ... duh, nggak ada yang eling kalau gue ini adek mereka. Sengaja provoke gue pakai baju minimalis, agresif pula, gimana cerita gue bisa menghindari inses?!"
"Ya elunya, mau-mau aja. Gue heran, asli, gue heran, kenapa kalian bisa-bisanya terangsang sama saudara sendiri! Nggak habis pikir! Gue juga punya saudara cewek. Gue punya empat cici, yang menurut orang-orang, cantik semua. Tapi gue lihat mereka tuh sama sekali nggak ada rasa apa pun. Males duluan karena gue tumbuh besar sama mereka, udah lihat mereka sejak kecil! Makanya gue nggak habis pikir sama kalian! Tumbuh besar sama-sama ... tapi juga tidur bersama. Gila," cerocos Xander emosi.
"Iya itu dia yang bikin gue sendiri heran, Xan," aku Valen malu-malu. "Gue juga nggak tahu .... Gue sendiri juga sama, kan, tumbuh besar bareng Irene, yang cuma setahun di atas gue. Sama Alexa, tiga tahun di atas gue. Tapi ... tapi .... Ya dorongan itu ada. Emang ada. Mungkin karena gue nggak sejak lahir tinggal di sana ... ya nggak tahu juga. Pokoknya ...." Valen menggeleng-gelengkan kepala. "Sumpah, Xan, gue nggak mau lagi berbuat demikian," katanya lirih.
Xander memandangi Valen agak lama. "Let me guess. Begitu lu balik ke rumah, lu udah tidur dengan salah satu dari mereka?" terkanya.
46 - Ada Apa Antara Alexander Dan Alexandra?
Valen mendengus kesal. "Bisa ditebak dengan mudah, kan?"
Xander berdecak. "Lu tobat deh buruan," ujarnya kemudian. "Yang udah ya udah. Jangan diulangi lagi. Lu sibukkan diri lu sendiri, ngapain kek, belajar, atau ngapain. Nyapu kamar, ngepel, benerin genteng, apa pun. Jangan sampe lu bengong sedikit, dorongan semacam itu seneng banget muncul tiap sedang nggak ngapa-ngapain, kan? Jauhi itu."
Valen termenung. "Kalau ... mereka datengin gue dengan pakaian seksi? Ngerayu agresif?"
Ekspresi ngeri terlihat di wajah Xander. "Jadi Alexa dan Irene kerap seperti itu ya," simpulnya.
"Kan gue udah bilang tadi."
"Mereka bener-bener fasih gimana membangkitkan nafsu lawan jenis," ujar Xander sambil menghela nafas kasar.
"Lu kebayang nggak? Yang secakep Irene. Bentuk badannya yang ... dammmn, ditambah pakai baju irit bahan! Kebayang nggak?"
"Kebayang." Xander mengangguk. "Dan ill feel. Karena gue masih inget wajahnya waktu masih pakai seragam sekolah dasar."
Valen mengerang. "Tapi gue nggak inget! Yang terlihat di mata gue, yang memenuhi otak gue, ya tampilan sensual mereka. Gimana?"
"Lu latih otak lu supaya jangan mikir jorok terus," sahut Xander cepat. "Kalau lu kalah dengan godaan pikiran jorok lu, lu bisa kayak si Michael. Baru berapa minggu lalu dia dengan bangganya cerita mau kelonan sama Irene di hotel. Entah udah berapa kali dia ngelakuin inses. Sebelum lu semakin terjerumus, mending lu sibukkan diri, dan jangan kasih tempat saat pikiran mesum itu muncul."
Valen lagi-lagi termenung.
"Kalau Irene datengin lu lagi, penampilan seksi, hot, bikin lu berselera ... langsung tampar aja anaknya biar eling. Tampar yang keras. Biar lu sendiri eling juga. Lalu tinggalin udah itu."
"Gue nggak mukul cewek ...."
"Itu pukulan antar saudara, demi kebaikan saudaranya sendiri. Nggak masalah."
Valen menghela nafas panjang, lalu menyesap kopinya. "Benernya ada satu cara lagi, supaya Alexa atau Irene malas deket-deket. Yaitu, gue punya pacar."
