Skandal Cinta Pewaris Kedelapan (Bab 4-6)

0
0
Deskripsi

Meski berkelebihan materi, tapi Valen tidak pernah merasa nyaman dan tidak pernah bahagia hidup bergelimangan emas. 

  • Pertama. Tangan besi Bernard sang diktator yang berlaku seolah dia adalah ‘tuhan’ yang berkuasa di seantero rumah Ghandy. Semua yang Bernard katakan adalah perintah, dan tidak ada yang boleh menjawab atau bahkan menentangnya.
  • Kedua. ‘Takdir’ kehidupan anak-anak Ghandy telah digariskan oleh Bernard. Dari mulai urusan sekolah, pekerjaan, hingga masa depan ... hingga nantinya masing-masing...

4 - Panen Anak

"Ayo cepat masuk, Tuan Muda Valen," desak Nenek Marni. 

Valentino melangkahkan kakinya dengan gontai. Ternyata sampai sedemikian seriusnya Bernard menjaga agar Valen tidak berbuat macam-macam. Selain dipingit, semua yang dia lakukan juga tidak lepas dari pengawasan! 

"Jangan keluar kamar lagi, Tuan Muda. Kalau bosan, Anda 'kan punya banyak kegiatan yang bisa dilakukan. Bisa mengobrol dengan saudara-saudara Anda, atau ajak mereka main basket. Atau tanding tenis, atau berenang juga pasti menyenangkan," saran Nenek Marni sambil menyejajarkan langkah dengan sang tuan mudanya.

"Nek," panggil Valen, enggan menghiraukan sarannya. "Nenek 'kan udah mengabdi di keluarga ini bahkan sejak Nenek masih remaja. Jadi Nenek tahu semua hal yang terjadi di keluarga ini, 'kan?"

"Tentu saja, saya tahu semuanya," jawab Nenek Marni sambil terkekeh. "Saya sudah ada di sini sejak tuan besar Andrew lahir. Sejak tuan besar Bernard lahir tiga tahun setelahnya. Saya yang mengasuh mereka berdua! Apalagi kelahiran tuan muda Sonny, lalu adik-adiknya ... lalu bermunculanlah kalian, para tuan dan nona yang tidak dilahirkan di sini," terangnya tanpa diminta.

"Ya. Aku ingat saat papa membawaku ke rumah ini. Aku takut sekali waktu itu, aku masih tujuh tahun. Harus tinggal di rumah besar yang sangat asing buatku. Harus dikenalkan dengan banyak saudara yang lebih tua dariku. Harus berhadapan juga dengan mama Hera, permaisurinya papa. Mama Hera benar-benar seorang permaisuri ... bukan, ibu suri, malahan, karena ketegasan dan tatapan matanya membuat kaki anak manapun langsung lemas ketakutan. Belum lagi, harus menerima bullyan dari para kakak. Sonny. Michael. Franco pula ikut-ikutan padahal dia sendiri bukan anak permaisuri. Segitu juga masih untung karena Fredo nggak doyan ikut-ikutan bully aku. Dan, tiap kali aku kena dikerjai, atau adik-adik lain dikerjai oleh mereka, selalu Nek Marni yang datang melerai dan membela yang lemah," ujar Valen bernostalgia.

Nenek Marni tertawa ringan. "Saat-saat itu, memang rumah ini persis seperti taman bermain kanak-kanak. Jumlahnya banyak, hiperaktif semua, perangainya mirip-mirip," sahutnya.

"Sebenarnya apa pendapat Nek Marni terhadap kebiasaan papa? Gemar menebar benih dan punya nyaris selusin anak haram? Maksudku haram, jelas karena dia meniduri wanita-wanita yang bukan istri sahnya."

"Tuan Muda, tidak ada istilah anak haram. Semua anak adalah anugerah," koreksi Nenek Marni.

Valentino mengerutkan kening, tampak tidak begitu setuju, namun memilih diam.

"Yah. Saya tahu apa maksud pertanyaan Anda tadi," ujar Nenek Marni sambil menghela nafas. "Saya juga tahu pasti apa tujuan tuan besar 'memanen' banyak anak di luar sana sampai 11 orang."

