
Tidak ada yang menyangka bahwa dua pembalap Formula 1 terkenal yang saling bersaing di sirkuit adalah sepasang saudara kembar. Isaac, si good guy, jelas menyambut Ferris / Fez dengan hangat dan terbuka. Sementara Fez, dipertanyakan.
Ada indikasi bahwa Fez menyesali pertemuannya kembali dengan keluarga biologisnya, terutama dengan Isaac. Apalagi saat Fez tiba-tiba kehilangan kedua kakinya. Dia lumpuh, tidak berdaya, terpaksa gantung helm alias pensiun dini sebagai pembalap. Sementara Isaac yang dia...
16 – Rivalku Kembaranku
Dan kami berempat pun menunggu dengan gelisah di sofa di ruang tunggu rumah sakit beberapa waktu kemudian. Masing-masing terdiam, hening dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk.
Jika benar ... Fez itu saudaraku, lalu apa? Apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kuperbuat untuknya? Dia tentu sakit hati pada James dan Evelyn, lalu apa yang bisa kulakukan sebagai saudaranya? Aku menengadah, dan mendapati Fez berdiri bersandar pada dinding, tak jauh dari kami, sedang melamun. Wajahnya pucat sedari tadi.
Dokter yang menangani tes DNA aku dan Fez pun muncul untuk menyampaikan kabar. Kami berempat segera mengerubungi dokter itu dan meminta jawaban dari hasil tes.
Begitu dokter tersebut mengatakan bahwa DNA kami memiliki kecocokan satu sama lain, tangis Evelyn meledak. Tangis yang terdengar lega dan juga bahagia. James menangis tak bersuara, sementara Fez berdiri terpaku dan terdiam. Dia tetap terdiam ketika orang tuaku - orang tuanya - memeluknya dan meminta maaf padanya.
Fez memejamkan mata kuat-kuat. Evelyn menciuminya penuh rasa rindu dan masih mengucapkan kata maaf, namun Fez masih tetap diam bergeming. Tidak membalas pelukan Evelyn, ibunya sendiri. Fez membuka mata, ketika ditanya, “.... Lalu orang tua angkatmu ... apakah mereka selalu memperhatikanmu ...? Mereka mengurusmu dengan baik, kan?”
Fez terlihat memaksakan diri tersenyum, lalu mengangguk. Dia membuang muka, seperti berusaha menghindari kontak mata dengan Evelyn. Ketika pandangan mata kami bertemu, dia melepaskan pelukan lalu berjalan menghampiriku, orang yang mulai saat itu harus dia terima sebagai saudara kembarnya.
Kini kami berdiri berhadap-hadapan, saling menatap satu sama lain, namun tak terlontar satu patah kata pun dari mulut kami. Kubuka tanganku lebar-lebar dan kami pun berpelukan.
Ya Tuhan, inilah saudara yang selama ini aku angan-angankan! Aku yang selama masa anak-anak dan remaja kerap membayangkan punya seorang kakak ... kini terkabul? Punya seorang kakak kembar, yang ternyata adalah salah seorang rivalku sendiri di sirkuit! Orang yang kukagumi prestasinya dan menjadi panutanku ... ternyata memiliki hubungan darah yang begitu kental denganku! Inikah, saudara yang memang seharusnya kumiliki sejak dulu? Begitu nyata, ada di hadapanku dan bisa kupeluk. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang bisa melukiskan betapa senangnya dan beruntungnya aku bisa kembali bertemu dengan satu-satunya saudaraku, orang yang dikandung bersama-sama denganku. Orang yang menjadi rivalku di sirkuit ... dan juga orang yang menjadi inspirator dan panutanku selama ini. Thank God.
Tapi bagaimana denganmu, Fez? Apakah kau sakit hati dengan James dan Evelyn? Apakah kau pun sakit hati denganku? Apa yang kau rasakan setelah bertemu kembali dengan kami, keluarga biologismu?
Aku melepaskan pelukan seraya tersenyum, mengambil jarak untuk memandangi Fez dan berusaha mencari apa yang dirasakannya lewat sinar matanya. Tapi dia balas tersenyum dan menyapa, "Hai, Ike."
***
Beberapa saat kemudian, kami semua bersama-sama mengunjungi orang tua angkat Fez, yang tinggal di kawasan elit Highgate.
Gale Rutherford dan Phedra Rutherford, istrinya, adalah sepasang suami istri low profile. Mereka ramah dan bersikap hangat ketika menyambut kami di rumahnya. Namun wajah ramah itu memudar ketika Fez memperkenalkan kami bertiga sebagai keluarga kandungnya.
Gale dan Phedra terlihat shock. Mereka seperti kehilangan kata-kata, dan hanya mampu memandangi wajah James dan Evelyn dengan ekspresi kaget dan bingung. Sementara Fez terlihat gugup dan gelisah.
Well, aku maklum, Fez, kau selama ini adalah anak tunggal Rutherford, anak kesayangan semata wayang. Belum pernah sekalipun dalam hidupmu, orang tua kandungmu datang mengunjungimu dan menemui orang tua angkatmu, kan?
James mencoba mencairkan suasana yang tegang, “Mungkin Anda berdua kaget, kenapa kami tiba-tiba datang menemui Anda berdua, Gale, Phedra. Tapi kedatangan kami ke sini dengan maksud baik, kami hanya ingin berkenalan dengan Anda berdua, dan jika memungkinkan alangkah baiknya bila kita menjalin hubungan erat selayaknya famili sendiri. Karena bagaimanapun, Anda berdualah yang telah berjasa merawat dan mendidik Ferris sampai dia dewasa.” James menarik nafas panjang. “Kami sungguh berhutang budi pada Anda berdua," lanjutnya.
“Well, James,” sahut Gale. “Maafkan, saya hanya merasa bingung, bagaimana ceritanya Anda bisa bertemu dengan Ferris? Sejak kapan kalian saling mengenal?”
Fez menyahut, “Mereka penasaran karena wajahku mirip dengan Isaac, Pa, Ma. Ya singkat kata, mereka menemukanku. Kami baru berkenalan hari ini.”
“Wah, ini benar-benar mengejutkan ...,” komentar Gale.
Such an awkward moment. Huh.
“Ada alasan kenapa semua ini terjadi. Tapi buatku, yang paling penting adalah bagaimana agar orang lain tidak perlu mengetahui hal ini. Jadikanlah ini rahasia, hanya antara kita berenam saja yang tahu. Karena kurasa, kalau sampai hal ini bocor ke luar ... wartawan pasti akan mulai mengejar-ngejar kita, mengorek informasi sebanyak mungkin dari kita. Apa pun bisa mereka jadikan berita besar kok! Apalagi hal semacam ini. Hal yang aku rasa hampir tidak pernah terjadi di dunia balap Formula 1. Bayangkan, seandainya berita mengenai keluarga kita ini menjadi headline media cetak .... Ferris Rutherford dan Isaac Renauld, ternyata saudara kembar yang terpisahkan! Kemiripan wajah mereka akhirnya terungkap! Bla bla bla bla ... mereka pasti mengulas habis apa dan bagaimana penyebab kenapa semua hal itu bisa terjadi. Aku hanya membayangkan, hal itu akan berdampak cukup buruk .... Apalagi Papa Gale dan Mama Phedra sekarang sudah tidak muda lagi, kalian tidak ingin merasakan ganasnya pers kalau sedang mencari berita kan? Dan lagi pula, kurasa ini privacy, kita tidak akan membiarkan orang luar mengetahui semua hal tentang keluarga kita kan? Bagaimana menurut pendapat kalian?” tutur Fez panjang lebar.
Tepat, Fez. Aku juga tidak ingin selalu dikejar pers. “Aku setuju. Kita rahasiakan hal ini.”
Orang tuaku, dan juga Gale dan Phedra, juga mengangguk-angguk setuju.
“Baiklah, kita semua setuju bahwa hal ini lebih baik dirahasiakan,” kata Gale. “Tapi ... rupanya memang benar berita itu. Isaac, kamu memang sangat mirip dengan Ferris. Di foto-fotomu tidak terlalu terlihat jelas kemiripan kalian, tapi setelah bertemu muka secara langsung sekarang ini, saya benar-benar terpukau menyadari bahwa ... kalian berdua memang mirip satu sama lain!”
Aku melempar senyum. “Kalau begitu, jika Anda bersedia, Anda berdua bisa menganggap saya seperti anak sendiri. Saya sendiri sangat senang, karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan Ferris, plus bisa mendapat sepasang orang tua lagi. Tidakkah keluarga kita terberkati? Kita menjadi keluarga besar, lho.”
Gale membalas senyumku dengan simpatik. “Oh ya, Ferris, Isaac, bolehkah saya berbicara dengan James dan Evelyn? Ada beberapa hal yang kalian tidak perlu tahu ... Jadi ....”