"Ya udah, cari pacar. Cari cewek yang bener ... jangan kayak cewek lu waktu itu. Valentina."
Valen berdecak. "Nggak usah sebut namanya, please."
Xander terkekeh. "Padahal udah yakin banget sama Valentina. Mentang-mentang namanya sama, disangka jodoh. Nggak tahunya ...."
"Nggak perlu juga sebut soal itu, sialan lu. Gue masih kesel banget sama tuh cewek. Patah hati juga gue dibuatnya! Valentine gue yang tergelap."
"Jadiin si Valentina itu pelajaran buat lu, lu mesti pinter-pinter screening cewek yang mau lu dekati," pesan Xander.
"Yeah. Belom lagi, harus cari yang mau gue buahi dan mau serahkan anaknya buat gue," sahut Valen.
Tidak terdengar sahutan Xander.
Heran, mengapa Xander tidak lagi menyahuti dirinya, Valen memandangi lawan bicaranya itu. "Kenapa lu tiba-tiba diem?"
"Well." Xander melengos. Sebatang rokok yang sedari tadi terselip di jemarinya, belum jadi dia nyalakan. Xander memantik api pada batang rokok itu lalu mengisapnya. Digesernya kotak sigaret miliknya pada Valen. "Ambil nih," tawarnya.
Valen tersenyum, menolak. "Nggak deh."
"Lu mau turuti yang satu itu? Tebar benih?" tanya Xander kemudian.
Valen menganggukkan kepalanya bingung. "Emang itu tugas anaknya lord Bernard. Ya gue harus turuti, mau gimana lagi?"
Keduanya sama-sama terdiam.
"Ngomong-ngomong, si Alexa dulu bukannya pernah ngaku naksir lu ya, Xan? Zaman gue masih SMP."
Wajah Xander menegang saat Valen tiba-tiba menyinggung masa lalu. Kepulan asap tembakau dia embuskan dari mulutnya, tergesa, mungkin karena gugup.
"Itu gimana ceritanya? Lu sama Alexa emang saling ngegebet, atau jangan-jangan udah ada sesuatu? Terus, nggak berlanjut, gitu? Atau malahan lu nolak dia?"
Xander berdecak tidak nyaman. "Itu udah lama banget, nggak untuk dibahas."
"Bahas lagi juga nggak apa, siapa tahu gue jadi bisa paham kenapa Alexa sama lu kayak jadi magnet yang tolak menolak. Padahal kalian berbagi nama yang sama. Waktu itu, berarti Alexa masih SMA, sementara lu, udah kuliah di luar kan ya? Pas banget tuh, Alexa lagi zaman-zamannya berkembang, lagi mulai panas menggelora. Terus dulu itu, Alexa sampai sengaja terbang ke Leighryn buat susulin lu. Apa yang terjadi di sana, nah itu yang gue nggak tahu deh. Ngaku lu, Xan, jangan-jangan lu sama Alexa ada apa-apa?" Valen memandangi sang sepupu, ingin menyaksikan perubahan ekspresi di wajah itu.
"Nggak, anj*r!" seru Xander cepat.
"Terus?" Valen masih memancing.
Xander lagi-lagi berdecak. "Apa alasannya gue harus cerita kejadian yang udah lama banget lewat? Dan cerita ke lu, pula."
Valen tampak merangkai sesuatu di benaknya. "Apa mungkin ...? Mungkin karena Alexa patah hati gara-gara lu, makanya dia jadi rada sinting? Terus kemakan rayuan Michael, yang emang sinting dari awal, yang notabene Michael tuh mirip sama lu? Udah deh, terjadi hal tabu antar saudara. Alexa jadi pemakan saudara. Dia tularkan itu ke Irene, yang menjelma jadi lebih liar dari Alexa. Makes sense nggak?"
"Nggak," jawab Xander gusar.
"Kalau emang bukan begitu, ceritakan yang sebenarnya dong Xan," ujar Valen sambil menahan senyum. "Lu nggak perlu ngamuk, bad mood, tinggal luruskan asumsi orang."
