
Reeve Galante hidup terlunta-lunta semasa remajanya. Tidak memiliki tempat tinggal, terbiasa berpuasa lantaran tidak memiliki pegangan hidup sama sekali ... apa pun dia lakukan untuk menyambung hidup. Hingga tergabung dalam kelompok kriminal jalanan yang kemudian mempertemukannya dengan seorang mafioso dari keluarga terkenal di NYC.
Mafioso itulah yang berjasa memutarbalikkan nasib Reeve, meski Reeve harus menghilangkan sisi kemanusiaannya. Dia bahkan melabeli dirinya sebagai Sin Forgiver, alias...
1 - Omerta, the Code of Silence
New Yord City, 2017.
Reeve Galante melangkah keluar dari dalam elevator begitu benda itu membawanya ke lantai 18. Sepatu hitam mengilat di kakinya terasa kaku, tidak nyaman untuk melangkah. Celana panjang hitam, jas hitam lengkap dengan sebentuk dasi berwarna gelap di dalamnya berpadu dengan kemeja krem polos. Semua yang membalut tubuhnya malam itu telah tergosok ekstra licin, rapi dan bersih. Ini kali pertama dia berpenampilan rapi setelah sekian lama masa bodoh dengan yang menempel di tubuhnya.
Penampilannya saat ini tampak senada dengan warna interior Red Season Hotel tempat dirinya diundang oleh seseorang yang berjasa padanya. Karpet empuk bercorak merah hitam menghiasi seluruh lantai, wallpaper tanpa motif dengan dua warna yang senada dengan karpet. Beberapa lampu hias menempel di sisi kiri kanan koridor tidak terlalu membantu pencahayaan. Temaram.
Di ujung koridor, beberapa pria berpenampilan serba hitam berkumpul di depan pintu besar berukir. Nyaris dari semua pria itu mengenakan kacamata hitam, berdiri dengan kaku sambil memandangi kedatangan Reeve dengan ekspresi sangar.
Di bawah tatapan pria-pria berwajah tidak bersahabat itu, tidak heran perasaan gugupnya mencuat. Namun Reeve segera mengendalikan dirinya sendiri. Untuk apa merasa gugup? Dia tidak melakukan kesalahan. Tidak akan Reeve biarkan vibrasi negatif yang menguar dari orang-orang berpenampilan serba hitam itu menulari dirinya.
Reeve mengangkat dagu, menegakkan punggung, melangkah dengan pasti, tenang, tidak terburu-buru. Dia putuskan untuk tidak mengumbar senyum pada semua yang memandangi. Selain karena itu bukan gayanya, juga karena dia yakin tempat ini bukan tempat yang cocok untuk memasang wajah ramah maupun ceria.
Dia biarkan wajah mudanya kaku tanpa ekspresi, matanya hitam menatap tajam ke depan. Sebentuk luka codet panjang menghiasi tulang pipi kanan, sekilas terlihat mengerikan. Luka bekas perseteruan yang terjadi tak lama sebelum ini, tampaknya menjadi luka permanen yang harus dia terima sebagai bagian dari wajahnya. Rambutnya gondrong di bawah telinga, yang biasanya tampil masai, spesial malam ini licin dan rapi berkat gel rambut berkualitas tinggi.
"Reeve," panggil seseorang.
Reeve menoleh, menyunggingkan senyum sekilas. "Hai, Renato," sapa Reeve.
"Senang melihatmu," ujar pria bernama Renato tersebut sambil menepuk-nepuk bahu Reeve. Renato Gravano, pria paruh baya bertubuh bongsor dan berkepala plontos, tersenyum hangat menyambut kedatangan Reeve, bawahan yang dia jaminkan pada para petinggi.
Renato teringat beberapa tahun lalu saat dia 'menemukan' Reeve Galante yang masih baru awal menginjak masa remaja, yang bergabung dengan kelompok perampok mini market di Philadew, pinggiran kota. Renato diam-diam menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, betapa bocah ingusan itu bisa merangkai strategi brilian dan memimpin operasi dengan licin, berhasil dengan gemilang tanpa kuatir terlacak keberadaannya oleh pihak berwajib. Bocah bernama Reeve itu secara alamiah menjelma menjadi pemimpin kelompok yang sebenarnya, meski mungkin bocah itu tidak menyadarinya.
Ketertarikan tak beralasan yang Renato rasakan terhadap Reeve remaja membuatnya terus mengintai semua pergerakan Reeve, menilainya dalam hati, hingga dia memutuskan bahwa bocah itu layak diberikan status. Terlebih saat Renato mengungkap identitas Reeve, si bocah yang ternyata memiliki darah asli pedalaman Sivily, Renato semakin merasa yakin akan keputusannya memberikan status. Sebuah status yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang Sivily, dengan keuntungan tak terbatas, tak terhingga, dengan jenjang yang jelas dan adil. Sebuah status yang membutuhkan keberanian tiap orang yang terlibat untuk bisa survive sampai akhir.
"Renato," panggil Reeve. Ada kesan canggung terlihat dari senyum tipisnya. "Aku sungguh tidak tahu bagaimana bisa mengucap terima kasih padamu. Tanpa Anda, aku hanya akan terus berada di jalanan, entah sampai kapan," ujarnya dengan suara berat.
Renato membalas senyum Reeve.
Beberapa bulan sebelumnya Renato mendatangi pemimpin kelompok Reeve, seorang pemuda keturunan Irlande, meminta agar kelompok itu menyiapkan untuknya 20 mobil mewah dari showroom ternama di seluruh penjuru kota. Renato memberi penekanan pada pemuda Irlande itu agar Reeve dibiarkan memimpin, dan pemuda itu dilarang ikut campur.
Hasil operasi pencurian 20 mobil mewah yang dikepalai oleh Reeve malam itu sungguh membuat Renato terpukau. Bagaimana tidak, hanya dalam tiga jam saja Reeve bisa menyelesaikan tugasnya dengan mulus. Renato yang terpuaskan itu kemudian membawa nama Reeve pada para petinggi agar menyetujui rencananya untuk menjadikan Reeve sebagai bagian dari mereka.
"Aku hanya bertindak sesuai kenyataan. Kau tangguh, cerdik, dan bisa menyelesaikan semua tugas dariku sebagai pembuktian. Kau berhak mendapatkan ini semua," sahut Renato tenang.
"Ya. Aku ... aku sendiri masih belum percaya aku bisa mendapatkan ini semua pasca menyelesaikan tugasmu yang terakhir itu. Saat itu adalah pertama kalinya aku bertindak sejauh itu," ujar Reeve.
Reeve merujuk pada perbuatannya beberapa hari yang lalu, yakni melenyapkan nyawa seseorang yang menjadi musuh keluarga. Semua yang akan diinisiasi masuk ke dalam keluarga, haruslah dengan sebuah pembuktian bahwa dia layak, dengan cara menyingkirkan lawan. Membunuh.
"Segala sesuatu selalu ada yang pertama kalinya," kata Renato bijak. "Kau akan segera terbiasa. Kau punya nyali. Dan kau punya darah Sivily yang berharga itu. Mungkin kau hanya masih terlalu muda untuk mencerna ini semua, tapi, tenang saja. Seiring berjalannya waktu, aku yakin kau akan segera menjadi mafioso yang tangguh."
Reeve tersenyum menanggapi pria bongsor berwajah penuh kerutan di hadapannya itu. "Bukankah menurutmu aku memang masih terlalu muda?"
Renato segera teringat saat dia mereferensikan Reeve pada para petinggi keluarga untuk diberikan status. Steffano Dossena sang wakil kepala keluarga, juga Roberto Consigli sang penasihat keluarga, keduanya sama-sama mengerutkan kening pertanda tak berkenan begitu Renato menyebutkan umur Reeve. 16 tahun.
"Kau bercanda, Renato," ujar Steffano saat itu.
Roberto ikut berkomentar, "Belum cukup umur. Masih anak-anak. Aku pikir dengan omong besarmu itu, si Reeve yang kau maksud itu sudah dewasa. Ternyata malah anak labil."
"Ini tidak baik. Bisa runyam bila kau berkeras memasukkan anak kecil ke dalam keluarga kita," timpal Steffano lagi.
Renato mengernyit. Matanya melirik sang bos, Don Alphonse Burgueno yang hanya duduk diam di kursi kebesarannya. Bos keluarga kejahatan terorganisasi Burgueno yang menjadi salah satu klan kelompok terkuat di seantero New Yord. Rambutnya tipis, nyaris putih semuanya. Ratusan kerutan di wajah membuat pipinya tampak turun, namun itu tidak mengurangi kharisma yang terpancar dari sorot matanya yang terlihat kalem itu. Orang biasa yang tidak mengetahui siapa sesungguhnya Alphonse Burgueno akan segera merasa respek dan kagum akan kepandaian dan hangat sikapnya, namun, bagi yang mengetahui, siapa pun tidak akan berani berbuat sesuatu yang bisa memancing kemarahan sang Don.
"Dia memang masih 16 tahun, lalu kenapa?" Renato mencoba sekali lagi mempersuasi. "Sikap dan cara berpikirnya jauh lebih dewasa, sama sekali tidak terlihat perangai anak 16 tahun di sana. Lagipula dalam dua tahun dia cukup umur. Kenapa tidak kita berikan tempat untuknya belajar selagi dia masih semuda itu?"
"Belajar." Roberto terkekeh sinis. "Apa kau pikir keluarga kita sebuah sekolah atau universitas?"
"Dia akan menjadi hebat, aku yakin hanya dengan melihat kemampuannya. Aku sudah mengintainya beberapa tahun ini, bisa kubuktikan dia tanpa cela. Hanya satu ujian lagi untuknya, dan kalau dia berhasil melakukannya, aku tahu dialah orang yang tepat," ujar Renato penuh penekanan.
"Kelihatannya kau begitu kukuh menjadikan anak itu 'made man'," sahut Steffano.
"Benar. Aku bersedia menjaminnya. Biarkan aku yang menjadi mentor," jawab Renato.
Roberto masih saja tersenyum sinis. "Bagaimana kalau keyakinanmu keliru semua?"
Renato berdecak. Dia akhirnya beralih pada Don Alphonse, lalu bertanya, "Don, apakah kau juga tidak setuju denganku?"
Don Alphonse menaikkan alis. "Untuk urusan kecil seperti ini saja diperdebatkan," sahutnya. Dia menghela nafas panjang sebelum berkata pada Steffano dan Roberto, "Renato terlihat yakin, dan lagipula dia yang menjamin anak itu. Biarkan saja, Stef, Rob. Toh anak itu hanya butuh dua tahun untuk cukup umur."
Renato tidak menahan senyum puasnya mendengar jawaban Don Alphonse saat itu.
Kini, dia berkata pada Reeve, "Tidak disarankan menolak tawaran menjadi serdadu, Reeve. Kau akan menjadi 'made man' dan menjadi bagian dari keluarga Burgueno selamanya."
Reeve mengangguk, tersenyum.
"Ini anak baru yang kau ceritakan itu, Renato?" Sebuah suara menginterupsi obrolan keduanya. Si pemilik suara berperawakan kurus kering, tidak terlalu tinggi. Giginya agak tonggos, gemar tertawa. Sekilas dia tampak humoris, namun kesan tersebut lenyap berkat sorot mata yang tajam dan menusuk.
"Tonio," panggil Renato. "Reeve, kenalkan ini Tonio Gallo, dia lebih duluan diinisiasi darimu, dan aku juga yang membawanya. Tonio, benar, ini Reeve Galante yang kuceritakan. Kalian berdua bekerja samalah," katanya pada dua anak muda tersebut. Senyum di wajah bulatnya terkembang menyaksikan dua 'anak'nya saling berkenalan dan terlihat cocok.
"Sudah, ayo kau segera masuk, Reeve. Don pasti sudah menunggumu di dalam," ujar Renato lagi sambil mendorong pelan bahu Reeve.
Reeve menurut. Dia melewati beberapa orang berpakaian serba hitam lainnya yang sejak tadi terus memerhatikan dirinya. Dua dari mereka membukakan pintu, mempersilakannya masuk.
Di dalam, ruangan ekstra lapang dengan interior senada seperti di koridor. Beragam furnitur keemasan serta lampu gantung menambah kesan mewah. Don Alphonse terlihat duduk di ujung meja panjang, diapit pengawal. Beberapa orang lainnya, beragam usia, sebagian duduk dan ada pula yang berdiri, tengah berdiskusi. Semuanya sontak menghentikan aktivitas begitu Reeve melangkah masuk, diikuti Renato dan Tonio.
Tidak dipungkiri bahwa Reevelah yang paling muda di antara kawanan yang ada di dalam ruangan itu. Satu-satunya yang berada di bawah umur.
Pemuda lainnya, yang kira-kira terpaut tiga tahun dari Reeve, memandangi gerak tubuh Reeve dengan tatapan seolah meremehkan. Postur pemuda ini tinggi jangkung, mungkin sama tingginya seperti Reeve. Rambutnya pendek acak-acakan seolah tidak pernah terkena sisir. Mata hitam tajam, hidung yang tinggi, garis rahang yang tegas, keras, serta janggut tipis-tipis memberi kesan berbahaya dari raut wajahnya. Penampilannya, agak tidak acuh. Jas tidak dikancing, tanpa dasi, dua kancing teratas kemejanya tidak dikaitkan. Penampilannya berbanding terbalik dengan semua orang yang berkumpul malam itu.
Pemuda berwajah berbahaya itu bernama Roman Burgueno, anak laki-laki Don Alphonse Burgueno.
Reeve merasakan tekanan yang semakin menjadi begitu memasuki ruangan, pandangan semua pria di ruangan ini jauh lebih menekan dibandingkan para punggawa yang berjaga di depan pintu. Wajar kegugupan kembali menderanya. Namun, dia menguatkan hati. Reeve dengan mantap melangkah mendekati sang Don yang kini ikut berdiri menyambut kedatangannya. Senyum hangat terkembang di wajahnya yang ramah, persis seperti seorang ayah yang menyambut anaknya pulang.
"Kau rupanya, yang bernama Reeve Galante," ujar Don Alphonse.
"Benar, Don," jawab Reeve sesopan mungkin.
Don Alphonse mengangguk-angguk memandangi Reeve dari atas sampai bawah. Dia meletakkan kedua tangannya di lengan Reeve, meremasnya hangat. Senyum yang sama hangat masih terukir di wajah ramah itu.
"Kau tahu, Reeve? Tidak ada yang lebih penting bagi seorang pria selain keluarganya. Para pria ini, para pria terhormat ini, mereka juga adalah keluargaku. La famiglia Burgueno. Sekarang aku mengundangmu untuk lahir kembali, sebagai bagian dari keluarga ini," ujar Don Alphonse.
Reeve mengangguk hormat. "Ya, Godfather," jawabnya.
Don Alphonse maju mengecup kedua pipi Reeve. Lalu katanya lagi, "Sekarang kau adalah salah satu dari kami yang telah memenuhi syarat. Gli uomini qualificat, pria yang berkualitas. Silakan perkenalkan dirimu pada semua saudaramu."
Reeve tak mampu membendung senyum senangnya, ada sirat bangga di sana. Don Alphonse melepaskan Reeve, membiarkan dirinya dihampiri oleh semua yang menyaksikan. Semua mengucapkan selamat, lengkap dengan pelukan. Di sana Reeve berkenalan dengan Steffano Dossena, juga Roberto Consigli yang terlihat sebaya dengan sang Don sendiri.
"Kau tahu siapa aku?" Roman bertanya dengan nada congkak begitu Reeve berhadapan dengannya.
Tentu saja Reeve tahu. Pada saat Renato menghubunginya dan menyatakan maksud terhadapnya, Reeve tidak membuang waktu dan mencari semua informasi mengenai keluarga Burgueno. Dari semua informasi yang dia dapatkan, tentu saja ada nama Roman di sana, sebagai pewaris tunggal Don Alphonse Burgueno. Dan kini dia berhadapan langsung dengannya.
"Aku tahu," jawab Reeve mantap. Tidak dia biarkan kesombongan sikap Roman menggerus kepercayaan dirinya. "Roman, keturunan Don Alphonse."
"Good." Roman maju memeluk Reeve sejenak. "Selamat datang di keluarga ini."
"Terima kasih."
"Dengar, kau harus paham akan hal ini." Tiba-tiba mimik serius terpancar di wajah Roman.
Reeve memasang telinga, menunggu lanjutan percakapan Roman.
Roman berujar, "La cosa nostra, hal yang kita miliki, bukanlah hal terkait bisnis semata. Ini adalah kehormatan. Kau masuk hidup-hidup, dan kalau kau keluar, kau mati. Sampai di sini paham?"
Menjadi anggota keluarga mafia adalah sebuah kehormatan. Tentu saja Reeve paham. Dia tidak boleh bertindak seenaknya pada siapa pun anggota keluarga. Terlebih, dia tidak boleh berpaling, berpindah, atau lebih buruknya lagi, 'bernyanyi' di hadapan yang berwajib dan membeberkan isi perut keluarga. Kematian akan menjadi satu-satunya hal yang menunggunya apabila dia berbuat demikian. Tentu saja Reeve tidak akan pernah melakukan itu. Bahkan, sekedar kepikiran pun tidak akan pernah. Dia tahu ini semua sejak awal.
"Kau setuju, kan?" Roman mendesak adanya respon.
Reeve mengangguk. "Aku setuju. Kau tenang saja, Roman, mulai saat ini aku mengabdikan hidupku pada keluarga ini, dan kau bisa pegang ucapanku. Aku tidak akan bertindak tak terpuji," jawabnya.
Roman mengangguk puas, lalu menepuk bahu Reeve sebelum beranjak.
"Gentlemen," ujar Steffano lantang, menginterupsi kegiatan semua yang ada di dalam ruangan. "Tamu kita sudah ada di lantai dasar, sedang menuju lantai ini. Harap yang tidak berkepentingan segera meninggalkan ruangan."
Reeve mencerna dalam sepersekian detik, lalu paham bahwa dirinya termasuk yang 'tidak berkepentingan'. Dengan sadar diri dia bermaksud keluar ruangan. Tonio mendekati dan merangkul dirinya, berjalan menyejajari langkah sambil tertawa ringan. "Kita nggak berkepentingan, Reeve, ayo keluar," ajaknya.
Reeve mendapati beberapa orang ikut keluar, sementara yang tetap tinggal di dalam mulai mengambil tempat di sekeliling meja panjang. "Rupanya mereka ada agenda meeting setelah ini?" tanya Reeve memastikan.
"Benar. Dan yang kudengar, meeting kali ini adalah sesuatu yang WOW. Aku belum tahu apa itu, apa kau penasaran?" Tonio memancing.
"Kalau memang harus kita ketahui, pasti kita akan tahu," sahut Reeve santai.
Renato menghadang kedua pemuda itu di ambang pintu. "Reeve, Tonio," panggilnya. "Aku akan meeting sekarang, kalian tunggulah di luar, ok?"
"Ah. Ok," jawab Tonio, sementara Reeve hanya mengangguk.
"Don akan meeting dengan siapa? Siapa tamu kita kali ini?" tanya Tonio.
Renato terlihat ragu sejenak, namun kemudian menjawab, "For your own records, mereka adalah ilmuwan yang ingin bekerja sama dengan keluarga kita."
"Ilmuwan??" Tonio membelalakkan mata, bibirnya membentuk huruf O sempurna menunjukkan keterkejutan yang tidak dia tutupi. "Sejak kapan la cosa nostra berhubungan dengan sains??"
Renato berdecak. "Anak muda. Inilah sebabnya mengapa aku tidak begitu berminat memiliki anak buah, dan sejauh ini hanya memiliki dua, tidak seperti capo yang lain. Para ilmuwan itu dulu bekerja sama dengan mendiang Don yang sebelumnya, dan sekarang bermaksud memperpanjang kerja sama dengan kita. Kalau kau penasaran, cari tahu sendiri dari mereka yang seumuran denganku. Mereka akan paham apa maksudku."
Usai berkata demikian, Renato meninggalkan Tonio dan Reeve di luar ruangan dalam keadaan bingung.
Reeve menyaksikan pintu elevator di ujung koridor terbuka, dari dalam keluarlah dua pria berjas putih panjang. Keduanya sama-sama berperawakan tinggi, dengan raut wajah serius dari balik kacamata. Warna putih yang dominan di rambut mereka menandakan umur mereka sudah tidak lagi muda. Keduanya melangkah dengan kaku dan tergesa.
"Itu tamu kita," ujar Reeve sambil menunjuk keberadaan para ilmuwan itu dengan dagunya. Para penjaga pintu membukakan pintu untuk mereka.
"Ah. Kayaknya aku tahu," kata Tonio. "Ini terkait bisnis kloning manusia."
Reeve sontak memandangi lawan bicaranya dengan tatapan heran. "Gimana?"
2 - Human Clone
Sebagai caporegime yang paling loyal dan dipercaya oleh sang Don, Renato Gravano selalu terlibat dalam rapat intern keluarga. Caporegime berhidung besar tersebut selalu siap sedia dalam keadaan apa pun ketika dirinya diperlukan. Seperti malam ini, Don Alphonse Burgueno kedatangan dua orang tamu, ilmuwan-ilmuwan yang sempat menjalin hubungan bisnis dengan Don yang sebelumnya, Don Angelo Granoche. Don Alphonse Burgueno yakin, para ilmuwan ini datang dengan maksud menjalin hubungan bisnis dengannya, sebagai penerus Don Angelo Granoche. Don Alphonse akan menerima dengan senang hati tawaran bisnis apa pun, legal maupun ilegal, namun tidak untuk bisnis yang satu ini. Bisnis kloning manusia.
Bagi Don Alphonse yang religius, yang selalu menerimakan sakramen tobat sesaat setelah dia mendapati dirinya berdosa, kloning manusia tidak sesuai dengan moral agama. Manusia diciptakan oleh Tuhan, dan hanya Tuhan yang berhak mengatur semuanya. Baginya tidak etis jika manusia menciptakan kopi dirinya sendiri, hanya untuk kepentingan pribadi.
Para ilmuwan itu sudah datang, Prof. Dr. Nicholas Spindler dan wakilnya, Prof. Dr. Reinhard Franglen. Renato teringat ketika dulu dia masih berpangkat prajurit, ketika Don Angelo Granoche masih hidup, dia sering mendapat tugas mengawal Don Granoche setiap melakukan kunjungan ke laboratorium pusat pengembangan kloning hewan yang rupanya dijadikan kedok untuk menutupi bisnis rahasia Don Granoche dengan para ilmuwan di laboratorium itu, yakni penelitian dan pengembangan kloning manusia. Renato menyaksikan sendiri perkembangan yang signifikan yang dihasilkan berkat kepandaian para ilmuwan yang terkait. Mereka mampu menciptakan seluruh organ-organ tubuh yang ada pada manusia sehingga dapat berfungsi selayaknya organ asli manusia, di mana organ-organ itu akan dicangkokkan pada tubuh buatan, tubuh yang akan disesuaikan dengan kondisi fisik dan lahiriah calon pemesan klon. Itulah perkembangan terakhir yang diketahui Renato, beberapa saat sebelum Don Granoche mangkat.
Saat ini, Don Alphonse memintanya untuk mengikuti pertemuan dengan para ilmuwan itu. Dan isu yang didengarnya adalah, para ilmuwan itu telah berhasil menyelesaikan proyek kloning manusia. Kabarnya mereka telah menciptakan alat untuk mentransfer memori, sehingga semua hal yang ada di kepala si pemesan klon bisa dikopi seluruhnya untuk kemudian ditransfer pada otak klon. Maka jadilah seorang kopi manusia. Robot, yang memiliki semua sifat, kelebihan dan kekurangan, kemampuan, dan juga memori seperti yang dimiliki sang pemesan klon.
Renato menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Roman menyimak presentasi proposal yang dibawakan oleh Prof. Dr. Reinhard Franglen dengan bersemangat dan mata yang berbinar-binar.
Tentu, Renato berujar dalam hati, bocah ini tergiur dengan jutaan dolar yang bisa dihasilkan jika bisnis ini menjadi milik Burgueno.
Sementara sang Don sendiri tampak tidak tertarik.
Franglen, ilmuwan berperawakan tinggi dan kurus yang pandai berbicara itu adalah orang kedua dalam proyek kloning manusia, sementara sang ketua proyek, Prof. Dr.Nicholas Spindler, hanya duduk diam dan membiarkan wakilnya terus berpresentasi.
Presentasi usai. Renato melihat ekspresi wajah datar Roberto dan Steffano seolah tidak terkesan, namun dia bisa menerka kedua orang ini pun tertarik pada bisnis kloning itu dari kilatan mata mereka. Sementara Roman menatap ayahnya dengan pandangan tidak sabar.
"Tidak." Don Alphonse berkata singkat, namun cukup membelalakkan mata Roberto dan Steffano yang terkejut, lebih-lebih Roman.
"Aku hargai kalian yang menjadikanku sebagai orang pertama yang kalian tawari bisnis ini, namun aku harus menolaknya. Aku tidak mau menjalankan bisnis itu," ujar Don Alphonse melanjutkan.
Spindler yang bertubuh jangkung namun bungkuk menatap Don Alphonse dengan kedua mata abu-abunya yang pucat. "Godfather," ujarnya dengan suara serak. "Anda kami jadikan orang pertama yang kami tawari bisnis ini karena kami tahu, Anda adalah orang kepercayaan mendiang Don Angelo Granoche. Kami membutuhkan back up politik dan keamanan yang terjamin dari Anda, Godfather."
Roberto sang consigliere atau penasihat, mendekatkan wajah pada sang Don dan hendak membisikkan sesuatu, namun Don Alphonse menampiknya dan tidak memberikan kesempatan Roberto berbicara.
"Jawabanku tetap, tidak," ujar Don Alphonse datar. Dari pancaran mata serta pembawaannya yang anggun memancarkan pesona kharismatik yang membuat Franglen dan Spindler tahu bahwa itulah jawaban akhir sang Don. Pada detik yang sama mereka sadar harus segera mengundurkan diri.
"Itulah jawaban akhirku. Aku ucapkan selamat atas usaha kalian ini. Kuharap kalian sukses, selama tidak bersinggungan dengan teritori Burgueno." Don Alphonse bangkit berdiri dan menjabat tangan Spindler dan Franglen yang tampak kecewa.
"Bisa-bisanya Papa menolak bisnis miliaran dolar dan membiarkan empat keluarga lain saling memperebutkan bisnis yang seharusnya menjadi milik kita?!!" protes Roman setengah berteriak setelah kedua ilmuwan itu menghilang di balik pintu.
"Roman, kau tidak tahu apa yang kau bicarakan," sahut Don Alphonse tenang seraya menyesap segelas whiskey.
"Tidak tahu apa yang kubicarakan! Hah! Yang kutahu adalah, Papa membiarkan bisnis masa depan yang menjanjikan itu lewat di depan hidung Papa begitu saja! Coba tanya Roberto. Menurutmu siapa yang salah dari antara aku dan Papa, Consigliere?" tanya Roman seraya menghampiri Roberto.
Roberto terdiam sejenak, menimbang. "Menurutku, apa yang menjadi keputusan Don adalah yang terbaik," jawabnya.
Renato melirik Roberto, keningnya berkerut keheranan. Roberto bermain aman atau berusaha mencuri hati Don, tidak punya pendirian, ujarnya dalam hati.
Roman memicingkan mata, memandang Roberto dengan jijik. "Kau memang tidak pernah mau memihakku, Consigliere," katanya.
Dia kemudian berpaling pada Renato. "Menurutmu, Renato?"
Renato mengambil nafas panjang. "Menurutku, bisnis kloning adalah bisnis masa depan bernilai jutaan dolar. Tidak ada alasan bagi empat keluarga lain untuk menolak bisnis itu," jawabnya.
"Jadi menurutmu, aku salah, Renato?" tanya Don Alphonse datar seraya menatap Renato.
Ditatap demikian membuat Renato salah tingkah. "Dengan segala hormat, saya tidak bermaksud seperti itu, Don. Hanya ... bukankah yang Anda inginkan adalah memiliki aset-aset bisnis terbesar, dan menjadikan keluarga kita adalah keluarga yang terkuat?"
Don Alphonse menghela nafas. "Kukatakan pada kalian semua. Aku tidak salah mengambil keputusan. Keputusanku selalu benar dan tidak bisa diganggu gugat. Sekarang pergilah kalian, banyak yang harus kalian urus," ujarnya menutup pertemuan malam itu.
Roberto, Steffano, Renato dan para kapten lain segera beranjak, namun ketika Roman hendak pergi, Don Alphonse berkata, "Jangan selalu kau turuti nafsumu terhadap uang, Rome, kau tetap harus gunakan akal sehat. Bila tidak, itu akan menjadi boomerang untukmu."
Roman melirik ayahnya dengan jengkel. "Oh ya? Akan kubuktikan suatu saat nanti, omonganmu tidak selalu benar, dan apa untungnya menjadi seorang Don yang religius? Apa gunanya sakramen-sakramen tobat yang setiap minggu kau terima, sementara kau sendiri hidup dari uang-uang kotor. Tahu apa istilahnya? Munafik," ujarnya sambil berlalu dari hadapan sang Don yang hanya menggeleng-gelengkan kepala, sudah terbiasa menghadapi kata-kata kasar dan sifat Roman yang manja dan kepala batu tersebut.
Dengan ekspresi wajah yang tidak sedap dipandang, Roman keluar dari ruangan sambil mengentakkan kaki. Moodnya malam ini hancur lebur, hanya gara-gara sang ayah memilih untuk taat pada agama. Dia mendapati Renato tengah berbincang dengan Reeve dan Tonio.
"Renato!" panggil Roman lantang, tangannya memberi isyarat agar Renato segera menghampirinya.
Capo tersebut segera meninggalkan anak buahnya dan tergopoh menghampiri Roman.
"Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya, Renato!" keluh Roman dengan suara tertahan.
Renato memandangi anak bos besarnya itu dengan maklum. Dia menggiring Roman agar menjauh, agar yang dia katakan tidak malah terdengar oleh yang lain. "Itulah keputusan Don, Kita harus menghormatinya," ujarnya.
"Keputusan TOLOL! Dia itu ... kolot! Tidak inovatif! Dia harus sadar bahwa zaman sudah berubah! Dia menolak perubahan apa pun yang bertentangan dengan kepercayaannya, padahal perubahan itu bisa membawa kejayaan pada kita semua!! Apa jadinya keluarga ini jika terus menerus dipimpin oleh seorang kolot seperti dia!" seru Roman berapi-api.