Fez melengos sambil bangkit berdiri. “Ayo, Ike. Kuantar kau keliling rumah.”
Kuikuti Fez, walaupun dalam hati aku merasa penasaran apa yang hendak dibicarakan oleh orang tua kami.
Fez mengantarku berkeliling rumahnya. Rumah yang nyaman dan bagus, syukurlah Fez dibesarkan di keluarga yang mapan, dan rendah hati seperti Gale dan Phedra. Seandainya saja ... dulu Fez diadopsi keluarga yang kurang harmonis, entah seperti apa nasibmu dulu.
Kupandangi Fez yang sedari tadi tidak banyak bicara. Ekspresi wajah yang datar, sungguh aku ingin tahu apa yang ada di benaknya. Coba kuajak bicara dia. “Kau tidak terlihat kaget begitu papa mama bilang kau adalah anak mereka.”
“Kata siapa? Aku kaget.”
“Bukan, maksudku, apa kau sudah tahu sebelumnya bahwa kau bukan anak kandung orang tuamu yang sekarang, begitu? Karena kalau kau belum tahu, kurasa kau pasti bakal lebih shock lagi .... Cuma pendapatku aja sih.”
Fez terdiam sejenak. “Aku memang sudah tahu kalau aku bukanlah anak kandung Rutherford. Sudah lama kutahu.”
“Jadi ....”
“Dulu, waktu masih kelas 8. Aku penasaran setengah mati kenapa golongan darahku beda dari Gale dan Phedra. Kutanyakan hal itu berkali-kali pada mereka, dan akhirnya ya seperti yang bisa kau tebak. Mereka akhirnya dengan berat hati memberitahuku kalau aku sebenarnya anak adopsi. Siapa orang tua kandungku, di mana mereka, seperti apa mereka, masih hidup atau tidak, tidak kupikirkan lagi karena toh aku merasa sangat berkecukupan dengan kasih sayang Gale dan Phedra.”
Walaupun aku merasa miris padamu Fez, setidaknya aku bersyukur karena orang tua angkatmu sangat baik padamu.
“Kau sendiri, Ike? Sudah lama tahu, kalau kau punya kembaran?”
Aku tertawa sumbang. “Aku malah baru tahu semalam. Baru semalam James dan Evelyn memberitahuku soal itu. Jadi kau tidak usah heran kenapa tadi siang aku bersikap dingin pada mereka. Kau bayangkan saja, gila ya! Sudah berapa puluh tahun, kenapa baru sekarang mereka mengakui hal itu padaku! Kenapa tidak dari dulu mereka menemukanmu, Fez! Aku bukan main terkejut begitu tahu.”
“Yah, mungkin berat menceritakannya. Tidak seberat waktu melepasku.” Fez tersenyum masam.
“Kau pasti sakit hati.”
Fez tertawa. “Aku cuma belum terbiasa. Plus masih shock juga. Semula kupikir kemiripan kita tuh cuma kebetulan belaka, Ike. Mana pernah kepikiran kalau kau ternyata saudaraku. Saudara kembar lagi.”
“Aku juga kaget, Fez. Tapi aku senang mengetahui kau ternyata kakakku.”
“Kau tanya alasan kenapa mereka tidak memberitahumu sejak dulu kalau kau punya kembaran?”
Kutatap Fez, lalu aku menggeleng. “Kuyakin bukan jawaban yang masuk akal. Seperti alasan mereka melepasmu .... Tidak masuk akal.”
Fez menghela nafas. “Yah, seandainya aku tidak dilepas, aku mungkin tidak akan bertemu dengan Gale dan Phedra. Mereka orang tua yang baik. Mereka adopsi aku karena katanya, aku mirip dengan anak mereka yang sudah lama meninggal. Jadi mereka memberiku nama sama seperti anak mereka itu. Ferris.”
“Oh, jadi mereka punya anak kandung?”
“Ya. Mati muda karena kecelakaan, umurnya baru 24 tahun.”
“Kasihan. Semoga dia beristirahat dalam damai.”
“Pasca meninggalnya anak mereka, mereka pengen punya anak lagi, tapi sayangnya mama Phedra sudah divonis tidak bisa lagi punya anak, karena dulu pernah keguguran. Jadi ... mereka memutuskan mengasuh anak, dan akulah anak yang beruntung itu.”
“Lalu setelah kau bertemu denganku, dan papa mama, apa rencanamu?”
Fez mengangkat bahu. “Yang sudah pasti sih, aku akan membuatmu semakin tertinggal jauh di belakang, dan makan asapku,” katanya sambil menyeringai lebar.
Aku tergelak, kutinju bahunya. “Haha, coba saja kalau bisa!”
“Bisalah! Paling baru berapa putaran mobilmu juga meleduk. Seperti biasa.”
“Oke, kau bisa tindas aku selama aku masih di Purvance. Tapi ....” Aku menyeringai. “Tapi tidak untuk tahun depan. Tolong rahasiakan, oke, aku sudah teken kontrak dengan Glauber mulai tahun depan.”
Mata Fez terbelalak. Dia menatapku dengan pandangan tidak percaya. “Kau direkrut Glauber?”
“Yap.”
“Maksudmu, kau jadi third driver?”
“Oh bukan, aku mengisi posisi setelah Fabio Ortolani, apa kau sangka aku masih harus jadi third driver? Kau kan tahu sendiri tahun ini tahun terakhir untuk Alvarez.”
“Ehm. Oke. Well. Congrats. Aku baru dengar soal ini. Hari yang penuh kejutan.”
Aku tersenyum. "Ini peluang terbaik untukku. Aku tahu kemampuanku, dan kurasa aku pantas mendapatkannya. Kau bergabung dengan tim sekelas Forrier, sementara aku Glauber. Dua tim yang sama-sama kuat! Dan kuharap kita bisa bersaing secara sehat. Bukankah menyenangkan jika kita bisa berdiri di podium bersama-sama, Fez?"
"Ya, ya tentu saja menyenangkan," sahut Fez. "Asalkan aku selalu di podium 1, sementara kau, cukup podium 3 saja," katanya lagi seraya menyeringai lebar.
"Hahahahaha! Kau ini! Kita lihat nanti!" balasku.
17 – Iri
Fez menarik nafas lega saat mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Akhirnya dia bisa sendirian kali ini. Seharian menghabiskan waktu bersama dengan ketiga orang itu benar-benar menguras energinya. Yang sangat mengganggu pikirannya adalah kenyataan bahwa Isaac telah direkrut oleh Glauber, tim mobil saingan terberat Forrier. Tentu saja dia terganggu akan hal itu. Selama ini Fez kerap memandang enteng Isaac di lintasan balap, karena dia tahu, tim Llinos Purvance bukanlah saingan yang patut diperhitungkan. Namun meskipun begitu, Fez sepertinya juga sudah menyadari kemampuan balap Isaac yang mungkin saja setara dengannya. Kini, dengan kondisi Isaac akan membalap bersama Glauber mulai tahun depan, bisa diterka Isaac akan segera menjadi pembalap papan atas yang tidak bisa Fez anggap enteng.
Sialan, kenapa Glauber bisa-bisanya tertarik padanya??! Apa Glauber sudah hilang akal sehatnya?! rutuk Fez dalam hati. Dia meninju dinding di sebelahnya dengan tangan terkepal. Brengsek! Dia itu beruntung sekali rupanya, ya?! rutuknya lagi penuh kesal dan amarah.
Fez kini benar-benar dipenuhi oleh amarah. Amarah karena mengetahui karir Isaac yang tentunya akan lebih cerah setelah direkrut oleh tim mobil paling bergengsi di dunia, marah karena rasa irinya pada Isaac yang menurutnya sangat beruntung karena dilirik oleh tim mobil sekelas Glauber, juga marah karena Isaac tidak pernah merasakan menjadi dirinya, tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya mengetahui kenyataan bahwa dirinya pernah ‘dibuang’ oleh orang tua kandung di panti asuhan!
Suara hatinya menegur dengan halus, Apa kau tidak terlalu membesar-besarkan hal ini? Persaingan itu hal yang biasa, dan kenapa kau jadi orang yang sirikan seperti itu? Isaac itu saudaramu, saudara kembarmu, malah! Apa tidak ada sedikit rasa rindu karena selama ini kau tidak pernah bertemu dengan mereka?
Dan Fez terdiam, memikirkan bisikan yang halus itu. Apakah aku terlalu berlebihan? ujarnya dalam hati.
***
“Hee ... kusangka kau ditelan bumi, Bro. Kemana saja?” sapa Royce lewat telepon, ketika ditelepon Fez sore itu.