"Asumsi-asumsi liar itu sama seperti gosip. Gue nggak berminat ngurusin gosip. Buang-buang tenaga, buang waktu."
Valen mengangguk-angguk. "Gue makin yakin emang ada sesuatu terjadi di Leighryn. Meski lu nggak ngaku."
"Gue nggak pernah makan saudara. Bahkan sepupu pun nggak," jawab Xander merengut. "Gila apa, makan sepupu? Bokap kita berdua kakak adek, masih satu garis keturunan, masih terlarang. Oh, sorry gue lupa. Nggak ada gunanya gue ngomong gini, lu nggak akan paham. Karena lu sendiri pelaku praktik inses, yang hubungannya jauh lebih dekat lagi malahan."
Valen meringis. "Kan gue emang sedang berusaha lepas dari jeratan praktik inses."
"Udah deh, ganti topik," ujar Xander. "Terus, lu beneran berencana lepas balon nih, sekarang?"
"Hah?" Valen melongo. "Rasaan gue nggak ada rencana pesta ... apa-apaan ada balon segala?"
Keluguan komentar Valen dan ekspresi wajahnya menggelitik perut Xander, tawanya lepas membahana. Semakin geli saat melihat Valen memandanginya dengan tatapan bingung.
"What? Gue salah ngomong?" Valen menyahut. Sifat tawa memanglah menular. Menyaksikan Xander tertawa lepas meski belum tahu apa pemicunya, Valen pun ikutan terkekeh. "Sialan lu, Xan. Kasih tahu dimana lucunya biar gue bisa ketawa dengan enak," katanya.
"Duh Valen," sahut Xander di tengah-tengah tawanya. "Siapa yang ngomongin pesta. Siapa yang ngomongin balon buat pesta? Balon ... maksud gue tuh, kondom, Val, kondom. Lu udah nggak bakal pakai itu lagi demi tugas tebar benih?"
Valen melongo, baru menangkap apa yang dimaksudkan Xander tadi dan alasannya puas menertawakan dirinya. "O-oh! Itu, maksudnya? Lagian ngomong yang jelas. Kondom ya kondom. Balon ya balon," protesnya masih sambil tertawa ringan.
"Nggak enak nyebutin barang satu itu secara bebas."
Valen menggeleng-gelengkan kepala. "Ya cuek aja, daripada orang jadi salah paham." Valen menghela nafas kasar, mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. "Menjawab pertanyaan lu .... Ya ... gimana ya. Gue tahu, harus tebar benih. Tapi jujur aja, gue masih ragu. Ini anak men, yang kita omongin itu anak. Bakal ada jiwa baru yang lahir di keluarga corrupted macam Ghandy ... benernya gue nggak tega bayangin harus ada sekian banyak jiwa yang harus lahir di keluarga macem ini. Tapi, gue juga pengen punya, satu atau dua. Baiknya yah nunggu gue nikah dulu, baru gue hajar punya anak sama bini gue. Tapi, gue nggak bayang tekanan macem apa yang bakal gue terima kalo gue nggak sumbang banyak buat tuhan kecil yang satu itu."
Xander mengangguk-angguk. "Jadi lu benernya ragu, huh?"
47 - Napak Tilas
Valen terdiam, enggan menjawab.
"Bagus kalau lu ragu. Jangan beranak dulu. Nanti aja kalau lu udah nikah, baru lu punya anak. Resmi. Sah. Pemikiran lu udah bener banget," saran Xander.
"Gitu? Si lord apa kabar? Dia maunya punya sebanyak mungkin cucu."
Xander mengibaskan tangannya. "Lu iyain aja, lu bilang lu udah berusaha, tapi belum ada hasil. Terus aja lu bikin excuses seperti itu seenggaknya sampai lu nanti nikah. Kan bisa, seperti itu?"
"Ya ... ya iya sih," sahut Valen gamang.
"Paling banter ya lu disuruh tes kesuburan sama tuh orang. Ya udah nggak apa, jalani aja. Yang penting jangan ada anak lahir di luar pernikahan. Ini gue ngomong begini nih, karena lu belum punya satu pun. Gue nggak bisa saranin ini ke Mickey, atau ke Franco, mereka udah sinting. Ke Fredo pun mental, karena dia sendiri udah punya anak di luar nikah. Sonny, yah, nggak perlu dibahas."
Valen memandangi Xander, keningnya berkerut dalam, menyimak semua perkataannya. "Lu bener-bener kontra dengan pertumbuhan penduduk Ghandy?"
"Tentu," jawab Xander pasti. "Anak Ghandy udah terlalu banyak. Selagi ada cara buat mengerem sedikit laju pertumbuhannya, kenapa nggak? Salah satunya ya, persuasi elu," lanjutnya lagi seraya menyesap kopi.
Valen menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "We'll see."
"Gue juga bakal approach adek-adek lu si Antonio, Enrico dan Mario. Gue tekankan pentingnya alat kontrasepsi, sungguh. Kalau ke cewek-cewek, gue rada susah juga mau ngomongnya ... awkward lah. Entah gimana deh, mungkin gue bakal persuasi yang cowok-cowok aja," ujar Xander santai.
"Segitu niatnya, Xan?" Valen terkekeh. "Gue pikir lu ada di pihak Bernard."
Xander mengangkat sudut bibirnya. "Untuk urusan bisnis, bokap lu emang jagonya. Patut dijadikan teladan. Gue bener-bener belajar banyak dari dia. Tapi kalau udah urusan peranakan, wah, gue bertentangan sama bokap lu. Serius. Kalau aja gue bisa brainwash itu orang, udah gue lakukan dari dulu, Val. Gue sama sekali bukan penganut pemuja benih unggul Ghandy."
Valen semakin tidak dapat menahan cengirannya. "Coba aja bokap gue denger statement indah lu barusan ... duh, gue kepo pengen lihat gimana ekspresi mukanya. Keponakan kebanggaannya, malah punya cara pandang yang bertentangan. Lu sendiri, jangan bilang nggak ingin punya anak? Nikah juga nggak?"
Xander tersenyum mendengar pertanyaan Valen. "Gue menikahi pekerjaan gue," jawabnya.
***
Dalam perjalanan pulang, Valen menjumpai banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Dia yang sedang berada di dalam sebuah mobil berpendingin udara. Nyaman, adem. Berbanding terbalik dengan mereka yang sedang duduk menongkrong di trotoar. Yang berjalan kaki menahan sengatan sinar matahari ... Ada yang terlihat puas dengan hidup, banyak pula yang nelangsa, menahan lapar. Valen merasa dirinya jugalah bagian dari orang-orang itu. Berbagi panas yang sama, bergumul mengarungi nasib di bawah langit biru yang sama. Valen pernah berada di titik yang sama seperti orang-orang itu. Rasa simpati yang besar menyelusup dalam dirinya, melihat orang-orang itu. Untuk apa berbuat sombong, apa faedahnya bersikap congkak? Ada banyak penderitaan di luar sana, tidak sepantasnya bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.
Sejenak Valen bersyukur, pilihannya mengendarai mobil jazzy ini adalah tepat. Dia tidak bisa membayangkan, jika saja dia masih mengendarai mobil mewah miliknya dulu. Tentu saat ini dia tengah bermandi tatapan penuh makna dari banyak orang yang melihat mobilnya. Tatapan kagum yang mungkin bercampur tatapan iri ataupun sinis. Valen tidak lagi nyaman berada di bawah tatapan semacam itu sekarang, usai merasakan sendiri tidak enaknya bergelut di roda terbawah kehidupan.
Tengah asyik membatin, Valen tiba-tiba teringat pada satu sosok makhluk kecil berbulu yang menemani dirinya melalui malam yang kritis menahan lapar. Kucing abu-abu bermata hijau itu.
Maka dia segera memutar kemudi, sengaja berputar ke arah yang berlawanan dari rumahnya. Valen mengarahkan kemudi menuju suatu lokasi di Javaria Timur, di bawah jalan layang tempat dia tidur di jalanan untuk terakhir kalinya.
Situasi cukup ramai di sore hari itu. Banyak orang berlalu lalang, suara klakson kendaraan-kendaraan bermotor yang sama-sama tidak memiliki rasa sabar, sama-sama cemas pada lampu lalu lintas yang akan segera kembali menyala merah. Seakan hanya mengejar waktu saja hal yang perlu mereka cemaskan.
Bagaimana mencari seekor kucing liar di tengah jalanan yang ramai seperti itu? Valen tidak berharap banyak, setidaknya, dia hanya harus memuaskan rasa penasarannya. Apabila memang masih berjodoh dengan kucing itu, dia pasti akan menemukannya.
Di seberang kolong jalan layang, ada sebuah taman kecil. Penjaja gorengan dan minuman kemasan memenuhi trotoar taman. Di sisi kiri jalan banyak angkutan kota berwarna biru yang berhenti, menunggu penumpang. Valen memarkirkan mobilnya di sana, tak jauh dari barisan angkutan umum itu. Kebetulan sekali memang mobilnya juga sewarna dengan angkutan-angkutan itu, membuat keberadaan mobilnya saru.
Valen turun dari mobil, menyusuri taman. Yang dia temui hanya pedagang-pedagang kecil yang memandangi dirinya, lebih karena penasaran mengapa dirinya mondar mandir tidak tentu tujuan. Saat Valen bermaksud menyeberang, menuju kolong jalan layang, sebuah suara meongan membuatnya menoleh.
"Pus!" seru Valen melihat kucing abu-abu yang dia cari. Lega hatinya, rupanya kucing itu masih baik-baik saja. Meski tetap kurus, dan terlihat sangat kelaparan, namun setidaknya, kucing itu masih survive selama beberapa hari belakangan ini. Valen berjongkok, mengelus kepala kucing yang pandai mengenali orang itu.
Kucing pintar ini masih ingat gue, padahal cuma semalam saling nemenin. Gue bawa pulang aja ke rumah, kata Valen dalam hati.
Kucing tersebut mengeong-ngeong manja mendambakan belaian yang lebih dari Valen, menggesekkan badan berulang-ulang di kakinya. Valen sibuk mengambil bekal khusus untuk si kucing yang sempat dibelinya tadi saat mampir ke minimarket. Sebungkus kecil makanan kering untuk kucing, dan segelas plastik air minum kemasan. Si kucing sangat bersemangat menyambut pemberian Valen, dia melahap makanan dan minuman itu hingga tak bersisa sama sekali.
"Laper banget ya?" Valen masih membelai kepala kucing itu. "Lu ikut gue pulang, yuk?"
Si kucing mengeong. Mata hijaunya berbinar memandangi Valen, lalu menggosokkan kepalanya di tangan Valen.
"Yuk. Mau ikut kan? Tapi sebelumnya lu ke vet dulu ya. Biar diperiksa dokter, kasih obat kutu, segala macem. Mau?" Valen membelai dagu si kucing.
Getaran dari dengkuran kucing itu membuat Valen yakin, kucing tersebut menerima maksud baiknya. Maka tak ragu dia mengajak kucing itu untuk ikut dengannya. Dibawanya kucing kurus itu berkendara, menuju rumah Ghandy. Menyempatkan mampir di sebuah klinik hewan yang tak jauh dari komplek rumahnya, memeriksakan keadaan si kucing, sementara itu dia juga berbelanja macam-macam kebutuhan kucing. Kandang, kotak pasir beserta pasirnya, bantal, kalung, makanan dan lainnya.
Valen tersenyum senang saat menggesekkan kartu untuk membayar belanjaannya, inilah nikmatnya bergelimang materi berkelimpahan, segalanya menjadi mudah untuk dia miliki. Dokter yang memeriksa kucing baru Valen sudah menunaikan tugasnya, kucing itu telah diberi obat cacing dan telah diperiksa. Tidak ada penyakit bawaan selain malnutrisi saja lantaran tidak mendapat asupan makanan yang cukup. Tugas Valen hanya memandikan kucing itu lalu memberinya obat kutu.
48 - Tamparan Spesial Untuk Irene
Dan memandikan kucing itu menjadi hal pertama yang Valen lakukan setibanya di rumah. Kucing adopsi baru Valen ternyata tipe yang penurut, tidak memberontak saat dimandikan, membuat Valen semakin sayang padanya.
"Pus, Louie, Lulu .... Nama lu sekarang Louie ya pus." Valen mengajak bicara kucing itu usai dirinya mandi pula dan berpakaian. Dia bermaksud mengeringkan bulu Louie yang masih sibuk menjilati badannya yang basah di dalam kandang. "Yuk, keringin dulu. Jangan takut denger suara dryer ya," katanya lagi.
Tengah fokus mengeringkan bulu Louie, tiba-tiba Irene sudah masuk ke dalam kamar mandi. "Ihh. Kucing dari mana itu, Valen?"
Valen sedikit mengernyit tidak suka lantaran cara Irene yang menyelonong masuk ke dalam kamarnya. "Lu ngapain? Main masuk aja," tegurnya.
"Gue nungguin lu pulang kali ... tahu-tahu udah dateng aja. Kata Nek Marni lu bawa pulang kucing jelek ke rumah," jawab Irene santai. "Kucing liar gitu ih rupanya ... ngapain lu bawa pulang sih? Mau lu urus emangnya?"
"Emang kenapa?" Valen balik bertanya.
"Idih, jelek gitu nggak ada bagusnya! Kalau mau main kucing kan ada si Peanut, ngapain bawa kucing laiin?"
"Peanut kan persia punya papa. Gue juga mau punya kucing sendiri," jawab Valen.
"Ya tapi jangan pungut kucing dari luar sembarangan juga kalii .... Peanut kurang cakep apa, bulunya lebat, manis juga. Dibandingin sama kucing kampung kayak gitu. Lu kan bisa adopsi kucing ras lain. Apa kek, british shorthair, atau anggora kek cakepan," cerocos Irene. "Maine coon punyanya si Aurora tuh cakep juga."
"Biar kata kucing kampung dia juga punya nyawa. Bisa bikin seneng orang yang rawat. Liat aja, seminggu di sini dia juga jadi gemuk dan lucu, ngalahin kucing ras lain yang ada di sini."
Irene memutar bola mata.
"Lagian lu nggak tahu aja ini kucing ada sejarahnya sendiri," lanjut Valen. "Oiya, namanya Louie. Jenisnya javaria shorthair."
Irene tertawa mencemooh. "Javaria shorthair! Mana ada, astaga ... bisa-bisanya lu aja itu, dasar! Kucing kampung ya kucing kampung aja tetep. Nggak ada ceritanya naik kasta jadi punya jenis sendiri."
"Kalau cuma mau ngejek, enyah sana," sahut Valen malas. Dia mematikan dryer, membelai Louie yang telah kering. "Nah, Lulu mau makan lagi nggak?"
"Lulu apa Louie sih?"
"Dua-duanya boleh."
Irene diam memandangi sang adik yang terlihat perhatian sekali pada kucing kampung berbulu abu-abu itu. "Udah sih. Nggak usah terlalu perhatian amat sama kucing kampung. Mending perhatiin gue ... gue juga punya pussy ...."
Valen menegang, langsung paham apa maksud kedatangan Irene. Tapi dia berusaha bersikap santai. "Kenapa, pussy lu minta perhatian?"
"Udah jelas dong ...." Irene maju, membelai lengan Valen. "Eh, abis potong rambut juga yah? Cakep gini, Valen, rapih ...," lanjutnya lagi, tangannya ganti membelai rambut Valen. "Ini tadi lu abis mandiin kucing? Mandi sekalian nggak?"
"Hmm. Barusan gue mandi."
"Bagus deh ...," sahut Irene. "Jadi bisa langsung ....." Irene berjongkok di depan Valen, tangannya menuju area bawah perut Valen.
Melihat sikap Irene, Valen langsung teringat perkataan Irene semalam yang berkeinginan melakukan oral. Benar saja, selain tangan, Irene juga mendekatkan wajahnya pada area sensitif miliknya ....
Bayangan Irene yang memainkan bibir dan lidahnya di bagian itu, terbayang di benak Valen. Terbayang pula sensasi nikmat tiada tara yang ditimbulkan dari pertemuan intim miliknya dengan bibir merah milik sang kakak.
Valen nyaris membiarkan hal itu terjadi, ketika kemudian sesuatu menyadarkan dirinya. Tangan Valen mendarat keras di pipi Irene, disertai dengan suara nyaring saking kencangnya kulit beradu. Tamparan yang cukup pedas membuat wajah Irene tertunduk ke samping. Dalam sekejap air bening menggenang di pelupuk mata Irene, menatap Valen tidak percaya.
"Ih ... kok gue ditampar sih ...," rengek Irene. Bibirnya bergetar menahan tangis. "Kok Valen tega nampar ...."
"Biar lu eling. Biar gue eling. Paham lu?" Valen menjawab dengan tegas, nyaris kasar. Tanpa menunggu reaksi apa pun, Valen segera mengangkat kandang berisi Louie dan pergi meninggalkan Irene yang masih jongkok di kamar mandi. Tampaknya gadis itu baru saja merasakan shock therapy dari Valen.
Ternyata benar juga saran Xander tadi siang. Sebuah tamparan keras ampuh menjungkirbalikkan keadaan. Dari yang semula bernuansa erotis, kini menjadi tegang disertai pula dengan tangisan.
"Valen jahat banget ... nggak nyangka ... Papa aja nggak pernah pukul gue ... kok lu berani banget main kasar ke gue ...," racau Irene mengikuti Valen keluar dari kamar mandi.
"Gue bisa lebih kasar dari itu, kalau lu masih nekad," sahut Valen dingin dari balik bahu. Dia menyibukkan diri dengan urusan Louie. Kucing itu dia keluarkan dari kandang, lalu memberinya makanan semangkuk penuh.
"Kenapa sih! Emangnya gue salah apa sampai dipukul ... ditampar kenceng banget! Sakit tahu, Valen!! Saakitttt ...." Irene masih saja merengek. Tangannya memegangi pipinya yang memerah sedari tadi.
"Lu nggak nyadar juga apa salah lu?? Astaga!"
"Irene??" Michael tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamar Valen. Tampaknya dia tadi menangkap keberadaan Irene yang tengah menangis dari celah pintu yang tidak tertutup sempurna.
"Ko Mickey ...," rengek Irene.
"Lu kenapa nangis? Hah? What happened?" Michael tampak sangat perhatian, menyentuh wajah Irene, meneliti apa ada yang terluka di sana.
"G-gue tadi ditampar kenceng banget sama Valen, Ko ...," adu Irene. "Nih lihat, pasti merah banget ...." Irene mengangkat tangannya dari pipi. Tentu saja bekas tamparan Valen membekas merah, terlebih di kulit Irene yang seputih susu.
Michael berseru cemas. "Ya ampun! Merah banget ini!" Tangannya membelai pipi Irene dengan lembut. "Duh. Mulus begini kok ditampar ... sssh, tenang ya, nanti gue kompres."
Valen hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar dagelan yang terjadi di balik punggungnya itu.
"Heh! Valen! Lu apain si Irene, hah? Lu pikir ada hak berbuat kasar ke cewek?!" Michael berseru keras sambil berkacak pinggang.
Valen menoleh menatap Michael, tak berselera menjawab omelannya.
"Beraninya lu mukul cewek! Lu mukul kakak lu sendiri? Cowok macem apa yang bisa-bisanya sekasar itu sama cewek? Lu cowok apa bukan? Banci? Beraninya sama cewek! Kalo lu punya nyali, hadepin gue! Yang jantan!"
Valen menegakkan tubuh. "Lu berdua mending enyah aja deh," ujarnya. "Cuma nampar sekali aja. Bekasnya juga sebentar lagi hilang. Lebay amat. Cengeng lu, Irene. Lu harus belajar, nggak semua keinginan lu harus mutlak terpenuhi. Kalau yang lu inginkan nggak bersedia memberikan, ya lu jangan maksa! Itu kan common sense. Semoga tamparan gue bikin lu sadar."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