"Yah, walaupun kita berdua tidak setuju dengan keputusannya, tapi kita tetap harus menghormatinya. Lagipula dia ayahmu sendiri. Berhentilah berkata seperti itu," sahut Renato.
Roman menghentikan langkahnya dan menatap Renato dengan mata hitamnya yang tajam. Pada saat tengah dilanda emosi seperti itu, ekspresi wajah Roman menjadi jauh lebih berbahaya. "Ayahku sendiri! Ya, ayah yang tidak pernah mau mendengarkan perkataan anaknya! Ayah yang diktator! Yang tidak pernah memperhatikan anak laki-lakinya, yang lebih mengistimewakan anak perempuannya yang murahan itu! Aku, sudah dewasa, aku ingin menjalani hidupku sendiri, tapi apa? Dia menahanku! Lalu kuminta dia untuk mempercayakan ... untuk mengajariku menjadi seorang kepala keluarga sepertinya, tapi kau tahu apa yang dikatakannya? Dia bilang aku tidak pantas! Aku tidak pantas menggantikan kedudukannya, lalu untuk apa dia menahanku dan tidak membiarkanku keluar dari rumah?! Keparat!"
Berulang kali Roman menghela nafas dengan kesal, lalu katanya lagi, "Dengar, Renato. Tiba-tiba terlintas ide di benakku. Ide yang penuh dengan resiko. Tapi juga bisa menjadi jaminan kesejahteraanku. Dan kau, tentunya, jika kau bersedia mendukungku dan berada di pihakku seutuhnya."
Renato tersenyum menatap Roman. "Aku tertarik. Apa rencanamu?"
"Kau bersedia melakukan apa pun untuk itu?"
"Selama itu bisa menjadi jaminan masa depanku," jawab Renato mantap.
Tersungging senyum penuh percaya diri di wajah Roman. "Aku senang kau berada di pihakku," ujarnya seraya merangkul Renato.
3 - Rencana Menjegal Musuh
Siang itu Reeve mengemudi SUV mewah dengan kaca berlapis anti peluru, meluncur dengan tenang di jalan bebas hambatan. Di sampingnya, Renato fokus berbalas pesan melalui ponsel sambil merokok. Sementara di kursi belakang, Roman duduk sambil menyilangkan kaki, matanya memandang keluar jendela, hanyut dalam pikirannya sendiri.
"Roscoe sudah tiba di sana," ujar Renato memecah keheningan di dalam mobil. "Dia menunggu kedatangan kita."
Reeve segera menangkap siapa Roscoe yang dimaksud Renato. Dia adalah Roscoe Valachi, seorang capo sama seperti Renato.
"Roscoe," gumam Roman. "Aku masih tidak menyangka seorang yang terlihat kolot seperti dia, seorang sarjana hukum pula, lebih memilih berdiri di pihakku ketimbang Don tua satu itu."
"Jangan kau hakimi seseorang dari covernya, Rome," sahut Renato sambil terkekeh. "Memang dia terlihat kolot, tapi sebenarnya open minded. Kau tidak tahu, Roscoe mengaku padaku bahwa saat pertemuan itu, Roscoe nyaris beku di tempat saking tidak terima penolakan ayahmu. Sebenarnya aku juga bisa menaksir bahwa baik Roberto maupun Steffano sama-sama tertarik pada kloning, tapi mereka lebih memilih mendukung ayahmu."
"Haha." Roman tertawa sumbang. "Jadi, yang terjamin kolot hanyalah ayahku. I don't get it. Really, I don't get it. Kenapa yang disebut ayahku itu bisa sedemikian kolotnya. Realistis sajalah, prospek bisnis itu menjanjikan. Hanya dengan mengenyampingkan keyakinan atau agama sebentar, masa depan yang lebih terjamin bisa diraih," ujarnya sambil menggelengkan kepala. "Dan aku jadi tidak perlu bermain kucing-kucingan dengannya seperti sekarang ini. Dasar manusia tolol."
"Sekesal apa pun kau," sahut Renato. "Setidaknya jangan ucapkan kata-kata kasar seperti itu pada orang yang telah menghadirkanmu ke dunia."
"Kau ini anak yang baik dan berbakti pada ayahmu, huh, Renato? Sepertinya kau selalu terpelatuk jika aku mengatai ayahku tolol. Yang kumaki kan ayahku, bukan ayahmu," balas Roman.
Renato menjawab, "Kau akan tahu rasanya saat nanti punya anak. Tidak ada seorang pun orang tua yang ingin mendengar makian indah dari keturunannya sendiri."
"Idiot. Dia mana dengar makianku? Aku maki dia setiap hari setiap saat, dia tidak mendengar. Kecuali aku berteriak langsung di telinganya," sahut Roman tidak mau kalah. "Kau sendiri, Reeve? Apa kau tipe yang berbakti pada ayahmu juga?"
Reeve tidak langsung menjawab. Lewat kaca spion diliriknya Roman yang tengah memandangi dirinya, menunggu jawabannya. "Aku? Aku tidak punya ayah," jawabnya enteng.
"Ibumu perawan maria?" Roman bertanya sinis.
"Tidak punya ibu," jawab Reeve cepat. "Aku lahir dari batu, anggap saja begitu."
Renato melirik anak buah favoritnya itu. Dia tahu ada sesuatu terjadi di masa lalu anak itu, berkat penyelidikan yang dilakukannya saat baru mengenal Reeve. Namun dia memilih tidak berkomentar.
Tak lama tiba jugalah mereka di sebuah bangunan bercat dominan putih, di atas lahan berhektar-hektar luasnya. Inilah laboratorium pengembangan kloning yang menjadikan kloning hewan sebagai kamuflase. Di balik layar, ada usaha menciptakan kloning manusia sebagai 'the next big thing'.
Reeve memarkirkan mobil tepat di samping mobil yang serupa jenisnya. Seorang pria sebaya Renato telah menunggu di sana. Orang itu melambaikan tangan menyambut kehadiran mereka.
"Itu Roscoe," kata Renato sambil melepas sabuk pengaman. "Ayo segera selesaikan ini, Rome. Kau yakin mereka tidak akan menolakmu, kan?"
"I'm gonna make an offer they can't refuse," sahut Roman enteng.
***
Bisnis sembunyi-sembunyi Roman berjalan mulus, banyak orang yang tertarik dan ingin mengkopi dirinya sendiri. Pebisnis kelas kakap hingga politikus yang bergelimang uang hasil korupsi menyambut baik bisnis kloning manusia.
Baru tiga tahun berjalan, di pertengahan musim gugur tahun 2020 bisnis itu mulai tercium oleh dua orang jaksa federal kenamaan New Yord, Ivander Campbell serta rekannya, Wayne Castellano. Dua orang jaksa federal yang terkenal karena kekompakan mereka dan kegigihan mereka dalam memberantas La Cosa Nostra. Banyak anggota-anggota mafia yang telah berhasil mereka jebloskan ke dalam penjara. Anggota-anggota mafia dari lima keluarga New Yord yang cenderung tidak berhati-hati dalam melakukan kewajibannya, dan meninggalkan bau, dengan segera ditindaklanjuti oleh duo jaksa tersebut.
"Ini tidak bisa dibiarkan, Rome," ucap Renato usai menerima panggilan telepon.
Saat itu Renato, Roscoe dan Roman tengah berkumpul membicarakan sepak terjang Campbell dan Castellano. Reeve juga ada di sana, berdiri siaga di pojok ruangan.
Renato melanjutkan, "Aku mendapat info dari orangku, dua keparat itu saat ini tengah membuntuti salah satu klien kita. Ini percobaan mereka yang kesekian kalinya!"
"Benar. Klien-klien kita yang lain, yang mengadu bahwa mereka diikuti para keparat itu, mereka bisa menjaga diri dan tidak pernah muncul di publik bersamaan dengan klon masing-masing. Tapi rupanya para keparat itu gigih juga," sahut Roscoe, capo yang kerap tampil flamboyan. Jenggot lebatnya tidak pernah absen menghiasi wajah pria itu.
"Pertanyaannya, mau sampai kapan kita dikerjai seperti ini?" Renato berseru tertahan. "Kita harus melakukan sesuatu, Rome!"
Roman mengangguk. "Kita harus memperketat pengawasan. Kerahkan lebih banyak lagi rekanan kalian untuk mengawasi segala pergerakan Campbell dan Castellano itu, sedetail mungkin! Bagus jika kemudian kalian bisa menemukan kelemahan mereka, lalu kita serang habis-habisan," ujarnya tegas.
"Kita pecah kekompakan mereka berdua, itu satu-satunya jalan. Cukup temukan kelemahan salah satu dari mereka, habisi karirnya, dengan begitu dua orang itu tidak akan lagi menjadi pengganggu. Bisa apa seorang diri?" Roscoe ikut mengutarakan pendapatnya.
"Setuju." Baik Roman dan Renato sama-sama mengangguk.
"Tapi bagaimana menemukan kelemahan salah satu dari mereka? Hanya dengan mengawasi saja kurasa tidak akan cukup waktu. Kita harus selesaikan semua ini sesegera mungkin," timpal Renato.
"Kita dipermainkan," celetuk Reeve tiba-tiba, membuat ketiga atasannya menoleh.
"Hanya mengandalkan segelintir rekanan dari sedikit capo dan serdadu yang memihakmu, Roman, lama kelamaan kita akan kelimpungan. Inilah akibat kita bertindak secara sembunyi-sembunyi di balik punggung Don Alphonse. Kalau kita come clean, kita akan aman lantaran punya back up dari seluruh punggawa keluarga," ujar Reeve.
Renato mengernyit tidak suka, dari tatapannya seolah menyiratkan bahwa belum sepantasnya Reeve memberi pendapat dan ikut campur.
Roman melengos. "Kau tahu caranya mengubah pikiran kolot Don-mu yang tersayang itu? Tahu?" tanyanya dengan nada tinggi.
Reeve diam, tidak mampu memberikan jawaban.
"Lihat! Kalau kau tidak punya solusi, lebih baik tutup mulutmu dan jaga pintu itu!" seru Roman kesal.
Reeve merengut, namun tidak membantah. Sebenarnya sejak mendengar bisnis ilegal kloning tengah dicurigai pihak luar, Reeve merasa familiar dengan nama Ivander Campbell dan Wayne Castellano. Dua nama yang mengusik memorinya, nama-nama yang tidak asing di telinganya.
"Apakah ada yang memiliki riwayat hidup atau biodata kedua orang itu?" Reeve memberanikan diri bertanya.
Roman memutar bola mata, sementara Renato berdecak. Capo yang berjasa pada Reeve itu memberi isyarat dengan tangannya agar Reeve mendekat. Dia mengambil satu map dari tumpukan dokumen di atas meja, membanting dokumen itu saat Reeve tiba di depannya.
"Baca sendiri. Ini riwayat Ivander Campbell. Apa yang kau mau cari tahu? Hanya sekedar penasaran?" tanya Renato galak sembari memandangi Reeve yang tengah meneliti isi dokumen.
Reeve menemukan sesuatu. Matanya membelalak lebar, bersamaan dengan itu memori yang semula berkabut di benaknya berangsur pulih.
"Apa yang kau temukan, kid?"
"Di sini tertulis Ivander memiliki dua orang putri. Olivia dan Rachel," jawab Reeve, matanya masih belum lepas dari dokumen yang dipegangnya.
"Memang kenapa?"
Reeve memandangi Renato, tersenyum. "Aku kenal dengan Olivia, anaknya yang sulung. Dia teman sekolahku. Kalau kalian mau, aku bisa dekati Olivia ... dari situ peluang menemukan kelemahan Ivander akan lebih besar," katanya yakin.
Tiga atasan Reeve terdiam. Sejenak ketiganya merasa konyol mengapa ide semacam itu tidak terpikirkan sama sekali.
"Wah." Renato merespon kaku. "Tidak kusangka kau pernah sekolah?" tanyanya sekedar berguyon.
"Hei, itu ide yang bagus," sahut Roscoe. "Reeve, kau yakin kau kenal dengan Olivia itu?"
"Tentu," jawab Reeve sambil melempar senyum pada Roscoe. Pemuda yang baru beberapa minggu lalu genap berumur 19 tahun itu menyugar rambutnya yang gondrong sembari melanjutkan, "Kurasa bukan hal yang sulit mendekati temanku itu, aku kenal dia sejak kelas satu sampai kelas delapan. Sekarang kami sudah sama-sama lebih dewasa, Olive juga pasti akan menyambut baik lawan jenis yang mendekatinya."
"Kau cukup menarik, aku yakin kau bisa mendekati anak perempuan Ivander," kata Roscoe, mengangguk-angguk setuju.
Reeve mengeluarkan ponsel dari dalam saku, tanpa buang waktu membuka aplikasi media sosial miliknya. Tentu saja dalam media sosial itu Reeve tidak mencantumkan profesinya yang sebenarnya. Media sosial miliknya hanya dia pergunakan untuk berinteraksi dengan teman-teman lamanya, namun dia nyaris jarang aktif di sana, membuat daftar temannya baru ada segelintir akun.
"Kau memangnya menyimpan nomor anak perempuan Ivander?" Renato bertanya, terheran mengapa sepertinya Reeve mantap sekali menghubungi yang tengah dibicarakan.
"Tidak." Reeve menggeleng. "Sebagai langkah pertama aku harus mencarinya di media sosial."
"He?"
Tawa sinis Roman terdengar. "Dasar om-om generasi baby boomer. Zaman sekarang semua orang pasti memiliki akun di setidaknya satu media sosial. Mungkin kau harus ikut membuat satu akun, supaya tidak terlalu jauh tertinggal," ledeknya.
"Ya. Ya. Benar itu. Anak lelakiku Lucas juga aktif sekali bermain media sosial .... Ternyata berguna, ya?" Roscoe memberi pendapat.
"Ada, nih," kata Reeve begitu menemukan akun bernama Olivia Campbell. Terlihat foto seorang gadis berambut brunette tengah tersenyum manis di profilnya. Reeve mengunjukkan foto tersebut pada ketiga atasannya.
Roman yang ternyata sudah berdiri di samping Reeve, melongok isi ponselnya. Sinar mata pemuda yang cenderung berangasan tersebut menyiratkan sesuatu begitu melihat foto Olivia.
"Wajahnya masih sama seperti yang terakhir kuingat," ujar Reeve. "Hanya terlihat lebih dewasa saja. Aku yakin ini dia."
"Ivander bisa memiliki putri secantik ini?" Renato bergumam sementara Reeve menggulir layar ponselnya, menunjukkan beberapa foto yang lain.
"Mirip ayahnya, huh?" Roscoe menaikkan alisnya.
"Segera tambahkan teman, Reeve. Ajak dia bicara!" Roman terdengar bersemangat.
"Oh. Siap, Rome," jawab Reeve, sigap menuruti perintah.
"Kau basa basilah dulu dengannya. Minta nomornya. Ajak ketemuan, sesegera mungkin. Pertemukan aku dengannya juga."
Ucapan Roman membuat Reeve memandanginya heran.
"Kurasa lebih baik aku saja yang dekati temanmu itu. Dia cantik," kata Roman santai.
"Yaa ... kenapa tidak," sahut Reeve.
"Sebentar," sergah Roscoe. "Kita belum tahu bagaimana cara Ivander mendidik. Apakah mengekang? Atau membebaskan putrinya? Kalau dia tipe mengekang, dalam waktu singkat Ivander akan segera menemukan siapa yang berteman dengan Olivia, yaitu kau, Rome. Kau hanya akan menyerahkan dirimu pada Ivander, titik. Kurasa lebih baik Reeve saja, dia masih belum terlalu dikenal di luar sana."
"Benar. Lagipula entah Ivander tipe mengekang atau membebaskan, akan lebih baik kalau kau jauh-jauh dari keluarga Campbell," sahut Renato.
Roscoe mengangguk, katanya, "Kau juga hanya akan menyulut pertengkaran dengan ayahmu sendiri. Jangan main api semacam itu, Rome. Terkadang keberadaan perempuan justru bisa menghancurkanmu."
Roman mengernyit tidak berkenan mendengar nasihat Renato dan Roscoe, tapi memilih diam.
"Olive sedang online, dia cepat sekali membalasku," ujar Reeve mengalihkan topik, jemarinya lincah bergerak di atas layar ponsel, mengetikkan sesuatu.
"Dia mengenalimu?" Renato menyahut.
Reeve mengangguk. "Tentu. Dia excited melihatku ternyata aktif di media sosial. Sepertinya mudah ... lihat, sudah kudapatkan nomornya dan dia setuju bertemu denganku besok," katanya, senyum puas terukir di wajahnya sambil memperlihatkan isi percakapannya dengan Olivia Campbell.
***
Meski kemarin Renato dan Roscoe sudah memberi peringatan padanya, namun Roman diam-diam mengikuti Reeve yang akan mengadakan janji temu dengan Olivia. Entah kenapa begitu melihat foto Olivia, rasa penasaran Roman terpancing. Seperti kesempatan-kesempatan yang telah lalu, Roman kerap berhasil menggaet wanita incarannya dengan mengandalkan pesonanya, dan kini, dia bermaksud melakukan hal yang sama.
Dari dalam mobil di depan sebuah cafe berkonsep terbuka dapat dilihatnya Reeve menyambut kedatangan seorang gadis muda berambut sebahu, wajahnya persis seperti di foto. Olivia. Postur tubuh Olivia langsing semampai, mengenakan dress bercorak floral selutut dipadankan dengan high heel berwarna kulit. Gadis yang menawan, Roman tersenyum penuh arti. Tidak mungkin dia lewatkan kesempatan mengenal Olivia lebih jauh.
Reeve juga terlihat ceria bertemu kembali dengan teman lamanya. Entah sudah berapa lama mereka tidak bertemu, Roman enggan mengambil peduli. Roman segera bergegas keluar dari mobil, bermaksud menghampiri keduanya sebelum Reeve mengeluarkan pesona yang dimilikinya untuk memikat Olivia. Roman tidak boleh terlambat menginterupsi.
"Hei, Reeve!" Roman tanpa sungkan menyela Reeve dan Olive yang masih belum selesai melepas rindu.
Tentu, Reeve terlihat terkejut melihat Roman, namun dia segera menguasai diri. "Lho. Hei, Rome? Kau di sini?" sapanya.
"Yeah. Aku kebetulan lewat dan melihatmu di sini. Kau sedang kencan rupanya, eh? Agendamu penuh juga," ujar Roman santai.
"Oh. Hahaha." Reeve tertawa canggung. "Bukan, bukan kencan. Hanya reuni biasa. Olive, kenalkan, dia Roman Burgueno. Rome, ini temanku semasa sekolah, namanya Olive," ujarnya memperkenalkan satu sama lain. Reeve tahu dengan pasti bahwa Roman bukannya 'kebetulan lewat', melainkan memang sengaja mengikuti dirinya agar bisa berkenalan dengan Olivia. Hal ini diperkuat dengan penampilan Roman yang tampak lebih rapi dan stylish sore ini, tidak seperti biasanya. Anak Don yang satu itu rupanya menyimpan rasa penasaran yang cukup besar.
Roman spontan mengukir senyuman indahnya yang menawan, saat menjabat tangan Olivia sambil menyebutkan namanya. Di lain pihak, ada semburat samar warna merah di pipi Olivia, yang juga balas tersenyum menyebutkan namanya. Misi memikat Olivia dengan pesona, Roman berhasil melakukannya nyaris tanpa usaha yang berlebih.
"Eh. Sorry. Tadi siapa nama belakang kamu?" Olivia bertanya begitu Roman duduk bergabung.
Roman melirik Reeve sekilas, yang ternyata juga tengah menatapnya. Dia menjawab, "Burgueno."
"Ah. Burgueno ... Burgueno yang ...." Olivia tampak ragu menuntaskan ucapannya. Ia menggeleng samar, lalu mengalihkan topik. "Jadi kamu juga orang Iralia seperti Reeve?"
Roman tersenyum hangat, mengangguk. "Benar, Sayang. Pria Iralia terkenal akan karakternya yang romantis dan tak segan memanjakan wanita yang dipujanya, menjadikannya nomor satu dalam hidupnya ... adalah orang yang saat ini berbicara denganmu," ujarnya kalem, matanya tak lepas dari sosok muda dan cantik di hadapannya itu.
Rona wajah Olivia spontan semakin berwarna, ditambah senyum yang malu-malu itu, Roman semakin yakin bisa mendapatkan wanita itu dengan mudah.
Reeve menahan senyum sebisa mungkin sedari tadi. Dia berkomentar, "Wah, rupanya aku hanya menjadi nyamuk di sini."
4 - Amarah Sang Don
Don Alphonse merasa sudah dua minggu ini tidak lagi melihat keberadaan Roman di rumah. Putra sulungnya itu memang terkadang menghilang, tidak pulang berhari-hari, namun tidak pernah lebih dari seminggu. Don Alphonse tidak pernah merasa keberatan lantaran dia juga pernah muda, ada saat-saat di mana gejolak tertentu khas anak muda meluap, yang membuat pria muda mana pun bakalan lupa untuk pulang. Tapi ini sudah dua minggu, wanita mana yang membuat Roman sebetah itu hingga enggan mengingat rumah?
"Kau tahu di mana anakku?" Don Alphonse bertanya pada Steffano yang sedang berada di ruangannya.
Steffano terlihat bingung.
"Sudah dua minggu ini dia tidak terlihat, mungkin kau melihatnya," imbuh Don Alphonse.
"Maaf, Don, saya tidak melihat Roman akhir-akhir ini," jawab Steffano.
Suara ketukan disusul pintu terbuka mengalihkan perhatian Don Alphonse. Seorang gadis berparas manis dan berambut ikal muncul dari balik pintu membawa secangkir minuman di atas nampan.
"Papa, aku mengganggu? Aku bawakan teh sore untukmu," ujar gadis tersebut sambil tersenyum.
"Vanessa," panggil Don Alphonse seraya tersenyum hangat. "Kemarilah."
Gadis itu, Vanessa Burgueno, melangkah masuk setelah dipersilakan. Ia terpaut tiga tahun lebih muda dari Roman. Perangainya manis, lembut dan penurut, jauh berbeda bila dibandingkan dengan sang kakak. Tipe anak perempuan idaman setiap orang tua. Postur tubuhnya yang sekal menjadi daya pikat, Don Alphonse kerap merasa cemas kalau-kalau ada pemuda tak layak yang berhasil menjerat putri kesayangannya itu, dan mengambil kesempatan darinya.
Vanessa menaruh minuman di atas meja kerja. "Silakan diminum, Pa. Jangan terlalu keras bekerja," pesannya.
Don Alphonse mengangguk. "Terima kasih, Sayang."
"Ah. Apakah Om Steffano juga ingin kubuatkan minuman?" tawar Vanessa pada wakil ayahnya itu.
Steffano menggeleng sambil tersenyum. "Terima kasih, Sweetie. Aku tidak terlalu haus," jawabnya.
Don Alphonse bertanya, "Vanessa, kamu tahu di mana Roman? Kenapa Papa tidak pernah melihatnya dua minggu ini?"
Vanessa menggeleng pelan. "Mm, aku nggak tahu, Pa .... Roman memang nggak pernah pulang lagi."
Don Alphonse berdecak. "Apa dia tidak memberi kabar padamu?"
Vanessa tersenyum miris, jawabnya, "Mana mungkin, Pa? Roman nggak pernah anggap aku ada, kok."
Jawaban Vanessa terdengar getir. Memang, kedua kakak beradik itu tidak pernah akur sejak kecil. Roman kerap bersikap kasar tanpa alasan pada sang adik. Hal itu juga yang menambah beban pikiran Don Alphonse terlebih semenjak ibu kedua anak itu meninggal dunia.
"Ah. Maafkan. Kakakmu itu memang ya .... Sering sekali membuat kepala Papa sakit," ujar Don Alphonse penuh sesal.
"Kau mau aku kerahkan orang untuk mencarinya? Bukannya mendoakan, tapi barangkali terjadi sesuatu padanya di luar sana? Semoga anak itu baik-baik saja." Steffano menawarkan maksud baiknya.
Don Alphonse mengangguk. "Boleh. Aku minta tolong, Stef."
***
Dua hari kemudian Steffano mendatangi Don Alphonse dengan raut wajah tegang.
"Stef, ada apa? Kenapa wajahmu pucat begitu?" Don Alphonse menyambut Steffano dengan pertanyaan. "Anak buahmu berhasil mendapatkan informasi di mana anakku?"
"Don, kau harus mendengar ini dan segera bertindak," ujar Steffano, nyaris tersengal. "Segera. Bertindak. Anakmu itu ...."
Don Alphonse merasakan gelagat yang patut membuatnya kuatir. "Ada apa? Katakan!"
Steffano terlihat kesulitan mengatur nafas seraya merangkai kata dalam benaknya. Ini adalah hal mengerikan yang mungkin akan menjadi bencana di kemudian hari. Sepenting itu.
"Roman ... dia terpantau tinggal bersama dengan seorang gadis, putri dari Ivander Campbell," tutur Steffano perlahan.
Kening Don Alphonse berkerut dalam mendengar informasi itu. "Anak Campbell. Mau apa anak itu?? Cari mati??" serunya tertahan.
"Don. Persiapkan dirimu. Ini bukan hanya sekedar hubungan antara Roman dan putri Campbell."
"Maksudmu??"
"Roman diam-diam bekerja sama dengan Renato dan Roscoe. Mereka bertiga teken kontrak di belakang kita dengan Spindler dan Franglen, mengatasnamakan dirimu," ujar Steffano. Tentu saja dia menyadari informasi yang baru saja meluncur dari mulutnya itu adalah hal yang pasti akan memancing kemarahan sang Don. Don Alphonse yang memiliki julukan Don berkepala dingin, tenang dan jarang terpancing emosi, bagaimana dia akan bereaksi mendengar hal itu? Steffano bersiap menyaksikan reaksi sang Don.
"Apa katamu??!"
Pekik kemarahan sang Don menggema di seluruh ruangan. Bersamaan dengan itu pula raut wajah yang biasanya santai dan lempeng, berubah tegang, merah menahan murka yang menjadi-jadi.
Merasa tertipu dan dipermainkan oleh putranya yang merendahkan martabat keluarga, jelas Don Alphonse murka. Berbekal informasi yang didapatkan Steffano, Don Alphonse bergegas menuju sebuah apartemen mewah di tengah kota tempat Roman menghabiskan waktu selama ini.
Steffano dan Roberto ikut bersamanya, berjaga-jaga mencegah kemungkinan terburuk yang bisa terjadi lantaran baru sekali ini Don Alphonse terlihat semurka itu.
"Kau yakin dia di sini?" tanya Don Alphonse datar, begitu mereka tiba di depan pintu unit yang disinyalir tempat tinggal Roman.
"Benar, Don," jawab Steffano.
"Don, demi Tuhan, jangan terlampau terbawa emosi," ujar Roberto memperingatkan.
"Jangan ikut campur!!" Don Alphonse meledak. "Ini urusanku dengan anak yang tidak tahu adat itu!!"
Roberto terdiam, sia-sia dia memperingatkan.
"Dobrak pintunya!!" titah Don Alphonse pada para pengawalnya.
Dua pengawal bertubuh kekar sigap melaksanakan perintah. Hanya dengan sekali usaha, pintu terbuka dengan mudah. Yang berada di dalam, yang tengah bersantai menonton televisi, terlonjak kaget begitu pintu didobrak. Mereka lebih kaget lagi saat melihat siapa yang menerobos masuk.
"P-papa?" gumam Roman tidak menyangka keberadaannya terendus oleh sang ayah.
Don Alphonse menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Roman berduaan dengan anak salah satu musuhnya, namun bukan itu yang paling memancing amarahnya. Kenyataan bahwa Roman tidak mengindahkan keputusannya dan malahan melakukan bisnis yang tidak dia restui, bahkan menggunakan namanya ... Don Alphonse tahu hanya ada satu cara memutar balik keadaan.
Tanpa basa basi lagi kepala keluarga kejahatan terorganisasi itu maju dan menerjang Roman dengan kekuatan penuh. Meski sudah tidak lagi muda, namun kekuatannya masih utuh. Pukulan bertubi-tubi dia sarangkan di wajah sang anak, tanpa ada perlawanan berarti. Bobot tubuhnya menindih, membuat obyeknya kali itu pasrah tidak berdaya.
Olivia berulang kali memekik panik, meminta Don Alphonse agar berhenti, namun Don tetap menginjak gas, semakin dalam, semakin bernafsu memukuli anaknya.
"Kubesarkan kau baik-baik, tapi ini caramu membalasku, dengan menjadi pengkhianat?! Kau tahu apa yang lebih busuk dari sampah? Pengkhianat!" seru Don Alphonse, masih terus memukuli Roman.
"Stop!! Stop, please!" Olivia menangis histeris sembari berusaha menahan gerak tangan sang Don, namun apalah daya, orang tua itu masih terbakar emosi.
"Please, lakukan sesuatu, please!" Gantian Olivia memohon pada Roberto dan Steffano yang hanya berdiri terdiam di dekat pintu.
Tidak melihat adanya pergerakan dari mereka, Olivia berlutut menjatuhkan diri di sisi Roman sambil mencengkeram lengan Don Alphonse. "Sudah, cukup! Cukup, kumohon ...," pintanya memelas, menatap sang Don dengan matanya yang merah dan dibanjiri air mata. "Please ... jangan pukuli Roman lagi ...."
Melihat gadis berambut brunette sebahu itu, yang mengingatkan Don Alphonse pada wajah ayah gadis itu, membuatnya semakin emosi. Namun ditahannya emosi itu, lalu melepaskan Roman dan bangkit berdiri. Dipandanginya terus sang anak yang terduduk di lantai, mengusap darah di mulutnya. Kondisi yang mengenaskan, Roman tampak semakin tidak berdaya. Kehilangan taji.
Don Alphonse meludah. "Kau benar-benar membuatku kecewa, Roman," katanya. "Teken kontrak di belakangku! Lancang sekali! Pacaran dengan anak musuhku! Kau luar biasa, Roman! Padahal aku berharap banyak padamu, dan ingin menjadikanmu penerusku, tapi lihat kelakuanmu! Bertindak seenak perutmu sendiri! Cukup sudah! Aku batal menjadikanmu penerus! Terserah apa yang mau kau lakukan sekarang, jangan pernah kembali lagi ke rumah! Mengerti?! Anjing pengkhianat sepertimu tidak layak mendapat maaf dariku!" serunya lagi sebelum kemudian beranjak pergi diikuti semua yang datang bersamanya.
Sepeninggal ayahnya, Roman masih saja terduduk di lantai, merasakan amarah dan kebencian yang menjadi-jadi terhadap orang tua itu. Ayahnya telah begitu tega mempermalukan dirinya di depan sang kekasih! Tega mengatakan hal yang menyakitkan itu padanya?
"Roman ... Sayang, kamu nggak apa ...?"
Pertanyaan berulang-ulang Olivia tidak Roman dengarkan. Dia merasa semakin tidak berdaya melihat wajah Olivia yang basah karena air mata, memandanginya dengan cemas.
Muak lantaran merasa tidak berdaya di depan seorang wanita, Roman langsung bangkit berdiri tanpa memedulikan luka di sekujur tubuh dan wajahnya, lalu bergegas meninggalkan Olivia sendirian.
Amarah dalam hati yang begitu menggelora berubah menjadi dendam. Tanpa buang waktu Roman menghubungi Renato dan Roscoe sekaligus. Panggilannya segera terjawab.
"Siapa di antara kalian yang membocorkan rahasia bisnis kloning pada ayahku?!" tanya Roman lantang tanpa mau repot menjawab sapaan 'halo' dari keduanya.
"He? Apa maksudmu?" Renato bertanya balik.
"Tidak ada yang berbuat demikian. Apa Don Alphonse sudah tahu mengenai hal itu?" Roscoe merespon.
Roman membentak, "Menurutmu?! Dia menghajarku habis-habisan! Dari mana dia tahu soal itu?? Dari mana dia tahu tempatku tinggal selama ini?? Dari mana dia tahu aku pacaran dengan Olive?? Tentu dari kalian!"
"Hei, kiddo, berhenti menyalahkan kami!" sahut Renato.
"Sudah kubilang tidak ada yang mengadu pada ayahmu! Tentu Don menyelidikimu atas inisiatifnya sendiri!" seru Roscoe.
"Roscoe, kalau Don benar menyelidiki ... itu artinya dia juga tahu keterlibatan kita." Renato terdengar cemas.
"Damn! Sekarang keadaannya malah semakin memburuk!" umpat Roscoe.
"Kurasa ini justru salahmu sendiri, Rome," kata Renato. "Sudah berapa kali kami memperingatkanmu agar menjauh dari putri Campbell, tapi kau malah memacarinya! Kurasa kau tidak pulang ke rumah selama ini, kan? Makanya Don mencarimu, sekalian menyelidikimu! Benar kan, kataku?"
"Beraninya kau menyalahkanku! Ini salah kalian kenapa orang ayahku bisa leluasa menyelidiki aku, seharusnya kalian tahu pergerakan mereka! Kalian tidak berguna!" Roman berseru penuh emosi.
"Makanya sudah kubilang kalau perempuan bisa menjatuhkan laki-laki, ini yang kumaksud!" sahut Roscoe.
"Ya! Bukannya mencari kelemahan si Campbell tapi kau malah memacari anaknya dan bersenang-senang terus dengannya! Kuharap kau puas, anak muda!" balas Renato.
"Lancang!" bentak Roman.
"Sudahlah! Hentikan saling menyalahkan!" Roscoe menengahi. "Ini bukan saatnya adu ego, tenangkan diri kalian! Tenangkan dirimu, Rome, tarik nafaslah yang panjang. Kita diskusikan bagaimana menghadapi kondisi yang terlanjur seperti ini."
Roman menuruti perkataan Roscoe. Lalu tak lama sesuatu terlintas dalam benaknya. "Roscoe, Renato. Sekarang kuminta kalian untuk mengatur pertemuan dengan para Komisi," katanya.
Komisi yang dimaksud oleh Roman adalah persekutuan lima keluarga kejahatan terorganisasi di seantero New Yord. Para kepala keluarga dari masing-masing klan tiap tahun selalu mengadakan pertemuan rutin membahas perkembangan terakhir dunia hitam. Dalam pertemuan rutin itu mereka juga selalu memperbaharui perjanjian untuk tidak saling mengusik demi terciptanya kedamaian di antara para keluarga. Tidak ada yang menginginkan situasi panas akibat perang antar keluarga terjadi terus menerus.
"K-komisi?" Renato terbata. "Apa hubungan Komisi dengan kejadian ini, huh?"
"Lakukan saja perintahku!" seru Roman. "Sudah saatnya generasi berganti."
"Roman! Apa yang kau pikirkan?" Roscoe berharap dia telah salah mendengar perintah.
"Kumpulkan mereka, secepatnya! Undang empat kepala keluarga itu, tapi jangan ikut sertakan ayahku. Aku yang akan maju menggantikannya," kata Roman yakin.
"Hei, kau tidak bisa begitu! Kau bukan kepala keluarga!"
Semakin yakin, Roman menjawab, "AKU kepala keluarga yang baru."
5 - Meeting With The Dons
Ruang meeting dengan meja panjang untuk sepuluh orang telah terisi semuanya. Deretan pria paruh baya berpenampilan rapi dengan jas dan dasi, semuanya didominasi warna gelap.
Roman duduk berdampingan dengan Renato dan Roscoe, Reeve dia ajak pula, duduk di belakangnya, tidak jauh. Reeve menyadari ekspresi bingung semua yang hadir lantaran absennya Don penguasa Little Iraly, Don Alphonse Burgueno. Hanya penerus Don Alphonse yakni Roman yang berada di sana bersama mereka, itu pun dengan wajah yang hancur penuh lebam.
Reeve sedari tadi mengamati jejeran penguasa dunia bawah yang berkumpul, menghafal nama dan wajah yang tertangkap inderanya. Sebagian sudah Reeve kenali dengan mudah.
Para kepala keluarga kejahatan terorganisasi New Yord itu hadir dengan wakil dan penasihatnya masing-masing. Mereka adalah:
Don Luigi Labruzzo dari klan Labruzzo penguasa kawasan New Hersey, yang datang bersama wakilnya yang terkenal karena hanya memiliki satu mata, Gianluigi Castillo.
Don Salvatore Cavallo dari klan Provenzano, yang beroperasi di kawasan Brookine, yang paling akrab dengan Don Alphonse Burgueno. Wakilnya, Antonio Garafallo, berumur jauh lebih tua, bahkan mungkin yang paling senior di antara semua mafioso yang berkumpul di sana.
Don Giorgio Restagno, penguasa kawasan Clayton, datang bersama wakilnya Saverio Bellomo.
Don Maurice Castellano, penguasa daerah Manhatten, dan wakilnya, Vincent Santora. Don Maurice Castellano yang memiliki julukan "The Angel Face" adalah sosok yang unik. Berwajah sendu seolah tidak memiliki kekuatan, padahal siapa pun tahu, di balik wajah sendu itu diam-diam tersimpan kekuatan dan nyali yang membuat orang lain gentar. Wajah sendu miliknya terlihat mirip dengan seorang jaksa yang gencar memburu para anggota mafia, yakni Wayne Castellano. Maurice dan Wayne memang berbagi darah yang sama. Memiliki orang tua yang sama, wajah yang tidak terlalu jauh berbeda, hanya saja memiliki pandangan serta profesi yang bertolak belakang.
Tempo hari saat Reeve berhasil mengingat siapa Ivander Campbell dan hubungannya dengan teman semasa sekolahnya, Olivia, dia juga otomatis menyadari bahwa jaksa Wayne Castellano tidak lain juga adalah ayah dari temannya yang lain, Camila. Putri dari Don Maurice Castellano adalah temannya juga, Jessica. Betapa hidup itu memang sempit, Reeve tersenyum dalam hati. Tanpa disangka banyak nama yang pernah mengisi hari-hari masa kecilnya dulu, kini mencuat lagi ke permukaan. Bagaimana kabar Camila dan Jessica?
Roman bangkit berdiri, rupanya dia memutuskan untuk segera memulai pertemuan. Baru kali itu Reeve melihat Roman berpakaian rapi dengan jas dan dasi. Sangat wajar jika Roman memerhatikan penampilannya malam ini, sebab ini kesempatan pertama Roman memimpin pertemuan dengan para pemimpin yang lain, dia tentu ingin memberikan kesan yang baik di mata semua yang hadir. Dia terlihat gagah meski ekspresinya berbahaya, auranya memancarkan kharisma yang berbeda dari pendahulunya. Sedikit disayangkan wajah rupawannya itu agak ternoda akibat lebam.
"Selamat malam, para Don yang terhormat. Saya sangat berterima kasih karena Anda semua telah menyempatkan diri untuk datang meskipun undangannya terlampau mendadak, saya minta maaf untuk itu. Saya sangat memahami Anda semua super sibuk, bisa meluangkan waktu seperti ini, betapa saya sangat menghargainya," ujar Roman tenang dan jelas. Dia menyapukan pandangan ke seluruh peserta pertemuan. "Sebelumnya saya meminta maaf juga lantaran penampilan saya kurang prima malam ini, Anda bisa melihat dengan jelas saya tidak dalam kondisi yang baik-baik saja."
"Sebenarnya apa arti pertemuan yang sangat mendadak ini, Roman?" Don Castellano mengangkat suara. "Di mana Don Burgueno?"
Roman menyunggingkan senyum yang terkesan licik. "Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, Don Castellano .... Saya ingin bertanya, apa pendapat Anda sekalian terhadap ayah saya, Don Alphonse Burgueno?"
Don Cavallo duluan menjawab, "Seorang Don yang bijaksana, sosok yang dihormati oleh banyak orang."
"Beliau teman yang setia. Ayah yang menyayangi anak-anaknya, tanpa memanjakan berlebihan. Kau putranya, seharusnya kau yang paling tahu mengenai itu," sahut Don Restagno.
"Tidak juga." Roman masih menyunggingkan senyum licik. "Itu hanya topeng yang dia kenakan di depan publik. Di balik keistimewaan sifatnya yang bijaksana, dihormati ... kalian sendiri tahu bagaimana sang Don sebenarnya," ujarnya.
"Sebentar. Apa sebenarnya maksudmu, Roman?" Don Labruzzo menyela. "Mengapa kau mengumpulkan kami di sini untuk membicarakan ayahmu?"
"Karena aku ingin menyamakan pandangan," jawab Roman mantap. "Bukankah Don Burgueno selama ini terlalu tamak? Ingin menguasai segala bisnis terbaik, dan menyisakan yang tak seberapa nilainya untuk kalian?" Roman menatap mata para sang Don di sana satu per satu. "Tanpa perlu kusebutkan nama ... bukankah masing-masing dari kalian sempat slack dengan ayahku? Secara tamak dan culas dia merekayasa agar dia bisa memonopoli sektor bisnis yang sebenarnya adalah hak kalian. Pengelolaan bisnis kasino. Hiburan malam. Jaringan perhotelan. Supermarket. Masih banyak yang bisa disebutkan, tapi aku diburu waktu. Dia yang mendapatkan semuanya, sementara kalian? Hanya mendapat ampas."
Tersinggung, Don Cavallo bangkit berdiri tanpa sepatah kata pun, bermaksud meninggalkan ruangan.
"Don Salvatore Cavallo," panggil Roman menahan gerak langkah sang Don. "Bukankah Don Alphonse mendatangi dan menjerat Anda dengan pesona dan kharismanya, membuat Anda akhirnya luluh dan percaya bahwa dia bermaksud baik? Bahkan menawarkan persahabatan dengan Anda? Tentu saja dia harus bersahabat dengan Anda, dia harus dekat dengan Anda agar Anda tidak menganggapnya manipulatif. Kurasa dia sekalian mempraktekkan kutipan terkenal 'Keep your friends close, but your enemies closer'. Tidakkah hal ini mengusik Anda? Cobalah pikirkan baik-baik. Dan hal ini berlaku juga untuk para Don yang lain."
Roman tahu dia berhasil mempersuasi Don Cavallo, sebab pria tua itu berdiri mematung di sana. Semua yang berada di sekeliling meja pun sama-sama berwajah tegang, tapi tidak ada yang membantah. Kecap yang dijual Roman telak menohok, para Don nyata-nyata terpelatuk.
"Itulah dosa Don Alphonse. Kalian yang memutuskan sendiri benar atau tidak perkataanku barusan. Dan ...." Roman berhenti sejenak, menarik nafas. "Ada satu dosa besar lagi yang baru-baru ini sang Don lakukan," katanya.
Semua mata memandang Roman, vibrasi tegang menguar di antara mereka.
"Kalian tentu tahu perihal mendiang Don Angelo Granoche yang memprakarsai pengembangan kloning manusia untuk dijadikan bisnis masa depan. Sayangnya Don wafat terlalu cepat, bahkan sebelum bisa menyaksikan sendiri sudah sejauh apa perkembangan kloning sekarang," tutur Roman, memulai dongengnya. "Para ilmuwan di sana mendatangi Don Alphonse untuk mengadakan kontrak baru ... tapi Don menolak. Ya. Don Alphonse menolak melanjutkan warisan Don Angelo Granoche hanya karena bisnis kloning mengganggu keimanannya. Para ilmuwan itu juga bercerita bahwa ada kelompok mobster dari Ruzia yang mendatangi mereka dan menunjukkan ketertarikan pada bisnis kloning."
Diam-diam Reeve mengernyit heran. Narasi dari mana itu?
"Tapi para ilmuwan itu masih memiliki martabat. Mereka tidak melupakan pengorbanan mendiang Don Angelo Granoche terhadap laboratorium mereka. Maka mereka maju dan mendatangi Don Alphonse, sebagai penerus Don Granoche. Mereka menawarkan bisnis itu padanya. Tapi seperti yang kubilang tadi, ayahku menolak mereka mentah-mentah! Dia seperti membiarkan para ilmuwan itu mengadakan kontrak baru dengan mobster dari Ruzia!"
Terdengar geremangan di antara mereka yang mendengarkan.
"Kalian bisa bayangkan? Bisnis masa depan, bisnis yang bernilai jutaan dolar, lenyap begitu saja dan jatuh ke tangan mobster! Di mana harga diri kita sebagai orang Iralia? Keok dari Ruzia? Itukah?"
Geremangan semakin jelas terdengar, ditambah ekspresi para Don yang semakin menegang, tidak sedap dipandang.
"Tapi aku mencegah itu semua terjadi, para gentlemen yang terhormat. Aku maju memberanikan diri untuk mengadakan kontrak dengan para ilmuwan itu. Ya. Bisnis itu aman di tanganku sekarang. Tidak perlu jatuh ke tangan para mobster." Roman lagi-lagi menarik nafas panjang. "Oleh karena aku teken kontrak di belakang ayahku, jelas dia murka padaku. Murka dan bahkan mengusirku. Memang, aku tahu aku salah karena telah by pass kebijakan Don Alphonse, tapi apa yang kulakukan tidak lain adalah untuk mengamankan bisnis itu dari tangan mobster. Apakah itu salah?"
Reeve melengos pelan. Rupanya Roman teliti sekali merancang sebuah dongeng yang hebat. Reeve menyaksikan sendiri para Don itu termakan dongeng Roman.
Roman masih melanjutkan, "Aku tahu aku tidak salah. Pun kuharap para Don sekalian bisa menyetujui bahwa aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Niat Don Alphonse yang membiarkan bisnis kloning itu jatuh ke tangan mobster, bagiku itu perbuatan jahat. Dia tidak mau tahu, dia hanya ingin menyingkirkan bisnis yang dinilainya tidak bermoral itu jauh-jauh! Apa yang harus kita lakukan terhadapnya?"
"Jadi apa rencanamu, Roman?" Don Maurice Castellano angkat bicara.
"Bagaimana kita bisa mengubah pendirian ayahku yang keras kepala itu?" Roman menggeleng. "Tidak akan bisa. Selamanya dia hanya akan menjadi pengganggu. Aku memohon restu para Don sekalian, agar aku diizinkan menyingkirkannya. Once and for all."
Desis tak percaya terdengar di sekeliling meja.
"Kau ... ingin menyingkirkan ayahmu? Menyingkirkan ayahmu sendiri?" tanya Don Restagno memperjelas.
"Tak ada cara lain!" jawab Roman cepat. "Aku bersedia menanggung sendiri dosa semacam itu, asalkan bisnis kloning itu tetap berjalan dengan lancar. Apabila Anda semua merestuiku ... biarkan aku bersumpah akan membagi keuntungan bersih bisnis kloning itu sama rata. Masing-masing akan mendapatkan 15%. Asal kalian tahu ... meski bisnis itu baru berjalan sebentar, tapi kami telah memiliki ratusan calon klien, dan itu bertambah setiap harinya. Per kepala dihargai 500.000 dolar, berapa omzet yang akan diterima? Don semua di sini adalah pria yang terpelajar dan jenius, tentu mudah sekali mengalikan angka itu, bukan? Terbayangkah berapa banyak yang akan didapatkan?"
"Jadi, kami masing-masing akan mendapatkan 15% asalkan merestuimu menyingkirkan Don Burgueno?" Don Labruzzo bertanya dengan suara dalam dan berat.
"Benar." Roman mengangguk seraya tersenyum. "Merupakan pendapatan pasif yang cukup tinggi untuk kalian, bukan?"
Roman gila, batin Reeve. Dia menjual nyawa ayahnya sendiri dan menjanjikan profit untuk semua yang mendukungnya. Belum lagi tadi dia sudah berhasil brainwash dan trigger kenangan buruk akan Don Alphonse. Aku tidak yakin dia akan berhasil.
"Aku setuju." Don Restagno adalah Don pertama yang memberikan restu, membuat mata Reeve nyaris mencuat keluar.
***
"Kupercayakan misi kali ini padamu," ujar Roman pada Reeve begitu tiba di kediaman Renato untuk melanjutkan diskusi. Ekspresi gembira bukan kepalang nyata terlihat dari raut wajahnya sejak pertemuan dengan anggota Komisi mencapai kesepakatan bersama.
"Aku??" Reeve membelalak.
"Tentu saja kau. Masa aku? Renato selalu membanggakanmu yang berkembang sangat pesat, terutama skillmu menggunakan senjata api. Apalagi kudengar kau sekarang memiliki julukan baru, Sin Forgiver? Selalu mengeksekusi lawan berdasarkan dosa yang diperbuatnya. Keren. Wahai, sang pengampun dosa ... ampunilah dosa ayahku dan segera kirim dia ke akhirat," gurau Roman, yang hanya ditanggapi tatapan aneh Reeve.
"Sebenarnya aku tidak setuju," sahut Roscoe. "Ini bukan main-main, target kita ayahmu sendiri, orang besar."
"Aku tahu kau akan tidak setuju," balas Roman. "Tapi coba pikirkan, yang dia tahu adalah aku, kau, dan Renato bergabung membelot. Apa dia tahu keterlibatan Reeve? Aku ragu dia tahu soal Reeve. Dia akan lengah dengan keberadaan Reeve, tidak akan curiga bila Reeve mendekatinya. Misal Reeve memutuskan meracuninya atau apalah, dia tidak akan waspada."
Renato mengangguk. "Roman benar. Tidak mungkin aku atau Roscoe yang bertindak. Butuh prajurit bernyali dan bermental baja. Prajuritmu? Dilihat dari berbagai faktor, masing-masing memiliki kelemahan yang aku sendiri ragu. Anak buahku, Tonio? Oh, jangan sebut dia. Dia bertingkah dan memberontak padaku, Reeve bahkan tengah kutugasi untuk mencari keberadaan anak itu. Yang tersisa hanya Reeve. Kita berikan kesempatan padanya," tuturnya.
"Well, jika memang demikian," gumam Roscoe sambil mengangkat bahu.
"Jadi, Reeve? Kau siap? Buktikan kalau kau sanggup," kata Renato pada Reeve.
Ini adalah sebuah kesempatan sangat istimewa bagi Reeve untuk menunjukkan kapasitasnya. Sebuah peluang membuktikan dirinya bahwa dia layak dipandang dan disegani. Maka terdorong akan hal itu, Reeve pun mengangguk. "Aku sanggup," jawabnya.
Roman maju dan menepuk bahu Reeve. "Katakan apa rencanamu, Reeve. Dengan cara apa kau akan menunaikan tugas besar itu?"
Sebuah senyuman penuh arti tersungging di bibir Reeve, sorot culas terpancar dari matanya kala memandangi Roman.
***
Minggu pagi itu Reeve telah siaga di rooftop sebuah bangunan apartemen lima lantai. Sebuah gereja berarsitektur megah dengan 20 anak tangga menjulang tepat sebelum pintu masuk berdiri kokoh di seberang bangunan apartemen, Reeve dapat melihat dengan leluasa gereja dua lantai tersebut. Di dalamnya masih berlangsung misa mingguan, Reeve sudah memastikan Don Alphonse Burgueno ada di sana, berkat pengintaian yang dilakukannya semenjak mentari terbit. Tinggal menunggu kapan sang Don, sasarannya, keluar dari sana dan pada saat itulah, senapan di tangannya akan menyalak.
Reeve memantik api pada sebatang rokok yang menempel di bibirnya, mengisapnya perlahan. Tidak pernah dia duga jalan hidup akan membawanya sejauh ini. Tapi tidak ada kata mundur, eksekusi harus berjalan sesuai perintah.
Pintu gereja di seberang terbuka, para jemaat keluar dari sana tanpa terburu-buru, Reeve semakin bersiaga. Matanya yang tajam membidik, menunggu sasarannya muncul.
Reeve mengisap rokoknya dalam-dalam. Betapa asupan nikotin mampu membuatnya tenang. Bukan hal aneh jika dia sedikit banyak merasa gelisah pada tugas besarnya kali ini. Bukan, bukan karena ini pengalaman pertamanya. Namun karena yang dia bidik saat ini adalah sang kepala keluarga, pemilik kedudukan tertinggi dalam klan Burgueno. Meski Don Alphonse sendiri yang menahbiskannya menjadi seorang 'made man', yang menyambutnya dengan kecupan saat menyambutnya masuk ke dalam keluarga, yang baik dan hangat sikapnya bagaikan seorang ayah, namun bagaimanapun Reeve sependapat dengan Roman, bahwa sang Don sudah terlalu tua dan kolot, sampai bisa-bisanya menolak bisnis masa depan dengan keuntungan yang melimpah.
Ini akan menjadi hal yang luar biasa bagi Reeve, yakni membunuh seorang kepala keluarga kejahatan. Akan menjadi portfolio yang bagus. Reeve menyunggingkan senyuman licik.
Kemunculan sang Don tertangkap olehnya. Rupanya Don Alphonse bersama dengan Vanessa, mereka akan menuruni tangga sembari bercakap-cakap. Ekspresi santai, cenderung ceria terlihat dari keduanya. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi sesaat lagi.
Persetan, kepala keluarga atau bukan, yang penting dapat imbalan yang setimpal, batin Reeve. Segeralah selesaikan urusan ini! Reeve membidik kepala sang Don, bersiap menarik pelatuk.
Namun, jemarinya terhenti saat sang obyek dihampiri seorang laki-laki yang menutupi sosok obyek. Reeve berdecak. Terpaksa memanjangkan sabar, menunggu hingga orang itu, siapa pun itu, menjauh dari obyek. Tak lama orang itu terlihat mencium tangan Don dengan penuh hormat, lalu menjauh.
Ini saatnya.
Tanpa keraguan Reeve menarik pelatuk senapannya. Dua kali. Dan sang Don pun roboh tidak berdaya, jatuh terguling di tangga, diiringi teriakan histeris Vanessa dan orang-orang yang melihat kejadian itu.
***
Rencana Roman menyingkirkan keberadaan ayahnya sukses dengan gemilang. Otomatis dia pun menggantikan kedudukan sang ayah. Menjadi Don Burgueno yang baru, dia menyingkirkan semua anak buah ayahnya dan mengisi posisi yang kosong dengan sekutu-sekutunya.
Kekuasaan triumvirat dikuasai olehnya, Roscoe dan Renato. Renato dia tunjuk sebagai sottocapo atau underboss. Sementara Roscoe ditunjuknya sebagai sang penasihat, consigliere, sekaligus pengacara keluarga Burgueno. Sementara Reeve Galante, sang eksekutor yang dipercayainya, pun naik pangkat menjadi seorang caporegime.
6 - In The Club
Dari salah satu ruang VIP sebuah nightclub eksklusif di tengah kota New Yord, Reeve memerhatikan ratusan anak muda sebayanya memadati dance floor, asyik bergoyang mengikuti entakan musik trance racikan seorang disc jockey paling ternama di seluruh Amerida. Dia masih asyik memerhatikan suasana di crowd sambil menyesap scotch dan tidak memedulikan panggilan teman-temannya yang duduk agak jauh di belakangnya.
Dari informasi yang dia dapatkan, Tonio Gallo sering berkunjung ke club ini. Reeve yang masih mengemban tugas mencari Tonio memanfaatkan kesempatan itu untuk sekalian bersenang-senang dengan teman-teman dan PSK langganannya.
Tonio Gallo. Reeve berulang kali menghela nafas kasar mengingat bagaimana dulu saat dia berkenalan dengan Tonio. Tonio tidak terlihat memiliki kecenderungan berkhianat, tapi kenyataan berbanding terbalik.
Reeve ingat saat amarah Renato terpancing begitu mengetahui Tonio ada hubungan dengan seseorang dari keluarga lain, ditambah, Tonio semakin sering mangkir dan lalai melaksanakan tugasnya sebagai seorang capo. Renato wajar merasa marah dan kecewa, dia yang membawa Tonio masuk, namun Tonio malah bertindak demikian.
Reeve akan menyelesaikan persoalan Tonio malam ini juga. Demi keutuhan keluarga Burgueno. Juga demi membalaskan dendam Renato.
Renato.
Senyum licik terulas di bibir Reeve. Mengapa masih harus melayani Renato seperti itu? Tidak perlu bersikap terlalu loyal pada underboss berbadan bongsor tersebut, Reeve mengingatkan dirinya sendiri. Toh Renato juga ternyata melakukan ulah yang tak pantas.
Reeve ingat kejadian malam sebelumnya, usai mengadakan pertemuan rutin mingguan dengan para atasannya. Saat itu Roman terburu keluar dari ruangan, tidak menyadari Olivia tak lama masuk ke dalam dan mencari dirinya. Bukannya memberi jawaban di mana Roman, Renato malahan bersikap genit dan menggoda wanita itu. Betapa santainya Renato, bersikap demikian pada wanita yang dimiliki kepala keluarga di depan dirinya, Roscoe dan beberapa capo lain.
Barangkali Renato merasa berhak bertindak semaunya. Itu bukan hal yang patut dicontoh, Reeve meyakini itu.
Reeve merasakan seseorang datang mendekat, dan tepat seperti dugaannya, Nina, PSK langganannya mendekati dirinya dan menggelayut mesra di lehernya. Gadis itu merajuk manja, "Apa yang kamu lakukan di sini, Sayang?"
Bukannya menanggapi, Reeve malah memerhatikan gadis yang berada dalam dekapannya itu. Gadis itu begitu cantik dan polos, dan terutama Reeve menyukai bibir si gadis yang ranum, berwarna merah merekah. Reeve membungkuk dan meraih bibir si gadis dengan bibirnya sendiri, lalu mengulumnya dan melumatnya hingga gadis itu kehabisan nafas.
Gadis itu mendangak, menatap Reeve sambil tersenyum dan menggigit bibir, hingga tampak malu-malu, seperti seorang perawan yang baru saja dicium oleh kekasihnya. Reeve tahu betul, wajah polos Nina bak perawan itu hanyalah cover, anugerah alam padanya, padahal Nina adalah seorang wanita muda berpengalaman yang sangat piawai melayani kebutuhan seks para konsumennya.
Maka Reeve menanggapi gadis itu dengan mencumbunya sekali lagi, dan membiarkan gadis itu mengecupi lehernya dan mengusap dadanya yang bidang dari balik kemejanya. Sementara mata Reeve masih terus mengawasi suasana di dance floor, yang terletak satu tingkat dari lantai ruang VIP. Dan seketika itu dia melihat seorang pria muda keluar dari kerumunan crowd dan turun dari dance floor, sambil menggandeng seorang wanita. Ada sesuatu dari diri pria muda itu yang membuat Reeve tidak bisa melepaskan perhatian daripadanya.
Nina yang masih sibuk membangkitkan gairah Reeve berkata, "Reeve ... ayo kita segera ke tempatmu dan selesaikan ini ...."
Lagi-lagi Reeve tidak menjawab. Dia masih asyik memerhatikan pria muda itu yang kini duduk di bar bersama dengan pacarnya sambil meneguk tequilla. Tanpa alasan dia merasa familiar dengan pemuda itu, dan yakin pernah mengenalnya, bahkan mungkin pernah akrab dengannya, entah kapan, suatu waktu dalam 19 tahun hidupnya di dunia ini. Pemuda itu terlihat tengah bermesraan dengan pacarnya, sebelum kemudian beberapa pemuda lain menghampiri dan menyapanya sejenak. Pemuda yang tinggi tegap, kira-kira sebaya dengannya, dan memiliki ketampanan khas Iralia dengan rambut hitam panjang yang diikat ke belakang.
Reeve yakin, orang itu berdarah Iralia pula seperti dirinya. Namun itu saja tidak cukup membuatnya teringat siapa pemuda yang membuatnya penasaran itu. Ingatannya seakan berubah menjadi tumpul.
Reeve masih berupaya keras untuk mengingat, ketika Nina yang sedari tadi mencurahkan perhatian padanya memprotes karena sikap cuek Reeve. "Reeve! Kenapa kamu cuek sekali, sih!" ketusnya.
Lagi-lagi tidak mendapat jawaban dari Reeve, Nina memandang mata Reeve dan mengikuti arah pandangan Reeve. Ia menoleh ke arah bar, dan melihat pemuda yang sedari tadi diperhatikan oleh Reeve. "Oh ... rupanya kamu memerhatikan orang itu? Laki-laki yang rambutnya dikuncir itu, kan? Atau kamu malah memerhatikan perempuan yang bersamanya?" tanyanya seraya menyelidik. "Kan masih lebih cantik aku, Reeve," lanjutnya manja.
"Kamu kenal?" tanya Reeve.
"Siapa, perempuan itu?"
"Bukan, yang laki-laki."
"Mmh ...." Nina mengangguk. "Ya kenal baik sih tidak. Yang kutahu dia lumayan sering ke sini dan sesekali kutemani. Namanya Stone, teman-temannya biasa memanggilnya begitu."
"Stone? Batu? Nama yang cukup norak."
"Stone Killer, julukannya. Orang bilang dia tidak ragu menggunakan kekuatan tangannya untuk .... Yaah, kamu tahulah .... Sama kan seperti kamu. Kamu punya julukan Sin Forgiver, sang pengampun dosa. Aku rasa memang orang-orang dari kalangan kalian senang sekali memberi label atau julukan sebagai pengganti nama asli."
'Kalangan' yang dimaksud Nina merujuk pada para mafioso yang sering ia layani selama ini. Demikian juga dengan Reeve Galante. Reeve yang saat ini telah memiliki jabatan capo atau kapten semakin terkenal karena gayanya yang khas saat mengeksekusi lawan. Reeve nyaris tidak pernah langsung menarik pelatuk dan menewaskan musuh, kecuali saat-saat tertentu yang dianggap spesial, seperti saat dia melenyapkan nyawa Don Alphonse Burgueno. Dia selalu mengikat kaki dan tangan lawannya, lalu dengan penuh kuasa dia berbicara pada sang lawan; mendapatkan informasi yang benar-benar diinginkannya, atau sekedar untuk membuat si lawan merasa menyesal telah bermain api dengannya. Setelah itu dia memutuskan bahwa orang ini bersalah, lalu mengeksekusi terlebih dahulu salah satu anggota tubuh lawan yang membuat si lawan ini bersalah ... atau lebih tepatnya, melakukan dosa terhadap keutuhan keluarga Burgueno.
Pernah suatu ketika, Reeve mendapat mandat untuk membereskan seorang rekanan keluarga yang berbuat kurang ajar pada salah seorang pacar Renato Gravano, mentor sekaligus atasan Reeve. Setelah menemukan si rekanan, Reeve mengikat tangan dan kakinya, lalu memaksanya berbaring di dalam sebuah peti mati. Dengan tenangnya Reeve mengatakan pada si rekanan bahwa yang membuat dirinya bersalah tidak lain adalah tangan, ujarnya seraya menghancurkan tangan si rekanan dengan pistol; alat vital, ujarnya lagi seraya menembak kemaluan si rekanan; dan, tanpa menghiraukan teriak kesakitan orang itu, Reeve menghancurkan kedua bola matanya dalam dua kali tarikan pelatuk seraya berkata bahwa faktor paling utama yang membuat orang ini sesat adalah kedua matanya yang cabul itu. Sebelum kemudian dia menghanyutkan peti mati berisi mayat rekanan itu di tengah laut.
Reeve Galante selalu bertindak bagaikan seorang tuhan tatkala tengah mengeksekusi lawan. Dia kerap menerapkan ayat dalam tiga injil yang menyatakan bahwa: "Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah atau buanglah itu, karena lebih baik bagimu untuk masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang daripada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal. Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu daripada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua."
Entah setan apa yang merasukinya, hingga bisa-bisanya Reeve memosisikan dirinya sebagai tuhan yang menghakimi, dan juga mengeksekusi orang-orang yang 'berdosa' terhadap keluarga Burgueno. Tapi itulah yang membuatnya ditakuti dan dihormati, dan juga menjadikannya orang kepercayaan Don Roman Burgueno, sang kepala keluarga.
Ciri khasnya ini membuatnya dijuluki 'Sin Forgiver', atau 'Sang Pengampun Dosa'. Namun, banyak di antara rekannya yang malas memanggilnya 'Sin Forgiver' lantaran terlalu panjang dan tidak praktis, maka mereka membuat panggilan lainnya untuk Reeve, yaitu 'Sinner', yang berarti 'Pendosa'. Arti yang sangat bertolak belakang dengan julukan Reeve sebenarnya, namun rekan-rekannya lebih tertarik memanggilnya 'Sinner' lantaran lebih praktis dan juga sebagai salah satu bentuk gurauan pada Reeve. Reeve sendiri tidak ambil pusing dengan nama-nama julukannya itu. Baginya, dia adalah seorang Reeve Galante, mafioso Burgueno yang handal dan terpercaya, yang kini menempati posisi sebagai seorang capo yang telah memiliki anak buah, seorang caporegime.
Reeve mendengus geli mendengar komentar Nina. "So what?"
"Tapi di antara kalian semua, memang cuma nama julukan kamu yang membuatku kagum. Keren. Apa sih yang membuatmu memilih nama Sin Forgiver?" Nina meletakkan tangannya di atas bahu Reeve, menggelayut manja.
"Well. Anggap saja aku malaikat pencabut nyawa yang bertugas memberikan kesempatan pada korbannya untuk bertobat."
Nina terkekeh. Ia hendak merayu Reeve lagi namun urung saat pria itu bertanya lagi.
"Kamu tahu siapa nama asli si Stone itu?"
"Kenapa sih kamu penasaran sekali sama Stone?" Nina merajuk.
"Karena sepertinya aku mengenalnya."
"Benarkah? Well .... Kalau tidak salah sih, nama aslinya Flav Maranzano."
Reeve tersentak begitu mendengar nama itu, dan seketika ingatannya pun pulih.
7 - Reuni Para Mafioso
Flav 'Stone Killer' Maranzano, meneguk tequillanya hingga tandas, lalu menyapukan pandangannya ke sekitar. Mata hitamnya yang bersorot tajam dan tegas tampak berkelana mencari wanita yang menarik, yang main mata dengannya, dan yang jelas, bisa diajaknya tidur malam ini juga.
Suatu ketika dia melihat sesosok pemuda berperawakan langsing berjalan ke arahnya. Pemuda itu berambut hitam sebahu, lengkap dengan sebuah codet di pipi kanan. Saat dia melihat wajah pemuda itu, Flav merasa familiar dan yakin dia pernah bertemu dengan pemuda itu. Flav berusaha mengingat, tapi tidak berhasil.
Reeve Galante duduk bersebelahan dengan pemuda yang menurut Nina tadi bernama Flav Maranzano, aka Stone. Pemuda itu tengah menghabiskan tequilla-nya, entah gelas yang keberapa, seraya mengamati orang-orang yang lalu lalang di sekitar mereka, namun Reeve dapat merasakan kewaspadaan plus keingintahuan pemuda itu terhadap dirinya.
Reeve memesan scotch pada bartender dan menyesapnya seteguk. Tanpa menoleh dia bertanya pada pemuda itu, "Flavio Maranzano?"
Walaupun pemuda itu tetap diam dan tidak mengubah posisi duduknya, Reeve tahu pemuda itu terkejut mendengarnya menyebutkan nama itu.
Pemuda itu pun, tanpa menoleh, dengan nada datar menjawab, "Tidak ada yang memanggilku Flavio."
Reeve tertawa ringan. "Aku tahu. Saking bencinya kau dengan nama Flavio, kau sampai memaksa teman-temanmu untuk memanggilmu Flav. Dan rupanya sekarang kau berjulukan 'Stone Killer', huh, Stone?"
Pemuda itu, Flav, menoleh pada Reeve seraya mengernyit. "Siapa kau?"
Reeve pun menoleh pada Flav sambil tersenyum lebar. "Ini aku, sobat! Reeve Galante! Ah, aku yakin kau pasti lupa denganku," ujarnya riang seraya merangkul Flav.
Langsung berkelebatan di benak Flav memori masa sekolahnya dulu, ketika mendengar pemuda bercodet itu menyebutkan namanya. Kini Flav ingat, dia memang pernah mengenal pemuda itu, dan bahkan pernah akrab dengannya.
"Reeve!" serunya bersemangat sambil memeluk Reeve, melepas rindu untuk beberapa jenak. "Man, apa yang kau lakukan di sini! Apa kabar??"
Reeve tersenyum lebar. "Baik. Lama tidak bertemu, hampir saja aku tidak mengenalimu!"
"Yaa, aku juga tadi tidak bisa mengenalimu, apalagi ada hiasan permanen di wajahmu! Sudah jadi bos preman, huh?"
Yang ditanya tidak langsung menjawab. Reeve tersenyum simpul. "Seorang bos preman levelnya hanyalah mengurusi sampah," jawabnya enteng.
"Oh? Apa kau memanfaatkan darah Sivilymu untuk sesuatu yang kita kagumi sejak dulu?"
"Ya. Tepat seperti yang kau katakan. Dan kau, tentu kau memanfaatkan darah Sivily milikmu, kan?"
"Kenapa aku harus menyia-nyiakannya?" jawab Flav cepat, dan mereka berdua tergelak.
"Oke ... kalau begitu kita berdua sudah bukan lagi Flav dan Reeve polos yang hanya bisa mengagumi La Cosa Nostra dari jauh. Lalu apa peranmu?" Reeve menyesap scotch. "Aku beruntung, dulu, ketika aku masih menjadi pekerja kasar. Renato Gravano, capo klan Burgueno tertarik dan langsung merekrutku menjadi sgarrista, padahal aku sama sekali belum mengajukan diri untuk mengabdi. Aku tidak pernah menyangka Gravano ternyata sudah memerhatikanku sejak lama dan menilaiku pantas untuk masuk ke dalam keluarga. Dia mentor yang paling kuhormati."
"Kau langsung diangkat menjadi soldier?! Beruntung sekali! Aku berjuang keras dari bawah, gontok-gontokan dengan pesaing-pesaingku. Kemudian aku menjadi soldier, di bawah komando langsung Frank Magaddino, kau tahu orang itu? Capo klan Provenzano! Dan ... baru dua hari yang lalu aku menggantikan kedudukannya." Flav terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil mengangkat bahu.
"Yeah, aku dengar berita kematiannya, mati beku di bawah tumpukan ikan salmon di gudang pabrik pengalengan ikannya sendiri. Magaddino benar-benar 'tidur dengan ikan-ikan'. Siapa pun yang melakukan itu, orang itu pastinya orang yang gampang tersinggung sampai-sampai mengartikan perumpamaan klasik itu secara harfiah," kata Reeve seraya menatap Flav, memerhatikan ekspresi wajahnya.
Flav tersenyum dingin, tidak menjawab.
"Jadi, ada alasannya kau memutuskan bergabung dengan klan Provenzano. Tentu karena Salvatore Cavallo itu akrab denganmu, kan?"
"Tentu saja!" Flav menjawab cepat. "Cavallo sudah menganggapku seperti anak sendiri, dia dekat dengan ayahku, sementara aku pun pernah bersahabat dengan anaknya, Louis. Lalu kenapa aku harus melamar pada klan lain, jika Cavallo memercayaiku dan kemungkinan besar dia akan menyerahkan kedudukannya padaku?" lanjutnya sombong.
"Culas!" Reeve meninju bahu Flav. "Ini baru Flav yang kukenal! Sialan, beruntung sekali kau!" serunya lagi, disambut tawa renyah Flav. "Memang apa kabar ayahmu, Flav? Kalau tidak salah, dulu kau dipaksa ayahmu untuk meneruskan usahanya? Terus bagaimana kelanjutannya?"
Flav mendengus. "Bagaimana kelanjutannya? Tidak ada! Saat itu kuputuskan untuk mengikuti jejakmu, menghilang dari peredaran dunia dan 'bertapa' menjadi seseorang yang bisa kau lihat sekarang ini. Usaha warisan ayah dikelola adikku, Antonella, aku tahu dari Cavallo. Dan ayahku, sudah mati tiga tahun yang lalu. Cavallo mengabarkan itu dengan nada seolah menyalahkanku, tapi apa peduliku?"
"Sudahlah, toh sekarang kau sudah menentukan jalan hidupmu sendiri. Yang kau miliki seutuhnya dan kau nikmati. Untuk itu kita hidup, kan? Apalagi, ini New Yord. Jaringan organisasi terbesar dan terkuat di seluruh Amerida Serikat; tidakkah kau bangga dengan hal itu? Provenzano menguasai jaringan perhotelan dan real estate terbesar di AS; juga memonopoli pembangunan industri di negara-negara bagian; belum lagi bisnis eksklusif Provenzano dengan Frenchye, wow, bayangkan berapa keuntungannya. Uang, tidak ada yang lebih istimewa selain uang. Kau setuju?" Reeve tersenyum, mengamati ekspresi wajah Flav yang juga tengah tersenyum.
"Semua yang sudah kuraih ini memuaskanku, sekaligus membangkitkan gairahku. Untuk apa aku mundur? Oh ya, bisnis eksklusif yang kau singgung tadi, buatku itu bisnis masa depan yang menjanjikan. Aku sangat berharap suatu saat nanti aku yang akan menghandle semua bisnis itu. Sebab Cavallo, dia tidak lagi bersemangat menjalani semua yang dimilikinya, tidak seperti dulu! Sialan, Cavallo semakin tua semakin lemah!"
"Kalau begitu kau lakukan saja revolusi ala kau sendiri. Gulingkan Don tuamu itu! Kudukung kau 100%."
Flav melengos. "Kenapa tidak kau saja? Lalu kuasailah semua tambang emas Burgueno: sebagai penguasa bisnis perjudian; penguasa jaringan peredaran kokain yang terbesar; dan yang terutama, penguasa bisnis kloning manusia. Kudengar keuntungan bersih bisnis itu sangat, sangat manis! Kau membuatku ingin merebut bisnis itu," candanya seraya tergelak.
"Heey, langkahi dulu mayatku," sahut Reeve cepat, sambil tertawa pula. "Well, aku tidak akan berkhianat pada Burgueno."
Flav tersenyum mengejek. "Kau takut sama anak durhaka itu, heh?!"
"Flav, aku masih ingin hidup dan bersenang-senang, oke, aku tidak akan main-main dengan orang itu."
"Kalau kau terus tunduk pada Roman Burgueno, mustahil kau bisa meraih kedudukan yang lebih tinggi."
Reeve menatap Flav dan tersenyum penuh percaya diri. "Suatu saat, kuyakin, aku akan menguasai seluruh New Yord. Terutama bisnis masa depan kami yang menjanjikan. Jadi tidak hanya nuklirmu saja, Flav."
"Oh, ya kita lihat saja nanti," sahut Flav. "Omong-omong, aku masih tidak paham sejak kapan sebenarnya penelitian kloning itu berjalan, bagaimana mereka bisa membuat robot klon itu seperti manusia biasa? Sampai bisa menggaet banyak customer."
"Yeah, rupanya banyak orang yang berminat membuat klon. Bahkan seorang senator pun ikut tertarik dengan bisnis ini. Sebenarnya, penelitian dan pengembangan kloning manusia sudah ada sejak 25 tahun yang lalu. Tercetus oleh Don Granoche, pendahulu Burgueno. Ilmuwan-ilmuwan yang terkait setuju dan bekerjasama dengan Don Granoche. Sang Don menyuplai modal begitu besar, dengan harapan akan menyaksikan sendiri bisnis barunya itu lancar. Tapi maut sudah keburu menjemputnya. 25 tahun kemudian ketika perkembangan kloning mereka sudah hampir selesai, mereka menawarkan kerja sama dengan Don Alphonse Burgueno, sebagai penerus Don Granoche."
"Alphonse menolak," sahut Flav.
"Ya. Dia menolak bisnis kloning. Tapi Roman bernafsu sekali dan teken kontrak dengan mereka tanpa sepengetahuan Don Burgueno. Ketika ulahnya ketahuan, Roman membujuk Komisi Tinggi untuk mengizinkannya melenyapkan ayahnya sendiri. Dan terjadilah."
Flav mendengus. "Setidaknya aku tidak durhaka seperti Roman."
"Kau itu, versi yang lebih baik dari Roman. Dengan kata lain kau sama saja seperti dia, tapi tidak senekad dan sebrutal itu."
"Bajingan. Kau sendiri merasa benar??" Flav menggeram, sementara Reeve hanya terkekeh.
"Jadi Roman langsung menduduki kursi ayahnya. Damn. Culas dan licik!" ujar Flav.
"Dia bahkan menendang keluar semua tangan kanan dan bawahan Alphonse dan mengisi posisi yang kosong dengan sekutu-sekutunya. Roscoe Valachi sebagai penasihat, dan Renato Gravano sebagai wakil; berikut capo-capo lainnya termasuk aku. Tapi aku bersyukur, sebab kalau Gravano tetap di posisinya semula sebelum Roman berkuasa, aku tidak akan menjadi seperti ini," sahut Reeve.
"Kau yang paling culas."
Reeve tidak mengacuhkan Flav. "Bukankah memang sudah saatnya generasi muda berkuasa dan menggeser para kakek tua berkumis yang mulai tidak bisa diharapkan? Nah, kau mulailah revolusi di klanmu. Kau tahu sendiri Salvatore Cavallo seperti apa, apalagi wakilnya, Antonio Garafallo, kurasa dia tipikal yang sama seperti Cavallo. Kolot."
"Kau mau melihatku dihancurkan Komisi?"
"Tentu tidak. Tapi, kalau kau berani mengeksekusi mentormu sendiri, kenapa tidak kau mulai revolusi itu?"
Flav menatap Reeve beberapa jenak, kemudian tersenyum menahan tawa. "Bagaimana kau tahu?"
"Mudah diterka, sobat." Reeve merangkul bahu Flav. "Dan cukup memberiku pencerahan untuk langkahku selanjutnya."
"Apa pun itu. Oh ya, kau tahu bagaimana kabar teman-teman kita dulu? Jujur, aku sering teringat mereka."
Reeve tersenyum. "Aku pun masih sering teringat the gank. Aku tidak tahu kabar mereka semua, tapi kutahu kabar Olive, kau ingat dia?"
"Olive? Oh, Campbell? Anak kesayangan musuh abadi La Cosa Nostra, Ivander Campbell?"
"Yap. Ditinggalkannya rumah nyaman ayahnya dan memilih tinggal bersama Roman Burgueno."
"Serius?! Huh, bahkan putri seorang jaksa federal kenamaan seperti Campbell pun tergila-gila pada mafioso! Sesuatu yang paling dibenci oleh jaksa laknat seperti dia. Dan Olive, dia memang cukup gila dan nekat, untuk main-main dengan sesuatu yang belum pernah dikenalnya!" Flav meneguk minumannya. "Lalu siapa lagi yang kau dengar kabarnya? Anja, bagaimana? Dia sepupuku sendiri tapi aku bahkan tidak tahu bagaimana kabarnya!"
Reeve menggeleng. "Aku tidak tahu kabar Anja. .... Ah, kudengar kabar tentang Denver. Dia rupanya menjelma menjadi seorang ahli perakit senjata api konstruksi. Roman tertarik karena senjata rakitannya sangat ampuh dan mematikan. Dan yang terutama, berperedam suara. Roman teken kontrak dengan Denver untuk terus menyuplai pasokan senjata pada kami."
Flav mengangkat alis. "Denver? Cukup mengejutkan. Aku tidak pernah membayangkan dia terlibat dengan mafia."
Reeve tertawa ringan. "Yaah, dia berbisnis dengan mafia atau tidak, tetap saja dia punya hubungan dengan La Cosa Nostra. Sebab kudengar dia memacari Jessica. Kau ingat? Anak bos klan Fontana, Jessica Castellano."
"Jessica Castellano?" sahut Flav terkejut. "Jadi mereka pacaran? Huh, hebat juga, Denver berhasil menaklukkan putri salah satu bos mafia besar di New Yord. Kalau tahu begitu lebih baik aku saja yang mendapatkan Jessy, agar bisa mengincar kursi kepemimpinan Maurice Castellano."
"Memang kau culas. Tapi untuk apalah, Flav, klan Fontana yang dipimpin Maurice tidak lebih kaya dibanding klan Provenzano dan Burgueno. Termasuk juga, klan Sciacchitano dan Labruzzo, mereka tidak lebih kaya dibandingkan dengan Burgueno dan Provenzano. Kau sudah beruntung bisa menjadi letnan Provenzano," tutur Reeve.
Flav tersenyum. "Benar juga. Lalu, bagaimana kabar yang lain? Camila ... lalu siapa lagi cewek-cewek itu?"
"Aly, Annette. Aku tidak tahu sama sekali kabar mereka. Cuma Olive. Kenapa, kau ingin bertemu dengan mereka dan bermaksud tebar pesona, heh?"
Flav menyeringai. "Aku berani jamin, mereka sekarang sudah menjadi cewek-cewek cantik yang menggairahkan. Dan aku penasaran, siapa di antara mereka yang paling hebat."
Reeve menahan tawa. "Jadi kau ingin meniduri mereka lalu menilai siapa yang paling hebat? Kalau sudah ketemu yang paling hebat, lalu apa maumu? Mau kau nikahi, heh? Kau pikir mereka juga menginginkanmu?"
"Wow, jangan salah, man! Aku berani bertaruh mereka mau kuajak tidur!"
"Yaa, aku juga berani bertaruh, mereka akan lebih tergila-gila padaku, karena hanya aku yang bisa membuat mereka terpuaskan." Reeve sesumbar sambil tersenyum mengejek.
"Kita lihat saja nanti."
"Kemudian mereka bakalan komplain, merasa tidak terima diperlakukan sebagai boneka seks. Padahal bukannya mereka memang boneka-boneka cantik yang bertugas menemani kita tidur?"
"Yeah, itulah cewek. Rewel. Dan harus selalu dinomorsatukan!"
"Walaupun begitu tetap saja kita tidak akan pernah bisa berpaling dari mereka. Mereka makhluk yang rumit, tapi sekaligus juga makhluk yang kita butuhkan setiap malam."
Flav tergelak. "Hanya setiap malam buatmu? Kasihan! Aku, aku tidak kenal pagi siang sore malam. Itu berarti aku jauh lebih profesional darimu, kan?" bualnya.
Reeve mencibir. "Apa bagusnya punya testosteron berlebih seperti itu?"
"Taik, kau hanya iri!" sahut Flav, sementara Reeve tertawa geli. "Lalu yang lain? Daniel? Kemarin kulihat di TV ada satu band yang anggotanya mirip dengan Lee, Richard, Addo dan Andrew. Apa kabarnya mereka? Jangan bilang yang kulihat itu benar-benar mereka."
"Itu pasti benar mereka. Nama bandnya Black Blossom, kan? Olive yang bercerita padaku. Addo, Richard, Lee dan Andrew sudah sukses menjadi entertainer, dan sudah menelurkan tiga album."
"Yaa, tepat itu dia. Kulihat mereka sewaktu menonton siaran langsung Music Award, dan mereka membawa pulang empat trofi sekaligus. Tidak pernah kusangka! Bisa sukses juga hanya dengan menjadi boyband!"
"Mereka band beraliran rock dan kuakui lagu-lagu yang mereka ciptakan cukup enak didengar. Bisa-bisanya kau baru ngeh tentang Black Blossom, kau persis seperti orang gua yang baru mengenal peradaban dunia," ejek Reeve ketika kemudian dia melihat dua orang anak buahnya yang berdiri di kejauhan memberikan tanda padanya.
"Aku harus pergi," pamitnya seraya menepuk bahu Flav.
"Mau ke mana kau?"
Reeve berbisik, "Arah jam empat ada beberapa yang wajib dicicipi. Kau sedang mencari teman tidur, kan? Sampai ketemu."
Flav menoleh ke arah yang disebutkan Reeve, dan dia melihat empat wanita cantik yang seketika membangkitkan gairahnya.
Wow, seleranya oke juga! pikirnya. Dan Flav tersenyum menyadari beberapa dari mereka sesekali mencuri pandang ke arahnya.
8 - Grazie,Tonio
Sangat menyenangkan bisa berjumpa lagi dengan sahabat lama setelah sekian tahun tidak bertemu. Itulah yang dirasakan oleh Reeve saat ini. Meski berlangsung singkat, pertemuannya kembali dengan Flav membuat suasana hatinya berubah. Namun secercah kabut penyesalan juga dirasakannya, menyadari tidak akan ada lagi momen-momen 'reuni' seperti tadi, penuh dengan obrolan ringan dan canda tawa. Suatu saat, Reeve merasa yakin, entah cepat atau lambat, akan bersua lagi dengan Flav Maranzano dalam kondisi yang jauh berbeda, saling menghancurkan dan menjatuhkan. Meskipun dalam beberapa waktu terakhir tidak ada perselisihan dan permasalahan apa pun di antara keluarga Burgueno dan Provenzano, suatu saat api bisa saja kembali berkobar, begitu juga dengan tiga keluarga yang lain.
Reuni telah usai. Saatnya kembali bekerja.
Maka Reeve berjalan dengan langkah lebar menuju suatu tempat. Beberapa anak buahnya yang setia mengekor di belakang. "Tanpa perlawanan?" Reeve bertanya tanpa menoleh.
Salah seorang anak buah Reeve dengan lugas menjawab, "Tanpa perlawanan sama sekali, Bos. Dia sedang dimabuk alky dan seks."
Reeve mencibir. "Manusia tolol," gumamnya.
Mereka tiba di sebuah ruangan serupa gudang di bawah tanah yang rupanya beralih fungsi sementara menjadi tempat penyekapan. Di tengah ruangan seseorang duduk di atas kursi, tidak mampu bergerak. Tangannya terikat erat di belakang, pun dengan kakinya. Tiga orang anak buah Reeve yang lain mengelilingi orang itu, mengawasi dengan ketat. Dialah Tonio Gallo, orang yang Reeve cari selama ini.
Tonio menatap Reeve penuh kebencian bercampur rasa takut mengetahui bahwa saat ini hidupnya bergantung sepenuhnya pada keputusan Reeve. Sebagai seorang eksekutor, sekaligus sesama capo yang sebelumnya dia hormati.
"Jadi?" Reeve berdiri tepat di depan Tonio seraya tersenyum licik.
"Bagaimana kalian bisa menemukanku di sini?"
Reeve mendengus. "Jadi rupanya belum kau tanamkan di otak kecilmu, apa yang disebut dengan jaringan kekuasaan, huh? Dan itu artinya kau pun tidak menyadari seberapa luas tangan gurita klan Burgueno. Apa seperti ini, tingkah laku seorang capo? Sama sekali bukan hal yang patut ditiru oleh para prajurit apalagi oleh para rekanan." Reeve bersedekap.
"Hah, lalu apa kau pikir kau itu seorang caporegime yang baik? Caporegime taik! Tanya saja pada para anak buahmu yang ada di sini." Tonio menunjuk anak buah Reeve dengan dagunya. "Pasti mereka setuju denganku. Kau itu cuma caporegime tai anjing!"
Salah seorang anak buah Reeve spontan menempelkan moncong senapan di pelipis Tonio, sementara Tonio memejamkan mata dan menarik nafas.
"Hey!" tegur Reeve. "Turunkan senapan itu!!" Anak buah Reeve dengan patuh menuruti perintahnya.
"Biarkan orang ini bicara. Setiap orang punya hak untuk bicara," lanjut Reeve lagi.
"Cih, jangan bertingkah sok humanis! Percuma saja kau menahanku di sini, Sinner, sebab apa pun yang akan kau lakukan, aku tidak akan membuka mulut. Bunuh aku, cepat, kalau itu membuatmu puas. Tapi kau tidak akan pernah tahu pada siapa aku menjual informasi tentang Renato Gravano, sottocapo kita yang agung! Dan kau tidak akan pernah tahu apa yang mereka rencanakan!" Ada getaran dalam seruan Tonio, mungkin dia sebenarnya merasa takut.
Reeve tersenyum. "Apa menurutmu, aku sebrutal itu dalam menghilangkan nyawa orang? Kuberitahu kau, aku tipe pemilih. Bagaimanapun kau adalah salah seorang mafioso Burgueno yang sangat bisa diandalkan, sebelum kemudian kau bentrok dengan Renato Gravano, dan menjadikanmu seperti ini. Kau ingat saat kita pertama bertemu? Aku menjadikanmu sosok kakak, role model yang kuhormati. Sungguh, aku tidak punya maksud membunuhmu, Tonio, menurutku bakatmu terlalu istimewa untuk disia-siakan. Jadi katakan saja pada siapa kau jual informasi Renato, agar kita bisa segera menindaklanjuti orang-orang yang memiliki rencana licik pada Renato. Dan kau, kau akan bebas! Sebebas burung di angkasa. Apa lagi, di antara kita tidak ada dendam pribadi. Benar? Untuk apa aku mengotori tanganku dengan darahmu? Think about it," tuturnya kalem.
Tonio terdiam.
Reeve memandangi Tonio berjenak sembari tersenyum. "Bagaimana? Jika kau berjanji akan mengatakannya, akan kulepaskan ikatanmu," ujarnya.
"Oke, lepaskan dulu ikatanku," pinta Tonio.
Reeve memerintahkan anak buahnya untuk melepaskan ikatan Tonio, dan mereka mematuhinya meski menyimpan keheranan.
"Jadi, dengan siapa kau jual informasi Renato? Klan Sciacchitano? Provenzano? Fontana? Atau malah Labruzzo?" tanya Reeve tidak sabar sementara Tonio memijat pergelangan tangannya yang kebas akibat ikatan.
"Luigi Bonetti. Caporegime Sciacchitano. Kau tahu dia, kan? Dia musuh bebuyutan Renato. Dia berencana membunuh Renato besok malam," jawab Tonio seraya hendak bangkit berdiri.
"Grazie, Tonio." Reeve mencengkeram bahu Tonio kuat-kuat dan mendudukkannya kembali di kursi. Sementara tanpa diperintah, anak buah Reeve mengikat kembali tangan Tonio.
Tonio yang terkejut mengernyitkan kening menatap Reeve, lalu memahami segalanya dalam sepersekian detik. "Kau lebih busuk dari pada babi," desisnya menahan murka karena telah diperdaya.
"Dan kau hanyalah seonggok daging penuh ulat yang bermulut besar," balas Reeve seraya dengan tenang memasukkan moncong revolver ke dalam mulut Tonio dan menghancurkan pipinya. Seakan tidak mendengar teriakan Tonio yang kesakitan, Reeve tersenyum dingin, meletakkan kembali revolver di atas meja lalu mengambil sebilah gunting tajam. "Dan apa kau masih bisa bermulut besar dan menjual informasi pada musuh, jika lidahmu terpotong, Tonio?" Reeve memberi isyarat pada anak buahnya untuk menarik keluar lidah Tonio. Tonio memberontak sebisa mungkin, berusaha berkelit walaupun dia sendiri tahu bahwa hal itu sia-sia.
"Sinner!"
Reeve yang baru saja hendak memutilasi Tonio, menoleh dan mendapati Renato berdiri di ambang pintu mengawasinya.
"Apa yang kau lakukan, asyik bermain-main dengan tikus kecil keparat itu? Tinggalkan dia segera dan ikut aku! Ada yang harus kuurus," perintah Renato dengan nada datar seraya berbalik badan dan menjauh.
Reeve melengos kesal sembari melepas sarung tangan. Sebenarnya dia belum puas 'bermain' dengan sasarannya kali itu, namun tidak mungkin pula baginya tidak mengindahkan perintah sang mentor.
"Bereskan tikus ini segera. Buang ke tengah laut dan pastikan pekerjaan kalian bersih." Reeve memberi perintah pada anak buahnya sebelum kemudian mengikuti Renato, menyejajari langkahnya. "Luigi Bonetti bermaksud mencelakakanmu besok malam," lapornya.
Renato mendengus. "Bonetti. Si banci. Rupanya dia. Masih penasaran ingin menyingkirkanku, ya? Kalau kau benar menghormatiku dan menyayangiku, Sinner, tentu kau tidak akan membiarkan dia mendekatiku, kan?" tanyanya tanpa menoleh pada Reeve.
Reeve tersenyum. "Renato, aku bukanlah anak buahmu yang patut kauragukan. Bisa kau lihat dan buktikan sendiri loyalitasku pada keluarga dan padamu, sebagai mentorku. Kau tidak perlu mengkhawatirkan Bonetti. Aku sudah memiliki rencana padanya, tentu kalau kau tidak berkeberatan, aku memintamu untuk mengubah sedikit agendamu besok malam."
"No prob! Jelaskan rencanamu nanti di mobil." Renato melemparkan kunci mobil Avdi Allroadnya yang langsung dengan sigap ditangkap oleh Reeve. "You drive," ujarnya lagi seraya melompat masuk ke dalam mobil.
9 - Bakat Pengkhianat
Malam telah semakin larut. Di jalan utama, kendaraan semakin jarang berseliweran. Kota besar penuh lampu nan gemerlap itu telah memasuki waktu untuk beristirahat. Tampaknya sebagian besar orang telah memasuki peraduan, namun tidak dengan Reeve.
Di sebuah apartemen, Reeve tengah mengamati tubuh seorang pria yang sama bongsor seperti Renato. Tubuh itu tak sadarkan diri berkat pengaruh bius. Tak berdaya. Tanpa buang waktu lagi, Reeve menarik tangan pria itu, membuatnya seolah tengah memegang revolver dengan telunjuk tepat di pelatuk. Reeve menyarangkan moncong revolver di dalam mulut pria itu lalu melepaskan tembakan. Sontak cairan merah beserta isi kepala pria itu mengotori sofa dan bantal yang menyangga tubuhnya, yang kini terkulai tanpa nyawa.
Renato muncul dari arah dapur sembari mengusap tangannya dengan sapu tangan. "Thanks, Sinner. Aku senang kini Bonetti sleeps with the fishes. Ayo segera pergi, aku sudah menghapus jejak keberadaanku," ujarnya. "Kau juga, hapus jejakmu."
"Tidak perlu," jawab Reeve santai sambil mengangkat tangan, menunjukkan bahwa dia mengenakan sarung tangan sedari tadi. "Aku mengenakan sarung tangan, lagi pula aku tidak menyentuh apa-apa selain mayat ini," katanya lagi.
Renato mengangguk. "Baiklah. Kau memang selalu cerdas dan penuh perhitungan. Ayo!"
Maka mentor dan anak buah itu pun segera pergi dari sana. Senyum riang menghiasi wajah Renato selama perjalanan pulang, Reeve tersenyum maklum menyadari hal itu.
Mungkin ini terakhir kalinya aku membantumu dan membuatmu senang, Renato. Nikmatilah, ujar Reeve dalam hati.
"Kau tak ingin mampir?" tanya Renato begitu tiba di depan rumahnya. "Istriku membawakan banyak sekali pasta tadi siang. Siapa tahu kau berminat," lanjutnya.
Reeve tersenyum, menggeleng. "Thanks, Renato. Aku tidak lapar," jawabnya.
"Begitu?" Renato melepaskan seat belt yang melingkari perut tambunnya. "Kalau kau berubah pikiran dan ingin makan, datang saja. Tapi kalau aku sudah tidur, kau tahu di mana kunci cadangan, kan?"
Lagi-lagi Reeve tersenyum. "Tentu. Terima kasih, sekali lagi," katanya.
"Ah. Tidak usah sungkan padaku. Kau sudah kuanggap keluarga sendiri, kau tahu itu."
Sikap Renato memang selalu hangat pada Reeve. Adalah hal yang lumrah Renato memercayakan semua hal pada Reeve. Sudah kesekian kalinya Reeve mengunjungi rumahnya dan Renato selalu menyambut kedatangan Reeve dengan banyak sajian. Wakil kepala itu sangat paham Reeve tidak pernah mengisi perutnya dengan santapan rumahan, dia nyaris seperti pengganti ayah bagi Reeve.
"Kau selalu memanjakanku, Renato," ujar Reeve.
"Aku tahulah bagaimana kehidupan pria lajang sepertimu. Tidak ada yang mengurus, tidak ada yang memasak untukmu. Meski aku pisah rumah dengan istriku, tapi dia tetap rutin memasakkan sesuatu untukku. Tidak ada salahnya aku berbagi dengan orang kepercayaanku," kata Renato sambil tersenyum.
Reeve tidak menyahut.
"Jadi, kalau kau nanti lapar, datanglah. Ok?" kata Renato lagi sebelum turun dari mobil.
Reeve mengendurkan otot wajah, selesai sudah senyum basa basinya begitu Renato masuk ke dalam rumah. Dia segera menginjak gas, mengarah menuju rumah Burgueno.
Beruntung baginya, Roman masih ada di dalam ruang kerjanya begitu Reeve tiba.
"Reeve? Apa yang kau lakukan di sini?" Roman menyambut kedatangan Reeve tanpa mengalihkan perhatian dari layar ponsel yang dipegangnya.
"Roman, bisa kita bicara sebentar?" tanya Reeve. Dia menatap sekilas beberapa pengawal yang berjaga di dalam ruangan. "Privat," imbuhnya lagi.
Roman mengangkat wajah, memandangi sang lawan bicara. "Tinggalkan kami," titahnya pada para pengawal.
Roman terus memandangi gerak tubuh Reeve begitu para pengawal pergi dan menutup pintu. Kelihatannya pemuda bercodet itu hendak menyampaikan sesuatu yang penting padanya.
"Duduklah," kata Roman. "Ada apa? Langsung to the point."
Reeve mengambil tempat di seberang Roman, duduk bersandar menyilangkan kaki. "Rome. Kau tahu apa yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini? Ini berkaitan dengan Olive, pacarmu," ujarnya kemudian.
"Olive?" Kening Roman berkerut. "Apa yang kau pikirkan? Aku tidak ingin dengar kau berminat padanya."
"Tidak. Bukan itu," jawab Reeve cepat. "Aku tidak pernah kepikiran untuk bermain api denganmu, Rome. Tidak juga kepikiran untuk merebut kekasihmu. Sama sekali tidak. Yang memberatkan pikiranku adalah ...." Reeve menarik nafas panjang. "Olive pernah digoda dan dirayu oleh salah satu orang kepercayaanmu. Aku saksi mata."
Roman memandangi Reeve dengan tatapan tajam.
"Tentu Olive tidak merespon, kau tidak perlu ragukan temanku itu. Yang harus kau lakukan adalah menindak si pelaku yang menggoda Olive." Reeve memelankan nada suaranya. "Dan aku sungguh tidak enak hati padamu, karena orang ini ... tidak lain adalah mentorku sendiri."
Lama sekali tidak ada yang bersuara. Roman sama sekali tidak mengangkat pandangan dari obyek yang duduk di hadapannya itu. Pula dengan Reeve yang balas memandangi dirinya.
Roman semakin yakin apa yang ada di dalam kepala Reeve.
"Aku tahu," jawab Roman memecah keheningan. "Sudah berapa kali aku memergoki orang itu bermain mata pada Olive, dan kini kau yang saksikan sendiri dia merayu Olive? Nice. Dia semakin berani."
"Kau membiarkan??"
"Menurutmu apa yang harus kulakukan?" Roman balik bertanya. "Aku tahu kau punya maksud terselubung, Reeve, dapat kulihat dari matamu. Kau bersedia menyelesaikan masalah ini untukku?"
Senyum Reeve terkembang. Licik. "Aku bersedia," jawabnya pasti.
"Kau menginginkan posisinya, bukan?" tanya Roman santai.
"Kau tahu segalanya," jawab Reeve setengah takjub. "Kupikir aku memiliki hak yang lebih besar untuk menjadi wakilmu dibandingkan orang itu. Yang menarik pelatuk, aku. Orang itu hanya bisa memerintah. Dan sekarang, dia berani mengusik milikmu. Kalau kau biarkan, akan seberani apa orang itu nantinya?"
Roman mengangguk lalu berkata, "Aku setuju denganmu. Lakukan yang harus kau lakukan."
Berbekal izin Roman yang membuat Reeve dilanda euphoria itu, dia segera melesat kembali menuju rumah Renato. Renato tinggal seorang diri, di sebuah rumah yang letaknya agak terpencil dan dikelilingi banyak pepohonan. Jarak antara rumah Renato dan rumah lain juga tidak terlalu dekat, merupakan lokasi yang sempurna bagi Reeve melancarkan aksinya malam itu.
Malam ini, Reeve memutuskan, akan menyelesaikan semuanya sekaligus.
Rumah Renato terlihat gelap, tidak terlihat adanya nyala lampu di dalam.
Renato pasti sudah tidur. Perfect, ujar Reeve dalam hati seraya mematikan mesin mobil.
Reeve menahan gerak tubuhnya sejenak, ada sebersit perasaan ragu yang tiba-tiba menderanya. Sebenarnya dia mentor yang telah berjasa banyak buatku. Mengangkat kasta dan derajatku dari yang hanya sekedar kriminal jalanan, lusuh, tidak menarik, menjadi seorang kapten seperti ini. Keadaan finansialku juga jauh lebih baik sekarang, aku bisa makan enak, merawat diri, memanjakan ego. Dia telah sangat berjasa. Mengapa aku harus memangsanya? Reeve bertanya-tanya dalam hati.
Reeve menggelengkan kepala, terkekeh. Suara hatinya yang lain berkata menyanggah, Ini adalah dunia di mana orang saling memangsa. Kalau bukan dirimu yang dimangsa, kaulah yang harus memangsa. Sesimple itu, Reeve. Kau sudah dapat izin dari kepala keluarga, kenapa kau harus ragu?
Tidak ada kata ragu. Tidak boleh ada. Aku sudah sampai di sini, tidak ada kata mundur.
Usai memantapkan niat, Reeve mengenakan sarung tangan lalu melompat turun dari mobil, memasuki pekarangan rumah Renato. Diambilnya kunci cadangan dari bawah pot tanaman yang terletak di dekat pintu, lalu memutar anak kunci.
Keadaan di dalam rumah gelap, tidak terdengar suara apa pun. Reeve melangkah masuk dengan hati-hati, tanpa menimbulkan suara. Dia segera menuju kamar Renato, membuka pintu perlahan, melongokkan kepalanya ke dalam. Renato terlihat pulas tertidur di atas ranjang, suara dengkurannya dapat Reeve tangkap. Renato tidak terbangun sedikit pun.
Masih dengan penuh kehati-hatian agar mangsa tidak terbangun, Reeve menghampiri sang mentor yang tidak tahu apa-apa tersebut seraya mengambil revolver dari saku jasnya. Sedikit cahaya dari lampu tidur menampakkan sosok Renato yang tertidur sampai menganga.
Pulas sekali babi ini tidur. Dia telah lengah selama ini, tidak pernah sekalipun meragukanku. Rupanya tidak hanya Tonio yang berkhianat padamu, Renato, tapi aku juga. Sesungguhnya tidak pernah terbersit olehku bahwa aku juga bisa terjangkit virus bernama khianat. Ketahuilah, sesungguhnya aku tidak pernah bermaksud mengkhianatimu. Maafkan, tapi ini harus kulakukan, ujar Reeve dalam hati.
Reeve mendekatkan moncong revolver tepat di dahi Renato, di antara kedua matanya. Renato masih tidak terbangun.
It's just for business, Renato. Aku sungguh berterima kasih atas jasamu padaku selama ini. Selamat tinggal.
Reeve menarik nafas panjang, lalu menarik pelatuk.
Reeve tersenyum, melihat tubuh bongsor Gravano tergolek tidak bernyawa, dengan darah segar mengalir dan menodai sarung bantal di bawahnya.
Terima kasih sekali lagi. Berkatmu, aku bisa menggantikan posisimu sebagai wakil Roman. Beristirahatlah dalam damai, ujarnya lagi dalam hati. Kemudian Reeve pun segera meninggalkan rumah Renato tanpa ada bekas kehadirannya di situ.
10 - Klon Reeve
Laboratorium pusat pengembangan kloning.
Reeve Galante berdiri di depan sebuah inkubator raksasa dan memerhatikan sebuah tubuh telanjang, bakal tubuhnya kelak, di dalam inkubator, tengah diproses secara fisik agar semakin mirip dengan ciri-ciri fisik tubuhnya sendiri. Setelah tahapan ini, tubuh klon akan dikeluarkan dari inkubator dan hal yang paling penting dari sebuah proses kloning akan dilakukan, yakni transfer memori. Reeve tersenyum geli membayangkan nanti dia akan duduk bersampingan dengan tubuh telanjang di depannya itu, tubuh yang semakin lama semakin tampak mirip dengan ciri-ciri fisik yang juga dimilikinya, lalu menyerahkan seluruh isi otaknya pada benda tidak bernyawa yang berdenyut seperti layaknya manusia itu. Seluruh sifat, kebusukan, pengalaman-pengalaman dan memori-memorinya akan segera ditransfer pada benda itu melalui sebuah helm elektronik.
Damn, pikir Reeve. Lima ratus ribu dollar kupertaruhkan dalam sebuah helm berkabel keparat itu? Jika gagal, hilanglah semua. Uangku, hasil copy-anku. Semuanya. Semoga saja para keparat tua itu tidak melakukan kesalahan terhadap bisnis yang disokong klan Burgueno ini.
Reeve masih asyik berbincang dengan dirinya sendiri. Tapi sungguh, jujur aku tidak bisa membayangkan bagaimana transfer memori itu terjadi. Oke, Spindler dan Franglen menjamin kerahasiaan dan tidak membuat tampilan visual terhadap apa yang sedang diransfer, demi melindungi privasi setiap orang. Tapi bagaimana bisa tubuh buatan seperti ini menyerap semua isi otakku? Keahlian-keahlianku, sekaligus sifatku. Pengalaman, dan juga memori, seperti ....
Januari 2012.
Reeve Galante, bocah tampan berusia 11 tahun yang akan memasuki masa-masa pencarian jati diri, masa-masa yang rentan, tertegun tidak menyangka melihat kedua orang tuanya saling membawa pacar masing-masing ke dalam rumah. Melihat kedua orang tuanya saling memaki, saling memukul demi membela pacar masing-masing. Keadaan yang terasa begitu menekan bagi seorang bocah yang akan memasuki usia akil balig, yang pada kenyatannya, berlangsung cukup lama.
Hingga pada akhirnya kedua orang tuanya itu, Michael dan Corinna Galante, memutuskan untuk berpisah dan bersatu dengan pacar mereka masing-masing. Reeve yang merasa terguncang menyaksikan tingkah kedua orang tuanya, memutuskan untuk tidak memilih salah satu dari mereka. Dia membiarkan mereka berpisah, namun dia tidak memilih untuk ikut dengan salah satu dari mereka. Reeve lebih memilih untuk mencari jalan hidupnya sendiri.
Membiarkan dirinya luntang lantung, berkelana tak tentu arah di jalanan New Yord yang membeku, sebeku hatinya saat itu. Mengais, mencari segala macam cara untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Yang mengantarkannya menjadi salah seorang anggota kelompok kriminil jalan. Merampok, mengutil, mencuri, membobol ATM hingga pembajakan kecil-kecilan. Segala hal buruk, yang membuatnya menjadi seorang kriminil, dilakukannya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hingga pada akhirnya, dia bergabung dengan sekelompok pencuri mobil, yang mempreteli mobil-mobil itu dan menjadikannya uang. Sebagai seorang remaja yang bahkan belum genap berusia 16 tahun, bakat Reeve dalam bersosialisasi, memimpin dan merancang strategi jitu untuk mendatangkan banyak uang sudah terlihat jelas. Yang cukup membuat sang pemimpin kelompok yang sesungguhnya menjadi agak khawatir dengan bakat kepemimpinan dan kecerdasan Reeve. Yang di kemudian hari membantu seorang Renato Gravano, yang ingin menjadikan Reeve sebagai salah seorang 'made man'.
Dan Reeve, merasa sangat bersyukur bisa direkrut langsung menjadi soldier atau sgarrista, walaupun untuk itu dia harus memenangkan pertarungan dari dalam dirinya sendiri, dan memenuhi perintah keluarga Burgueno untuk menghilangkan nyawa salah seorang musuh keluarga. Pembunuhannya yang pertama, yang membuatnya justru semakin kuat, dan merasa bahwa dirinya bisa dengan mudah memutuskan apakah seseorang berhak hidup atau mati. Dan yang menjadikannya haus darah.
Reeve haus darah. Benar. Semangatnya selalu terpacu tiap kali mendapat tugas melenyapkan nyawa seseorang. Baginya, tugas semacam itu adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya patut dan layak dihormati. Dan memang benar, dirinya ditakuti, namanya semakin dikenal sebagai sang pengampun dosa. Sin Forgiver.
Sebagai anak yang kabur dari rumah, luntang lantung tak tentu arah, bergelut dengan kondisi ekonomi di tengah kerasnya New Yord, namun kemudian bisa berdiri tegak nan kokoh dengan jabatan kapten keluarga mafia terbesar di belakang namanya ... sungguh, pencapaian Reeve terbilang luar biasa.
Namun menjadi seorang capo yang mengendalikan regime-nya sendiri, rupanya belumlah cukup bagi Reeve. Dia menginginkan yang lebih lagi. Dia menginginkan jabatan yang setingkat lebih tinggi; yakni jabatan sottocapo, jabatan underboss yang diduduki oleh Renato Gravano, sang mentor. Setelah bertemu secara tidak sengaja dengan teman lamanya, Flav 'Stone' Maranzano, Reeve memiliki ide untuk mengikuti jejak Flav yang merebut kursi mentornya sendiri.
Maka di sinilah dia berada. Di hari barunya sebagai seorang wakil kepala keluarga kejahatan Burgueno, dia memutuskan akan membuat klon dirinya sendiri.
Segala masa lalu dan kebusukanku akan diketahui pula oleh boneka tidak bernyawa ini. Siapa yang bisa bertanggung jawab jika suatu saat boneka ini malah menjebloskanku ke dalam penjara? pikir Reeve, masih asyik memerhatikan proses kloning bagi dirinya sendiri.
Ah, tidak, itu tidak mungkin terjadi. Nonsense! Reeve meyakinkan diri. Klon ini akan menjadi diriku sendiri. Dengan otak, sifat dan perilaku sepertiku. Tidak mungkin aku memiliki pikiran busuk dengan menjebloskan diriku sendiri ke dalam penjara. Meski aku telah berkhianat pada Don Alphonse dan Renato, tapi aku tidak mungkin berkhianat pada diriku sendiri. Tidak mungkin itu terjadi. Orang yang paling kupercayai di dunia ini adalah diriku sendiri. Tidak ada yang lain.
Selang beberapa jam kemudian, Reeve keluar dari laboratorium pusat dan bermobil kembali menuju rumahnya dengan ditemani kembarannya, hasil kloningannya sendiri. Agak canggung dia begitu berhadapan langsung dengan sang klon yang baru saja 'lahir'.
Reeve melirik klon yang duduk di sebelahnya itu dari pantulan spion. "Aku mesti membiasakan diri memanggilmu dengan namaku sendiri," ujarnya memecah keheningan.
"Yang biasanya aku hanya melihat bayanganku dari pantulan kaca, kini bayangan itu berubah jadi sosok yang berwujud, dan bisa berkomunikasi juga denganku! Hanya saja perbedaannya, aku tidak bisa tahu apa yang bayanganku itu pikirkan. Seperti kau juga, tidak bisa membaca pikiranku. Hanya memori yang telah terjadi, sebatas tadi pagi, yang bisa kau akses," tutur Reeve.
Klon Reeve menyunggingkan secercah senyuman. "Koreksi. Aku bukan bayanganmu. Aku dirimu sendiri," jawabnya.
"Wow. Rupanya kau sombong, ya?"
"Sama sepertimu. Mungkin kau lupa, kau pun seorang yang sombong," balas Klon Reeve.
Reeve tergelak puas. "Mahakarya ciptaan duo jenius Spindler dan Franglen memang tidak mengecewakan. Kurasa aku menyukaimu. Jangan membuatku kecewa, Reeve. Kita berdua adalah sottocapo klan Burgueno yang tidak terkalahkan. Sin Forgiver ada dua orang! Seluruh isi kota New Yord akan berada di tangan kita berdua mulai saat ini. Bagaimana pendapatmu?"
"I like that. Memang itulah tujuan kita," jawab Klon Reeve santai, membuat Reeve semakin sumringah.
11 - Salmon Trauma
Restoran Iralia - Amerida, New Yord.
Empat orang pria muda berpenampilan necis yang telah menjadi langganan tetap restoran itu duduk di salah satu bangku strategis, tampak asyik mengobrol dan bergurau. Mereka menyambut kehadiran pramusaji yang menyajikan steak ikan salmon, spaghetti dan pasta pesanan mereka.
Flav 'Stone Killer' Maranzano, salah satu dari empat pria itu, mendapatkan lasagna favoritnya dan hendak menyantapnya ketika melihat salah seorang temannya tengah menyantap steak salmon. Flav mengerutkan kening secara spontan melihat potongan ikan salmon yang dengan nikmatnya disantap oleh temannya itu. Terbayang langsung di benaknya kejadian beberapa waktu lalu yang membuatnya enggan mengonsumsi ikan salmon.
"Hey," tegurnya. Suaranya yang berat dan dalam serta wajahnya yang terlihat serius membuat ketiga temannya serentak menoleh ke arahnya. Namun kemudian Flav menyeringai. "Bagaimana kau bisa menyantap salmon yang mungkin sudah tercemari darah kotor mayat Magaddino?" kelakarnya, disambut gelak tawa teman-temannya.
"Kau masih terkena sindrom 'salmon trauma', Stone?"
Yang lain menimpali. "Stone terlalu jijik membayangkan ribuan salmon beku yang menjadi tempat tidur Magaddino sebelum dia mati. Mau hidup atau mati, Magaddino selalu membayangimu, huh Stone?" ejeknya.
"Mungkin ini balasan Magaddino dari alam sana; mengutuk Stone agar tidak bisa memakan salmon lagi. Mungkin juga Magaddino tidak ingin salmon-salmonnya dimakan Stone!" sambung yang lain lagi seraya terbahak. "Kasihan kau, Stone!"
Flav tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. "Hey, sopanlah sedikit padaku, kalian anak buah yang terlalu akrab dengan bos dan terlalu blak-blakan!"
"Ya ... ya ... sikap 'bos'-nya keluar lagi."
"Apa kau tidak tahu, kalau kau lebih menyenangkan tanpa embel-embel status bos?"
"Huh, aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu! Yang kutahu memang posisi inilah yang berhak kudapatkan, karena siapa yang tahu kapan Don Salvatore Cavallo akan menunjukku sebagai penggantinya?" ujar Flav membual.
"Instan sekali! Kau pikir Don Cavallo akan semudah itu mempercayaimu?"
"Terserah apa kata kalian. Tapi asal kalian tahu, aku orang yang berambisi besar. Apa pun akan kulakukan untuk memenuhi ambisiku! Mungkin tidak dengan cara yang sama seperti saat aku menduduki jabatan Magaddino; untuk menghadapi para bos besar harus menggunakan ini," ujar Flav seraya menempelkan telunjuknya ke dahi.
"Dengan cara legal atau ilegal, penuh intrik atau tanpa intrik, aku jamin suatu saat nanti akan menduduki kursi Don sejati! Sekarang terserah pada kalian, meyakiniku dan menjadi anak buahku yang setia, atau meninggalkanku dan bergabung dengan kubu regime lain." Flav mengangkat bahu, melanjutkan, "Sungguh, itu bukan masalah besar buatku."
"Heey ... Stone, kenapa bicara seperti itu? Ayolah, kita percaya dan kita akan selalu setia mengikutimu. Oke?" sahut anak buah Flav yang menyantap ikan salmon. Lalu katanya lagi seraya mengiris steak dan menyuguhkannya pada Flav. "Nih, cobalah! Ini salmon terenak yang pernah kumakan, dan dijamin tidak ada rasa darah Magaddino."
Flav memerhatikan potongan salmon itu di atas piringnya. Dan lagi-lagi, begitu melihat daging salmon itu, Flav teringat kejadian tepat satu minggu yang lalu, ketika ....
***
Sore itu seperti biasa, Flav mengunjungi mentornya, Frank Magaddino, yang tak lain merupakan salah satu caporegime kuat klan Provenzano. Kunjungan rutin harian saat di mana Flav memberikan laporan secara berkala atas beberapa bisnis milik Magaddino yang dipercayakan kepada Flav sebagai anak buah kesayangannya. Tapi rupanya Magaddino telah lengah selama ini, hingga kurang peka dan waspada terhadap apa yang ada di benak anak muda yang dianggapnya seperti anak sendiri itu.
Sambil memerhatikan acara reality show favoritnya di televisi, Magaddino mengisap cerutu. Sementara Flav di belakangnya tengah mengambil dua kaleng soda dari lemari es. Suasana rumah saat itu sepi, hanya ada dirinya dan Flav, sementara istrinya tengah menengok adiknya yang sakit. "Bagaimana, lancar? Tidak ada masalah berarti, kan?" tanyanya.
"Tentu. Semua aman terkendali. Tidak perlu meragukanku, Bos," jawab Flav seraya menyuguhkan sekaleng soda pada Magaddino.
"Ah, aku tahu aku memang tidak boleh meragukanmu, kamulah yang paling kupercayai."
Flav menatap wajah tirus Magaddino tanpa bersuara. Diperhatikannya rambut sang mentor yang mulai menipis karena tua, lalu bertanya, "Apa aku cukup pantas untuk menjadi capo sepertimu?"
Magaddino tertawa. "Nanti dulu, Flav, tidak secepat itu. Kupikir kau belum cukup mampu untuk mengendalikan sebuah regime baru. Tidak hanya otot yang dibutuhkan untuk menjadi seorang capo, tapi juga otak. Kulihat kau masih ceroboh dan mudah terpancing emosi, itu tidak baik, untuk menjadi seorang atasan dibutuhkan kemampuan berpikir panjang, tapi juga cepat. Tidak asal seruduk sana sini. Kau harus buktikan kemajuanmu dalam bersikap sebelum kupromosikan pada Don dan dewan keluarga. Oke?"
Flav tidak bersuara. Dia terlalu tersinggung untuk merespons jawaban negatif sang mentor, namun juga terlalu senang karena saat ini dilihatnya Magaddino tengah meneguk soda yang diberikannya.
Dan dalam sekejap, Magaddino merasa lemas dan mengantuk. Naluri liarnya pun seketika terjaga. Ditatapnya Flav dengan pandangan penuh kecurigaan. "Kau ...?"
Flav tersenyum. Senyum meremehkan seolah mengatakan, akulah pemenangnya, dan kau hanyalah pecundang sejati. Dia berkata, "Kurasa aku sudah cukup pantas untuk menggantikan posisimu, mentor. Terima kasih sudah mendidikku selama ini."
Tanpa membuang waktu lagi Flav membawa Magaddino yang tidak sadarkan diri ke pabrik pengalengan ikan salmon milik Magaddino sendiri yang tidak jauh dari rumahnya. Segera Flav mengurung dan mengunci Magaddino di gudang pabrik tempat salmon dibekukan. Tidak lupa diturunkannya temperatur suhu ruang gudang agar Magaddino cepat menemui ajalnya.
Lalu dengan melenggang santai dia pergi dari pabrik. Akses yang langsung dan bebas, tanpa ada yang menaruh curiga padanya, karena Magaddino juga terkadang menyerahkan pengelolaan pabrik pada Flav, sehingga bisa dibilang Flav adalah salah satu pemilik pabrik pengalengan ikan salmon itu. Setelah Magaddino ditemukan tewas, Flav yakin pabrik ini akan menjadi miliknya 100%. Dan kini, setelah meninggalkan mentornya kedinginan di gudang ikan, dia kembali ke rumah Magaddino. Membersihkan bekas-bekas kehadirannya, lalu pulang ke rumahnya.
***
Dan seminggu kemudian, Flav dan teman-temannya tengah menikmati santapan di restoran favorit. Flav yang sampai tadi masih teringat kenangan masa lalu, akhirnya tersenyum dan mengangkat bahu, lalu melahap potongan steak salmon yang diamatinya sejak tadi dan menikmati rasanya.
"Hhm, yeah, steak ini enak. Tidak ada rasa mayat," katanya sambil terkekeh, sementara teman-temannya menanggapinya dengan gelak tawa.
"Akhirnya, Magaddino sudah merelakan salmonnya untuk kau makan, ya!"
"Whatever, guys!"
"Kalian dengar kabar? Renato Gravano mati tadi pagi," kata salah seorang.
"Ya, aku sudah dengar beritanya. Kenapa orang itu? Ada yang memenggal kepalanya?"
Flav menatap anak buahnya itu. "Renato Gravano? Orang Burgueno itu kan? Kapan, aku baru dengar?"
"Tadi pagi, kubilang, Bos. Entah siapa yang menghabisinya, dia ditemukan sudah mati di rumahnya. Kalau ini merupakan perang antara Burgueno dan Sciacchitano, tentu mereka sudah baku hantam saat ini, atau minimal mencari siapa yang menghabisi tangan kanan Don Burgueno itu. Tapi tidak terjadi apa-apa, kan? Di luar tenang dan damai, jadi kemungkinan ini cuma masalah intern Burgueno. Baguslah, perang tidak baik untuk bisnis. Kau setuju, Bos?"
Flav terdiam sesaat, di pikirannya terlintas prasangka mengenai kematian Renato Gravano. Dia kemudian tersenyum sinis, bertanya, "Lalu siapa penggantinya?"
"They called him ... Sin Forgiver, or mostly Sinner. Reeve Galante, anak buah kesayangan Renato."
12 - Stone Killer
Flav mengangkat alis. Prasangkanya tepat. Siapa lagi yang berani membunuh seorang wakil kepala keluarga kejahatan seperti Gravano, selain orang dalam? Dan siapa lagi yang bisa mengambil keuntungan secara instan dari kematian Gravano, selain orang terdekatnya?
Orang itu tidak lain adalah Reeve. Sebagai orang terdekat Gravano, Reeve dapat dengan mudah mencari-cari kesalahan Gravano dan melaporkannya pada Roman. Roman yang emosional dan mudah terhasut, tentu dengan mudahnya memberikan izin melenyapkan nyawa wakilnya sendiri pada si pelapor, yakni Reeve.
Semuanya masuk akal, tidak ada yang tidak mungkin. "Sin Forgiver? Menjijikkan sekali julukan itu, apa dia sangka dirinya tuhan atau semacamnya?"
***
Flav tidak pernah merasa betah di rumahnya sendiri. Meski rumah yang ditempatinya itu nyaman, namun terasa begitu sepi dan kosong, hanya ada dirinya sendiri dan bayangannya di rumah itu. Setiap kali Flav tidak membawa teman wanita ke rumah, Flav kerap teringat kenangan masa lalu. Kenangan masa kecil yang kadang melenakannya dan membuatnya merasa ingin kembali pada saat di mana dirinya masih seorang bocah innocent, anak sulung pengusaha tekstil Gianni Maranzano.
Flavio Maranzano lahir dari sebuah keluarga Sivily yang berimigrasi ke New Yord. Ayahnya, Gianni Maranzano merupakan pewaris perusahaan tekstil Iralia yang telah turun temurun diwariskan pada seluruh keluarga Maranzano. Perusahaan Iralia berprofit besar yang membuat banyak keluarga Mafia di New Yord, Chicage bahkan San Fransisqo berminat menjadikan perusahaan Maranzano sebagai salah satu bisnis caplokan. Namun tawaran apa pun yang datang pada Maranzano, tak ada satu pun yang disetujui. Maranzano menjaga bisnisnya tetap bersih dari unsur-unsur tangan hitam.
Gianni Maranzano, hidup dengan nyaman dan tenteram bersama istrinya yang setia, dan dua anak yang menjadi curahan kasih sayangnya. Anaknya yang sulung laki-laki, Flavio, terang-terangan mengatakan padanya bahwa dia tidak suka dengan nama Flavio. Dia memaksa semua keluarganya, juga teman-temannya untuk memanggilnya Flav. Kelak dialah yang akan meneruskan perusahaan Maranzano, namun bukannya mendidiknya agar pantas mewarisi perusahaan, Gianni malahan memanjakan dan menuruti segala keinginan Flavio sehingga Flavio tumbuh menjadi anak yang egois.
Sementara putrinya yang cantik, Antonella, tiga tahun di bawah Flav, tumbuh menjadi gadis tomboi saking akrabnya dengan sang kakak. Bukannya tidak senang melihat keakraban anak-anaknya, namun Gianni ingin Antonella menjadi anak gadis yang lebih senang bermain boneka di dalam rumah ketimbang berlarian di bawah terik matahari dan panjat-panjatan pohon. Namun tampaknya keinginan itu sulit terpenuhi lantaran teman bermain Antonella dan Flav juga seorang gadis tomboi yang tidak lain adalah sepupu mereka sendiri, Anja Fohlberg. Keponakan Gianni Maranzano yang blasteran Iralia - Frenchye ini pun sangat akrab dengan Flav dan Antonella, sehingga tidak heran mereka senang bermain bersama.
Flav, Antonella, dan Anja, tiga serangkai yang kompak. Dan kawanan bocah ini akan bertambah jumlahnya apabila mereka tengah liburan ke Frenchye, kampung halaman ayah Anja. Di sana akan ada lagi Pierre dan Jeana Mueller, putra dan putri seorang politikus Frenchye Francois Mueller; Darren Labruzzo, tinggal di Parice, jauh dari sang ayah yang merupakan salah satu bos besar Mafia New Yord, Don Luigi Labruzzo; dan Louis Cavallo, yang juga terpisah jauh dari sang ayah, Don Salvatore Cavallo, salah satu bos besar Mafia New Yord juga seperti Labruzzo. Don Cavallo dan Don Labruzzo, dua orang pemimpin berkharisma yang berpikiran serupa, tidak ingin anak-anak mereka menjadi seorang mafioso seperti yang mereka lakukan. Maka mereka sama-sama menikahi orang Frenchye, lalu lahirlah Darren dan juga Louis. Dengan campuran darah non-Iralia seperti itu, otomatis Darren dan Louis tidak bisa berkecimpung dalam dunia tangan hitam yang menyesatkan.
Flav sering tersenyum-senyum sendiri jika tengah mengingat-ingat kenangan masa kecilnya yang indah dan menyenangkan itu. Tidak ada yang lebih menyenangkan baginya selain mengenang masa kanak-kanak yang dihabiskannya bersama teman-teman terbaiknya. Bahkan hingga kini Flav seakan masih bisa merasakan hembusan angin di pedalaman Frenchye utara, aroma rumput yang segar, dan suara canda tawa riang darinya dan teman-temannya. Dan selalu, Flav teringat, pada saat-saat yang membahagiakan dan tanpa beban itu ayahnya merupakan sosok ayah sempurna yang selalu memanjakan dirinya. Flav sangat menyayangi ayahnya pada saat itu.
Namun keadaan berubah pada saat Flav menginjak usia akil balig. Ayahnya, Gianni mengatakan, sudah waktunya bagi Flav untuk dididik secara khusus dengan mulai ikut ambil bagian dalam bisnis tekstil Maranzano. Tapi Flav menolak. Dia tidak ingin menjadi penerus perusahaan, dia hanya ingin menjalani hidupnya sendiri.
Gianni tidak menerima penolakan Flav, dibujuknya Flav terus menerus, hingga pada satu titik, Gianni seolah memaksakan kehendak pada Flav dan fisik pun ikut bicara. Flav semakin tidak terima diperlakukan seperti itu. Ditantangnya ayahnya, bahkan jika perlu, duel dengan ayahnya pun dilakoninya.
Hal itu tidak bertahan lama, sebab Flav yang tidak tahan terus tinggal di dalam rumah yang penuh tekanan batin itu akhirnya memutuskan pergi dari rumah. Entah kemana, Flav muda membiarkan dirinya berkelana tak tentu arah, menaiki bus demi bus yang akhirnya membawanya ke Chicage dan bergaul dengan preman-preman di sana.
Di sana Flav melakukan berbagai tindak kriminal; mencuri, merampok, hingga membobol mesin ATM, yang menjadi rutinitas sehari-harinya. Status sebagai kriminil jalanan dilakoninya hingga dia berumur 16 tahun.
Dia lalu memutuskan untuk hijrah kembali ke New Yord, kampung halamannya, hendak mencari peruntungannya dan nasibnya sendiri. Walaupun dia tahu banyak kerabat dan keluarga yang sebenarnya mencari-cari keberadaan dirinya di New Yord, tapi niat untuk kembali begitu besar. Toh dia kini sudah berusia 16 tahun, keluarganya tidak mungkin lagi mencari dirinya untuk memaksanya pulang kembali ke rumah, karena dia sudah cukup umur untuk tidak lagi menumpang di rumah orang tuanya.
Maka dia pun kembali, dan yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana agar dia bisa mengusahakan penghidupan yang layak bagi dirinya, tidak masalah dia harus menjadi kriminil seumur hidup.
Ada dua orang yang langsung terlintas di benaknya demi mewujudkan keinginan tersebut. Dua orang yang punya nama, kehormatan dan reputasi, dua orang Don dari dua klan berbeda. Don Salvatore Cavallo dari klan Provenzano, dan Don Luigi Labruzzo dari klan Labruzzo. Dua orang Don yang merupakan ayah dari sahabat-sahabatnya semasa kecil, dan itulah yang membuatnya memberanikan diri untuk menemui salah satu dari kedua orang itu.
Klan Labruzzo, penguasa kawasan New Hersey, penguasa bisnis-bisnis restaurant, supermarket dan beberapa jaringan perjudian. Flav langsung bisa menyimpulkan klan ini tidak begitu kaya, dia tidak akan melamar menjadi anggota klan Labruzzo ini.
Sementara klan Provenzano, yang beroperasi di kawasan Brookine, menguasai jaringan perhotelan dan real estate terbesar di Amerida, memonopoli pembangunan industri di negara-negara bagian, dan tentu saja, bisnis-bisnis pelacuran yang mendatangkan banyak profit. Berbekal hal itu, Flav membulatkan tekad untuk pergi ke Brookine dan menemui sang kepala keluarga. Apakah dia akan ditolak mentah-mentah begitu tiba di sana, atau Don Salvatore Cavallo tidak ingin mengingat siapa dirinya lagi, tidak diperhitungkan olehnya. Dia hanya ingin mencoba.
Benar saja, Don Salvatore Cavallo menerima kedatangannya dengan dingin. Dia malahan mengungkit-ungkit perihal perginya Flav dari rumahnya dan menghilang entah kemana. Don pun bercerita bahwa ayah Flav, Gianni, yang juga merupakan teman dekatnya, langsung drop kesehatannya semenjak Flav pergi. Hingga akhirnya Tuhan memanggil Gianni untuk selamanya, tanpa pernah diberi kesempatan untuk bertemu dengan anaknya lagi.
Sementara Flav, tanpa rasa menyesal, bersalah ataupun kehilangan, membuang muka ketika Don Cavallo menceritakan semua hal itu padanya. Semua perkataan Don Cavallo terdengar seperti sebuah kritikan yang ditujukan padanya. Maka Flav hanya bisa diam tak berkomentar sepatah kata pun. Begitu sang Don selesai berbicara, Flav memberanikan diri untuk menyatakan maksud dan tujuannya datang ke situ. Dia ingin melamar menjadi salah satu anggota klan, dia menyatakan dirinya bersedia mengikuti semua aturan main dan memulai karirnya dari nol, dari seorang yang berstatus rekanan hingga bisa menjadi seorang yang 'jadi' bagi keluarga.
Don Cavallo terlihat sedikit terkejut mendengar permintaan Flav, namun dia tidak heran. Dia sudah menyangka bakat alami Flav yang bengis semenjak dia mengenal Flav kecil yang sering bermain-main dengan putranya sendiri, Louis. Setelah terdiam beberapa lama, Don Cavallo mengangkat bahu, dan menunjuk salah seorang caporegime yang menurutnya cukup tegas dan keras untuk mendidik 'anak-anak baru' seperti Flav itu. Dia ingin Flav mendapat gemblengan yang keras dari sang caporegime yang akan menjadi mentornya. Dia ingin Flav tidak asal niat mencalonkan dirinya menjadi seseorang yang 'jadi' dalam keluarga. Dan caporegime terpilih itu adalah, Frank Magaddino.
Frank Magaddino langsung tertarik dengan karakter dan sifat Flav yang terlihat tak acuh, to the point dan sarkas, mengingatkannya pada dirinya sendiri sewaktu masih seumur Flav. Berdasarkan hal itu, Magaddino langsung menyanggupi permintaan Don Cavallo yang menginginkan Flav digembleng keras sebagai seorang rekanan keluarga.
Seiring berlalunya waktu, Flav membuktikan diri bahwa dia memang mumpuni, sangat dapat dipercaya dan diandalkan. Terutama setelah Magaddino memberinya tugas sepele, membereskan salah seorang preman jalanan yang mencari masalah dengan keponakan Magaddino.
Flav tanpa banyak tanya lagi langsung menjalankan tugas yang diberikan padanya. Itulah tugas pembunuhannya yang pertama, namun Flav menjalankan tugas itu dengan penuh rencana, tidak terlihat bahwa dia hendak melakukan pembunuhan untuk yang pertama kalinya. Setelah menyusun rencana, Flav dan seorang prajurit kepercayaan Magaddino menyelinap masuk ke apartemen sempit si target. Mereka melakukan sedikit intimidasi, lalu kemudian Flav dengan tenang, tanpa emosi, menghancurkan tengkorak target dengan membenturkannya ke dinding. Mayat si target pun langsung dibuang ke tengah rawa.
Prajurit Magaddino yang menjadi saksi dan pengawas pekerjaan Flav sendiri merasa kaget, betapa tenangnya Flav menunaikan tugas pembunuhannya yang pertama. Flav siap sejak awal, bahkan dia memakai sarung tangan agar sidik jarinya tidak ada di dalam tempat kejadian perkara. Dan prajurit inilah yang menyampaikan 'dingin' dan 'keras'nya Flav saat membunuh, pada Frank Magaddino. Magaddino hanya tersenyum, seakan sudah bisa menerka bahwa memang itulah seorang Flav Maranzano.
Di kemudian hari, terbukti bahwa Flav memang selalu seperti itu saat membunuh. Dia rapi, bengis, dan dingin. Langsung menggunakan kekuatan ototnya untuk menghancurkan tengkorak kepala setiap lawannya. Begitu pun setelah dia dilantik menjadi prajurit, seorang yang 'jadi' pada keluarga Provenzano. Dan karena kebiasaannya itulah, Flav pun diberi predikat 'Stone Killer'. 'Stone Killer' itu sendiri maksudnya adalah seorang pembunuh bayaran profesional yang sadis dan brutal, namun di kalangan teman-temannya, predikat 'Stone Killer' yang diberikan pada Flav berarti bahwa Flav adalah seorang pembunuh yang selalu memakai batu untuk menghancurkan kepala lawan. Sementara Flav? Flav senang mendapat predikat dingin itu, dan dia bangga memperkenalkan dirinya dengan predikat 'Stone Killer' di tengah-tengah namanya.
Magaddino pun bangga memiliki anak buah yang cerdas, cepat tanggap dan bisa diandalkan seperti Flav. Tidak heran Magaddino kerap memberinya tugas-tugas, lantaran untuk mengetahui sejauh mana Flav bisa diandalkan. Flav berhasil membuktikan pada sang mentor bahwa dirinya layak menjadi anak buah kesayangan, bahkan dia berhak mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Namun Magaddino menolak mempromosikan Flav untuk membangun regime sendiri, dan membuat Flav yang diburu nafsu kekuasaan membunuhnya dengan membekukannya di lemari pendingin ikan salmon di pabrik ....
Lamunan Flav terhenti begitu ponselnya berdering nyaring. Nomor tak dikenal terbaca di layar, Flav mengerutkan kening. Dijawabnya telepon itu.
"Apa kabar, Flav?" sapa suara di seberang.
Merasa belum pernah mendengar suara orang yang meneleponnya, Flav mengerutkan kening. "Siapa ini?"
"Astaga, kau tidak menyimpan nomorku? Ini Reeve."
"Oh! Kau rupanya. Haha. Maaf, aku lupa menyimpan. Ada angin apa, nih?"
Terdengar tawa Reeve di seberang. "Tidak ada maksud apa-apa, cuma mau ajak kau hang out. Ada yang merindukanmu, namanya Denver Granville. Dia penasaran ingin lihat seperti apa mukamu sekarang. Kubilang saja, kau persis orang yang punya hormon berlebihan dengan pagi siang sore malam cewek terus. Bisa dia bayangkan sendiri seperti apa kau sekarang," katanya masih sambil tertawa.
Flav tertular tawa Reeve. "Sialan kau Reeve. Kapan?" tanyanya.
"Dia mengajak sarapan bareng besok di kafe Marlon, sebelah club tempat kita kemarin ketemu," jawab Reeve.
"Ah. Alright." Flav sedikit banyak menyimpan rasa penasaran seperti apa rupa Denver sekarang setelah sekian tahun tidak bersua.
Didengarnya Reeve berkata, "Huh, seandainya status kita tidak seperti ini, reuni macam begini tentu menyenangkan, huh? Asal tidak ada bakat backstabber saja dari kau, for old time's sake."
Flav mendengus. "Aku tidak pernah punya bakat terpuji itu. Justru aku yang harus waspada denganmu, kau tahu, masih untung Burgueno dan Provenzano jarang ada slack."
"Aku tak akan berbuat aneh-aneh dengan teman lama, selama teman lama itu tidak cari masalah denganku terlebih dahulu. Karena aku terlalu menghargai masa-masa menyenangkan menghabiskan waktu bersama kau dan the gank."
Jawaban Reeve memancing senyum di wajah Flav. "Well, tentu saja, ini murni reuni. Perlu ditekankan juga sepertinya, tak akan pernah ada 'ini hanya bisnis' antara kita selama reuni. Agree?"
"Sure, Bro! I'll see you tomorrow."
"Flav!" panggil seseorang tatkala Flav masuk ke dalam kafe yang disebutkan Reeve semalam. Dia menoleh, mendapati Reeve dan seorang pemuda lain yang tampak familiar baginya melambaikan tangan dan tersenyum lebar padanya. Flav membalas senyum mereka dan datang menghampiri.
Pemuda yang bersama Reeve, bangkit berdiri dan menyapa Flav dengan hangat. Dia hanya seorang pemuda keturunan asli Amerida, dengan tinggi rata-rata, berkulit pucat kemerahan dan berwajah tirus. Rambut cokelatnya yang jatuh menutupi matanya tidak membuatnya tampak gemulai, dia memiliki rahang kokoh yang menegaskan maskulinitasnya. Namun satu hal terpenting yang membuatnya mudah dikenali adalah, tahi lalat yang berada di sisi kanan lehernya, yang tampak tidak malu-malu menunjukkan dirinya pada seluruh dunia, dan Flav yang melihat tahi lalat itu langsung dengan mudah meyakini bahwa pemuda ini adalah benar-benar teman ganknya semasa sekolah dulu, Denver Granville.
"Hey, Denver!" balasnya hangat seraya membalas pelukan Denver. "Man, tidak pernah dengar kabar tentangmu, begitu ada kabar, kau ternyata sudah 'jadi' juga ya!" serunya.
Denver tergelak. "Harusnya itu yang kukatakan padamu! Ah, ayo, duduklah! Aku dan Reeve sudah pesan makanan, kau mau sarapan apa, Flav? Biar kutraktir," tawarnya semangat.
"Wah, ditraktir nih ceritanya?" kata Flav seraya menarik kursi bagi dirinya sendiri. "Hey, Reeve," sapanya pada Reeve yang duduk di sebelahnya.
"Hey, man," balas Reeve hangat.
Flav tidak sanggup menahan senyum penuh arti saat memandangi Reeve. Dia berujar, "Kudengar ada yang baru saja diangkat jadi sottocapo, huh? I bet you got that fuckin' idea from me, right, Sinner?"
Reeve mengangkat alis menatap Flav. Dilihatnya Denver pun kini menatapnya dan menunggu jawaban darinya. "Guys, apa yang sudah gampang ditebak, tidak perlu dibahas, kan? I deserve it."
Flav terkekeh, menepuk bahu Reeve. "Nah, maksudku, Reeve, harusnya yang traktir-traktir itu kau, kan kau baru saja menikmati posisi baru?"
Denver tergelak. "Sudahlah, hari ini biar aku yang traktir! Aku senang bisa bertemu lagi dengan kalian! Tahu tidak, setelah bertahun-tahun tidak ada kabar dari kalian, bagai menghilang ditelan bumi .... Well, the gank benar-benar kehilangan kalian berdua."
13 - And Their Childhood Friends
Jessica Castellano membukakan pintu rumahnya ketika mendengar bel pintu berdering beberapa kali, sore hari yang cerah itu. Gadis muda berwajah lembut dan berambut ikal itu terpekik senang tatkala melihat siapa yang bertandang ke rumahnya. Si tamu itu pun terlihat begitu gembira bisa bertemu kembali dengan Jessica.
"Anja ...! Apa kabarmu ... aku kangen!" sapa Jessica riang sambil memeluk erat tamunya.
Sang tamu, Anja Fohlberg, membalas pelukan Jessica hangat. "Aku baik-baik, Jess! Iya aku juga kangen, bagaimana kabarmu?"
"Baik. Ayo masuk! Sungguh aku senang kamu datang, Nja!" Jessica dengan ramah mengajak masuk Anja dan menyuguhinya minuman. "Kamu itu betah banget sih di Parice? Tidak kembali lagi ke sini, bosan ya, dengan New Yord?"
Anja tertawa ringan. "Ah, kamu ada-ada saja. Ini buktinya aku sekarang di New Yord?"
"Iya, kan baru sekarang, toh? Ah, ya pastilah kamu betah di Parice, ada kerjaan, ada pacar pula. Ada keluarga juga di sana. Bodohnya aku, masa menanyakan kamu betah atau tidak di sana," celoteh Jessica riang.
"Yaa ... puji Tuhan."
"Lalu bagaimana jadinya Nja, kapan rencanamu menikah?" tanya Jessica begitu mengajak tamunya duduk di ruang keluarga.
"Ah, Jess ... itu sih masih lama sepertinya. Aku belum siap. Dia apa lagi."
"Lho, kalian kan sudah tinggal bareng, tinggal selangkah lagi. Apa tidak ada rencana itu?"
Anja menghela nafas. "Aku sih ingin ... walaupun belum begitu siap. Tapi aku tidak yakin, kurasa Darren sama sekali belum siap. Kamu sendiri? Sudah makmur sekali sepertinya nih, barengan sama Denver. Dia belum pulang?"
"Belum. Dia sih selalu pulang malam ... apa lagi setelah dapat pekerjaan sampingan."
"He? Ada sampingan? Kerja keras banget, kayaknya sudah ada rencana nikah, nih?" tanya Anja. Wanita berwajah tirus itu menaikturunkan alis dengan maksud menggoda.
Jessica tersipu malu. "Rencana sih ada .... Tapi masih nanti, secepatnya setelah aku lulus kuliah."
"Waah ... senangnya! Memang kamu dan Denver tuh, yaa, dari sejak junior high school sampai sekarang awet! Selalu menempel seperti perangko," komentar Anja usil.
Jessica tergelak. "Enak saja perangko! Memang sebegitu lengketnya apa, aku dan dia? Dan lagi pula tidak seawet itu kok, aku dan Denver kan sempat putus-nyambung tidak jelas, dulu."
"Yaa, tetap saja kamu berdua akhirnya jadi, kan? Awet, berarti. Terus? Dia ada pekerjaan sampingan apa?"
Jessica hendak menjawab ketika mendengar pintu depan terbuka, dan suara Denver yang memanggil namanya. "Eh, dia sudah pulang tuh," kata Jessica.
"Jessy, ada tamu ya?" tanya Denver. Dia berjalan ke ruang tengah dan mendapati Jessica sedang bersama seorang wanita blasteran yang tampak familiar baginya. Wanita berambut cokelat sepunggung itu tersenyum menatap Denver.
"Denv, kok tumben pulang cepat?" sambut Jessica. Ia bangkit berdiri, menghampiri Denver untuk mengecup bibirnya dan membantu melepaskan jas dan membawakan tasnya. "Kok bengong begitu, sih? Lupa yaa, dengan teman lama? Hayoo, baru tidak bertemu beberapa lama sudah lupa begitu. Ih, tidak sopan," kata Jessica.
Anja terkekeh. Ia bangkit berdiri dan menghampiri Denver. "Aah, Denver, kamu benar-benar lupa denganku?" sapanya sambil mengecup pipi Denver.
"Anja?"
"Jahatnya, aku dilupakan!"
Denver menyeringai. "Sorry, aku pangling sih. Kamu bukannya di Parice?"
"Iya, lagi kangen sama New Yord, jadi pulang sebentar. Sekalian ingin ajak reunian the gank ... kangen rasanya, dan yang bisa kutemui sekarang baru Jessica dan kamu. Sebenarnya yang lain ada di mana sih?"
"Well, kan sudah terpencar semua, agaknya sulit kalau kamu mau mengadakan reuni," balas Denver.
"Yaa, Black Blossom kan sudah pasti susah ditemui, mereka sibuk. Ditambah lagi Annette yang selalu ikut kemana Lee dan Black Blossom pergi. Camila, dia sibuk kuliah, Daniel juga tidak bisa diganggu tuh sepertinya. Paling sesekali aku bertemu dengan Daniel di Parice, dia kan sekarang pacaran dengan Jeanna Mueller. Alyssa, ah, megamodel sepertinya mana bisa diganggu waktunya? Reeve, Flav, entah di mana rimbanya. Wajah mereka pun aku sampai lupa. Heran, padahal Flav sepupuku sendiri! Dan Olive, yang menghilang juga. Tidak ada kabar, tidak bisa dihubungi ... ya, Jess?" celoteh Anja.
Denver terdiam memandangi Anja yang terlihat clueless dan penasaran di mana teman-temannya berada itu. "Ada. Kalau kamu mencari Olive, ia ada di rumah Burgueno. Apa kamu belum dengar kalau Olive berpacaran dengan bos Burgueno yang sekarang? Reeve, dia juga ada, menjadi wakil Burgueno. Sementara sepupumu, dia ada di Lottingtown, kapten klan Provenzano," ujarnya.
Anja terbelalak mendengar penuturan Denver. "Kamu serius, Denv? Flav ... Flav ...? Dia capo??"
Denver mengangguk.
"Kamu sering bertemu dia??"
"Tidak juga. Sesekali aku, Reeve dan dia janjian minum kopi. Itu saja."
"Aah, kok tidak ada yang mengabariku? Kok Flav tidak mencariku, dia tidak merindukanku? Dia menghindari keluarganya ya?" tanya Anja memasang mimik sedih.
"Lho ... aku tidak tahu, Nja. Mending kamu yang datangi dia. Tapi kalau kamu ingin ke rumah Flav, maaf aku tidak bisa menemani. Kalau ke rumah Burgueno boleh kutemani. Dekat dari sini, kok. Besok, mau?" tawar Denver.
Anja menghela nafas. "Nanti dulu deh, biarkan aku menenangkan diri dulu. Aku masih shock mendengar Flav ternyata sudah jadi capo," katanya. "Terus, apa, Reeve jadi sottocapo ...? Lalu Olive jadi permaisuri Burgueno?"
Denver tergelak. "Kata-kata yang bagus! Permaisuri Burgueno. Oke, nanti kusampaikan julukan baru itu pada Olive. Sudah ah, pokoknya kamu pikir-pikir dulu, Nja. Santai saja, kamu masih lama di sini, kan? Aku mau mandi dulu. Oke?" kata Denver sambil menepuk bahu Anja dan beranjak pergi.
Jessica duduk lagi di samping Anja yang masih terlihat kaget. "Kaget?"
Anja menoleh. "Ha? Ya iyalah ... Flav, a 'made man'? Dia kan sepupu yang manis, mana ada jahat-jahatnya? Ya kan, Jess?"
Jessica mendengus. "Kalau kubilang Flav itu sejak kecil juga sudah kelihatan wataknya, kamu pasti tidak percaya. Secara kamu itu saudaranya, ya pasti yang kelihatan di matamu adalah sisi baik Flav saja."
"Tidak ah ... Flav itu anak baik."
"Kalau Reeve? Kamu tidak kaget? Sudah menyangka dia memang akan jadi 'made man' juga suatu hari?"
"Reeve, aku juga kaget sih ... ahh, entahlah aku bingung! Kamu, sudah pernah ketemu Reeve dan Flav dong! Kok tidak memberitahuku, sih?"
"Ih, belum! Jangan menuduh dong. Aku saja belum pernah bertemu dengan Olive, cuma sekadar titip salam. Aku belum pernah bertemu dengan Reeve dan Flav!"
"Kok ...? Kan dekat ke rumah Burgueno?"
"Ah, untuk apa. Malas rasanya, menjejakkan kaki ke rumah seorang Don seperti itu. Mengingatkan aku pada ayahku."
Anja menatap Jessica. "Aneh kamu .... Ya sudah ah, aku mau ikut Denver ke rumah Burgueno. Tapi omong-omong, kenapa dia tampaknya tahu betul, dia kok jadi bisa sering bersama Reeve dan Flav?"
Jessica terdiam sejenak. "Pekerjaan sampingan yang kubilang tadi .... Denver itu sejak dulu punya hobi yang aneh, yaitu mengoleksi senjata. Dari koleksinya itu dia belajar sendiri, cara kerja senjata api, mekanisme dan segala macamnya, hingga bisa merakit sendiri. Dan siapa yang sangka kegiatan itu malah jadi hobi baru buat dia. Aku saja bingung, apa sih yang menyenangkan dari merakit senjata seperti itu? Tapi rupanya karyanya itu dia jual. Aku tahu, ini ilegal. Dia juga tahu. Tapi hasilnya lumayan! Dari yang modalnya tidak begitu besar, bisa dia rakit sendiri, dan dia jual dengan harga tinggi. Toh untuk apa pula dia simpan sendiri, kan? Dan memang hasil rakitan dia itu ampuh, setahuku banyak yang memesan pada Denver. Dan suatu saat, Roman, si bos Burgueno baru, menawarkan kontrak dengan Denver untuk terus suplai senjata pada klan Burgueno. Yaa, kontrak itu bernilai tinggi, kenapa tidak? Dan sampai sekaranglah, Denver berhubungan dengan Burgueno. Jadi jangan heran kalau dia bisa bertemu Olive yang jadi pacar Roman. Dan bisa bertemu dengan Reeve, wakilnya Roman. Dan bisa bertemu juga dengan Flav, yang katanya jadi dekat dengan Reeve," tuturnya panjang lebar.
Anja terdiam lama.
"Tapi ya, setelah dia ada kontrak dengan Roman, aku merasa dia jadi lebih pendiam sekarang. Dia tidak sering cerita-cerita lagi padaku, tentang pekerjaan dia. Yah, mungkin agar apa yang ada dalam keluarga Burgueno itu tidak bocor ke luar ya. Aku juga bingung sendiri, kenapa kok Denver jadi terlibat jauh begini, ya, dengan tindakan kriminal?"
"Dan kamu masih mau terus sama Denver?"
Jessica tersentak kaget. "Kamu ngomong apa sih! Ya iyalah, aku akan terus sama Denver! Tidak ada alasan kenapa aku harus meninggalkan dia!"
Sontak Anja merasa tak enak hati. "Sorry, jangan tersinggung," ujarnya.
Anja bersandar di jok kelas eksekutif dalam perjalanan pulangnya menuju Parice, dua hari kemudian. Pikirannya menerawang, teringat kejadian sebelumnya ketika ia baru mengetahui kabar terbaru dari teman-teman semasa sekolah yang selama ini menghilang dari peredaran dunia.
Flav, salah satu anggota gank semasa sekolah sekaligus sepupunya, kini rupanya sudah menjadi seorang caporegime yang mengabdi pada keluarga Provenzano di Brookine. Anja ingin sekali menemui Flav, tapi ia hanya sempat memperoleh nomor Flav dari Denver, dan berencana menghubungi Flav setibanya ia di Parice.
Reeve, anggota gank yang menghilang sejak belum genap berumur 12 tahun, kini ditengarai sudah menjadi wakil kepala keluarga Burgueno, yang biasa disebut dengan istilah sottocapo.
Sementara Olive, gadis manis anak kesayangan seorang jaksa federal yang menjadi musuh bagi tiap keluarga New Yord, kini sudah menjadi 'permaisuri' kerajaan Burgueno.
Kemarin Anja pergi bersama Denver ke rumah Burgueno, dan ia bertemu dengan Olive dan juga Reeve, yang tengah berada di situ. Sekian lamanya ia menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang dengan Olive dan Reeve. Ia mendapat kesan, Olive tidak merasa menyesal telah menyerahkan dirinya pada seorang kepala keluarga kejahatan semacam Roman Burgueno. Begitu pula dengan Reeve, yang tampak menikmati sekali posisi dan kenyamanan yang didapatkannya sebagai seorang wakil kepala keluarga kejahatan. Disaksikannya sendiri, betapa kini Reeve telah hidup dengan mapan. Di usianya yang baru mencapai 20 tahun, Reeve telah memiliki kehidupan yang sempurna. Rumah, mobil, supir dan pengawal pribadi, bisnis-bisnis bernilai jutaan dolar di seantero New Yord, Los Angels dan Las Vargas. Uang dan penghidupan yang 75% berasal dari uang kotor, namun Reeve tampak tidak mempermasalahkan hal itu.
Tentu saja, pikir Anja, siapa yang tidak berminat dengan kehidupan penuh dengan gelimang harta seperti itu, soal sah atau tidak, soal dosa atau tidak, itu masih urusan nanti.
Kalau wakilnya saja makmur seperti itu, Anja membayangkan, kekayaan Roman Burgueno sebagai kepala keluarga tentu jauh di atas Reeve. Roman yang masih muda, tampan, serta kaya secara finansial membuatnya tidak mungkin ditolak oleh setiap wanita, termasuk Olive, yang berkat keberuntungannya, telah diangkat secara resmi menjadi permaisuri kerajaan Burgueno. Hmm ....
Keuntungan yang didapat dari berbagai bisnis kotor seperti yang dilakoni para mafioso ini memang menjadi magnet bagi semua orang yang mendambakan kemakmuran finansial, dan hanya orang waras yang bisa dengan jelas melihat bahwa bisnis kotor hanya akan menghasilkan uang kotor dan karma buruk, di samping kemungkinan menghuni sel penjara. Berarti para mafioso ini orang tidak waras? Anja bertanya pada dirinya sendiri.
Bagaimana dengan Flav? Dia juga sudah menjadi mafioso! Anja menghela nafas panjang.
Yea ... well ... itu berarti dia memang sudah termasuk tidak waras. Oh Flav, apa yang membuatmu jadi seperti ini, kenapa kau berkecimpung di dunia kotor seperti itu? Sebagai mafioso yang sudah mapan dan makmur sepertinya ... tidak heran kalau dia sudah 'basah' luar dalam, sudah bisa disebut kriminal sejati. Kriminal kerah putih yang bukan tidak mungkin sulit untuk didakwa atas apa yang telah dia perbuat.
Hmmh .... Anja menarik nafas panjang.
Ia dan kawan-kawannya itu satu sekolah dan bergaul akrab semenjak mereka sama-sama duduk di kelas tiga. Pergaulan yang akrab, mereka menemukan kecocokan bergaul satu sama lain, bersenda gurau, berkelompok membentuk grup belajar bersama. Singkat kata, mereka tumbuh besar bersama dari tahun ke tahun. The gank, begitu mereka menyebut pergaulan kelompok mereka selama ini. Gank yang memiliki banyak anggota, 14 orang, penuh dengan perbedaan kepribadian dan sifat, namun pada dasarnya mereka memang sudah cocok bergaul satu sama lain sehingga perbedaan yang terkadang mereka temui itu tidak memecah persahabatan mereka.
14 - And Their Gang
Ada Flavio Maranzano, sepupu Anja, dialah yang paling tua dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Kelahiran Mei 2001, teman yang asyik dan ramai, banyak bicara namun sudah memiliki sifat sarkasme sejak kecil. Dia tiba-tiba menghilang dari peredaran dunia ketika the gank masih duduk di kelas 7. Tidak hadir di sekolah, tidak lagi terdengar kabar darinya. Dan sebagai sepupu, kabar yang didengar Anja hanyalah bahwa Flav memang pergi dari rumah sejak bertengkar hebat dengan ayahnya. Sejak saat itu dia tidak pernah terdengar lagi kabarnya.
Reeve Galante, kelahiran Agustus 2001. Dialah yang paling pertama menghilang dari peredaran dunia. Bulan Februari tahun 2013 dia tiba-tiba tidak hadir di kelas dan tidak ada kabar pada hari-hari berikutnya. Tidak ada yang pernah tahu kemana dan apa penyebab kepergian Reeve, sebab Reeve memang tidak pernah menceritakan masalah pribadi yang dialaminya. Hanya Reeve dan Flav yang menghilang, bagaimanapun Anja bersyukur, paling tidak teman-temannya yang lain tidak ikut menghilang tanpa kabar seperti Reeve dan Flav itu. Dan kini ia lebih bersyukur lagi, karena akhirnya bisa bertemu dengan dua orang yang hilang itu, karena akhirnya bisa keep in touch lagi dengan mereka, yang secepatnya akan ia beritakan pada anggota the gank yang lain, bahwa Reeve dan Flav sudah 'ketemu'.
Kemudian ada Denver Granville, pemuda yang manis dan kreatif, yang berpacaran dengan Jessica Castellano sejak kelas 9. Yang tidak pernah disangka, kini mencari nafkah dengan menjalin persahabatan dengan salah satu keluarga mafia terbesar di New Yord City. Sejauh yang Anja tahu, Denver semasa sekolah adalah sosok anteng yang tidak banyak bicara, tidak pernah banyak tingkah namun mempunyai pemikiran mendalam yang cerdas dan kreatif. Anja hanya menyayangkan, jika Denver menjadi akrab dengan Reeve dan Flav, bukan tidak mungkin Denver yang manis itu akan berubah tabiatnya. Bukan tidak mungkin bakat darah hitam yang mengalir di tubuh Reeve dan Flav akan mengalir pula dalam diri Denver.
Ada lagi Daniel Spencer. Tipe teman yang ideal, tanpa cela, mempunyai jiwa sosial yang tinggi, setia kawan dan selalu peduli pada orang lain, terutama pada teman-temannya. Menyibukkan diri dengan kuliah dan bekerja, namun masih bisa menyempatkan waktu terbang ke Parice untuk menemui pacarnya, Jeanna Mueller, yang tidak lain adalah teman masa kecil Anja pula.
Olivia Campbell, melalui masa kecil dan masa sekolah dengan sempurna, dengan keluarga dan ayah yang sangat memanjakannya. Putri sulung Ivander Campbell, jaksa federal NYC ini tak pernah hidup berkekurangan satu apa pun, namun kemudian ia jatuh cinta pada Roman Burgueno, ahli waris kerajaan Burgueno, organisasi kejahatan yang sudah sejak lama berperang dengan Ivander Campbell. Cinta itu membuatnya buta, dan meninggalkan rumah ayahnya yang nyaman demi bersatu dengan sang pujaan hati. Anja heran dengan keputusan yang diambil Olive, kenapa ia bisa cinta mati pada orang yang berperangai buruk seperti Roman. Ya, Anja tahu betapa kelebihan fisik dan penampilan Roman bisa membius wanita mana pun, kemampuan finansial pun tidak usah diragukan lagi. Namun perangai dan emosional Roman yang meledak-ledak bisa menjadi boomerang bagi siapa pun yang berada di sisinya.
Camila Castellano, gadis tomboi yang ekspresif dan lincah. Ia adalah putri sulung jaksa Wayne Castellano, yang bekerja sama dengan jaksa Ivander Campbell dalam memberantas keluarga mafia di New Yord. Dengan latar belakang yang hampir sama dengan Olivia, Camila tumbuh dalam perlindungan seorang ayah yang keras dan selalu menerapkan bahwa La Cosa Nostra, istilah mafia New Yord, hanyalah sekumpulan sampah masyarakat yang penuh dosa, tidak sepatutnya diterima dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, dan sekaligus juga tidak sepatutnya diterima bahkan oleh neraka sekalipun. Harga diri yang dijunjung tinggi oleh jaksa Wayne Castellano sebagai orang Iralia membuatnya sangat membenci La Cosa Nostra, dia tidak ingin semua orang non-Iralia menganggap semua orang Iralia mempunyai hubungan dengan organisasi keparat bernama mafia itu. Di mana itu berarti bahwa dia menabuhkan genderang perang terhadap adiknya sendiri, Maurice Castellano, yang justru menjadi seorang kepala keluarga kejahatan terorganisasi Fontana, salah satu dari lima keluarga di New Yord. Kakak beradik Castellano ini memang terbilang unik, mereka saling 'baku hantam', saling mencari kesalahan masing-masing agar bisa mengirim salah satu dari mereka membusuk di penjara, atau minimal, membusuk di liang lahat. Mereka seakan tidak ingat bahwa darah yang mengalir dalam tubuh mereka adalah sama, hanya obsesi yang menciptakan jurang perbedaan dari antara mereka. Yang satu terobsesi pada harta kekuasaan dan uang, tidak peduli pada hukum dan moralitas, sementara yang satu terobsesi menyingkirkan orang-orang jahat seperti itu.
Sementara putri dari Maurice Castellano, adalah Jessica Castellano, yang juga merupakan salah satu anggota the gank. Berbeda dengan sepupunya Camila, Jessica lebih feminin, ia merupakan gadis manis yang selalu menjaga sikap dan tutur katanya. Ia benar-benar menonjolkan sisi kewanitaannya yang lembut dan keibuan, dan tetap seperti itulah ia sekarang. Tinggal bersama dengan kekasih sejak kecilnya, Denver, dan bersamanya mengusahakan hidup yang tenteram dan bahagia. Setidaknya itulah yang diharapkan olehnya.
Alyssa Griffiths, cantik, anggun dan memesona semenjak kecil, kini sudah menjelma menjadi megamodel internasional yang disanjung dan dipuja banyak orang. Kehidupan yang terlihat sempurna, dengan kebutuhan finansial yang lebih dari cukup, kondominium mewah di tengah kota dan setumpuk kontrak yang bernilai tujuh digit dollar. Ia pun terlihat sangat menikmati pekerjaan yang ada di tangannya. Tidak pernah mengeluh dan selalu optimistis, setidaknya itulah Alyssa yang Anja kenal sejak berteman dengannya.
Kemudian ada Annette Jones dan Andrew Jones, mereka adalah sepasang saudara kembar yang akrab dan kompak. Andrew, yang sekarang berpacaran dengan adik Alyssa Griffiths, Sara Griffiths, merupakan pria outgoing yang menyenangkan. Andrew dan teman-teman gank yang lain, Richard, Lee dan Addo sama-sama memiliki ketertarikan pada dunia musik, dan mereka membentuk band ketika high school. Dan mereka terbukti berbakat dan jenius. Lagu yang mereka ciptakan menarik perhatian seorang produser musik kenamaan yang langsung merekrut mereka untuk mempatenkan band mereka dan menandatangani kontrak dengan perusahaan musik terkemuka miliknya. Jadilah mereka grup band yang punya nama, Black Blossom. Penjualan album pertama mereka tidak terlalu sukses, begitu pula dengan album kedua mereka. Mungkin merasa termotivasi, mereka menciptakan banyak lagu-lagu baru lagi yang ternyata meledak di pasaran. Album ketiga mereka pun terjual satu juta keping dalam satu minggu setelah dipasarkan. Mereka berhasil, dan berkah itu berlanjut ketika mereka mendapatkan empat grammy music awards sekaligus pada awal tahun. Kini mereka sudah tidak bisa diganggu, super sibuk dengan jadwal tur di mana-mana, dan rasanya mustahil meminta mereka untuk reuni dengan kawan-kawan lama, Anja berpendapat.
Richard Owens, gitaris dan backing vocal Black Blossom, sudah sejak dulu terlihat bakat nakalnya sebagai seorang lelaki. Dia gemar bermain perempuan, namun sepertinya saat ini bakat itu sudah tidak begitu terlihat lagi. Sempat berpacaran dengan Karsten Salisbury, anggota band Blueberry Candies yang satu label rekaman dengan Black Blossom. Setelah Blueberry Candies tidak satu dapur rekaman lagi dengan Black Blossom, mereka putus, dan kini Richard berhubungan dengan Vanessa Burgueno, adik Roman Burgueno. Tidak seperti Roman yang emosional dan durhaka, Vanessa merupakan gadis manis yang hormat dan sayang pada orang tuanya, tidak peduli orang tuanya itu adalah seorang bos mafia. Setelah kematian ayahnya, hubungan Vanessa dan Roman yang memang sudah buruk sejak awalnya, semakin bertambah buruk. Vanessa yakin Romanlah yang berada di balik kematian ayah mereka, dan Vanessa bersumpah, tidak akan pernah memaafkan Roman sampai kapanpun. Richard yang simpati pada Vanessa, jatuh cinta padanya dan mereka pun berpacaran. Richard yang termasuk golongan pembenci La Cosa Nostra, menganggap Vanessa adalah perkecualian. Meskipun ia adalah anak dari bos mafia besar, tapi sikap dan perangai Vanessa jauh dari perangai keji para mafioso lain, dan itulah yang membuatnya jatuh cinta padanya dan mendukung rencananya memberantas La Cosa Nostra.
Sang lead vocal Black Blossom, Lee Greenwald, pemuda tampan yang menjadi pujaan gadis-gadis penggemar Black Blossom, merupakan sosok yang paling kalem dari antara anggota Black Blossom, dan bahkan dari semua anggota the gank. Pembawaannya yang kalem dan tenang menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi Annette Jones, yang terbius akan pesonanya, dan Lee pun merespon gadis itu positif.
Anggota Black Blossom yang terakhir, si drummer, Addo Dalbert. Pemuda urakan yang easy going, ceria, terbuka, tapi cerewet dan cenderung childish. Dia berpacaran dengan adik Olivia Campbell, Rachel Campbell. Seperti hubungan Vanessa-Roman yang buruk, hubungan kakak beradik Rachel-Olivia pun sama buruknya. Tidak seperti Olivia yang egois dan naif, Rachel yang lebih muda dari Olivia justru lebih dewasa dan dapat berpikir jernih. Sifat Rachel yang dewasa, merupakan partner yang cocok bagi Addo yang childish.
Yang terakhir, tentu ada Anja sendiri. Anja Fohlberg, lahir dari ayah seorang Frenchye dan ibu Iralia-Frenchye membuatnya memiliki 1/4 darah Iralia dan 3/4 darah Frenchye dalam tubuhnya. Berbeda dengan sepupunya Flav Maranzano, yang memiliki darah Iralia 100% dalam tubuhnya. Ia kini tinggal di Parice, dekat dengan orangtuanya dan berkonsentrasi pada karirnya yang cukup menjanjikan. Berpacaran dan memutuskan tinggal bersama dengan sahabat semasa kecilnya, Darren Labruzzo, membuatnya sudah memiliki semua yang dibutuhkan oleh semua manusia sebagai makhluk sosial. Anja jadi teringat, ketika ia masih berumur empat tahun, ia sering main ke Frenchye, berlibur bersama Flav, Antonella adik Flav, dan bermain-main sepuasnya dengan teman-teman Frenchyenya yang menyenangkan.
Ada Pierre Mueller dan adiknya Jeanna Mueller, anak-anak dari Francois Mueller, seorang politikus Frenchye terkemuka, yang memiliki hubungan yang akrab dengan Don Burgueno saat itu, Don Alphonse Burgueno. Ada satu bisnis penting yang mengikat antara Don Alphonse dan Mueller, Mueller menjanjikan bisnis-bisnis pelelangan yang dimiliki keluarga Burgueno di Frenchye tidak akan terusik, selama Don Alphonse bisa menjadikannya Perdana Menteri. Francois Mueller pun menjadi Perdana Menteri Frenchye, akhirnya, mendukung kinerja sang presiden, Mauritio Fleiss, yang juga bersahabat dengan sang Don. Namun beberapa tahun kemudian, ketika Don Alphonse mangkat dan Roman menggantikan kedudukannya, Mueller benar-benar merasa kehilangan. Dia merasa tidak ada untungnya lagi masih menjalin persahabatan dengan keluarga Burgueno, selama orang seperti Roman masih berkuasa. Mueller sangat tidak menyukai orang seperti Roman, yang selalu bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu, tidak seperti ayahnya yang sangat bijak dan cerdas. Ada kemungkinan Mueller akan berpaling dari Burgueno, dan menjalin persahabatan lagi entah dengan Don dari klan mana. Tapi, ini semua hanya kabar burung, hanya isu belaka, tidak pernah ada yang bisa membuktikan bahwa apa yang dilakukan Francois Mueller dan Mauritio Fleiss sebagai kepala pemerintahan Frenchye itu benar adanya. Tidak peduli dengan apa yang dilakukan Francois Mueller, yang Anja tahu, Pierre dan Jeanna adalah teman-teman yang ramai dan cocok dengannya, hingga kini mereka tetap akrab dan bersahabat. Pierre, pemuda rendah hati, pengalah, sabar dan kalem yang mungkin sekalem Lee Greenwald, teman ganknya di New Yord. Setali tiga uang dengan Pierre, Jeanna pun demikian. Ia kini berpacaran dengan Daniel Spencer dan tampaknya akan berlanjut ke jenjang yang lebih serius lagi.
Ada lagi Louis Cavallo, putra semata wayang Don Salvatore Cavallo, pemimpin keluarga Provenzano, yang kini merupakan tempat Flav mengabdi. Louis, yang merupakan blasteran Iralia-Frenchye, tinggal di Parice sejak kecil bersama dengan ibunya. Walaupun sang ayah menghabiskan sebagian besar waktunya di New Yord, tapi Louis terbilang sangat jarang ke New Yord. Seumur hidup dia baru melihat patung Liberte secara langsung sebanyak lima kali. Dia sudah betah hidup berdua dengan ibunya di Parice, terpisah jauh dari ayahnya yang hanya menafkahi keluarganya dalam hal materiil saja. Yang Louis tahu, ayahnya memang tidak ingin melihat keturunannya mengikuti jejaknya sebagai mafioso, dia hanya ingin keluarganya hidup dengan damai. Dan Louis tahu, dalam beberapa tahun ke depan, ayahnya akan pensiun dari jabatannya yang tinggi itu dan berkumpul kembali dengan ibu dan dirinya di Parice. Louis yang kritis, setia kawan, namun serius dan kaku ini menemukan pujaan hatinya ketika berkenalan dengan salah satu anggota Blueberry Candies, Celine Creighton, di sebuah pesta amal yang diselenggarakan ayah Pierre.
Darren Labruzzo, pacar Anja sendiri. Seperti Louis Cavallo yang merupakan blasteran Iralia-Frenchye, begitu juga dengan Darren. Ayahnya, Don Luigi Labruzzo, merupakan pemimpin keluarga Labruzzo di New Yord. Sang Don juga berpikiran sama seperti Don Salvatore Cavallo, dia tidak ingin anaknya mengikuti jejaknya dan oleh karena itu Don Luigi Labruzzo menikahi seorang wanita Frenchye dan Darren pun lahir. Darren yang hangat, humoris dan ekspresif inilah yang menjadi tambatan hati Anja. Mereka bahkan kini hidup serumah.
Kawanan Frenchye inilah yang menjadi teman-teman Anja dan Flav tumbuh besar. Seiring berlalunya waktu, bertambah satu anggota lagi, namanya Lucas Valachi. Dia juga merupakan anak seorang mafioso, namun Lucas berdarah Iralia 100%. Ayahnya, Roscoe Valachi, merupakan consigliere terpercaya Don Roman Burgueno. Lucas yang memang berperangai kasar dan keras hati, muak melihat gelimang harta kotor di rumah ayahnya, dan Lucas pun memutuskan untuk kuliah di Frenchye, sekaligus mencari suasana baru. Dan dia pun mendapatkannya, dia mendapatkan teman-teman yang menyenangkan dan bersahabat dengan Pierre, Louis, Darren dan juga Jeanna.
Anja lagi-lagi menarik nafas. Perjalanan kembali ke Parice kali ini terasa begitu panjang baginya. Merasa bosan, ia mengambil majalah dan membolak balik halaman dengan tidak berselera. Pandangannya seketika tertuju pada artikel Blueberry Candies yang dalam artikel itu tengah berpose begitu cantik dan menggoda.
Hmm, mereka ini benar-benar cantik ... punya sex appeal yang bagus dan menjadi magnet berdaya tarik besar buat para cowok, ujar Anja dalam hati. Bagaimana caranya agar punya sex appeal seperti mereka ini ya?
Blueberry Candies, grup musik wanita yang terdiri dari tiga orang, ada Frea Shaffer, Celine Creighton dan Karsten Salisbury.
Celine, pacar Louis, adalah orang Eastland yang kalem dan bermata sendu. Ia memiliki suara yang paling tinggi dibandingkan Frea dan Karsten. Sementara Karsten, mantan pacar Richard, ia juga orang Eastland, namun ialah yang paling seksi dan paling berani menampilkan sensualitas dirinya. Tipe yang ekspresif dan ambisius, membuat para pria pecundang semakin terlihat payah dan patut merasa minder. Hanya dengan sekali melihatnya, mudah diterka bahwa wanita ini berhak mendapatkan pria terbaik dan bukan sembarang orang.
Bitch kelas atas, ujar Anja dalam hati. Saking cantik dan sensualnya mereka, hampir bisa dibilang kalau mereka tampak seperti 'bitch' ... tapi kelas eksekutif, dan untungnya mereka bisa nyanyi.
Ah, ada-ada saja, ini pasti cuma akunya saja yang iri pada mereka karena tidak bisa secantik mereka. Anja ... Anja ... harusnya kamu bersyukur, kamu sudah punya kehidupan yang menjanjikan. Karir, rumah, pacar .... Ah, Darren, kapan kamu ada rencana menikah sih, apa kamu tidak ada maksud melamarku?
Anja sibuk dengan pemikirannya sendiri hingga tak lama ia pun terlelap.
15 - Calon Putra Mahkota
Old Westbary. Kediaman keluarga Burgueno.
Roman Burgueno duduk di belakang meja kerjanya, mengangkat kaki, sementara Reeve duduk di hadapannya seraya menyesap scotch. Dia menghela nafas panjang sambil tersenyum, berkata, "Inilah yang kuinginkan sejak dulu. Duduk santai di kursi ini, mengawasi dan memberi perintah pada kalian semua. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menjadi boss besar, kan?" Mata hitamnya yang tajam melirik Reeve dan mendapati wakilnya itu tersenyum.
"You deserve it, Boss," jawab Reeve.
"Aku berhak! Tentu! Siapa yang bilang aku tidak berhak duduk di kursi Don seperti ini. Dan kau, jangan pernah terbersit di pikiranmu yang licik itu, ya, untuk menusukku dari belakang. Kau sudah menusuk mentormu sendiri dari belakang, kau berkhianat padanya. Tapi jangan pernah coba-coba untuk bermain api denganku, huh, sottocapo? Aku masih punya ribuan capo lain yang bisa kutunjuk sebagai penggantimu jika suatu saat kau bermain kotor," ujar Roman dingin sambil menatap mata Reeve dalam-dalam. Rambutnya agak gondrong dan masai, dagunya dibiarkan ditumbuhi janggut sehingga tampak kasar, dia menyukai tampilan yang berantakan seperti itu. Dan saat ini, garis wajahnya yang tegas dan tajam membuatnya tampak berbahaya.
Reeve menanggapi ultimatum terselubung Roman dengan tenang. Dia menjaga agar ekspresi wajahnya tidak berubah sedikit pun, walaupun sebenarnya dia merasa sedikit tersinggung juga dengan ucapan Roman. "Rome," katanya. "Kalau menurutmu aku selicik itu, untuk apa aku mesti merepotkan diri menyingkirkan Renato, kenapa aku tidak langsung menyerangmu? Itu karena aku respek padamu. Dan aku percaya bahwa keluarga ini bisa berjalan lebih baik dengan kau sebagai pimpinannya. Aku percaya padamu, dan kalau kau tidak percaya atau tidak ingin percaya padaku, lebih baik gantikan saja aku sekarang. Tidak masalah, semua ini demi keluarga ini, bukan? Sebab agar bisa menjalankan roda pemerintahan dengan baik, seorang pemimpin dan wakilnya ... dan penasihatnya, tentu, harus saling mempercayai satu sama lain. Jika tidak, tidak mungkin keluarga ini bisa berjalan sebagaimana mestinya."
Roman menatap Reeve lama, terdiam. "Ah. Kau anak buahku yang baik. Dengan berani membidik kepala ayahku dan menghancurkannya dalam satu langkah, dan membuatku bisa duduk di sini sekarang. Tentu, aku harus percaya padamu, dan aku percaya padamu."
"Honeeey ...!" panggil Olive yang tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam ruang kerja dan menyela percakapan Roman dan Reeve.
Roman berdecak, sedikit kesal. "Aku sudah bilang berkali-kali agar ketuk pintu dulu sebelum masuk, Olive!"
"Ah, Sayaang ... begitu saja marah. Aku kangen sama kamu, lagi ingin peluk kamu!" katanya sambil menghampiri Roman dan duduk di pangkuannya. Penuh gairah ia menyapu bibir kasar Roman dengan bibirnya sendiri dan mereka pun asyik bercumbu tanpa menghiraukan Reeve yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala tanda maklum dan lebih memilih mengalihkan pandangan. "Nggg ... Sayang, ada sesuatu yang harus aku kasih tahu kamu," kata Olive kemudian.
Roman tidak menyahut, dia malah mengecupi bibir Olive, memancing Olive agar kembali bercumbu dengannya.
"Romee ... ntar dulu!" protes Olive.
"Apa sih?"
"Ini, lihat. Hasil dari dokter." Olive menyodorkan secarik kertas berisi hasil tes laboratorium pada Roman.
"Apa ini? Dari dokter? Kamu dari dokter? Ada apa, kamu sakit?"
"Lihat saja dulu, Sayang, jangan cerewet."
Roman meneliti hasil tes itu secara cepat dan seketika dia langsung paham. "Hah, kamu hamil, Live?" tanyanya tidak percaya.
Olive, tersenyum lebar, mengangguk. "Iya. Kamu senang tidak?"
Reeve yang mendengar hal itu langsung menoleh pada Olive dan Roman.
Roman menghela nafas. "Well ... tentu, tentu."
"Kok nada suaranya begitu ...! Kamu tidak senang! Kamu tidak senang aku hamil ya, Rome ... kenapa ...?"
"Olive, Sayang, aku senang, kok. Aku hanya kaget, seumur ini sudah akan punya anak."
"Tidak apa-apa! Sah-sah saja, kok. Kenapa mesti kaget? Tapi kamu senang, kan ...?"
"Iya, Sayang, tentu aku senang. Kalau kamu senang aku ikut senang."
Olive tersenyum lebar. "Oke! Kalau begitu aku mau siapkan makan malam untuk kalian. Tunggu ya!" katanya sambil turun dari pangkuan Roman. Ia berhenti ketika Reeve tersenyum lebar padanya.
"Well, Olive, ini berita bagus! Kudoakan semoga anak kalian laki-laki, yang bisa meneruskan keluarga ini," kata Reeve, sementara Roman tersenyum mendengarnya.
"Mmmm ... Reeve ... thank you so much," sahut Olive sambil membungkuk dan memberikan kedua pipinya untuk dikecup Reeve.
Roman menghela nafas panjang ketika Olive sudah keluar dari ruangan. "Sebentar lagi dia akan jadi ibu-ibu. Huh, aku tak akan bisa memanjakannya sebagai pacar lagi," gerutunya.
"Ada sisi baik dari semua ini, Rome. Bayangkan jika kamu sudah memiliki anak laki-laki yang sehat, yang kuat, maskulin dan cerdas. Putra mahkota," sahut Reeve santai.
Roman tersenyum.
***
"Camila ...!" sapa suara di seberang line telepon.
Camila Castellano, yang hafal dengan suara wanita yang saat ini meneleponnya, langsung menyahut, "Olive?"
"Hai, dear! Apa kabar?"
"Olive! Ya ampun ... kamu itu kemana saja?"
"Ah, ada. Tidak kemana-mana kok. Ini kamu sedang ada di mana?"
"Biasa ... di rumah."
"Kamu main ke tempatku dong, Cami ... aku merindukanmu!" pinta Olive bersemangat.
"Memangnya kamu sekarang ada di mana sih ...? Kamu itu aneh ya, tiba-tiba menghilang tidak ada kabar, eh sekarang tahu-tahu nongol. Kamu di mana sekarang?"
"Ada ... nanti kuberi kamu alamat rumahku, biar kamu bisa main ke sini. Jadi kamu ada waktu kapan nih?"
"Mm ... kapan saja bisa kok. Besok saja, aku juga kangen kamu, Live. Gila, kamu jangan menghilang lagi tidak ada kabar begitu ah, seperti Reeve dan Flav saja. Harus tetap keep in touch ...!"
Terdengar Olive tertawa ringan. "Iya iyaa ... aku mengerti. Tapi by the way, kalau kamu kangen Reeve, kamu bisa dengan mudah menemuinya, kok. Penasaran tidak, Dia seperti apa sekarang? Dulu kan bukannya kamu jatuh cinta padanya?"
"He? Bisa bertemu dengannya? Memang dia ada di mana sekarang, Live? Kamu tahu dia di mana?"
Olive tergelak lagi. "Tuh kan, benar! Jadi kamu masih menyimpan rasa cinta?"
Camila tersenyum. "Ah, dasar. Itu kan cerita lama. Tapi kalau diingat-ingat, dulu memang aku ... terpesona pada Reeve. Dia manis, cute, kan. Tapi aku baru mau mendekati Reeve, dia sudah keburu hilang! Memang benar Live, kamu sudah pernah bertemu dengannya?"
"Hmm ... bukan pernah lagi, Cami. Aku setiap hari bertemu dengan Reeve. Yea ... well ... kalau menurut kamu Reeve dulu cute, memang dia cute. Dan sekarang dia makin cute lho! Makin ganteng. Sudah matang lah pokoknya. Siap petik!"
Camila tergelak. "Dasar kamu. Sungguh, dia seperti itu sekarang? Kok kamu bisa ketemu sama dia setiap hari? Ah, aku jadi penasaran!"
"Yaa ... makanya, kamu segera ke sini, ya! Nanti aku ceritakan semua yang kamu ingin tahu."
"Okee."
16 - Camila
Camila dalam perjalanan menuju rumah Olive, keesokan harinya, seraya berharap-harap cemas bisakah dirinya bertemu lagi dengan Reeve, teman satu gank yang sempat memesonanya. Ia tersenyum, teringat kenangan masa sekolah yang dihabiskannya bersama dengan teman-teman gank, dan juga Reeve. Ketika akan menginjak masa-masa puber remaja, Camila merasakan ketertarikan tersendiri terhadap Reeve. Ia yang sebelumnya hanya menganggapnya sebagai sobat, merasa ada yang lain tatkala pandangan matanya dan mata Reeve saling beradu, dan ia menyadari bahwa dirinya telah jatuh cinta pada pemuda itu. Namun apa mau dikata, ia tak bisa mendekati Reeve, lantaran pada saat itu Reeve sudah menghilang dan tak pernah terdengar kabar lagi darinya.
Camila, gadis 19 tahun yang lincah dan penuh semangat. Seorang gadis cantik yang berambut hitam ikal sepunggung. Kulitnya yang kemerahan menjadikannya tampak semakin cantik, terutama warna matanya yang cokelat tua, hampir hitam, yang tampak gelap karena dilindungi bulu mata yang tebal dan panjang. Camila Castellano, lahir dari sebuah keluarga Iralia sederhana yang menjunjung tinggi hukum dan moral, ayahnya, Wayne Castellano, merupakan seorang jaksa kenamaan yang gigih memberantas dunia kejahatan bawah tanah. Sehingga tidak heran ia dan adik laki-lakinya, Kevin, tumbuh dalam didikan seorang ayah yang tegas dan keras, yang jelas-jelas memproteksi anak-anaknya dari pengaruh dunia luar yang keras.
Camila sendiri, beranggapan bahwa ayahnya terlalu keras berusaha untuk sesuatu yang sia-sia. Ia menjalani hidupnya dengan bebas, melakukan apa pun yang ia suka, selama itu tidak melanggar hukum. Ia tahu pasti bahwa sebenarnya yang paling dikhawatirkan ayahnya itu justru adiknya, Kevin. Ayahnya sangat takut Kevin akan terjerumus dalam dunia hitam dan mencari nafkah secara tak halal melalui dunia hitam. Karena, sebagai pemuda Iralia yang mewarisi darah Castellano, bukan tidak mungkin darah hitam yang mengalir dalam diri kakek Castellano mengalir pula dalam diri Kevin, seperti yang mengalir pula dalam diri sang paman, Don Maurice Castellano.
Dalam keparanoidan sang ayah terhadap anak laki-lakinya itu, Kevin tumbuh menjadi pemuda yang terlalu dikekang. Pergaulannya dibatasi, kebebasannya pun seakan terenggut. Mungkin oleh sebab itu Kevin jadi sangat bergantung pada Camila, yang selalu berperan menjadi penghibur bagi sang adik. Camila selalu ada ketika Kevin membutuhkannya, dan mereka saling menyayangi. Yang Camila sayangkan, justru perlakuan dari sang ayah. Jika Wayne terus menerus mengekang kebebasan Kevin seperti itu, bukannya itu malah memancing sifat pemberontak Kevin? Bukan tidak mungkin Kevin nantinya akan kabur dari rumah sebelum waktunya dan malah menjerumuskan diri dalam dunia yang dilaknati oleh Wayne. Tapi Camila berharap itu tidak pernah terjadi. Setidaknya saat ini, Kevin masih ada dalam rumah bersama orang tua mereka, dan dia terlihat baik-baik saja.
Taksi yang mengantarnya menuju rumah Olive pun berhenti di depan sebuah bangunan yang dikelilingi tembok setinggi 10 meter, dan Camila dapat melihat ada banyak penjaga yang berdiri di sekeliling rumah dan di pintu-pintu masuk. Camila tidak dapat menaksir berapa luas bangunan itu, setidaknya lebih dari empat hektare.
Geez, apa ini? tanya Camila dalam hati. Sudah sebegitu suksesnyakah, Olive, sampai bisa membangun rumah berpenjagaan ketat seperti ini? Seperti menjaga rumah presiden saja.
Maka ia pun segera membayar taksi dan turun. Melangkahkan kaki menuju pintu masuk dan baru menyadari papan nama yang ada di sisi pintu masuk. Papan nama itu bertuliskan nama yang tidak asing baginya, yang ditulis dengan huruf-huruf kapital, BURGUENO.
Camila terperangah. Burgueno? Itu kan nama bos mafia yang juga dimusuhi papa dan jaksa Campbell, ayah Olive sendiri? Apa benar Olive tinggal di sini? Mustahil!
Seorang penjaga berjalan mendekati Camila yang masih terpaku, berdiri di depan pintu tanpa melakukan apa-apa. Camila terkejut ketika penjaga itu menegurnya dan menanyakan keperluannya.
"Ehh." Camila terbata. "Benarkah ini rumah Olivia Campbell?"
Penjaga itu segera menjawab, "Nyonya Olivia? Benar, ia tinggal di sini. Anda tamunya?"
"Ya, saya Camila Castellano."
Beberapa belas menit kemudian Camila sudah duduk di ruang tamu yang penuh dengan sentuhan gaya Romawi. Perapian besar di salah satu sisi ruangan, tak lupa lukisan-lukisan berukuran besar turut menghiasi ruangan itu.
"Cami," panggil seseorang.
Camila menoleh, dan mendapati Olive tengah tersenyum lebar padanya, dan yang paling menarik perhatian ialah perut Olive yang membuncit, Camila baru menyadari bahwa Olive sedang hamil. "Olive ...!" sahut Camila hangat, dan mereka pun berpelukan melepas kerinduan.
Camila melepaskan pelukan, "Olive, Olive! Ya Tuhan, kenapa kamu bisa ada di dalam istana Burgueno begini, dan kenapa kamu sudah hamil? Kamu ... kamu ... jangan katakan kamu pacaran sama Roman Burgueno, Live."
Olive menyeringai. "Dia memang pacarku! Dan ini, keturunannya," jawabnya sambil mengusap perutnya.
"Oh My ...." Camila kehilangan kata-kata. "Apa reaksi ayahmu kalau tahu kamu ada di sini, Olive?"
Olive mengangkat bahu sambil duduk di sofa. "Ah! Apa peduliku! Ini hidupku, aku tinggal bersama dan bahagia dengan orang yang kucintai, kenapa tidak boleh?"
"Tapi ...." Camila duduk di samping Olive.
"Ah, dasar kamu, kita sama-sama anak jaksa sih. Aku tahu persis apa yang ada di dalam pikiranmu itu, Cami. Tapi sudahlah! Jangan rusak suasana reuni kita ini dengan pembicaraan itu, please."
Camila menghela nafas, lalu tersenyum. "Oke, aku turut senang kalau kamu senang, Live. Bagaimana, bayimu cowok atau cewek? Sudah berapa bulan sih?"
"Jalan enam, dan ini, tentu saja ini Roman Junior," jawab Olive tersenyum lebar.
"Waaah ... sebentar lagi dong! Well, sebenarnya bagaimana ceritanya sih, kamu bisa pacaran dengan Roman?"
Olive tersenyum, tidak menjawab. "Bagaimana kalau ... kamu kupertemukan dengan Reeve. Katanya kangen?"
"Oh, dia ada di sini sekarang?"
"Ya iyalah, setiap hari juga di sini. Dia kan wakilnya Roman, harus stand by terus dong."
Camila terdiam. "Wakil ... Roman? Ma-maksudmu ... Reeve itu ...?"
Olive tersenyum penuh arti. "Menurutmu?"
"Olive?" panggil seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang tamu dan menyela percakapan Olive dan Camila.
Dan Camila, pada saat itulah melihat seorang pemuda yang sangat tampan dan berpenampilan necis, tinggi, tidak terlalu kurus tapi juga tidak gemuk, berambut hitam model bob, dan ada sebentuk luka memanjang di pipi kanannya. Wajah pemuda itu langsung dengan mudah dikenalinya sebagai Reeve Galante. Pemuda itu pun terpana melihat Camila. "... Reeve ...?" panggilnya tidak yakin.
Pemuda itu, Reeve, tersenyum dan membalas sapaan Camila. "Cami. Apa kabar?"
Camila bangkit berdiri dan mendekati Reeve untuk memeluknya, melepaskan rasa kangen. "Reeve! Ya ampuun. Kamu kemana saja ...? The gank kehilangan kamu banget, tahu??"
Reeve membalas pelukan Camila dengan hangat. "Cami, lama tidak bertemu. Coba lihat, sudah secantik apa kamu sekarang," katanya sambil melepaskan pelukan dan meneliti wajah cantik Camila yang saat ini bersemu merah. Reeve berdecak. "Benar-benar cantik. Kamu membuatku jatuh hati, Cami."
"Huu, dasar perayu," sahut Olive mengganggu reuni pribadi Reeve dan Camila.
Dan dalam beberapa jenak mereka bertiga pun larut dalam obrolan penuh kangen, mengingat kenangan-kenangan masa lalu yang mereka alami bersama. Terlihat dengan jelas Camila benar-benar memerhatikan Reeve, teman semasa sekolah, yang kini telah menjadi pria yang begitu memesona dirinya. Pun dengan Reeve yang tertarik akan Camila. Walaupun Camila tidak begitu sesuai dengan tipe wanita yang selama ini diinginkan Reeve, namun entah kenapa, Reeve tidak bisa membohongi perasaannya kalau dia sangat tertarik dan menginginkan wanita bertubuh semampai itu.
"Naah, jadi, giliranmu sekarang cerita, Reeve, kenapa kamu bisa ada di Burgueno, apa kamu sengaja melamar di keluarga ini? Lihat, kita sering barengan tapi hal yang satu ini tidak pernah kamu ceritakan padaku," tanya Olive sekaligus merajuk.
Reeve tersenyum. "Kenapa harus cerita? Itu bukan cerita yang baik. Tidak pantas diceritakan."
"Kenapa tidak, Reeve? Habis kamu menghilang sih ... jadi kan wajar kalau aku dan Olive ingin tahu, kenapa kamu bisa sampai di sini. Alasan kamu menghilang juga kita tidak tahu," sambung Camila.
Lagi-lagi Reeve tersenyum, tapi kali ini senyuman jahil. "Perhatian sekali. Apa itu artinya aku punya harapan yang cukup besar untuk mendekatimu?"
Camila mengangkat alis. "Yaa ... tidak ada yang melarang juga sih. Tidak masalah," jawabnya santai, sementara Olive cuma mesam-mesem menyaksikan tingkah kedua temannya.
Reeve mengangguk. "Well, itu bagus. Nah, karena kalian ingin tahu kenapa aku bisa ada di sini ... well, aku tahu, maksud kalian tentu, kenapa aku bisa jadi seperti sekarang ini, bukan? Yaah, aku sudah akrab dengan dunia ini sejak kabur dari rumah. Itu saja. Untuk bertahan hidup itu adalah sebuah persoalan menang atau kalah. Aku ingin terus hidup, banyak yang ingin kulakukan di dunia ini, jadi aku terus berusaha untuk selalu menang, apa pun caranya. Dan inilah yang kudapat. Persoalan apakah yang kumakan itu uang kotor atau bersih, what the fuck, apa itu bisa membuat seseorang mati? Tidak sama sekali. Toh manusia yang makan uang bersih juga mengeluarkan kotoran yang bahkan lebih menjijikkan daripada uang-uang kotor yang mereka permasalahkan itu. Tidak ada bedanya, kan, mau makan dari uang bersih atau kotor? Dan tidak masalah, aku puas dengan keadaanku ini. Ya setidaknya untuk sekarang ini."
Baru kali itu, seingat Olive, Reeve berbicara panjang lebar. Menyatakan pandangannya terhadap dunia, dari kacamata seorang Reeve Galante. Olive terdiam mendengar penuturan Reeve, sementara Camila terpesona menyadari betapa tegar dan kerasnya Reeve menghadapi kehidupannya. Kehidupan yang sangat keras, tak ada kata ampunan bagi seorang pecundang. Bagi Reeve kemenangan adalah mutlak, jika ingin terus hidup di dunia ini.
"Lalu, alasanmu kabur dari rumah, Reeve?" tanya Olive.
Reeve tertawa sinis. "Orang tuaku gila. Mereka sama-sama main gila, berselingkuh tepat di depan hidungku, anak mereka sendiri yang baru mau menginjak remaja. Mereka cerai, dan aku menolak memilih harus ikut dengan siapa. Dan aku melarikan diri. Itu saja. Tidak ada alasan lain. Dalam pikiran seorang Reeve kecil yang masih 11 tahun, perbuatan bejat mereka itu begitu melukaiku."
17 - Cassanovas
"Camila?"
"Reeve!" sahut suara di seberang line telepon. "Hey, Reeve, ada apa?"
Reeve tersenyum menyadari suara Camila yang dipenuhi antusiasme. "Semangat sekali menjawab teleponku, rupanya aku boleh berharap banyak jika suatu saat mengajakmu kencan ya?"
"Ah, dasar cassanova, sorry ya, rayuanmu tidak ampuh untukku."
"Oh ya? Masa sih? Bukannya setahuku, dulu tuh kamu sempat menyimpan rasa terhadapku ya? Apa perasaan itu tidak datang lagi setelah kita bertemu kembali?"
Lama tak terdengar jawaban dari seberang. Reeve langsung bisa menyimpulkan Camila pasti terkejut atas apa yang baru saja dia katakan. Reeve berkata lagi, "Ayolah, aku memang tahu, kok. Kamu itu cewek ekspresif, aku bisa dengan mudah membaca apa yang tersirat dari matamu. Dan itu alasanku terpesona padamu. Bukankah kamu juga terpesona padaku, sewaktu kita bertemu lagi tempo hari?"
"Reeve, kamu itu ya ...."
"Bukankah begitu?" potong Reeve tanpa menunggu Camila selesai bicara.
Camila terdiam sejenak. Lalu katanya, "Kalaupun aku masih menyimpan rasa padamu, Reeve, aku juga harus berpikir ribuan kali untuk berhubungan denganmu! Kamu sendiri kan tahu siapa aku, dan siapa kamu .... Maksudku, bukan gimana-gimana, tapi kalau aku berhubungan denganmu, sama saja aku mengkhianati ayahku sendiri!"
"Hmmm .... daddy's girl ... kamu pasti anak kesayangan papa kamu."
"Reeve, aku serius!"
"Begini, anak baik, namamu siapa?"
"Apaan, sih?"
"Jawab saja, siapa namamu?"
"Ya tentu Camila Castellano!"
"Oke, Camila Castellano, berapa umurmu sekarang?"
Camila terdengar mendesah kesal. "Tentu saja 19 tahun! Apa sih maksudmu?"
"Dan umur 19 tahun adalah umur dewasa, bukan? Kamu setuju tidak, kalau aku bilang umur 16 tahun ke atas sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri? Tidak tergantung lagi pada orang tua."
Tidak terdengar jawaban dari Camila. Ia mendesah lagi. "Oke, aku tahu maksudmu apa. Tapi beliau ayahku sendiri, masa aku berhubungan dengan orang yang seharusnya dijebloskan ayahku ke dalam penjara! Itu tidak mungkin!"
Reeve mengangkat alis. "Ya kalau begitu katakan pada ayahmu supaya aku tidak masuk dalam targetnya," katanya sambil tertawa ringan mendengar kelakarnya sendiri.
"Oh, Reeve ... kamu tidak mengerti juga."
Reeve menghela nafas panjang. "Begini, Camila sayang. Cara pandang dan sikapmu yang seperti ini justru membuatku berpikir bahwa kamu menunggu ayahmu memilihkan jodoh yang tepat untukmu. Siapa yang tahu siapa calon yang dipilihkan ayahmu untuk kamu, mungkinkah dia gendut, chubby, jauh dari kata maskulin, penakut dan tidak bisa memuaskanmu. Dan kamu sama sekali tidak suka sama dia. Apa kamu mau seperti itu, Cami, kembali ke zaman purbakala seperti itu? Kamu punya kemauan, kehendakmu sendiri, dan yang terpenting kamu punya kebebasan! Kebebasan untuk memilih dengan siapa kamu mau berkencan. Singkat kata, kencanilah sebanyak mungkin pria yang kamu suka, sebelum jam biologismu berdetak dan menuntutmu untuk berkembang biak." Reeve tergelak. "Serius, aku tidak bercanda."
"Reeve ... tapi ...."
"Sekarang jujur saja deh, aku menginginkanmu, Cami. Aku ingin lebih dari sekedar teman denganmu. Aku ingin memilikimu. Aku pun yakin kamu punya keinginan yang sama sepertiku, tapi ternyata tidak semudah itu. Dan sekarang, keputusan ada di tanganmu. Kalau kamu memang ingin membahagiakan orang tuamu, tapi kamu kehilangan secret admirer junior high schoolmu ini ... oke, aku akan menjauh. Aku juga tidak mau memancing ayahmu untuk menyeretku ke balik jeruji. Tapi kalau kamu memutuskan untuk menuruti keinginan dan kebebasan masa mudamu, well, aku ada di sini."
Camila terdiam, tidak tahu harus berkata apa. "Kamu tidak tahu seperti apa aku dulu, Reeve. Saat masih didera gejolak masa remaja. Aku sangat menginginkanmu, tapi kamu kemana? Kamu hilang dari hadapanku begitu saja, tidak ada kabar .... Kamu bisa bayangkan seperti apa perasaanku? Sekarang, kamu tiba-tiba muncul di hadapanku, menyatakan diri available untukku, tapi dalam keadaan yang membuatku dilema! Aku bingung harus bagaimana ...."
"Oke, bagaimana kalau kita sudahi percakapan yang membingungkan ini. Kamu bingung, aku juga bingung." Reeve menghela nafas. "Tapi bagaimana kalau akhir pekan ini kita jalan? Tidak dalam status apa-apa, ini cuma sekedar hangout biasa antar teman. Hal seperti itu bukan masalah untukmu, kan?"
Terdengar Camila menarik nafas panjang, "Oke ... aku setuju."
Reeve tersenyum. "Thanks, Cantik." Reeve baru mau bangkit berdiri ketika didengarnya pintu diketuk, dan suara yang sangat dikenalnya menyapanya dari luar.
"Reeve?"
"Masuk saja, Reeve!" sahutnya, dan seketika masuklah kembaran Reeve, yakni klonnya. Klon yang selama ini jarang dia bawa keluar untuk dipublikasikan, karena Reeve menganggap keadaan belum cukup aman, duo jaksa musuh abadi Burgueno masih menjaga jalanan dengan ketat, mereka mengerahkan seluruh pasukannya untuk berjaga 24 jam sehari.
Klon Reeve langsung duduk mengangkat kaki di depan Reeve, sikap dan gayanya persis 100% dengan Reeve asli. "Ada hal penting," katanya singkat.
"Apa?" jawab Reeve tak acuh.
"Don Salvatore Cavallo dan Don Luigi Labruzzo, mereka sudah off. Sudah keluar dari bisnis. Rupanya mereka sudah menyadari bahwa mereka sudah terlalu tua untuk mengurusi bisnis di New Yord ini."
"A-ha. Aku sudah dengar rencana mereka pensiun. Tak kusangka secepat ini. Lalu? Don Labruzzo berikutnya? Si 'Mata Satu' Castillo?"
"Yap." Klon Reeve menyulut rokok dengan pemantik sambil mengangguk.
"Don Provenzano? Oh, shit, jangan katakan orang itu si Flav!"
Klon Reeve tertawa mengejek. Dihembuskannya asap rokok perlahan. "Tadinya kupikir begitu. Tapi tidak, Salvatore Cavallo menunjuk wakilnya, Antonio Garafallo, untuk meneruskan kepemimpinannya. Surprised, huh, Garafallo justru lebih tua dan lebih kolot dari Cavallo, tapi Cavallo justru memilihnya. Mungkin dia saking tidak punya kandidat lain."
Reeve terbengong sejenak. "Aneh, katanya Cavallo sudah menganggap Flav seperti anak sendiri?"
"Well, jangan tolol, Reeve. Kau sendiri tahu seperti apa karakter Flav. Sebelas dua belas seperti Roman. Dan Cavallo, dia tua dan kolot, tapi pintar. Dia mengerti Flav tidak mungkin bisa memegang tampuk kepemimpinan dengan karakter brutal seperti itu."
Reeve mengangkat alis. Dia menyandarkan punggungnya sambil tersenyum membayangkan ekspresi wajah Flav menghadapi kenyataan itu. "Hmm ... bisa kubayangkan, tentu Flav tengah mengamuk sekarang."
"Sedang apa kau tadi?"
"Urusan pribadi."
"Pribadimu, pribadiku."
Reeve merasa gusar seketika. "Ah, taik, apa semua yang kulakukan harus kuceritakan juga padamu?? Kalau aku sedang mengerjai cewek, juga harus kulaporkan padamu, begitu? Berharap saja kau!"
"Well, tidak masalah, kau tidak mau cerita padaku, aku sendiri juga jengah sih mendengar cerita anehmu. Tapi rasanya dulu pernah ada yang mengatakan padaku agar kita masing-masing saling mengetahui apa yang sedang dikerjakan. Agar tidak ricuh dan rancu ... whatever, kau sendiri yang menerapkan peraturan itu," balas Klon Reeve.
"Ya ya ya." Reeve mengalah. "Aku sedang mendekati Camila, temen gank kita dulu. Kau ingat dia?"
"Camila?"
"Yea, Camila. Anak jaksa Castellano."
Klon Reeve tersenyum mengejek. "Kau main api rupanya."
"Hmm, entah kenapa kuyakin Camila tidak seperti ayahnya yang kolot itu. Aku yakin bisa menaklukkannya. Dan Camila, man, ia sangat cantik sekarang. Kau mau lihat fotonya?" Reeve mencari foto Camila di ponselnya dan menunjukkannya pada klon. "There you go."
Klon Reeve mengamati foto Camila yang sedang berpose bersama Reeve dan Olive, dan dia pun tampaknya terpesona dengan kecantikan Camila. "Ooh," komentarnya singkat.
"Bagaimana pendapatmu, Camila cantik kan?"
"Ya, sangat. Tapi tumben kau berniat mengerjai tipe seperti Camila, biasanya yang kau incar kan tipe seronok," kelakar klon.
Reeve melengos. "Daripada mengurusiku, lebih baik beri aku kabar baik lainnya. Bagaimana dengan pengintaian kita terhadap ayah Olive? Orang kita sudah menemukan bukti baru? Memang, Olive hanya bisa memberikan clue bahwa Ivander sering berada di Brookine, tapi kurasa satu clue itu saja sudah cukup untuk ditindaklanjuti. Bukan begitu, Reeve?"
Lagi-lagi Klon Reeve tersenyum penuh percaya diri. "Bukti yang kita butuhkan sudah ada di tangan, tinggal kita kirimkan pada mereka," jawabnya.
"Benarkah?? Great!" Reeve tidak bisa menahan senyum puasnya. "Apa yang kau dapat?"
"Semua. Foto-foto orang itu keluar dari rumah gundiknya, checked. Anak buah Flav setia mengintai di sana. Foto orang itu berlibur dengan gundik? Checked. Orang dari Fontana yang mengirimkan itu pada kita. Kau butuh apa lagi? Foto mereka sedang lunch bersama di suatu tempat? Checked. Orang itu terbukti lengah selama ini, banyak sekali yang bisa kita dapatkan," jawab Klon Reeve, senyum percaya diri menghiasi wajahnya.
"Good job," puji Reeve. "Roscoe bakal sumringah mendengar ini ... apalagi Roman."
Klon Reeve mengangguk setuju. "Akhirnya salah satu tugas kita berkurang. Mungkin kau ingin sekalian menyelidiki partner Ivander, Wayne Castellano, makanya kau mendekati Camila?"
"Hmm." Reeve bergumam. "Kalau memang ada clue skandal mengenai Wayne itu ... kenapa tidak? Kita lihat nanti. Yang jelas, saat ini riwayat Ivander sudah tamat."
"Benar," sahut Klon Reeve. "Do you want me to take care of it? Aku tanyakan mengenai Wayne pada Camila."
"No need to rush."
"You need to. Kalau bisa membunuh dua nyamuk dalam sekali tepuk, kenapa tidak?"
Reeve mengangguk singkat. "Kau benar," sahutnya. Sesaat dia sibuk dengan ponselnya, lalu berkata, "Sudah kukirim nomor Camila padamu. Tanyakan yang penting-penting saja, tapi jangan terlalu kentara kau sedang mencari tahu. Aku sedang berusaha mendapatkan Cami, you know. Juga jangan malah melenceng kemana-mana. Aku tidak mau kau malah mengambil hatinya."
"Sure thing."
Klon Reeve tidak membuang waktu. Dia segera menghubungi Camila lewat panggilan video.
"Halo ...." Panggilan video terhubung, menampilkan sebentuk wajah manis yang terlihat bingung.
"Hai, Camila. Senang bertemu denganmu," sapa Klon Reeve sambil tersenyum hangat.
"Reeve?"
Klon Reeve mengangguk. "Yeah. Aku klonnya, tepatnya. Thanks kamu bersedia menjawab panggilanku."
"Klon ... aduh, sumpah, aku kaget begitu tahu kalau Reeve punya klon. Waktu kamu kirim pesan memperkenalkan diri kamu, aku pikir Reeve sendiri yang kirim pesan, aku pikir dia sedang mengerjaiku."
"Reeve tidak akan berbuat seiseng itu padamu, Cami," jawab Klon Reeve.
"Sumpah, kamu mirip banget sama Reeve," ujar Camila, ia tidak menyembunyikan ekspresi kagum yang nyata menguar dari wajahnya.
"Tentu. Kalau tidak mirip, tidak akan disebut kloning, kan?"
"Kamu nggak ada bedanya dari Reeve!"
"Ada," jawab Klon Reeve cepat. "Reeve mempertahankan luka codet panjang di pipinya, sementara aku tidak. Wajahku mulus," katanya seraya terkekeh.
Camila terdiam sesaat, memerhatikan wajah Klon Reeve. Ia semakin takjub saat menyadari bahwa memang yang tengah berbicara dengannya tidak memiliki luka di wajah. "Benar! Kamu nggak punya codet!"
"Aku yakin kamu nggak akan merekam pembicaraan kita ini dan malah mengunjukkannya pada ayahmu, bukan begitu?" Klon Reeve menyunggingkan senyum percaya diri. "Demi persahabatan kita sejak masih sekolah."
Camila membalas senyum Klon Reeve, menggeleng. "Aku bukan tipe usil yang senang melaporkan segala sesuatu," katanya.
"Sudah kuduga. Makanya aku tidak ragu berkenalan denganmu."
"You should be," sahut Camila, tertawa ringan.
Suara tawa yang renyah dan keindahan paras Camila saat tertawa membuat sesuatu dalam diri Klon Reeve berdesir.
"Aku tuh seneng banget ketemu teman lama, nggak peduli dia seorang klon atau bukan. Kan kamu sebenarnya adalah Reeve sendiri! Reeve jadi ada dua, wah, aku kagum, lho!" Camila berujar antusias.
Klon Reeve semakin terbius pesona Camila.
"Jadi, ada keperluan apa, Reeve? Baru tadi aku ngobrol sama Reeve," kata Camila.
"Reeve yang asli hanya fokus merebut hatimu, bisa dibilang begitu. Dia lupa bahwa dia tetap harus menyesuaikan segala sesuatunya," sahut Klon Reeve. "Singkat kata, anggap saja aku sekretaris pribadi Reeve. Aku wajib mencocokkan jadwal Reeve bertemu denganmu, dengan jadwal ayahmu agar tidak malah bentrok, dan berakhir tidak baik."
"Ahh." Camila cepat menyadari maksud lawan bicaranya. "Tentu kamu melindungi Reeve."
"Kami saling menjaga."
"Gimana kalau ternyata aku punya maksud licik, dan malah menyerahkan Reeve pada papaku?"
Klon Reeve lagi-lagi tersenyum penuh keyakinan. "Aku dan Reeve memiliki keyakinan tersendiri bahwa kamu tidak berada di pihak ayahmu. Kamu ragu dan dilema untuk dekat dengan Reeve murni karena kamu takut akan pandangan orang lain, yang mungkin akan menilaimu tidak memandang ayahmu sendiri. Bisa dibilang, kadar kedekatan kamu dan Wayne ... yea ... paling tidak, hanya berkisar 20%. Apakah mendekati?"
Camila melongo takjub. "Kok kamu ... kok kalian tahu?"
"Kita kenal sejak kecil."
"Kalian tahu aku banget."
"Tidak ada untungnya kamu mengumpankan kami pada ayahmu. Terlebih, sosok Reeve spesial buatmu, kan?"
Camila tidak menjawab.
"Jadi, Camila, apa kira-kira ayahmu akan berada di sekitar Kafe Marlon di Jalan Weasley hari Sabtu atau Minggu nanti?"
"Uhm." Camila tampak berpikir sejenak. "Papaku nggak pernah kemana-mana tiap akhir pekan, hanya di rumah. Kecuali sedang ada kasus urgent yang nggak bisa ditunda."
Klon Reeve mendapat satu kesimpulan. "Suami yang baik, ya."
"Benar, orang tuaku masih rukun, meski nggak mesra-mesra banget. Tapi hubungan mereka terlihat hangat selama ini."
"Apakah mereka berdua rutin mengobrol berdua saja?"
"Iya. Tiap hari. Kalau akhir pekan, papa dan mama biasanya sibuk berkebun di pagi hari. Siang harinya bersantai, makan siang bareng. Dilanjutkan dinner berdua saja di luar. Itu yang aku saksikan, sih. Papaku manis, kan? Aku juga ingin memiliki suami yang seperti papaku itu kelak." Camila tersenyum-senyum sendiri.
"Nice." Klon Reeve menyahut sekenanya. Kepalanya sedikit pening menyadari Wayne merupakan suami yang setia dan berdedikasi, tidak pernah keluyuran di waktu senggang. Bagaimana mencari kekurangan satu orang Iralia itu?
"Aku tahu papaku seperti apa. Aku kagum padanya. Tapi juga aku menyimpan kekesalan tersendiri ... yang bikin aku males dekat sama dia. Tapi meski aku males, dia tetap papaku, dia adalah orang yang nggak boleh aku khianati," ujar Camila berharap lawan bicaranya segera menangkap apa maksudnya.
Klon Reeve tersenyum. "Sayangnya, ayahmu itu sudah menjadi milik ibumu. Bukankah ini saatnya kamu mencari pria yang mampu memberimu cinta seperti yang kamu dambakan, yang manis seperti ayahmu?"
"Ummm."
"Reeve Galante adalah pria yang cocok untukmu," ujar Klon Reeve seraya mengedipkan sebelah mata.
Tawa Camila lepas membahana. "Sudah aku duga! Pasti ujung-ujungnya bakal promosiin diri! Kamuu bisaan aja deh, Reeve!"
Klon Reeve tersenyum menanggapi Camila. Wanita yang lovable itu benar-benar sesuai dengan kriteria yang diimpikannya. Tapi pembicaraan mereka sore hari itu tidak sepatutnya berlangsung terlalu lama, Klon Reeve harus segera menyudahi. "It's nice chating with you, sweetheart. Apa aku boleh telepon lagi kapan-kapan?" tanyanya.
"Anytime!"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