“Maaf aku tidak segera memberi kabar, padahal sebelumnya aku sudah berjanji akan segera mengabarimu, setelah bertemu orang tuanya Isaac. Kurasa otakku sedang kacau. Aku bahkan tidak ingat ini hari apa."
“Ini hari Minggu, Dude. Kurasa kau terlalu banyak meracuni otakmu dengan pornografi, jadi kau linglung begitu." Royce terbahak.
"Haha. Ya mungkin juga, salah satu faktor."
"Tumben, kau lagi waras?"
“Tidak. Kurasa aku malah semakin gila. Oh ya. Sekali lagi maaf Royce, aku bahkan tidak sempat menonton pertandinganmu kemarin. Jadi bagaimana hasilnya?”
Royce tersenyum. “Yea ... well ....”
“Dari suaramu, pasti hasil kemarin bagus! Ya kan? Congrats, Bro! Sudah kuduga kau pasti menang, Berapa-berapa skornya?”
“Hhm, 2-0.”
“Cool! Brandt bener-bener solid! Invincible! Kalian lolos ke final Liga Champions sekarang, aku benar-benar yakin Brandt bisa menang nanti di final!”
“Tim terbaiklah yang akan menang nanti, tapi kuamini kata-katamu tadi. Jadi, bagaimana?”
“Ha?”
“Ada kabar apa darimu?”
“Oh. Sebuah kejutan besar untukku.”
“Maksudmu?”
“Kejutan karena ... akhirnya aku bertemu dengan orang-orang yang telah membuatku ada di dunia ini.”
“Maksudmu ....”
“Hm ... yah, aku dan mereka rupanya masih berjodoh.”
“Jadi ... Isaac itu, benar dia saudaramu?”
Fez tersenyum hambar. “Adik kembar, tepatnya. Misteri kemiripan wajahku dan Isaac terjawab juga. Rupanya dia adik kembarku sendiri."
Royce diam tidak menjawab.
"Selama ini kupikir ulang tahunku setiap Oktober. Begitu aku bertemu dengan orang tua kandungku, jadi jelas semuanya. Haha." Fez tertawa sumbang. "Aku lahir tahun 1993, tanggal 14 November. Berarti kita cuma beda beberapa bulan Royce, jadi kau jangan bersikap sok tua lagi padaku.”
“Oh, Christ. Fez, bagaimana ceritanya? Kenapa kau bisa terpisah dari orang tua kandungmu sendiri??”
Fez terdiam. “Huh, cerita yang memalukan! Kuceritakan nanti saja, ya. Tidak nyaman bercerita lewat telepon seperti ini.”
“Oke. Kuharap kau tabah, Bro.”
***
Mei 2017.
Sirkuit Indianarolls, Amerida. Satu setengah jam sebelum Grand Prix seri keenam dimulai.
Fez yang pada sesi kualifikasi hari sebelumnya menempati pole position, kini sudah berada motorhome, melakukan technical briefing dengan tim. Dia yang biasanya selalu berambisi dan bersemangat sebelum race, kini menjadi lebih pendiam dan memasang wajah suntuk. Teman-teman timnya tidak ada satu pun yang mengetahui alasan perubahan sikap Fez yang tidak biasanya itu. Namun mereka percaya, Fez adalah seorang pembalap profesional yang tidak akan membiarkan perubahan moodnya dan kehidupan pribadinya turut mempengaruhi penampilan dan kualitasnya dalam race tingkat dunia kali itu.
Tidak ada yang tahu, bahwa saat itu sebenarnya Fez terus saja teringat mengenai Isaac yang sudah menerima dan teken kontrak dengan Glauber mulai musim 2018 mendatang. Betapa ceria Isaac saat menceritakan hal itu, dia berharap bisa bersaing dengan sehat dengan saudaranya sendiri. Itu menyenangkan, menurutnya. Bahkan kalau bisa, mereka selalu naik podium bersama-sama. Dan Fez menanggapinya dengan senyum dan antusiasme yang dibuat-buat, sekedar untuk menyenangkan hati Isaac. Tidak ada yang tahu betapa hal ini sangat mengganggu pikiran Fez.
***
Dan mereka pun bertemu ketika parade pembalap dimulai. Isaac mendekati Fez dan melempar senyum. "Hai, Fez," sapanya.
Fez balas tersenyum, dengan berbagai macam emosi yang bercampur aduk dengan perasaan iri. "Hei."
"Sudah siap? Hari ini cerah, tidak ada kemungkinan akan turun hujan. Dan kau bisa mengawali race hari ini dari posisi pole. Jangan sia-siakan kemenangan yang sudah di depan mata," ujar Isaac.
Fez tersenyum tipis. "Pasti."
"Kenapa kau, tumben tidak semangat seperti itu?"
"Kata siapa tidak semangat, mungkin perasaanmu saja. Oh ya, berapa tahun kau dikontrak Glauber?"
"Tiga tahun."
"Well, congrats, then. Kita bakal jadi rival berat, rupanya," ujar Fez seraya memaksakan diri tersenyum lebar, berupaya terlihat antusias dan positif.
Isaac membalas senyum Fez. "Thanks."
"Tapi mana gaungnya? Biasanya berita seperti ini langsung menjadi berita besar. Pers belum tahu?"
Isaac menggeleng. "Pers belum waktunya tahu. Nanti. Bahkan teman-teman pembalap yang lain juga belum tahu. Baru kau saja yang tahu."
Fez mengerutkan kening heran, namun memilih diam tak berkomentar.
***
Isaac tengah menaiki tangga di motorhome seusai parade pembalap, hendak melakukan pertemuan terakhir dengan tim dan para mekanik sebelum race dimulai. Namun ketika dia tiba di lantai dua, dia melihat seorang gadis berjalan sempoyongan dan terhuyung hampir jatuh, tidak jauh darinya. Refleks dia merentangkan tangan dan menahan tubuh gadis itu sebelum sempat ambruk ke lantai, "Nona!" serunya. "Nona, Anda tidak apa-apa?" tanyanya concern seraya menegakkan tubuh gadis itu.
Gadis itu tersenyum. "Tidak apa-apa, kok. Cuma sedikit pusing," jawabnya. Gadis itu adalah seorang gadis cantik berusia sekitar 15 tahun yang tadi sempat bertemu dan berfoto dengan Isaac ketika Isaac melakukan kunjungan paddock club. Nama gadis itu Camila Castellano. Gadis muda yang sangat menawan hati. Berparas begitu cantik dan berambut hitam legam, membuat siapa pun yang memandangnya tak akan mampu melepaskan pandangan daripadanya. Begitu pula Isaac, yang terpesona akan kecantikan gadis remaja yang saat ini berada dalam dekapannya itu.
Dan Isaac pun teringat bahwa dia pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya, yakni pada saat dia melakukan kunjungan paddock club siang tadi. "Lho, kamu kan yang tadi di paddock club? Kamu tidak apa-apa? Tentu kamu pusing karena temperatur di sini. Ayo, lebih baik kamu istirahat dulu," tawarnya ramah.
Camila tersenyum. "Trims ya Ike, kamu sudah menolong dan mengkhawatirkan aku. Tapi aku tidak apa-apa, kok. Setelah melihat kamu, pusing aku hilang ...," ujarnya seraya menatap mata cokelat Isaac.
Isaac terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Siapa namamu tadi?"
"Camila. Camila Castellano."
"Camila, nama yang manis," puji Isaac.
"Thanks." Camila tersenyum manis.
"Kamu sendirian, di sini? Mana temanmu yang tadi?"
"Tidak usah pikirkan dia." Camila memandangi Isaac dengan pandangan penuh pesona. "Demi Tuhan ...," ujarnya.
"Lho, ada apa?"
"Kamu benar-benar makhluk Tuhan yang tercipta paling sempurna, Ike! Kamu tahu berapa banyak cewek-cewek di luar sana yang memuja kamu, terpesona akan kamu?"
Isaac tergelak. Tawanya begitu renyah. "Kamu naif, tidak ada manusia yang sempurna!"
"Aku tak peduli. Buatku, kamu sempurna. Aku tergila-gila sama kamu. Beneran! Rela deh diapain aja sama idola setampan kamu ...."
Sejenak Isaac terpukau menyadari keberanian gadis remaja itu. "Camila, Camila! Dengar, Sayang, kamu masih terlalu muda. Jalan hidupmu masih panjang, banyak hal yang bisa kamu lakukan ketimbang tergila-gila dengan orang yang tidak pantas untuk kamu."
Camila mengangkat alis. "Kenapa tidak pantas! Dan kenapa mempermasalahkan umur?"
"Karena jalan hidupmu masih panjang, dan, aku yakin sekali, di luar sana ada seseorang yang jauh lebih pantas untuk melindungi kamu ketimbang orang seperti aku. Kamu sangat cantik, Cami. Dan hanya pria yang berkualitas terbaik yang pantas memiliki kamu," ujar Isaac seraya mengusap lembut pipi Camila.
"Bukankah pria berkualitas terbaik itu ada di hadapanku, sekarang?"
Isaac tersenyum. "Sayang, kamu hanya terpesona akan keindahan fisik semata. Yang paling banyak berperan dalam suatu hubungan tidak lain adalah kasih sayang yang murni, yang tidak melihat fisik semata."
"Kupikir itu cuma teori belaka. Dalam kehidupan nyata, cowok-cowok hanya melihat fisik! Mereka tidur dengan cewek-cewek yang mereka anggap menarik, lalu setelah itu baru melakukan penjajakan! Kalau cocok, terus ... kalau tidak cocok, mereka pergi begitu saja. Apalagi bagi yang sudah dewasa, selingkuh, one night stand atau semacamnya bisa terjadi karena manusia zaman sekarang ini hanya melihat fisik, kan?"
Isaac terdiam memandangi Camila. "Argumen yang hebat."
"Benar, kan!"
"Tapi jika aku adalah salah seorang dari tipe cowok semacam itu, kamu tidak perlu bersusah payah berdebat denganku di sini. Cami, aku menghormati wanita, aku menghormati kaum kamu dan aku menghormati kamu juga. Aku tidak mau menyakiti dan menodai kamu dengan hubungan yang hanya didasarkan pada ketertarikan seksual ...." Isaac tampak terkejut mendengar perkataannya sendiri. Wajahnya agak tersipu, lalu tersenyum. “Well, aku jadi malu sendiri kenapa membicarakan hal yang sensitif."
"Apa aku tak cukup menarik untuk kamu, ya?"
"Cami, sudah kukatakan, kamu cantik dan menarik. Tapi bukan aku yang pantas memiliki kamu."
"Seharusnya kamu tidak mengatakan hal itu. Bukankah kita tidak pernah tahu siapa jodoh kita, sampai kita menemukannya? Siapa tahu?"
Isaac menjawab Camila dengan secercah senyum. "Jodoh yang diperuntukkan bagimu bukan aku, Cami. Aku tidak berhak melakukan itu."
Camila mulai kehilangan kata-kata untuk merayu Isaac. "Isaac ...."
"Hey, ayolah! Saat ini aku sudah ditunggu kru dan tim mekanik untuk meeting, agar performa kami lebih optimal pada saat race nanti. Sebagai pendukungku, kamu tidak ingin aku mendapat hasil buruk, kan?" tegur Isaac.
Camila merengut, merasa kesal dan gemas. "Oke, oke! Aku tidak akan ganggu kamu lagi. Susah sekali ya, merayu kamu!" ujarnya. Ia terdiam sejenak seraya memandangi Isaac. "Kamu sangat menggemaskan," katanya lagi seraya berjinjit dan mengecup kedua pipi Isaac dengan gemas.
Sementara yang dikecup terdiam tidak menyangka, tapi juga tidak menolak. Dia tersenyum pada Camila. "Aku tidak akan pernah lupa dengan fans yang 'bandel' seperti kamu. Gadis yang cerdas, nekat, dan pemberani,” ujarnya.
Camila menyeringai.
"Semoga kamu tidak pernah bosan mendukung aku. Bye, Cami," pamit Isaac.
"Bye bye! Sukses ya, Ike!"
Dan Isaac meninggalkan Camila sambil menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum. Tidak bisa disangkalnya dia menikmati pertemuan kocaknya dengan fans yang 'bandel' seperti Camila itu, dan tidak bisa disangkalnya pula dia menikmati kecupan gratis yang diterimanya. Diam-diam dia berharap kecupan itu merupakan pertanda bagus yang membuatnya bisa meraup poin dalam race yang akan dimulai sebentar lagi.
18 – Keberuntungan Dalam Kesialan
Dua menit menjelang pertandingan dimulai. Semua pembalap sudah berada di dalam kokpit mobil masing-masing, bersiap menghadapi race keenam musim itu. Fez yang sedari tadi terdiam dan melamun, masih teringat akan kejadian yang membuatnya panas dan iri hati pada adiknya sendiri. Fez mengakui diri bahwa dia tidak bisa menerima kenyataan mengetahui Isaac akan segera bergabung dengan tim Glauber, tim Formula 1 yang paling kuat dan solid, musuh terbesar tim GT Forrier. Dia bagai terbangun dari tidur ketika menyadari race akan segera dimulai, dan segera memusatkan pikiran pada race yang akan segera dijalaninya. Dia bersiap dan melajukan mobilnya perlahan ketika lampu merah sudah padam, sementara mobil-mobil lainnya mengikuti di belakangnya. Parade lap, mereka mengitari sirkuit terlebih dulu sebagai pemanasan sebelum race yang sebenarnya dimulai.
Selama pemanasan, Fez berupaya melupakan segala kemarahan-kemarahan dan masalah-masalah yang ditanggungnya barang sejenak, agar dirinya dapat berkonsentrasi penuh pada race. Dia tidak ingin dan tidak akan pernah menodai penampilannya yang cemerlang di dunia balap jet darat itu dengan adanya masalah-masalah pribadi yang terus mengganggunya.
Fez tiba di starting grid pertama kali. Mobil-mobil di belakangnya pun tiba dan mereka segera menempati posisi start masing-masing. Fez memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dilakukannya itu berulang kali hingga dia merasa lebih tenang dan siap untuk berkonsentrasi penuh pada race dan mengerahkan segala daya upayanya untuk meraih hasil terbaik.
Lampu merah padam, dan race pun dimulai. Fez segera melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, dia tidak membiarkan siapa pun merebut posisi pertamanya pada race kali itu. Dan dia berhasil. Tapi tidak hanya sampai di situ saja. Dia harus bisa mempertahankan posisi terdepannya, hingga akhir race. Maka dia melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal, berusaha membuat jarak yang jauh dengan ‘penguntit-penguntit’nya di belakang, agar mereka kesulitan mendekatinya dan bahkan mendahuluinya.
Saingan terberatnya, Alvarez, berada tepat di belakangnya sejak awal lomba. Namun hingga saat itu Alvarez belum berhasil menyalip Fez, pembalap muda berbakat yang menjadi saingan terberatnya sejak tahun lalu.
Hingga pertengahan lomba, Fez tetap terdepan. Dia sudah masuk pit sekali, dan dia tetap bisa mempertahankan posisinya. Menurutnya hal itu sangat bagus, mengingat Alvarez terus berada di belakangnya dan sebetulnya mempunyai cukup peluang untuk merebut posisi terdepan pada saat Fez masuk pit.
Fez merasa, sepertinya pada race kali itu dewi fortuna kembali berpihak padanya. Dia merasa senang dan bangga, walaupun sebenarnya dia belum berhak untuk merasa bangga, karena race belum selesai.
Dan benar saja. Pada lap ke-32, tiba-tiba mesin mobil Fez meleduk dan mengeluarkan asap tebal. Praktis Fez tidak bisa lagi melanjutkan lomba. Dengan perasaan kacau Fez keluar dari kokpit dan berjalan menuju paddock, tempat timnya menunggu.
Dia marah dan kesal, tentu saja. Dia sudah berharap terlalu banyak pada dewi fortuna yang dikiranya akan menaunginya hingga race usai. Namun pada kenyataannya dewi fortuna meninggalkannya dan membiarkan mesin mobilnya meleduk!
Fez melihat mobil Isaac melewatinya, dan keadaan hatinya menjadi semakin buruk. Dia teringat bahwa mulai musim depan, Isaac akan menjadi pembalap utama Glauber, menggantikan posisi Alvarez saingan terberatnya kini. Dia tidak mau menerima kenyataan bahwa saudaranya sendiri memiliki keberuntungan yang lebih besar dalam karir.
Dan dia semakin merasa kesal dan marah. Fez melepas helm serta penutup kepalanya, dan tampaklah seraut wajah yang ditekuk penuh amarah dan kekesalan yang menjadi-jadi. Teman-teman timnya menyambut kedatangannya di paddock namun Fez tidak mengacuhkan mereka, dia segera berlalu dan menyelinap ke ruang ganti. Di sana dia membanting helmnya keras-keras dan melontarkan segala macam sumpah serapah dan kata-kata kotor dari mulutnya.
Setelah puas menyumpahserapahi segala hal yang membuatnya kesal, dia merasa sedikit lebih lega. Terasa sedikit penyesalan di hatinya karena terlalu terbawa emosi, yang dia tahu dia tidak boleh melakukannya.
Fez berdiam diri beberapa jenak guna menetralkan emosinya, lalu dia keluar menuju pit wall, hendak mengikuti jalannya race secara lebih intensif bersama sang bos dan para perancang strategi tim. Saat ini, Alvarez turun posisi ke posisi dua setelah sempat melakukan sedikit kesalahan di tikungan pertama, dan rekan setim Fez, Shawn Renan mempergunakan kesempatan emas itu untuk menyalip Alvarez dan hingga kini Renan memimpin lomba. Setelah Fez retire, konsentrasi tertuju penuh pada Renan dan semua anggota tim ingin mengusahakan yang terbaik agar Renan dapat mempertahankan posisinya hingga akhir race.
Setelah memberikan informasi tentang apa yang terjadi pada mobilnya tadi pada sang bos, Gerhard Brautovich, dan memberikan sepatah dua patah kata pada pers yang mencegatnya di motorhome, Fez memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di sekitar motorhome. Berusaha menghibur dirinya sendiri dengan melepaskan diri sejenak dari pekerjaan yang ada di tangannya. Dia mengurungkan niat untuk mengikuti jalannya race di pit wall; bukannya dia tidak peduli, dia percaya pada kemampuan Renan dan dia percaya Renan akan dapat mempertahankan posisinya hingga akhir race. Dia hanya sedang merasa sedikit jenuh dan suntuk memerhatikan mobil-mobil yang berseliweran di depan hidungnya sementara seharusnya dia juga masih berkutat dalam pertarungan hari itu, jika saja mesin mobilnya tidak meleduk!
Maka dia berjalan-jalan santai sejenak, memerhatikan orang-orang yang ada di sekitar paddock club timnya. Seketika dia melihat seorang gadis cantik yang tengah memerhatikan dirinya. Seorang gadis berkulit kemerahan dan berambut sebahu hitam legam.
Gadis itu, Camila, memang tengah memerhatikan Fez. Ia tidak begitu bersemangat menonton jalannya race karena Isaac masih terjebak di posisi kesepuluh. Merasa bahwa jagoannya itu tidak bisa meraih hasil yang lebih bagus lagi, ia memutuskan untuk menghilangkan kejenuhan dengan berjalan-jalan di sekitar paddock club. Tak disangkanya ia kini melihat Ferris Rutherford, pembalap yang berwajah sangat mirip dengan Isaac; pembalap GT Forrier yang prestasinya lebih mentereng dibanding Isaac. Dipenuhi rasa penasaran mengapa Ferris dan Isaac berwajah mirip, ia memerhatikan Ferris. Berusaha mencari-cari letak perbedaan fisik yang ada pada diri Ferris dan pada Isaac yang ia puja. Tidak menemukan yang dicarinya, ia hanya menemukan kenyataan bahwa Ferris dan Isaac benar-benar mirip, bagaikan sepasang kembar identik. Hanya tinggi badan, serta facial hair saja yang membedakan. Dan Camila tersenyum.
Fez yang tampaknya terpesona akan kecantikan gadis remaja itu, mendekati Camila dan menyapanya. "Hai," sapanya ramah.
Camila tersenyum manis. "Hai. Kamu pasti Ferris Rutherford, senang berkenalan denganmu. Namaku Camila Castellano," katanya seraya mengulurkan tangan.
Fez menyambut uluran tangan Camila dengan hangat. "Camila? Nama yang manis, senang berkenalan denganmu."
"Wah! Senangnya hari ini, aku bertemu dua pembalap ganteng yang sama-sama memuji namaku," kata Camila riang.
Fez tersenyum. "Oh ya?"
"Ya! Tadi Isaac juga memuji namaku."
Fez mengangkat alis. "Isaac? Well, kurasa kamu salah satu pengagum Isaac, ya?"
Camila tertawa ringan. "Tentu! Siapa sih yang tidak terpesona pada Isaac ...?"
Fez tersenyum tipis. "Aku tidak. Karena aku laki-laki," katanya, disambut gelak Camila.
"Oh iya ya!"
"By the way, kenapa kamu ada di sini? Tidak menonton?"
"Ah, aku bosan. Dan panas, pula. Lebih baik jalan-jalan ke sini. Kamu sendiri, kenapa ada di sini?"
Fez tersenyum. "Sedang menenangkan pikiran, mendapat kejadian mesin meleduk setelah memimpin 30 lap bukan hal yang menyenangkan, bukan?"
"I see," sahut Camila. Wajahnya berubah murung seakan turut merasakan kekecewaan Fez.
"Keberatan, jika aku memintamu menemaniku sebentar, Camila?" tawar Fez.
Camila tersenyum. "Tentu tidak! Dengan senang hati. Kapan lagi ada kesempatan bisa menemani pembalap ganteng seperti kamu ...?"
"Kamu gadis yang ekspresif, aku senang dengan cewek seperti kamu."
"Thank you!"
"Sopankah kalau aku menanyakan umurmu? Kamu sepertinya masih muda sekali."
"15 tahun," jawab Camila cepat. "Memang kenapa?"
Fez mengangguk. "Oh, benar dugaanku. Kamu masih remaja. Masih muda, dan sangat cantik."
Camila tersipu. "Thanks ...."
"Dan kamu tahu? Aku terpesona sama kamu. Sungguh, keelokan parasmu membuatku tidak bisa memalingkan wajah daripadamu. Apa kamu ini model, atau semacamnya?"
Camila tertawa. "Aku hanya gadis biasa. Aku bukan model atau aktris."
"Sayang sekali, padahal kupikir kamu cocok menjadi model."
"Akh, aku tidak punya bakat melenggak lenggok di atas catwalk atau berakting. Aku tidak suka seperti itu."
Fez mengangguk. "I see. Apa kamu sendirian, ke sini?"
"Tidak. Aku bersama sepupuku, Jessica. Ia yang membuat akses masuk paddock club dan motorhome Purvance jadi sangat mudah."
"Oh ya?"
"Ya! Pemilik Purvance merupakan salah satu anak buah ayah Jessica. Jadi kami bebas keluar masuk motorhome Purvance."
Fez terdiam sejenak. "I got it. Sepertinya pamanmu itu orang yang berkuasa, ya. Orang penting di Amerida. Apa kamu berasal dari New Yord?"
Camila tersenyum. "Ya. Memang. Dan memang pamanku orang yang berkuasa, tapi itu tidak penting untuk dibanggakanlah, walaupun berkatnya aku jadi bisa bebas keluar masuk tempat yang tidak semua orang bisa kunjungi. Aku lebih bangga pada ayahku sendiri."
Fez balas tersenyum. "Ah, aku semakin yakin, siapa gadis manis yang ada di hadapanku sekarang ini."
"He? Memang kamu tahu siapa ayahku?"
"Kenapa mesti tidak tahu, Cami? Aku tertarik dengan kasus ayah dan pamanmu itu. Dua orang Castellano yang saling mencari-cari kesalahan agar bisa menjatuhkan satu dan yang lainnya. Aku benar, kan?"
Camila tersenyum. "Tepat."
"Lalu? Mana sepupumu itu?"
"Dia ada di dalam. Asyik menonton sendirian. Biar sajalah, aku sedang kesal dengannya. Dia terlalu percaya diri dan selalu sesumbar bahwa Isaac akan jadi miliknya. Padahal kenal sama Isaac saja tidak."
"Kalian sama-sama mengidolakan Isaac Renauld? Kenapa tidak mendukung pembalap lainnya, seperti aku, begitu? Apa prestasiku kurang menarik buat kalian para gadis?"
Camila menggeleng. "Bukan begitu. Kamu hebat, Fez. Kamu sebenarnya lebih jago ketimbang Isaac, aku tahu itu, mobilmu juga excellent. Dan kalian berdua mirip, tapi ...."
"Tapi?"
"Tapi ... bukankah kamu itu senang bermain cewek ya?"
Fez terbahak. "Cami, Cami! Kamu terlalu banyak membaca infotainment atau semacamnya. Aku tidak seperti yang mereka tulis, Sayang. Mereka terlalu jauh berkreasi dengan pikirannya hingga bisa menciptakan berita-berita miring tentang aku."
"Jadi, semua itu bohong?"
Fez menatap Camila tepat di mata. "Aku pria baik-baik yang simpatik. Aku selalu memperlakukan wanita dengan penuh cinta. Aku tidak pernah dengan sengaja menyakiti hati mereka. Kamu, lebih percaya aku, atau lebih percaya pada kata-kata pers?" tanyanya seraya mengusap pipi Camila dengan lembut.
Dan, seperti yang memang menjadi kelebihan Fez dalam memesona banyak wanita, Camila terbius oleh kata-kata manis Fez dan tatapan matanya ....
19 – Man of the Match
"Kau punya fans yang sangat manis ya, Ike," kata Fez pada Isaac via telepon, malam itu.
"He?"
"Camila. Katanya tadi siang kalian ketemu di paddock club?"
"Camila? Tahu dari mana kau, kau berkenalan dengannya? Kapan?"
"Ya tadi siang lah. Kau pikir apa yang kulakukan pasca dnf ( *dnf = did not finished* )? Stuck, tidak melakukan apa-apa di motorhome? Untuk apa, lebih baik aku jalan-jalan. Lalu aku bertemu dengan yang namanya Camila itu. Manis, ya."
Terdengar gelak Isaac. "Dasar kau, cepat sekali reaksimu kalau melihat ada cewek manis menganggur sendirian. Terus? Kau sudah menjadikan dia sebagai pendukungmu, bukan pendukungku lagi?"
"Wah, kurang tahu ya, sekarang dia lebih mendukungku atau mendukungmu. Tapi yang jelas, dia itu cewek yang sangat manis, masih muda dan masih polos. Belum pernah tersentuh siapa pun."
Isaac terkejut. "Heh, kau tidak berbuat macam-macam dengan cewek itu, kan?"
Giliran Fez yang tergelak. "Kenapa aku mesti tidak berbuat yang macam-macam, kalau dia juga mau denganku?"
"Fez! Bangsat kau, dia masih anak kecil! Masih 15 tahun! Belum cukup umur untuk kau permainkan!"
"Ah, 15 tahun sudah cukup dewasa. Kenapa kau, marah, tahu fansmu kukerjai?"
"Ya bukan begitu. Tapi Camila kan masih abg, apa yang merasukimu, sampai kau tega seperti itu? Kau perawani dia??"
Fez tertawa. "Inti dari semua itu kan yang penting 'mau sama mau', tidak ada hubungannya dengan tega atau tidak."
"Damn. Bukan main bangsatnya kau. Sadar sedikitlah, kelakuanmu itu sangat negatif."
"Hm, apa pun katamu. Kau tidak tahu sesuntuk apa aku tadi. Bahkan sampai sekarang pun kalau ingat kejadian tadi siang aku masih suntuk. Apa salahnya sih kalau aku mencari kesenangan pribadi?"
Isaac menggeleng-gelengkan kepala, Fez sepertinya tidak akan pernah sadar dari kelakuan negatifnya, pikirnya. Bahkan anak gadis yang masih perawan pun, yang tidak dia kenal, disambar juga!
***
Juni 2017 Madrige, Slocean.
Sudah hampir sebulan lebih Royce dan rekan-rekan tim nasional Eastland berada di Slocean, mengikuti serangkaian pertandingan Piala Euro 2017. Berkat kerja keras mereka dan juga keberuntungan yang besar, tim nasional Eastland berhasil memasuki babak semifinal. Peluang mereka untuk mempertahankan trofi Piala Euro terbuka lebar, dan mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan peluang tersebut.
Pagi itu Royce sedang sarapan bersama dengan teman-teman timnas seraya membicarakan hal-hal ringan dan sedikit bersenda gurau, melepaskan sedikit beban sebelum memulai latihan intensif yang akan mereka jalani sebagai persiapan menghadapi tuan rumah, Slocean, di partai semifinal mendatang.
Ponsel Royce berdering. Royce segera menjawab, “Halo?”
“Hey, Royce!” sapa suara di seberang. Fez.
"Hei, Fez. Apa kabar?”
“Fine, thanks. Congrat, Bro, sudah kuduga sejak awal, Eastland pasti bisa masuk semifinal, dan final, tentunya! Aku menonton siaran langsung pertandinganmu tadi malam lawan Frenchye. 1-0. Pencetak golnya lagi-lagi kau. Makin spektakuler saja gol yang kau cetak? Kau itu memang benar-benar ‘ujung tombak’ Eastland” cerocos Fez, seakan tidak memberikan kesempatan pada Royce untuk menyela maupun menjawab.
“Sudah? Sekarang giliranku bicara?”
Fez tertawa. “Sorry, aku cerewet ya?”
“Kedengarannya kau sudah ceria sekarang? Syukur deh. Bukankah kau akhir-akhir ini suntuk berat?”
“Ah, ayolah, aku sedang tidak ingin mengingat persoalan-persoalanku. Hari ini aku sedang senang karena sobatku menjadi ‘man of the match’ dalam pertandingan tadi malam. Kau memang terlahir untuk menjadi pemain bola sejati. Pertahankan prestasimu, Bro.”
“Thanks. Aku sedang beruntung saja tadi malam. Di mana kau sekarang?”
“Broena.”
“Lho, belum balik? Oh ya, bagaimana hasil race kemarin?”
“Well, aku masih beruntung karena aku bisa meraih podium ketiga. Padahal kemarin benar-benar penghabisan untukku. Bayangkan, aku dikenai penalti pengurangan dua detik! Aku terpaksa start dari posisi 15! Belum lagi aku harus terus konsentrasi penuh pada race, sementara persoalan yang harus kutanggung seakan tidak mau lepas dari otakku!”
“Sebenarnya persoalan apa yang memberatkanmu? Kalau kau bersedia, kau bisa mengandalkanku untuk cerita. Daripada ditanggung sendiri, bisa berefek ke penampilanmu di race, kan? Seperti waktu bulan lalu, F1 seri ke-6. Kudengar kau marah-marah di sirkuit. Juga waktu seri ketujuh dan kedelapan awal bulan ini.”
“Sorry, Royce. Bukannya aku tidak percaya denganmu. Tapi ini terlalu pribadi. I can handle it.”
“It’s oke, I believe that you can. Hey, kau belum pernah sekali pun menonton secara langsung pertandingan Eastland di sini, kan? Kemarin kau berjanji akan datang.”
“Man, aku pasti datang! Tanggal 28 nanti kupastikan datang dan menonton kalian bertanding. Kemarin-kemarin aku benar tidak bisa menonton langsung. Kau tahu, kan, seri F1 bulan Juni ini sangat padat. Oh ya, pas final juga aku pasti datang kok. Sampai ketemu di final.”
“Hei, Eastland kan belum tentu masuk final.”
“Pasti! Pasti masuk final. Percaya padaku.”
“Sejak kapan kau jadi peramal? Sudah bosan jadi pelukis?”
“Sialan. Serius nih.”
“Bukannya awal Juli kau ada race? Tanggal berapa? Tanggal 7 ya? Sementara partai final dan perebutan tempat ketiga dan keempat diadakan tanggal 2 dan 3 Juli. Apa tidak berbenturan dengan kegiatanmu?”
“Tidak. Race tanggal 7 di Cataluna, Bro.”
“Oh, pantas. Grand Prix Slocean, rupanya.”
“Nah, tanggal 7 Juli nanti giliran kau yang menonton aksiku secara langsung di sirkuit.”
Royce tergelak. “Tenang! Kalau perlu kubawa seluruh teman-teman tim dan suporter Eastland ke Cataluna.”
***
3 Juli, partai final Piala Euro 2017.
Eastland tampil cemerlang pada saat semifinal beberapa hari sebelumnya melawan Slocean, sang tuan rumah. Mereka secara mengesankan berhasil menundukkan Slocean 2-0, dan itu membuat Eastland berhak melaju ke babak final, yang diadakan pada hari ini, melawan finalis lainnya, Iralia.
Seperti biasa, stadion penuh dengan para penonton dan suporter setia kesebelasan Eastland dan Iralia. Event besar seperti Piala Euro memang selalu mengubah stadion menjadi lautan manusia. Di salah satu tribun eksklusif, tempat Fez dan teman-teman tim GT Forriernya sudah duduk dengan manis, menunggu pertandingan final itu dimulai.
“Sudah kuduga sebelumnya, Eastland pasti masuk final!!” ujar Fez berapi-api pada teman-teman timnya.
“Hey kau sudah berkali-kali berbicara seperti itu,” sahut Dan.
Kedua skuad yang akan saling memperebutkan trofi Piala Euro itu pun keluar. Mereka berdiri berjajar, dan lagu nasional kedua negara pun berkumandang di udara. Kemudian para pemain bersalaman, dan langsung mengambil posisi masing-masing.
Royce menyapukan pandangan, melihat berkeliling. Teman-teman setimnya tampak sudah siap tempur sedari tadi. Kapten tim Eastland dan kapten tim lawan tampak masih menyalami para wasit yang bertugas. Dia melihat ke arah tribun penonton eksklusif di depannya, dan menemukan sosok sahabatnya, Fez, duduk bersama dengan teman-temannya. Dia memicingkan mata, berusaha memastikan benarkah yang dilihatnya itu adalah Fez.
Fez melambai pada Royce, ketika menyadari Royce melihatnya dan teman-temannya. Royce membalas lambaian tangan Fez dengan tersenyum lebar. Fez memberikan semangat pada Royce dengan mengepalkan tangan erat-erat dan mengacungkannya ke atas. Royce membalas kepalan tangan itu.
Peluit berbunyi.
Pertandingan pun dimulai, diiringi riuh rendah penonton yang begitu antusias. Kedua negara itu masing-masing mempertahankan negaranya sendiri agar tidak kebobolan lebih dulu dan saling menyerang, berusaha mencetak gol. Beberapa kesempatan baik bagi skuad Eastland untuk mencetak gol, selalu dipatahkan oleh Iralia.
Babak pertama berlalu tanpa gol.
Di babak kedua, pertandingan kian memanas, kedua tim berusaha keras mencetak gol ke gawang lawan. Namun keduanya merupakan tim yang kokoh dalam pertahanan dan juga gencar dalam menyerang, sehingga pertandingan final kali itu merupakan pertandingan yang apik dan sungguh menarik.
Hingga pada menit ke-82, skor kedua tim tetap 0-0. Para penonton tak henti-hentinya meneriakkan yel-yel pemberi semangat pada kedua tim yang sedang berlaga.
Menit demi menit berlalu dengan cepat. Saat itu Iralia sedang gencarnya melakukan serangan pada Eastland. Ketika serangan itu berlangsung di daerah kotak penalti Eastland, Salah seorang pemain Eastland melakukan tackling pada salah seorang pemain Iralia yang pada saat itu sedang membawa bola. Wasit meniup peluit dan menunjuk titik penalti. Pendukung Iralia serentak bersorak gembira.
Seorang pemain muda berbakat dari Iralia, yang mendapat kesempatan untuk mengeksekusi tendangan penalti kali itu, sudah berdiri kokoh di sana, siap melakukan tendangan penalti. Tendangan yang berkemungkinan besar dapat mengantarkan timnya merebut trofi Piala Euro. Sementara itu, kiper Eastland, berusia sekitar 28 tahunan, yang disebut-sebut sebagai kiper termahal karena kemampuannya yang tidak usah diragukan lagi, bersiap di mulut gawang, berusaha meningkatkan ke-awas-annya dan kejeliannya dalam membaca arah bola.
Peluit berbunyi. Pemain Iralia itu terdiam sesaat, sebelum kemudian mengambil ancang-ancang dan menendang bola tepat menuju ke arah gawang. Kiper Eastland yang sudah menduga arah bola itu sejak awal, melentingkan tubuh dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berusaha menjangkau bola..
Namun bola itu melewatinya. Walaupun dia sudah berusaha merentangkan tangannya sejauh yang dia bisa, bola yang hanya berjarak beberapa inchi saja darinya itu lolos ... dan membuahkan gol.
Pemain Iralia yang berhasil mengeksekusi tendangan penalti itu berlari mengekpresikan kesenangannya, sementara teman-temannya yang lain memeluk dan menciuminya. Seluruh pendukung Iralia pun turut larut dalam suasana gembira tersebut.
Pertandingan belum selesai, dan kini Eastland berusaha semaksimal mungkin untuk membalas ketertinggalan mereka. Berkali-kali gawang Iralia terancam oleh serangan Eastland yang kian gencar dan tajam, namun sayangnya keadaan tidak berubah. Hingga wasit meniup peluit tanda pertandingan telah usai, skor tetap 1-0 untuk Iralia.
Serentak ofisial dan seluruh pemain Iralia tenggelam dalam kegembiraan. Puluhan ribu suporter Iralia juga turut larut dalam kegembiraan menyambut kemenangan mereka.
Para pemain bersalaman dan memberi hormat kepada para suporter dan penonton. Penyerahan Piala Euro dilaksanakan dengan begitu meriah.
“Lagi-lagi ... runners up,” ujar Fez.
Yang lain menyahut, “Yeah, sayang sekali. Harusnya Eastland bisa tetap mempertahankan trofi, dan harusnya penalti itu tidak usah terjadi.”
“Apa Royce masih bisa tersenyum, kalah dalam event besar seperti ini?” tanya Dan.
Fez dan yang lainnya serentak memperhatikan Royce yang masih berada di lapangan. Mereka menyaksikan sendiri wajah Royce yang seolah tanpa beban, menyalami dan memberi selamat dengan senyum di wajah – pada para pemain Iralia. Hal yang sama tidak mereka jumpai pada segelintir pemain Eastland, kiper Eastland dan juga pelatih timnas Eastland.
“Well, dia memang pemain bola sejati,” ujar Fez.
“Yeah, setuju. Dia kesayangan publik Eastland. Aku jadi tidak sabar menunggu aksi dia di Piala Dunia 2019 nanti.”
“Royce cs pasti bisa menunjukkan bahwa Eastland adalah tim tuan rumah yang solid dan tidak terkalahkan.”
20 – Pembalap Sekaligus Pelukis Handal
Hey! Bertemu lagi denganku, Royce Beauregard.
Sudah hampir dua minggu ini Fez menghabiskan waktu di mansionnya, asyik melukis. Entah angin apa yang merasukinya, karena biasanya jika jadwal sedang kosong dia pasti pergi berlibur dengan teman-temannya, entah traveling, atau bermain di Maldines. Dan hari ini, aku bermaksud mengunjunginya di mansion. Mansion Fez terletak cukup jauh dari Leighryn, jauh dari keramaian kota, dan tempatnya memang memberikan rasa nyaman, mungkin karena itu Fez betah berlama-lama mengurung diri di dalam rumah.
Ketika aku tiba di sana, benarlah, Fez ada di ruang lukisnya, dia bahkan sepertinya tidak menyadari kedatanganku.
"Hei, Fez!"
Fez menoleh. "Hai Royce! Kok aku tidak mendengar kau datang?"
"Kau mana mungkin sadar aku datang. Barangkali kalau ada penyusup yang masuk ke sini kau juga tidak bakal tahu, Fez." Aku menarik kursi, lalu duduk tak jauh darinya. "Tumben. Liburan begini tidak kemana-mana. Tidak bosan?"
“Aku sedang ingin melukis dan membuat banyak karya. Lebih memuaskan dan membuatku rileks.”
“Pelampiasan beban pikiranmu, huh?”
Fez tersenyum. “Yeah. Aku bisa gila karena stress memikirkan bagaimana cara menyelesaikan semua persoalanku.”
“Dan hal itu sangat berefek pada penampilanmu di Grand Prix, kan?”
“Aku juga menyesal kenapa bisa berefek ke penampilanku. Padahal aku tidak pernah punya niat untuk menodai penampilanku. Apalagi ... hasil empat seri kemarin yang jauh dari lumayan, dan tidak membantu menaikkan poinku di klasemen sementara. Semua ini gara-gara penampilan dan peruntunganku yang buruk semenjak seri keenam, Mei lalu. Well, ini adalah masa-masa terburuk untukku. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa mengejar ketertinggalan poinku dari Alvarez, dan juga dari yang lainnya. "
Fez menarik nafas, sepertinya dia belum selesai mengeluh. "Huh, padahal di awal tahun ini rencanaku adalah membalas kekalahanku dari Alvarez di tahun 2016. Tapi pada kenyataannya sekarang? Selisih poinku dan dia semakin jauh! Dia selalu fix di posisi pertama klasemen, sementara aku terus terlempar jauh ke belakang. Aku tidak bisa maksimal, sementara penampilan Alvarez selalu konsisten dan maksimal! Rupanya aku sudah menjadi seorang pecundang,” ujar Fez datar. “Ditambah lagi, aku selalu mendapat banyak tekanan terselubung dari tim mobilku sendiri, yang mengharap agar aku selalu memenangi tiap seri. Yang mengharap ... ah, bukan, yang seakan memaksa agar aku mampu meraih dan mempertahankan posisi di puncak klasemen sementara pembalap, dan juga di puncak klasemen sementara konstruktornya. Damn, Royce. Aku tidak bisa bekerja di bawah tekanan seperti itu, apalagi tekanan itu berasal dari dalam!”
Keningku berkerut mendengar perkataan Fez. “Ini musim kelima kau berkecimpung di dalam Formula 1, Fez. Harusnya kau sudah biasa menghadapi tekanan-tekanan seperti itu. Entah tekanan dari timmu, atau tekanan yang muncul pada saat kau tanding! Kau masih bisa mengatasi segala macam tekanan seperti itu, kan?”
“Setiap orang punya batas kesabaran dan batas kemampuan.”
Huh? Fez berubah. Lama kupandangi dirinya. “Ini bukan Fez yang kukenal. Fez yang kukenal selalu optimis! Tidak pernah menyerah dan selalu mau berusaha! Kau juga bukan tipe orang yang cepat menyerah jika sedang berada di bawah tekanan! Itu sebabnya kau eksis dan bertahan selama ini!”
Fez menghela nafas panjang. “Royce, dengar ....”
Aku tidak memberinya kesempatan untuk bicara. “Look, Fez! Setelah lima tahun kau berkutat di F1, dan belasan tahun kau habiskan di ajang gokart, F3 dan segala macam itu, kau mau menyerah, hanya demi alasan ‘setiap orang punya batas kemampuan dan kesabaran’?!”
Fez memandangiku tidak bersuara. “Yaa ... mungkin bisa jadi catatan buatmu, jika Fez yang sekarang sudah tidak sama lagi dengan Fez yang dulu."
“Aku tidak percaya dan tidak pernah menyangka kau bisa jadi seperti ini. Apa kau rela, karirmu yang cemerlang ini rusak gara-gara beban persoalanmu yang tidak kunjung usai? Fez, kau tahu aku sangat ingin membantumu.”
“Aku tahu maksudmu baik, Royce. Tapi thanks, aku bisa mengatasinya sendiri.”
Aku sahabatmu sejak lama, Fez. Rahasia apa tentangmu yang tidak kutahu, busuknya dirimu pun aku tahu, dan sekarang kau tidak bersedia berbagi masalahmu denganku? Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?
Fez bangkit berdiri dan berjalan menuju dapur. “Kau mau kopi panas?” tawarnya.
“Boleh.”
Aku bangun, lalu berjalan menuju ruang tempat penyimpanan semua hasil karya Fez. Dalam sekejap aku asyik melihat-lihat lukisan Fez semenjak sekolah hingga sekarang ini.
“Nih.” Fez tiba-tiba sudah berdiri di belakangku seraya menyodorkan secangkir kopi.
“Trims. Aku boleh melihat-lihat, kan?”
Fez tersenyum. “Bolehlah, kenapa tidak,” ujarnya ringan sambil kembali fokus pada lukisan yang tengah digarapnya.
Sedari tadi aku tidak berhenti berdecak kagum melihat karya-karya lukisan Fez yang jumlahnya sudah mencapai ratusan itu. Semua lukisan yang dibuatnya, entah itu lukisan manusia, pemandangan alam, suasana maupun benda mati, membuatku terpesona. Detail tiap lukisan begitu mengagumkan dan membuat siapa pun yang melihatnya terpesona dan takkan berhenti menatap. Termasuk aku, sekarang.
“Kenapa kau tidak mengadakan pameran saja, Fez? Lukisanmu sudah sangat banyak, dan semuanya, WOW!"
Fez menyahut, “Apa bagusnya?”
“Ini bagus, Dude. Keren, cool. Jarang-jarang ada pembalap ambisius yang diam-diam jago melukis seperti kau.”
“Melukis cuma hobi untukku.”
“Kan lumayan kalau lukisanmu laku? Menambah tabungan,” kataku lagi. Kubuka kain penutup pada salah satu lukisan, dan aku terpana begitu mendapati sebuah lukisan wanita cantik sedang berdiri di atas batu karang dan terpaan ombak, seraya menatap langit laut yang mulai beranjak senja. Wanita dalam lukisan tersebut hanya mengenakan sehelai kain tipis, menampilkan siluet yang indah berlatar langit senja yang mengagumkan. Wanita itu menatap langit dengan pandangan dan sinar mata yang misterius, membuat siapa pun yang melihatnya akan berpikir dan menerka-nerka apa yang sedang dilamunkan oleh wanita dalam lukisan tersebut. Detail yang mengagumkan, ditambah dengan keindahan langit senja dan deburan ombak ... Jesus Christ. Ini masterpiece.
Fez rupanya menyadari aku terpikat pada salah satu lukisannya. “Itu kubuat tiga tahun yang lalu. Kau tertarik? Ambil saja,” tawarnya.
“Siapa modelnya, Fez? Aku tidak pernah liat.”
"Kau tidak perlu tahulah.”
“Ayolah!”
“Bukan siapa-siapa. Karanganku sendiri.”
“Tidak percaya. Lukisan seindah ini karangan sendiri? Minimal kau memotret suasana pantai seperti ini terlebih dahulu, baru kemudian melukisnya. Benar begitu? Apa kau melukis langsung? Kok bisa sangat detail seperti ini? Apalagi waktu senja hari itu kan cuma sebentar, apa kau melukis secepat itu? Kau memang sangat berbakat.”
“Aku tidak seartistik itulah.”
“He? Tumben kau merendah. Ayolah Fez, katakan siapa modelnya?”
“Kubilang karanganku sendiri.”
“Tidak percaya.”
“Ya sudah,” jawab Fez tak acuh sambil menyapukan kuas pada kanvasnya. “Kudengar kau ditawari kontrak oleh klub Slochney dan klub dari Slocean, La Varente?”
Aku tersenyum. Dia sudah dengar juga berita itu. “Yeah.”
“Dengan harga seberapa tinggi mereka berani menawarimu kontrak?”
Aku menarik nafas. Rasanya tidak nyaman membicarakan soal 'harga', maka aku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Entahlah, aku lupa," jawabku singkat.
“Hm, tidak mungkin kau lupa. Nilai kontrakmu pastinya setinggi langit. Bagaimana, kau mau terima tawaran salah satu dari mereka, atau kau memilih tetap di Brandt?”
“Aku tidak akan pindah klub. Berapa pun kontrak yang mereka tawarkan. Aku sudah memutuskan kelak akan gantung sepatu sebagai pemain Brandt.”
“Senang mendengarnya.”
Aku menyesap kopi perlahan. “Kau ikuti berita terkini? Si pembunuh berantai itu berulah lagi," ujarku.
"Oh ya?"
"Serius, kau nggak tahu beritanya?" Aku terbelalak. "Baru tiga hari yang lalu ada penemuan dua mayat di rawa-rawa, di ujung jalan pinggir kota Leighryn! Korbannya sepasang suami istri, masih muda, nggak seperti korban-korban si pembunuh itu sebelumnya. Mereka tewas dengan cara dibacok di leher sebelum dibuang di rawa-rawa .... Cara pembunuhannya mirip seperti yang sudah-sudah, sepertinya jelas pelakunya adalah orang yang sama. Hanya saja, kenapa sekarang incaran korbannya jadi lebih melebar? Dia itu memilih korban berdasar apa sih? Murni acak? Jiwanya sungguhan sakit! Apa dia sengaja menciptakan teror supaya banyak orang ketakutan? Apa tujuannya?"
Fez sepertinya tidak mendengarkan ocehanku, malah fokus menyapukan kuas di kanvasnya. Tapi tak lama dia menyahut, "Belum berhasil tertangkap juga, ya."
"Aku juga heran kenapa sampai sekarang masih belum juga tertangkap, Fez. Jejak sedikit pun nggak ada, nggak tercium oleh polisi. Ada kabar yang santer beredar, peristiwa tiga hari lalu itu, ada saksi mata yang nggak sengaja sedang berada di sekitar rawa-rawa tempat mayat ditemukan. Dia lihat ada sebuah mobil dari arah utara melaju dengan kecepatan jauh di atas rata-rata di tengah malam itu. Berhenti sebentar di sekitar mayat ditemukan, lalu kembali tancap gas. Orang yang ada di dalam mobil sama sekali nggak keluar! Entah bagaimana caranya dia menyeret dua mayat dari dalam mobil langsung dilemparkan keluar. Sepertinya memang sekuat itu tenaganya. Si saksi mata ini sama sekali nggak kepikiran kalau mobil itu berhenti untuk membuang mayat, dia udah keburu terpesona karena si pengemudi mobil itu ... sangat lihai mengendarai mobil. dia juga nggak perhatikan plat mobil itu, hanya tahu bahwa mobil itu berwarna hitam. Hanya itu keterangan yang bisa polisi dapatkan."
Fez sepertinya mendengarkan ceritaku.
Aku melanjutkan. "Anehnya lagi, seluruh CCTV yang dipasang di tiap ruas jalan, nggak ada yang berhasil menangkap pergerakan mobil si pembunuh. Disebut apa kalau seperti itu, Fez? Beruntung? Atau dia juga sengaja menyabotase CCTV di jalanan?"
"Well, dia terlalu pintar," sahut Fez.
"Dia terlalu licin. Siapa pun orang itu, kurasa dia layak menjadi legenda. Bukan legenda dalam arti baik, melainkan sebaliknya. Seburuk-buruknya pembunuh ... yang menyerang tanpa pandang bulu dan tanpa belas kasihan. Kuharap dia akan segera tertangkap dan membusuk di penjara," ucapku.
"Kalau menurutku, kurasa dia hanya akan lebih berhati-hati lagi ke depannya agar tidak ada saksi mata. Apa dia akan membiarkan dirinya tertangkap? Tidak akan. Kecuali dia mau mengakhiri hidupnya di penjara," ujar Fez santai.
"Sepandai-pandainya tupai melompat, dia akan jatuh juga."
"Royce, dia bukan tupai. Hanya seorang begundal yang memiliki sel otak berlebih di kepalanya."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