Valen menghentikan langkahnya, menatap Nenek Marni. "Apa alasannya?" tanyanya.

"Tentu saja, karena dia hanya ingin memastikan warisan bisnisnya berada di tangan yang aman dan terpercaya. Yaitu di tangan kalian, para tuan muda ...," terang Nenek Marni.

"Itu saja?"

"Itu saja." Nenek Marni mengamini.

Valen tidak menyahut lagi. 

***

Panen anak di luaran sana sampai jumlahnya pas buat main bola, padahal udah punya anak resmi empat orang, semua itu murni hanya untuk dijadikan penerus bisnis. Murni hanya untuk dijadikan mesin pencetak uang, lebih banyak lagi, lebih banyak lagi, lebih lagi. Manusia yang nggak pernah punya rasa puas dan cukup. Tamak. Serakah. Untuk apa sebenarnya timbunan emas ini? Untuk apa tinggal dikelilingi dinding yang dingin dan beku ini, tanpa ada kehangatan manusiawi sedikit pun di dalamnya? Untuk apa deretan mobil mewah yang nggak terjangkau untuk rakyat kebanyakan, menggunung di garasi hanya untuk dimampiri debu. Hanya untuk pamer sesekali di jalanan? Untuk apa memiliki banyak tower, banyak hotel, caplokan properti lainnya? Agar uangnya semakin menggunung, menumpuk? Untuk apa sebenarnya uang sebanyak itu?

Valen asyik berbincang dengan dirinya sendiri sembari berdiri di depan jendela kamarnya di lantai tiga. Tatapan matanya menerawang jauh, jauh menembus awan di langit jingga di atas sana. Surya akan tenggelam beberapa saat lagi, sama seperti asa Valen yang nyaris tenggelam. Menggalaukan haruskah dia menerima garis takdir yang ditentukan oleh ayahnya sendiri, atau berani maju menerjang segala rintangan yang ada demi mimpinya bisa bersatu dengan Valentina dan menjadi musisi profesional.

Namun Valen sangat meyakini, kehidupan yang dia miliki sepenuhnya adalah kehendak dirinya sendiri. Dialah yang memiliki kontrol penuh atas hidupnya sendiri! Bukan Bernard! Bukan keluarga Ghandy yang dingin dan anti pada kata afeksi! 

Valen mengembuskan nafas panjang beberapa kali. Dikuatkan hatinya, diteguhkan tekadnya. Baru kali ini dia berani mengambil sebuah keputusan yang akan menentukan nasibnya kelak. Dia wajib bersungguh-sungguh. 

Tok! Tok! 

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Valen. Belum sempat dia menyahut, pintu itu terbuka. Seorang wanita menyembulkan kepala dari balik pintu. "Valen! Turun lu, ayo makan," ajak wanita itu.

Constanzia Ghandy, biasa dipanggil Connie, anak ketiga Ghandy. Ia adalah puteri tertua Bernard, yang diserahkan tanggung jawab mengawasi segala urusan rumah tangga pasca Hera, sang permaisuri, wafat beberapa tahun yang lalu.

Valen keluar dari kamarnya, mengikuti Connie menyusuri koridor lalu turun ke ruang makan.

"Yang lain udah kumpul semua, tinggal lu doang belom kelihatan. Ngapain aja sih di kamar?" Connie bertanya dari balik punggung. Kakinya melangkah lebar, seperti terburu-buru. Wanita 25 tahun yang gesit dan cekatan itu memang seperti selalu dikejar waktu. Wajahnya tirus, seringkali terlihat jutek, meski sebenarnya tidak tengah marah pada siapa pun. Berpostur tinggi langsing, yang, saking langsingnya, siluet tubuhnya nyaris tidak memiliki bentuk sama sekali.

"Ya ngapain kek," jawab Valen malas. "Kan gue emang lagi dipingit, disuruh di kamar terus. Lagian, tumben ngajak makan bareng semua? Biasanya juga makan sendiri-sendiri."

"Mumpung lagi ngumpul semua, gimana sih lu?"

"Papa juga makan bareng?"

"Nggak. Papa tadi keluar rumah katanya ada meeting sama om Dharmadjie," jawab Connie.

"Hmm," gumam Valen. Dalam hati dia berkata, Untung biangnya nggak ikut makan bareng. Bisa hilang nafsu makan kalau lihat muka dia.

"Si Xander juga barusan dateng, gue ajak aja makan bareng biar makin ramai."

"Xander. Belakangan ini tuh anak sering banget ke sini," komentar Valen.

"Xander lagi digembleng keras sama papa. Dia sih beda sama lu, Valen, dia selalu penuh semangat kalau urusan bisnis. Samalah kayak Mickey dan Ko Sonny. Harusnya tuh lu ikutin contoh mereka!" 

Valen mendengus. "Ngapain capek-capek begitu? Bukannya gue cuma anak selir yang unworthy?" tanyanya menyindir. "Bedalah dari kalian, putri dan pangeran-pangeran sah Ghandy."

Connie mengerling jahil. "Cie ... Baper amat, Dik? Eh denger yah, kita di sini semua sama. Sama-sama anak papa! Ngerti lu? Nggak usah sebut selir-seliran, kita semua sama! Lagian, kalau emang lu ngerasa begitu, ya tunjukkan kalau lu mampu jadi seperti yang diharapkan papa! Paham?"

Valen menggumam malas.

Connie akhirnya tersenyum. Dia mendorong pelan bahu Valen, menyuruhnya segera masuk ke tengah-tengah para tuan dan nona muda yang asyik menikmati santapan malam. "Gue udah siapin kesukaan lu, Valen, fish and chips. Makan yang banyak!" ujarnya sambil setengah paksa mendudukkan Valen di kursi.

Valen membiarkan kakak perempuannya itu mengambilkan makanan untuknya. Meski kerap galak dan judes, Valen tahu, Connie selalu penuh perhatian pada semua saudaranya. Salah satu sisi positif yang dimiliki putri Ghandy tertua itu. 

Menurut kabar yang tengah berhembus, dalam waktu dekat ini Connie akan dipertemukan dengan pemuda pilihan Bernard, dan jika semua berlangsung lancar, pernikahan akan segera berlangsung. Entah mengapa Valen yakin, pemuda pilihan Bernard yang menjadi jodoh Connie tentulah berasal dari kalangan 9 Kings juga. Atau kalaupun bukan seperti itu, tentu keluarga si pemuda adalah keluarga yang sama-sama terpandang dan layak menjadi partner bisnis Bernard. Sudah tentu pernikahan itu adalah pernikahan bisnis. 

Sama seperti yang baru beberapa bulan lalu terjadi, dengan Sonny menjadi bintangnya. Sonny dijodohkan dan telah menikah dengan putri Ivander Winoto, teman akrab Bernard di kelompok 9 Kings. Saat ini istri Sonny tengah hamil anak pertama mereka, calon cucu pertama Ghandy. Valen tidak tahu, dan tidak pernah berminat mencari tahu, apakah Sonny bahagia dengan pernikahannya itu. Yang dia lihat, sikap Sonny tetap sama seperti sebelum dia menikah. Mungkin memang Sonny sendiri tidak pernah mempermasalahkan dengan siapa dia menikah, selama hal itu bisa membawa keuntungan bagi bisnis keluarga.

Intinya semua yang terjadi dalam rumah Ghandy, haruslah membawa peruntungan yang besar. Tidak jauh dari kata cuan, cuan, cuan. Valen menggeleng-gelengkan kepala.

 

5 - Jalan Hidup yang Direstui Bernard

"Nih, ayo buruan dimakan," ujar Connie sembari menaruh piring di depan Valen. 

"Thanks, Ci," ujar Valen. Namun meski sajian di atas piringnya tampak menggugah selera, Valen belum merasa lapar. Dia malah asyik memandangi satu per satu wajah yang berkumpul di meja makan panjang itu. Wajah yang bisa dibilang mirip-mirip semuanya.

Di ujung meja jauh di sana, Santino atau Sonny, yang bertubuh paling pendek, dengan congkaknya selalu mengambil tempat terbaik. Di sebelah kirinya duduk kakak kedua, Frederico atau Fredo. Tipe yang kalem cenderung apatis, tidak peduli pada apa yang bukan urusannya. Belum terdengar kabar mengenai perjodohan untuknya, namun Valen yakin hal itu juga tidak akan lama lagi. Di sebelah kanan Sonny sekaligus seberang Fredo, tempat Connie, ia masih sibuk mondar mandir memastikan semua yang ada di situ mendapatkan sajian yang lengkap. Di sebelah Fredo, Michael, sosok yang sama congkak seperti Sonny, yang paling getol melancarkan bully terhadap adik-adiknya. Alexander si sepupu, duduk tenang di seberang Michael, fokus menikmati santapannya. 

Di sebelah Xander, duduk Alexandra, anak kelima Bernard, lalu berturut-turut saling seberang, ada Franco, juga ada Irene yang duduk persis di sebelah kiri Valen. Mereka berdelapan ini yang umurnya di atas Valen. 

Kanan Valen duduklah Antonio, kemudian berturut-turut saling seberang Melanie, Enrico, Nicole, Mario, Imelda dan Aurora, masing-masing hanya terpaut jarak satu tahun. Si bungsu Aurora, tahun ini baru genap 11 tahun umurnya, namun sudah terbiasa mendengar obrolan-obrolan para kakak yang sebenarnya belum pantas untuk ia dengar.

"Habis ini lu langsung balik ke rumah lu, Ko Sonny?" Franco bertanya.

Sonny mengangguk. "Bini gue udah telponin terus, kayaknya takut gue kelayapan," jawabnya sambil cengar-cengir.

"Padahal emang bermaksud kelayapan, 'kan," goda Michael. "Kenapa bini lu ngekang-ngekang lu, sih? Bukannya harusnya dia tahu cara mainnya?"

Sonny mengangkat bahu. "Dia belom terbiasa ... Lama-lama juga terbiasa."

"Bini lu 'kan lagi hamil, kalau lebih sensitif ya wajar dong," sahut Connie sambil duduk di kursinya. "Lagian lu tuh ya, udah punya bini, lagi hamil pula, sinting banget lu sampe bisa-bisanya ngaku hamilin temen kuliah lu!"

Valen dan beberapa anak lain terbelalak mendengarkan obrolan itu, namun rupanya hanya Valen yang berani bersuara. "Ha-hamilin orang lain? Gimana bisa begitu??" tanyanya spontan.

Tatapan memelas Connie tertuju pada Valen, seakan kasihan, melihat sang adik masih terlampau polos untuk bisa memahami seluk beluk rumit keluarga ini.

Sementara Sonny dan Michael sama-sama terkekeh, mencemooh kepolosan Valen. Sonny tidak berniat menjawab pertanyaan Valen tadi, dia malah mengomentari Connie. "Mumpung benih gue lagi banyak-banyaknya berkat diet gue selama ini, apa salahnya? Kan nggak mungkin gue bikin bini gue double buntingnya! Secara emang yang di rahim bukan anak kembar. Jadi yaa ... Biar benih gue nggak terbuang percuma, dan lagian temen gue itu mau-mau aja gue buntingin, why not?"

Connie menatap si sulung dengan jijik, tapi enggan berkomentar.

Michael mengangkat jempolnya. "Keren, Ko ... Asli, keren! Tahun depan langsung dapet dua anak!"

"Gue lagi mau prospect cewek lain lagi nih, siapa tahu tahun depan gue hattrick, langsung punya tiga anak," sahut Sonny kalem. "Lu juga udah harus mulai, lho, Mickey. Ayo! Apa susahnya sih? Biasanya juga lu 'kan binal?"

Michael menyahut semangat, "Gue jadi ketriggered. Gue harus buruan cari cewek nih!" 

Xander menggeleng-gelengkan kepala menanggapi Michael. "Lu cari cewek buat lu hamili, kemudian lu ambil anaknya buat menambah penduduk rumah ini. Apa kabarnya tuh cewek yang harus sukarela badannya rusak karena lahirin anak lu?"

"Jangan kayak orang susah deh," sahut Michael. "Soal badan rusak, itu nanti termasuk hitungan tunjangan kesehatan. Atur aja gitu. Zaman gini apa sih yang nggak bisa pakai duit?"

"Good point, Mickey," puji Sonny. Dia lalu menoleh pada semua adiknya. "Ayo yang lain, jangan ketinggalan. Jangan buang-buang benih bagus! Xander, lu kelihatannya terlalu perfeksionis. Mulai saat ini jangan pakai pengaman lagi biar lu juga ikutan cetak jumlah penduduk."

"Nope. Sorry. Gue bukan penduduk asli rumah ini," jawab Xander cepat.

"Kan lu juga Ghandy gimana sih."

"Andrew Ghandy nggak ngegas anak-anaknya untuk beranak pinak sebanyak mungkin, thank God," sahut Xander yang membuat Sonny terbungkam.

Sonny pun mengalihkan tudingannya pada yang lain. "Ayo, Franco, mulai juga lu!"

Franco si pemuda berambut jabrik hanya meringis entah mengiyakan atau malah menolak. Dia enggan menjawab Sonny, malah bertanya, "Koko Fredo dilewatin, nggak lu gas juga, Ko?" 

Sonny terdiam.

"Ko Sonny tuh segan sama Ko Fredo, keliatan jelas, nggak usah ditutupin," sahut Michael jahil.

Fredo, yang dibicarakan, tersenyum penuh arti. "Gue nggak seperti Sonny yang gembar-gembor, berisik. Soal menyumbang kepadatan penduduk ... Kira-kira tiga bulan lagi anak gue bakal lahir," terangnya, yang sontak membuat semua yang mendengar terkejut.

"Jadi ... Wah, ternyata!!" Michael paling lantang bersuara. 

"Lah, jadi malah lebih duluan anak Ko Fredo yang lahir daripada anak Ko Sonny!" ujar Franco.

"Emang ya, Ko Fredo selalu diam-diam menghanyutkan! Keliatannya anteng nggak ngapa-ngapain tapi udah gerilya lebih jauh!" sahut Michael lagi. "Eh, Ko Fredo, papa udah dikasih tahu belom?"

Fredo mengangguk. "Of course."

"Hmm. Congrats," ujar Sonny basa-basi.

Fredo menangkap emosi si kakak, dan lagi-lagi tersenyum. "Sebenarnya gue nggak ingin anggap lu rival, Sonny, tapi lu sendiri yang gemar mencari bahan untuk dijadikan kompetisi antara lu dan gue. Gue sih, jabanin aja," tuturnya.

"Udah, udah," lerai Connie yang merasa tensi mulai menanjak naik antara kedua kakaknya itu.

Valen sedari tadi hanya menyaksikan dalam diam, pertunjukan lenong anak-anak Ghandy yang berlomba-lomba menyumbang jumlah penduduk di rumah itu. Kakaknya jelas-jelas berselingkuh dari istri, kakak yang lain sebentar lagi akan punya anak dari entah siapa, kakak yang lain bersemangat mencari calon ibu untuk anaknya namun tanpa dia nikahi. Dan semuanya itu mendapat restu Bernard!

Hal besar seperti memiliki anak, jadi dianggap hal yang kasual? Bukankah normalnya, pria dan wanita yang saling mencintai menikah, lalu dari persatuan keduanya maka lahirlah sang buah hati? Mengapa jadi hal yang kasual, persis seperti sedang memesan produk terbatas di vendor tertentu?

Tentu saja semua itu berkat didikan Bernard Ghandy. Mereka semua jadi rusak, dan setuju melakukan 'panen' anak di luar sana, tentu karena Bernard! 

Lihat saja semua yang tengah berkumpul di ruang makan ini, 11 di antaranya berasal dari 11 perempuan yang berbeda, berkat keperkasaan Bernard di masa lalu. Termasuk pula dengan Valen. 

Seperti inikah, jalan hidup yang direstui Bernard? 

Menjadi penerus bisnis Ghandy. Menikah dengan perempuan pilihan Bernard. Berkontribusi menyumbang sebanyak mungkin cucu buat Bernard, tidak masalah jika tidak berasal dari istri resmi.

Seperti itukah?

Sungguh, Valen merasakan sesuatu yang bukan main berat menimpa bahu dan punggungnya.

 

6 - Petak Umpet

Maka usai makan malam, Valen segera mengunci diri di dalam kamar. Dia sudah siap pergi menepati janjinya pada sang kekasih untuk tetap tampil manggung. Seutas tali yang kuat dan panjang untuk kabur lewat balkon juga sudah dia siapkan. 

Valen mengawasi keadaan di bawah dari balkon kamar. Sepi, tidak nampak seorang pun. Para penjaga tentunya berada di pos masing-masing, sementara Nenek Marni yang cerewet itu biasanya sudah beristirahat di kamarnya. Valen melemparkan tali, sekali lagi memastikan semuanya aman, lalu turun dari balkon dengan berhati-hati. Sekejap saja pemuda itu sudah menjejakkan kakinya di atas tanah, dia berhasil keluar dari kamar. Tanpa menunggu lagi dia pun segera menuju pintu samping. Dengan penuh kehati-hatian, Valen membuka gembok agar jangan sampai menimbulkan suara sedikit pun. 

Dia berhasil. 

Valen berhasil keluar dari rumah! Semua berjalan mulus tanpa ada yang mengetahui bahwa dia berhasil kabur!  Sebuah pencapaian sederhana yang patut Valen syukuri. 

Kelak, Valen sudah paham bagaimana caranya kabur dari rumah tanpa ketahuan. Dia bisa pergunakan pengalaman malam ini di kemudian hari, saat dia sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk pergi selama-lamanya dari rumah Ghandy yang kokoh nan sombong itu. Pergi selama-lamanya dari kumpulan manusia yang menganggap rendah afeksi, dan hanya mendewakan materi.

***

Penampilan band 'Dark Valentine' malam itu mendapat tepuk tangan meriah dari para pengunjung kafe. Kelima anggota band membungkukkan badan sebagai salam perpisahan sebelum kembali ke belakang panggung. Valentino sang frontman, vokalis sekaligus gitaris merasa lega dan puas melihat reaksi positif para pengunjung. Dia tidak henti berharap, mungkin suatu waktu, akan ada yang menghampirinya dan menawarinya untuk masuk dapur rekaman dan resmi diorbitkan sebagai penyanyi.

Siapa pun berhak bermimpi.

"Duh ... Untung yah, Valen, kamu beneran bisa dateng malem ini!" Valentina berseru lega begitu mereka sudah di ruang istirahat. Dipeluknya lengan Valentino, bersandar manja.

"Iya menn, gue udah denger dari cewek lu kalau lu sekarang dipingit?" sahut Sam, si drummer.

"Dan nggak bisa kemana-mana lagi, beneran itu?" Aaron si basis ikut menimbrung. Anggota satu lagi, yang memegang keyboard, Ben, turut memandangi Valentino penuh rasa ingin tahu.

Valentino menghela nafas panjang. "Yah. Begitu deh, guys. Mobil gue disita sama bokap gue, dan emang, gue dipingit nggak boleh kemana-mana! Gila nggak tuh? Ini zaman apa, pakai dipingit segala? Apalagi gue cowok .... Malu gue, asli."

"Gue jadi lu juga pasti malu digituin! Berontak malah!" Ben berkomentar. 

"Nah ini lu berhasil keluar, bebas dong?" tanya Sam.

"Gue diem-diem kabur. Untung aja gue berhasil, 'kan? Kalau gue gagal, nggak bakalan ada gue di sini," jawab Valentino.

"Terus, ini nanti lu balik lagi ke rumah?"

Valentino mengangguk."Ya mau gimana lagi?" 

"Padahal karena lu sekarang ini udah berhasil kabur, ya ngapain lagi lu balik, bego. Lu terima-terima aja dipingit?" cecar Aaron.

Valentino terdiam sejenak. "Gue masih berupaya bujuk bokap gue supaya mau terima jalan hidup gue. Meski, gue pesimis bisa yakinkan dia, tapi nggak ada salahnya gue coba," ujarnya kemudian.

"Hais ... Susah, susah emang, anak orang kaya," sahut Sam.

"Apa pun yang terjadi, kita di sini selalu dukung elu, Valen. Oke?" Aaron menepuk bahu Valentino penuh simpati. 

"Gue harap lu bisa deh, yakinin old man lu. Semoga semua lancar ya!" ujar Ben.

Valentino tersenyum penuh syukur. Teman-temannya ini memang sungguh teman sejati, tidak seperti yang Bernard tuduhkan kemarin. "Gue aminin. Thank you so much, guys," katanya.

"Oke deh! Yuk ah, kita bertiga duluan ya! Kita menolak jadi nyamuk buat lu berdua," pamit ketiga orang itu sambil cengengesan memandangi Valentina dan Valentino.

Valentino tertawa lepas. "Kalau sirik, buruan cari cewek buat nemenin manggung!" ledeknya sebelum ketiga orang itu menghilang di balik pintu.

Valentina tersenyum-senyum geli. "Pengertian banget yah mereka," ujarnya.

Valentino terkekeh sambil memandangi Valentina. "Sesama cowok harus saling ngerti," sahutnya asal. Direngkuhnya gadis itu, lalu tersenyum dan berkata, "Anyway, penampilanmu tadi makin bagus. Tuh, ternyata kamu bisa ambil nada tinggi. Improvisasinya juga cakep."

"Thank you pujiannya," sahut Valentina, tersenyum senang. "Seneng rasanya dipuji sama kamu ... Nggak sia-sia latihan."

"Nice, keep it up, Val," ujar Valentino. Tangannya menyibak sejumput rambut yang menjuntai di pipi Valentina, menyelipkannya di balik telinga. "Cakep banget sih? Ceweknya siapa ini?" goda Valentino.

"Pacar tercintanya Valentino Ghandy, pastinya," jawab Valentina sambil menyunggingkan sebuah senyuman menggoda. "Aku milik kamu seutuhnya, dan kamu, milik aku seorang."

"Ups." Valentino menyeringai nakal. "Gara-gara tadi siang nggak kesampaian ... Sekarang udah berasa tanda-tanda mau berontak nih," katanya.

Tawa Valentina terdengar semakin merdu di telinga Valentino. "Nakal! Darah panas banget sih kamu," ujarnya sambil memukul ringan dada Valentino. Ia melepaskan diri dari pelukan pemuda itu, berkata sambil menuju pintu untuk menguncinya. "Sabar dong, kunci dulu pintunya. Tapi beneran nih di sini? Nanti kalau pemilik kafe tiba-tiba dateng gimana?"

"Nggak akan dateng. Main cepat aja."

Begitu membalik badan, Valentina nyaris terpekik kaget lantaran tidak menyangka Valentino tepat ada di depannya, sedang menyeringai penuh arti. Tanpa banyak omong lagi pria itu memojokkannya ke dinding, lalu menyapu dan melumat bibirnya. Valentina mengalungkan tangan di leher Valentino, meladeni cumbuannya yang terasa semakin agresif, semakin menuntut, seakan tidak mengenal kata sabar. Dibiarkannya tangan hangat pria itu menjamah tubuhnya yang masih terbalut pakaian, dan ia melepaskan desahan yang nyata-nyata semakin membuat Valentino bersemangat. Perlakuan pria berwajah sendu itu memang selalu membuat Valentina terlena, terhanyut menikmati tiap sentuhan. Saking terbuainya, wanita itu sampai tidak sadar saat Valentino melucuti pakaian dalamnya.

Nafas Valentino semakin berat, menderu terburu nafsu. Dia menaikkan kedua kaki Valentina, menahannya di pinggang. 

"Valen ...," desah Valentina saat merasa pria itu berusaha memasukinya. "Kondom?"

Gerakan Valentino terhenti sesaat. Dia menatap Valentina, seperti tengah bergulat dalam pikirannya. "... Kondom. Sebentar," bisik Valentino lalu sibuk sendiri memasang sesuatu. "Kondom checked," ujarnya tak lama kemudian. 

Valentina tertawa senang, menyambut serangan permainan sang pejantan.

Namun saat tengah asyik-asyiknya memadu nafsu ...

Tok! Tok! Tok! 

"Mas Valen?" Suara seseorang terdengar dari balik pintu.

Wajah pasangan yang tengah bergumul itu seketika memucat mendengar suara pemilik kafe.

"Tuh 'kan ...! Gimana ini, Valen??" Valentina berseru tertahan, panik. 

Valentino cepat menguasai diri. "Ssh. Tenang, Val," bisiknya. 

"Ya, Mas? Sorry, saya sedang ganti baju," jawab Valentino setengah berteriak. 

"Oo. Iya saya pikir Mas Valen sudah pulang. Ya sudah, nanti tolong kunci pintunya lalu titipkan kuncinya ke kasir ya," sahut pria di balik pintu.

"Siap," jawab Valentino. Untuk beberapa saat lamanya dia dan Valentina sama-sama memasang telinga, tampaknya pemilik kafe sudah pergi dan tidak curiga pada apa yang terjadi di dalam ruangan. Keduanya terkikih bersamaan, menertawai kejadian yang memacu adrenalin itu. 

"Seru juga ya, main petak umpet," ujar Valentino masih sambil terkekeh.

"Seru banget ... Ayo terusin, jangan nanggung ...," pinta Valentina sembari mulai lanjut memompa pria itu.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi saat Valentino berusaha mengangkat bobot tubuhnya pada untaian tali yang menjuntai dari balkon kamarnya. 

Nggak segampang waktu turun tadi, batin Valentino. Nafasnya terengah-engah, sudah separuh jalan. Energi gue udah kepake duluan tadi. Anj*r, sampe ngap-ngapan banget ini! Gravitasi, ayo kerja sama, jangan terlalu ngotot narik gue!

Usahanya membuahkan hasil. Dia akhirnya sampai juga di balkon kamarnya di lantai tiga. Helaan nafas lega lolos dari mulutnya. Cepat-cepat dia bereskan tali dan lainnya, lalu bermaksud masuk ke dalam kamar.

Gue berhasil menyelinap pergi dengan sukses malam ini! What a night! ujarnya dalam hati, merasa puas dan senang.

Namun begitu dia membuka pintu dan menyibakkan gorden ...

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Skandal Cinta Pewaris Kedelapan (Bab 7-9)
0
0
Tindakan Valen yang pergi dari rumah untuk manggung di kafe rupanya ketahuan oleh Bernard! Dan akibatnya, Valen terpaksa menerima hukuman fisik dari para pengawal Bernard, menyebabkan dirinya terkapar tak berdaya berhari-hari. Dari kejadian itu, Valen terang saja semakin tidak kerasan berada di rumah, terlebih, ekspektasi Bernard yang terlalu tinggi dan tidak bisa dia terima .... Bernard tipe manusia keji yang mengharamkan afeksi, berbanding terbalik dengan Valen.Apa salahnya memiliki afeksi? Apa salahnya memiliki hati, memiliki cinta? Valen tidak akan bahagia bila terus bertahan di bawah ketiak Bernard. Apalagi, kelakuan saudara-saudaranya yang menyimpang, yang jauh dari moralitas, sangat tidak berkenan bagi Valen. Kelakuan macam apa yang jauh dari moralitas itu? Kuuyy, bacaaa lanjutan Pangeran Turun Kasta!***Baca dan dukung penulis yuk, biar semangat update sampai bab terakhir! Keep in touch with author on Instagram : @miss_camillemarionFacebook : Camille MarionYoutube : Camille Marion *** Disclaimer dulu ah ... kisah ini hanya fiktif belaka yaa teman-teman. Tidak mewakili pandangan, tidak pula merupakan bentuk dukungan penulis terhadap praktik-praktik nyeleneh yang dilakukan Bernard si orang tua yang rada-rada ... (peace sign)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan