Si Tuna Hati Kebal Virus Cinta (Bab 1-3)

0
0
Deskripsi

Nadine, mantan pekerja seks komersil yang sudah bertobat, berupaya sekuat tenaga mewujudkan kehidupan yang didambakannya. Memiliki pekerjaan yang halal, mapan, dan bisa hidup tenang bersama dengan anak lelaki satu-satunya. Tentu saja, ia juga memiliki keinginan bertemu dengan belahan jiwa yang mau menerima dirinya apa adanya, lalu bersama-sama dengannya membangun rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Siapa pun berhak meraih kebahagiaannya masing-masing, begitu pula dengan Nadine. Meski memiliki...

1 - Open BO

2016.

"Selamat menikmati santap siang Anda, Nona," ujar pramusaji seraya menyajikan pesanan di atas meja.

"Terima kasih," jawab seorang wanita berambut ikal, sembari membalas senyum ramah si pramusaji. 

Nadine Gunawan, nama wanita itu, memandangi pesanan spagettinya dengan penuh selera. Rasa syukur terpancar pula di wajah oval yang cantik itu. 

Sesekali nggak ada salahnya lunch di resto yang mahal seperti ini, ujar Nadine dalam hati. 

Anggap aja self reward, karena hari ini gue resmi diterima di kantor baru yang lebih menjanjikan daripada kantor sebelumnya! Ah. Thank God, gue berhasil membuktikan pada diri gue sendiri kalau gue bisa! Gue berhak sukses, dan gue yakin kesuksesan itu tinggal selangkah lagi, batinnya lagi seraya mulai menyantap sajian di piringnya.

Kling.

Sebuah notifikasi pesan di gawai mengalihkan perhatian Nadine. Diliriknya notifikasi tersebut. 

[Hai, Nad, apa kabar? Masih open BO kan?]

Rangkaian kata itu sontak membuat Nadine meringis, selera makan siangnya terusik berkat pesan dari salah satu teman laki-lakinya semasa kuliah dulu.

Sesungguhnya Nadine merasa malas meladeni pesan yang terlalu to the point itu. Tapi kalau tidak diladeni, Nadine tidak bisa mengklarifikasi sekaligus menegur si pengirim pesan yang membuatnya jengkel itu.

Maka Nadine pun dengan cepat mengetik sebuah balasan singkat. [Sorry, udah lama insaf.] 

Pesan balasan masuk lagi ke dalam aplikasinya. [Ah masa? Udah deh nggak usah ngeles. Yuk, di hotel Astin deket kampus dulu aja, sekalian nostalgia.]

Nadine melengos kasar. Betapa gemasnya.

[Gue udah nggak gitu lagi sekarang ya, please. Lu cari cewek lain aja, ok?] tulis Nadine, masih berusaha sabar.

[Ah elah, nggak percaya gue. Gue bisa kasih lu lebih. Minta berapa sih? Tarifnya udah naik sekarang? Bensin naik, tarif lu ikutan naik toh? Jadi berapa per jam? Jangan mahal-mahal ya. Kita kan temen lama, kasih harga temen laaah.]

Anjrit, rutuk Nadine dalam hati. Semakin hilang niatnya membalas pesan tidak tahu sopan tersebut. 

Maka Nadine mendiamkan pesan tersebut dan menikmati kembali santap siangnya. Tak lama gawai Nadine berdering panjang, sebuah panggilan masuk, dari si pengirim pesan tadi. 

Cih. Beraninya telepon, batin Nadine. Ia geser tombol tolak, lalu cepat-cepat mengaktifkan mode silent agar tidak menimbulkan suara gaduh, sebab ia berasumsi orang itu akan mencoba menghubunginya lagi. 

Benar saja, dalam jangka waktu lima menit, orang itu menelepon Nadine tiga kali, yang kesemuanya ia tolak. Ia pun tidak mengacuhkan pesan terakhir orang itu yang berbunyi, [Hais ... Sombong bener sekarang! Nggak butuh duit ya?] 

Nadine menarik nafas panjang-panjang. Sabar, Nad, sabar ... Orang yang udah tobat emang selalu banyak godaannya, ujarnya dalam hati menenangkan diri. Siapa sih yang nggak butuh duit? Realistis aja, semua butuh duit. Tapi gue udah memutuskan nggak akan jual badan lagi ke siapa pun. Uang masih bisa dicari dengan layak, makanya gue bersyukur banget bisa diterima di perusahaan yang bisa kasih gue gaji besar. Yang nantinya bisa gue bagi dua untuk gue, dan untuk Vicky. Sebelum ini gue selalu makan uang haram hasil jual badan, sementara uang halal gue kirim untuk Vicky. Gue bosen dengan uang haram, nggak berkah juga. Gue berhak makan uang halal juga dong, gue nggak sudi berkutat dengan yang haram terlalu lama!

Memang benar, Nadine sempat menjadi 'ayam kampus' yang memiliki banyak pelanggan semasa kuliah. Ia yang dianugerahi wajah cantik, serta tubuh yang sintal menggoda, nyaris seluruh kaum adam di kampusnya dulu tidak ada yang tidak mengenal siapa dirinya. 

Nadine yang saat itu masih bergulat dengan kondisi finansial, tidak memiliki pilihan selain menjual diri untuk menutupi kebutuhan hariannya. Sementara itu, ia juga gigih bekerja mencari uang halal untuk kemudian ia kirimkan pada Vicky, anak lelakinya yang tinggal di kampung. Semua gaji dari hasil keringatnya, hanya untuk Vicky, sementara pendapatan dari hasil lendir, untuk dirinya sendiri. Ia selalu memberikan yang terbaik bagi sang buah hati.

Dan sekarang, ia telah mendapat pekerjaan yang bagus dan ia yakin pekerjaan itu akan menjadikan dirinya sukses di masa depan, untuk apa lagi bergulat dengan pekerjaan yang haram? Nadine sudah membulatkan tekad, tidak ada yang bisa menggoyahkan tekad tersebut.

Nadine kembali fokus dengan yang disantapnya, berpikir ingin memesan semangkuk es krim sebagai pencuci mulut. Kudapan yang dingin dan manis tentu bisa mendinginkan kepalanya juga.

Usai memanggil pramusaji dan menyebutkan pesanan, suara seorang pria yang berasal dari bangku di belakang Nadine menyita perhatiannya.

Tampaknya pria itu tengah berbicara melalui sambungan telepon. "Yes. ... Ya. Siang. Kenapa baru telepon saya sekarang? ... Hm. Kamu pikir maafmu berguna? Saya menunggu laporanmu maksimal Sabtu malam kan? Sekarang sudah Senin siang. Kamu hitung berapa jam keterlambatanmu. ... Itu dia. Semakin lama kamu semakin useless. Sekarang jelaskan laporanmu. Saya harap tidak ada yang membuat saya pening. ... Begitu. ... Ok. ... Sudah kamu double cross check? ... Apa saja sih yang kamu lakukan?? Kenapa baru mau cross check sekarang?? ... Weekend bukan alasan! Dengar, saya tidak peduli kamu mau lembur sampai jam berapa, itu bukan urusan saya! Yang salah adalah time management kamu yang amburadul itu! Apa yang sudah menjadi tugasmu, lakukan dengan baik! Hal sepele seperti itu saja masih harus saya tatar?? Coba sekarang kamu pikir, keterlambatanmu memberikan laporan pada saya saja sudah mengulur waktu berapa lama? Lalu kamu minta saya menunggu lagi? Time is money! Niat kerja nggak sih?! ... After lunch ini saya ke kantor, kamu langsung menghadap saya. No excuses. Thanks."

Buset! Galak, sadis banget, komentar Nadine dalam hati. Ada yah bos seperti itu? Masa harus tetap kerja saat weekend? Duh, bos di kantor baru gue kayak apa yah orangnya? Semoga nggak seperti orang di belakang ini deh. Bisa makan ati omongannya pedas begitu ... Bisa tahan yah, karyawan-karyawannya?


 

2 - Bos Reptil Berdarah Dingin

"Anjir, si Xander." Suara pria lain menyahuti pria yang berbicara di telepon tadi. "Kayaknya habis lunch ini dia mau makan orang."

"Gue yakin dia mau pecat anak orang," sahut pria lain lagi.

"Menurut lu? Pecat jangan?"

"Jangan, kali. Lu minta dia lembur pas weekend, itu udah nggak masuk, sih. Yang namanya kerja ya pas weekdays, weekend saatnya orang istirahat."

"Ya emang begitu cara gue kerja. Kalau dia nggak bisa ikuti, cari kerjaan lain saja. Gampang, kan?"

"Nggak segampang itu juga orang cari kerja, Xan ... Lu mana paham, sih, dasar bos berdarah dingin."

Sebenarnya sudah sejak Nadine datang tadi para lelaki di belakangnya itu asyik berbincang, namun ia tidak tertarik mendengarkan obrolan mereka. Namun kini, ia merasa tergelitik begitu mendengar caci maki yang dilontarkan salah satu dari mereka. Dan demi memuaskan rasa penasaran itu, ia berusaha melirik, ingin melihat seperti apa tampang 'bos berdarah dingin' yang memarahi anak buahnya lantaran tidak bekerja saat akhir pekan itu. 

Tapi Nadine tidak berhasil menangkap dengan indera penglihatannya lantaran di belakang punggungnya ada sekat pemisah berupa tanaman hidup. Maka ia mempertajam pendengarannya, penasaran ingin tahu apa lagi yang mereka perbincangkan setelah ini.

"Lu tuh emang yah ... Rajanya tega!" 

“Hmm. Gue itu dididik untuk nggak pernah setengah-setengah. Saatnya berbisnis, ya kerahkan 100%, tanpa ada embel-embel apa pun di dalamnya. Capekkah, hari liburkah, sakitkah, atau, menaruh belas kasihan pada karyawankah, oh itu nggak banget. Begini ya. Kalau pekerjaan belum selesai, baiknya tuntaskan dulu tugas itu, baru beristirahat. Kalau dibiasakan menunda, nggak akan pernah berujung baik. Yang ada malah bikin repot semua orang. Simple, kan? Masa yang seperti itu aja harus dijelaskan?”

“Gue setuju, berbisnis harus fokus 100%. Tapi orang juga harus pikirkan kesehatan mental, Xan. Kalau lu gembleng anak buah lu dengan tangan besi terus menerus, hanya segelintir yang mampu bertahan, sisanya tumbang! Mungkin malah jadi kena penyakit mental. Lu nggak kasihan?”

“Kan makanya gue bilang tadi ... kalau nggak sanggup ikuti cara main gue, ya sudah, resign saja. Gue nggak bakal menahan karyawan gue yang minta keluar, kok. Itu hak mereka untuk memilih. Tapi kalau memang memutuskan berada di bawah naungan gue dan Orison Golden, yah, selalu akan ada pengorbanan yang harus mereka lakukan. Fair, kan?”

Nadine yang mencuri dengar percakapan itu seketika merinding. Sungguh, ia berharap agar pemimpin alias bos barunya di kantor yang baru bukanlah orang yang sedang berceloteh di belakangnya ini. Sungguh, ia berharap agar bosnya nanti lebih bisa memanusiakan manusia, bukannya memperbudak sesama.

Suara yang sama kembali terdengar. “Yan, lu juga jangan terlalu lembek sama karyawan lu di showroom. Atau di klub. Atau dimana pun. Jangan gampang iba, yang ada malah lu dimanfaatin. Nih, gue ngomong begini juga sekalian pembelajaran buat kalian, Sky dan Vlad. Lu berdua juga sebentar lagi bakal dididik untuk handle perusahaan ayah kalian. Dicatat aja, buat bekal nanti-nanti.”

“Hadeh, Koh Xander. Gue tuh pengennya jadi dokter, masa beneran harus jadi penerus bokap gue sih? Kerja tiap hari di kantor, meetang meeting, males banget njir!”

“Lupakan mimpi lu, Vlad. Contoh tuh si Sky, kelihatannya udah siap.”

“Nggak juga. Gue ikut arus aja sih.”

“Lu tenang aja Sky, gue rasa si Xander bakal dengan senang hati jadi mentor lu. Kalian berdua tuh setipe, sefrekuensi.”

“Bener banget tuh Yan. Sky tuh punya kecenderungan heartless lho. Sama kayak Ko Xander.”

“Oh. Nggak, nggak. Gue nggak bakal mungkin jadi secanggih Ko Xander. Dia itu udah jelas dewa tanpa belas kasihan, nggak ada yang ngalahin deh. Pernah ada juga yang juluki elu ‘Bos Reptil berdarah dingin’ lho, Ko.”

“Thanks, gue anggap itu pujian.”

Pria yang disebut 'bos berdarah dingin' itu bernama Alexander Ghandy, biasa dipanggil Xander, berumur 34 tahun. Pemuda matang berwajah oriental, berbahu lebar nan maskulin itu hanya tersenyum tipis mendengar komentar rekan santap siangnya kali ini.

Di sebelahnya ada pemuda keturunan bangsa penjajah, Ryan namanya, teman akrabnya sejak lulus kuliah. Di hadapannya ada dua bocah pemuda tanggung, Sky dan Vlad. Mereka adalah empat dari sepuluh anggota VVIP sebuah klub malam yang trending di Javaria, Tunasmara NightClub. 

Xander juga berasal dari keluarga konglomerat terpandang di Javaria, Andrew Ghandy. Adik Andrew, Bernard, merupakan salah satu dari anggota 9 Kings, kelompok pebisnis senior yang merajai perekonomian Nesia semenjak puluhan tahun lalu. Nama mereka sebagai taipan-taipan terkaya sudah dikenal oleh masyarakat kebanyakan. 9 Kings itu adalah : Bernard Ghandy (56 tahun), Robert Chao (48 tahun), Nikolai 'Sunny' Chandrasurya (52 tahun), Leandro Hartomo (48 tahun), Ivander Winoto (58 tahun), Cipto Kartawiharja (69 tahun), Arifin Dharmadjie (70 tahun), Prayoga Cokroatmodjo (68 tahun), dan Luciano Asvathama (52 tahun). 

Bernard terkenal sebagai womanizer semenjak mudanya memiliki 15 anak dari wanita yang berbeda. 8 anak lelaki dan 7 anak perempuan. Berbanding terbalik dengan Andrew yang 'hanya' memiliki 1 anak lelaki dan 4 anak perempuan, dan 'hanya' 1 orang istri. Sebagai anak lelaki keturunan Andrew, sejak kecil Xander dididik untuk menjadi penerus. Hingga pada akhirnya Andrew bisa mempercayakan kedudukan CEO perusahaan yang dibinanya pada Xander. Selain mencurahkan perhatian pada pekerjaan warisan yang ada di tangannya, Xander juga memiliki saham besar di klub Tunasmara, sebuah klub malam khusus untuk mereka yang belum atau tidak memiliki pasangan. Tempat dimana dia kerap bersenang-senang dan menikmati hidup setiap akhir pekan. 

Diberi nama Tunasmara oleh para pencetusnya tidak lain karena masing-masing mengalami kegetiran hidup atas nama cinta. Ada sepuluh orang pemegang saham klub malam tersebut, anak-anak muda berumur tanggung yang sama-sama berasal dari keluarga yang berkelimpahan. 

Kesepuluh pemuda ini juga saling mengangkat kaul atau sumpah suci ; tidak akan menikah seumur hidup. Mereka sama-sama sepakat kehidupan pernikahan bukanlah sebuah hal yang menyenangkan. Mereka ingin menikmati hidup sebebas-bebasnya, tanpa terikat istri atau anak, tanpa terikat kewajiban dan tanggung jawab berkeluarga. Sekali salah satu dari mereka mengingkari kaul dan menikah, akan langsung otomatis tertendang dari klub dan mendapat blacklist, sesuai dengan rule klub yang melarang kehadiran orang yang memiliki pacar atau istri. 

Mereka yang kemudian disebut VVIP Member klub Tunasmara itu adalah : Gusti Mahawirya (35 tahun), Ryan Dewangga (32 tahun), Erwan Handojo (31 tahun), Zach Angelo (30 tahun), Liam Alandy (30 tahun), Dante Gumilar (28 tahun), Vladimir Chandrasurya (23 tahun), Dylan Chao (22 tahun), Raven Sky Hartomo (21 tahun), dan juga Xander sendiri. Masing-masing memiliki tugasnya sendiri demi kemajuan klub Tunasmara yang semakin hari semakin ramai oleh pengunjung jomblowan jomblowati. 

Xander tidak pernah ragu menyebut bahwa dia sudah menikahi pekerjaannya. Dia adalah seorang workaholic yang business minded, berdedikasi sangat tinggi hingga dia tidak memiliki minat sama sekali pada dunia romansa. Dia bahkan membanggakan dirinya sebagai seorang heartless, tidak punya hati. Seorang yang tidak akan membiarkan dirinya termakan afeksi belaka. Singkat kata, dia tidak mengenal apa itu cinta, maka tidak aneh jika Xander tidak ragu mengikrarkan kaul 'suci' ala geng Tunasmara. 

“Emang bener-bener ya, temen kita satu ini si Xander. Baru kali ini gue kenal sama orang yang nggak pernah pacaran sama sekali tapi sering kawin,” ujar Ryan.

“Yaa jelaslah, Yan! Kawin itu cuma mainin urat sama otot, kalau pacaran kan berarti pake rasa, pake afeksi. Ini tuna hati satu, mana mungkin pake rasa! Nihil dia sih!” seloroh Vlad.


 

3 - Kabar Tak Terduga

“Hss. Mau sampai kapan ngomongin gue? Yuk, gue harus cepet balik ke kantor.”

Kumpulan di belakang Nadine tampaknya berkemas segera undur diri. Nadine akhirnya bisa menoleh ke belakang demi memuaskan rasa ingin tahunya, seperti apa wajah si bos berdarah dingin itu? Tapi yang tertangkap matanya hanya punggung keempat orang itu. Tiga laki-laki berbadan kurus tinggi, satu lagi berbadan tegap tak kalah tinggi. Tentu si darah dingin adalah yang badannya paling tegap dan maskulin itu, terka Nadine tepat. 

Ternyata ada juga tipe pria yang tidak punya hati seperti orang itu. Kelihatannya sungguhan tidak punya hati, bukan sekedar omong besar belaka. Entah mengapa pikiran Nadine tersita oleh keberadaan orang itu. 

Amit-amit ih ... Jangan sampai ketemu cowok yang asli nggak punya hati seperti orang tadi. Dari obrolannya aja gue bisa tebak ini orang emang jahat. Semoga gue dijauhkan dari orang nggak punya hati seperti tadi ... Duh. Gue jadi ingat dulu pun si Nicky pernah membiarkan gue luntang lantung di depan rumahnya, panas-panasan sambil bawa bayi ... Terus usir gue sadis. Dia contoh orang yang nggak punya hati. Jelas! Tapi mungkin Nicky masih mending ... daripada ...

Nadine digalaukan oleh lamunannya sendiri.

Daripada pasangan suami istri yang nggak punya hati itu.

Nadine menghela nafas panjang.

Apa kabarnya mereka? Masih sama seperti dulukah? Keras dan kejam sampai bisa tega-teganya usir anak dan cucu kandung mereka sendiri? Dari dulu gue heran ... Kenapa bisa ada orang tua yang setega itu. Apa benar mereka sama sekali nggak menyesal udah usir gue dan nggak peduliin hidup gue seblangsak apa setelah diusir? Sama sekali nggak kepikiran, begitu?

Teringat akan orang tuanya, rona wajah wanita berusia 32 tahun itu pun menjadi muram. 

Sama sekali nggak pernah cariin gue ... Nggak pernah cemasin gue atau cucu mereka. Sampai sedemikian benci mereka pada gue, anak sendiri? Memang benci, atau gimana sih? Kalau dipikir pun ... sejak gue kecil, mana pernah gue merasakan hangatnya kasih sayang mereka. Mereka cuma sibuk cari duit. Sibuk cari mangsa untuk diperas uangnya. Gue? Gue cuma ditemani nanny, si Bi Inah. Mereka sama sekali nggak pernah kasih perhatian pada anak gadisnya ini, seakan nggak peduli kalau keberadaan anak gadis ini mengundang predator untuk mendekat ... dan memangsanya hidup-hidup. Kenapa mereka bisa demikian tega seperti itu? Merekalah contoh nyata orang yang heartless!

Nadine memainkan serbet di atas meja. Es krim cokelat vanila yang tadi ia pesan pun tidak jua disentuhnya, santapan itu sudah mulai mencair.

Dan gue nggak mau lagi kenal atau berhubungan dengan orang yang nggak punya hati seperti itu ... Gue kapok.

Nadine masih saja sibuk bergelut dengan dirinya sendiri, dengan masa lalunya. Ia tidak menyadari ada seseorang yang memerhatikannya dari kejauhan, seakan menilai semua tindak tanduk Nadine sedari tadi. Ia juga tidak menyadari, orang yang memerhatikannya itu kini berjalan mendekatinya, ada sedikit keraguan dalam langkah pria nyaris paruh baya tersebut.

"Nadine?" panggil orang itu begitu tiba di meja Nadine.

Mendengar namanya dipanggil, Nadine mendangak. Pria berambut tebal, tinggi rata-rata, tidak gemuk pun tidak kurus. Nadine tidak mengenali siapa pria itu. Tapi wajah pria itu ... Entah mengapa Nadine merasa familiar.

"Nadine ... Kan?" tanya orang itu lagi. Ekspresi penuh harap nyata terpancar di wajahnya.

"I-iya. Saya Nadine. Anda?" Nadine menata pemikirannya yang kacau balau, berusaha mengingat dimana pernah mengenal wajah pria itu.

"Kamu Nadine," lirih orang itu, seperti ada rasa haru dalam nada suaranya. "Nadine Gunawan."

"Iya ... Maaf, Anda siapa ya?" Mata Nadine lekat mengikuti gerak tubuh orang itu yang kini mengambil tempat di seberangnya, duduk tanpa ia persilakan.

"Narendra. Ingat? Saya Narendra," jawab orang itu sambil menyunggingkan sebuah senyum. Tentu Narendra berharap senyuman itu bisa mencairkan situasi kaku yang tercipta.

"Narendra ...," desis Nadine. Tentu saja Nadine ingat akan nama Narendra. Nama yang telah lama absen dalam hidupnya. "Mas Narendra?"

"Iya, Dik," sahut Narendra, lega mendengar Nadine masih mengingatnya.

Mata Nadine seketika menghangat. Bagaimana bisa bertemu dengan Narendra, masnya, kakaknya yang pergi dari rumah? Nadine ingat pertemuan terakhirnya dengan sang kakak adalah saat Nadine masih belum genap berusia 5 tahun. Saat itu, entah apa alasannya Narendra memutuskan keluar dari rumah dan tidak pernah kembali lagi. Nadine hanya bisa teringat bahwa ia memiliki seorang kakak laki-laki, lewat foto keluarga yang terpampang di ruang tamu rumahnya dulu. Narendra yang usianya terpaut 14 tahun dari Nadine, tentu tidak masalah bagi seorang bujang seperti Narendra untuk mulai hidup mandiri. Namun entah apa alasannya hingga Narendra harus pergi dari rumah dan tidak pernah terlihat lagi setelah itu.

"Kamu ... Kebetulan ya, bisa ketemu di sini," ucap Narendra masih sambil tersenyum. "Bagaimana kabar kamu, Dik?"

"Mas Narendra kemana aja ...?" tanya Nadine, terdengar getaran dalam suaranya.

Narendra hanya menjawab dengan secercah senyum.

"Kenapa pergi dari rumah? Sekarang Mas tinggal dimana?"

"Yah. Karena Mas nggak tahan dengan suasana di rumah. Makanya Mas memutuskan untuk hidup mandiri. Mas senang kamu juga masih bisa ingat sama Mas, padahal kita nggak ketemu ... udah puluhan tahun lamanya ya? Mas juga tadinya nggak yakin kalau ini benar kamu."

"Tapi Mas Rendra kok bisa kenalin aku, padahal dulu aku masih 5 tahun, belom ada 5 tahun malah."

Narendra terdiam sejenak, lalu berkata, "Jadi sebenarnya Mas sempat pulang ke rumah, beberapa tahun yang lalu."

"Oh?"

"Ya. Mas rasa kamu pun belum tahu sampai sekarang, ada kabar yang kurang baik ..."

"Kabar apa, Mas?"

"Dik, papa dan mama, mereka sudah tiada."

Ucapan Narendra membuat Nadine tercenung. "Papa ... Mama ... Udah ...?"

Narendra mengangguk sebagai jawaban. "Mas nggak sengaja bertemu dengan papa dan mama di kota Suralaya, tempat Mas bertemu dan menikah dengan gadis asal sana. Mereka bilang udah nggak tinggal di Javaria, rumah yang di sini dibiarkan kosong. Saat Mas tanya, apa kamu juga ikut pindah ke Suralaya, mama bilang udah nggak ada urusan dengan kamu ... nada suaranya nggak ngenakin, jadi Mas pikir, ada sesuatu terjadi," terangnya.

Nadine menundukkan kepala mendengar penuturan sang kakak.

Narendra melanjutkan. "Tapi Mas diam saja. Mereka masih tetap seperti yang Mas tahu, belum berubah sedikit pun. Masih tetap sepasang lintah darat, hanya uang uang uang yang menjadi motivasi mereka. Tapi Mas pikir, bagaimana pun mereka orang tua Mas, orang tua kita, jadi Mas berusaha menyikapi dengan cara dewasa. Suatu ketika ... Mas dapat kabar dari kepolisian bahwa mobil yang mereka tumpangi terbalik di jalan tol ... Mereka tewas, Dik. Mas lah yang mengurusi segala perihal pemakaman dan lain sebagainya ... Mas juga telepon ke Javaria, cari kamu, mau kabari kamu soal itu, tapi nihil. Mas ya penasaran, dimana kamu, kenapa mama kelihatannya marah sekali sama kamu, sampai dibilang nggak ada urusan dengan kamu. Maka Mas pun kembali ke rumah ... Benarlah, rumah kosong nggak berpenghuni. Sampai Mas temuin foto kamu pakai seragam SMA, jadi Mas tahu bagaimana wajahmu. Ternyata kamu masih sama persis seperti waktu kamu SMA. Sejak itu Mas bertekad akan cari kamu, apalagi setelah Mas dipindahtugaskan ke Javaria, Mas selalu cari waktu luang untuk muter Javaria, dengan harapan bisa ketemu sama kamu," ujar Narendra panjang lebar. 

"Sayangnya semua itu nggak berhasil. Dan sekarang di saat Mas udah nggak terlalu ngoyo cariin kamu, malah kita ketemu," katanya lagi sambil tersenyum. 

Menyadari sang adik hanya berdiam diri dan tidak menanggapinya, Narendra berujar, "Kamu pasti kaget ya. Kamu mau Mas temani nyekar ke makam papa mama? Boleh saja, kalau kamu mau. Kabari saja kamu bisanya kapan, Dik, biar Mas juga bisa urus cuti. Ke Suralaya kan lumayan jauh."

"Oh." Nadine seperti tersadar dari lamunan. Ia kemudian menggeleng cepat. "Nggak Mas, nggak usah. Toh aku juga kan udah nggak dianggap mereka ..." 

"Kok begitu," sahut Narendra bingung. "Sebenarnya ada masalah apa kamu sama orang tua kita, Dik? Cerita sama Mas."

Nadine terdiam sesaat, seperti ragu. Setelah menarik nafas panjang, ia akhirnya berkata, "Jadi begini, Mas ...."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sampanye Terakhir (Bab 66 - 70)
0
0
Isaac dan Ferris rupanya merupakan reinkarnasi dari sepasang kembar yang menjadi raja di abad pertengahan. Rogan dan Torrence. Raja kembar ini saling bertikai, menyebabkan rakyat mereka tersiksa dengan sadis.Karena pertikaian berdarah itulah, sebuah kutukan dijatuhkan pada raja kembar ini agar menjalani 100 kehidupan penuh tangis dan darah. Mereka ditakdirkan untuk selalu saling bertikai di 100 kehidupan itu. Kutukan akan terpatahkan apabila keduanya tidak menuruti hawa nafsu yang menggebu untuk saling membunuh.Kehidupan mereka sebagai Ferris dan Isaac yang baru saja berlalu ini, adalah kehidupan mereka yang ke-21. Masih ada 79 kehidupan menanti mereka ....Tapi ternyata .... ***Ada PLOT TWIST yang bikin berdebar di episode kali ini lho! Baca kisah kelanjutan Sampanye Terakhir dan dukung penulis yuk, biar semangat update sampai bab terakhir!Instagram : @miss_camillemarionFacebook : Camille MarionYoutube : Camille Marion
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan