
Ini adalah karya tulis paling pertama Mille. Idenya eksis sejak tahun 2002an, jadi jangan heran kalau setting awal cerita di tahun 2000 ^^ .
Digarap dengan gaya yang non formal, supaya berasa baca jurnal pribadi … Pernah menghiasi sudut temaram platform membaca berwarna oranye, tanpa ada pembaca, akhirnya memutuskan untuk memoles isi cerita dan mencoba peruntungan di sini ^^ .
Kisah Adrian Mulya terbilang bizarre, sebab siapalah orang yang benar-benar bisa memutar balik waktu? Kalaupun ada, pastilah...
1. First Trouble – Kawanan Blangsak
Minggu, 8 Oktober 2000.
Aku lagi di kamar, rencananya sih belajar buat mid semester satu di kelas dua, yang tinggal hitungan hari, tapi … DUH, males banget mesti megang buku-buku pelajaran yang memuakkan dan bikin mual, apalagi kalau lihat rumus! Kalau bisa, dengan senang hati aku akan muntah di atas rumus-rumus sialan itu. Jadi, daripada nggak ada kerjaan, aku setel tape dan mendengarkan lagu favoritku, ‘In The End’ by Linkin Park.
Kurebahkan tubuh di atas kasur dan baru saja nyaris terlelap, ketika tiba-tiba aku mendengar suara benda pecah dari lantai bawah. Nah lho. Apa lagi yang pecah? Piring? Vas bunga? Atau porselen kesayangan Mama juga turut jadi korban?
Lalu terdengar teriakan-teriakan Mama, disusul dengan teriakan Papa, nggak kalah kencengnya. Kalau sudah begitu, biasanya salah satu dari mereka bakalan keluar rumah lengkap dengan bantingan pintu tanpa perasaan.
BRAKK!!
Nah. Itu suara pintu dibanting. Bener kan kataku? Berarti malam ini ada yang nggak pulang. Siapa ya, kali ini? Papa, atau Mama?
Aku sudah biasa mendengarkan pertengkaran mereka setiap hari. Ada saja yang diributkan. Aku juga nggak tahu kenapa mereka jadi sering bertengkar kayak anjing dan kucing begitu. Mungkin mereka memang sedang bermetamorfosis menjadi anjing dan kucing?
Hush. Ngawur.
Tapi aku sih tenang-tenang saja, soalnya paling sebentar lagi juga mereka bakal baikan. Nggak usah diambil pusing deh ...
Aku ambil ponsel lalu menelepon pacarku, Lina. Dia pinter, siapa tahu dia mau mengajari aku fisika, sekalian berduaan sama dia, yah kalian pahamlah!
Lina mengangkat teleponku saat nada sambung yang ketiga. “Ada apa, Dri..?”
“Hai, Lin. Lagi apa?”
“Belajar. Hari Rabu kan udah mid. Loe udah belajar belum ...?”
“Belum. Males banget gue! Loe tuh memang rajin banget ya? Ajari gue fisika dong?”
“Mmh … boleh. Kapan?”
“Besok, pulang sekolah. Gimana? Di rumah loe, ya.”
“Ok … tapi benar-benar belajar, lho.”
Lina, Lina. Cewek alim. Pinter. Manis. Lembut. Pengertian. Aku jadian sama dia sejak kelas 1 SMA. Enaknya, aku jadi beken di sekolah karena aku berhasil menggaet cewek paling manis di sekolah, yang jadi rebutan banyak cowok. Tapi nggak enaknya, dia tuh rajin banget belajar! Heran, zaman gini belajar?
Berhubung mood belajar sama sekali nihil, dan aku nggak tahu apa yang bisa kulakukan sekarang, kuputuskan untuk pergi berenang di tempat langgananku. Berenang sore hari begini pasti segar!
***
Besoknya, di sekolah.
Aku dan teman-teman -Andre, Sony, dan Daniel- sedang asyik ngobrol di koridor. Membuang waktu selagi menunggu waktu istirahat habis, dengan obrolan-obrolan yang menurut aku pribadi, nggak berguna! Tapi aku ladeni saja mereka, sejauh mereka nggak menyinggung perasaanku.
Jujur, sering juga sih, kata-kata mereka ngaco dan ngelantur. Ditambah, mata mereka yang merah, dan sikap mereka yang kayak orang mabok. Dan kalau sudah kayak begitu, aku berkesimpulan, mereka masih mabok habis minum semalaman atau … habis pesta obat semalaman.
Obat?
Yep. Sudah lama aku tahu, mereka pengguna. Malahan mereka sering mengajak, membujukku untuk ikutan mereka. Tapi nggaklah, imanku kuat kok. Buktinya sampai sekarang aku baik-baik saja.
Daniel. Berperawakan tinggi besar, berambut ikal pendek dan berkulit putih. Matanya hitam dan jernih. Dulu, sewaktu belum kenal drugs. Sekarang dia kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Namanya juga junkers.
“Katro, nanti malam ada acara nggak loe? Ikut kita dugem!” ajaknya.
Sony segera menimpal, “Percuma loe ajak dia. Anak mami.”
Aku hanya menatap Sony, males mengomentari kata-katanya. Aku jadi ingat masa-masa saat aku dan dia baru saja masuk SMP. Cupu. Yeah, Sony cupu. Culun punya. Tubuhnya kurus kecil, memakai seragam yang kegedean buat dia. Sudah begitu seragamnya dikancing semua sampai atas. Kacamatannya tebal dengan bingkai hitam, plus, rambut berponi lurus.
Sekarang? Jauh beda. Tubuh tetep kurus (malah kayaknya lebih kurus lagi tuh). Kacamata botol susunya sudah dilepas, dibuang kali. Dia pakai soft lense sekarang. Rambutnya juga sudah nggak berponi lagi, tapi dia biarkan tumbuh panjang dan berantakan.
Aku jawab, “Gila, udah mau ujian begini ajak dugem! Ada-ada aja loe!”
“Nah, udah gue bilang, kan!”
Aku melanjutkan, ”Lagian hari ini gue mau ke rumah cewek gue, bro, mau les privat!”
“Tahu deh, mentang-mentang punya pacar yang pinter,” sahut Andre.
Andre adalah orang terakhir yang bergabung dalam ‘kelompok’ku ini. Dan malah dialah yang paling pentolan. Diam-diam kuperhatikan, akhir-akhir ini dia kelihatan lebih sibuk dari biasanya. Aku curiga, dia mulai menjadi bandar.
Ah, gila. Bagaimana ceritanya sih aku bisa berteman dengan mereka?? Aku sendiri heran apakah pertanda-pertanda kalau tiga orang ini adalah junkers, nggak terlalu kentara sampai guru-guru nggak ada yang ngeh? Soalnya nggak mungkin kan, pihak sekolah nggak ambil tindakan apa-apa pada murid yang ‘berprestasi’ seperti ini.
“Loe sekali-kali ikut kenapa, sih? Buat selingan. Kalau nggak suka, ya tinggalin aja. Gampang kan?” tanya Andre.
“To the point aja apa maksud loe,” jawabku.
“Yea. Gue yakin loe tahu banget maksud gue apaan.”
“Dan loe tahu persis jawaban gue.”
“Loe nggak bosen juga kita panggil loe ‘katro’?” tanya Daniel.
“Whatever,” jawabku sekenanya, lalu berjalan menjauhi mereka.
Well, aku sendiri nggak paham, kenapa aku sampai nggak bisa menjauhi mereka. Walaupun sebenarnya aku ingin banget nggak berhubungan dengan mereka lagi.. Apa karena aku terlalu terikat dengan persahabatan kami di masa lalu? Entahlah.
Aku menuruni tangga, menuju kantin sekolah yang biasanya selalu penuh sesak dengan anak-anak yang bernafsu makan besar. Seandainya saja adiksi alkohol dan drugs yang dialami Andre, Sony dan Daniel berubah menjadi adiksi makanan, pasti bakalan lebih menyenangkan. Mendingan lomba makan daripada lomba teler, kan! ... Ah, teruslah bermimpi. Akulah yang seharusnya menjauh dari mereka! Titik!
Di ujung tangga kulihat sosok Martin – rivalku. Dia sedang berjalan menaiki tangga, mendekatiku. Dia mendangak, menyadari keberadaanku lalu menyunggingkan senyuman sinis. Apa pula maunya orang ini. Nggak ada bosannya cari masalah?
Martin. Delapan bulan lebih tua dariku. Berperawakan tubuh sedang, dan yang membuat aku nggak respek dan eneg melihatnya adalah gaya rambutnya yang ngejigrak tajam persis landak, persis nanas. Ditambah dengan kebiasaannya yang selalu mengusap rambut landaknya itu, berasa yang paling oke sedunia. Sungguh bikin sakit mata.
Dan entah kenapa banyak orang yang salah menilai. Masa banyak yang bilang kalau aku mirip sama orang ini?! Apanya?! … Menurut mereka sih, wajah dan posturku dan Martin rada mirip. Apa mereka nggak sadar, bahwa aku yang rupawan ini jauh berbeda dari si tengik ini?
Martin tiba-tiba berhenti ketika kami berpapasan di tengah tangga. Dia bilang, “Hei. Gue cuma mau memperingatkan loe. Hati-hati, bisa-bisa hari ini kedok loe terbongkar.”
Kedok apaan? Aku menyahut tanpa menoleh pada orang itu, “Apa maksud loe?”
Dia mengangkat bahu, “Terserah, loe mau mengartikan apa kata-kataku tadi. Yang jelas, kalau nanti terjadi sesuatu, jangan sekali-kali loe salahi gue. Ok? … Dan juga jangan heran kalau pada akhirnya nanti, Lina menjadi milik gue.”
Aku mendengus sinis, “Hmm ... Optimis banget. Belom nyerah juga?”
“Sekarang loe bisa ngomong begitu. Entah besok… Apa loe masih bisa ngomong seperti itu?”
Dia menepuk bahuku pelan dan berkata sebelum berlalu, “Good Luck.”
Enggan aku menoleh ke arahnya. Pamali.
Brengsek. Apa maunya si Martin? Masih penasaran, siapa cowok yang berhasil merebut hati Lina? Orang yang nggak tahu diri.
***
Kulirik arloji. Dua belas lebih sepuluh. Lima menit lagi bel pulang sekolah. Ah, cepatlah. Aku udah kangen sama Lina, nih.
Bel akhirnya berdering nyaring. Aku buru-buru berkemas dan keluar dari kelas, langsung menuju kelas Lina, 2-2. Aku menyapukan pandangan ke koridor depan kelas 2-2, dan nggak melihat tanda-tanda kehadiran Lina. Jadi, kutunggu Lina di depan kelasnya.
Aku bersandar di dinding sambil asyik mengingat-ingat proses aku dan Lina jadian, yang ... nggak istimewa, nggak ada gunanya juga kuceritakan, tapi buatku ... kenangan itu berharga banget.
Nggak beberapa lama kemudian, Lina keluar dari kelas. Cewek berwajah manis dan imut itu kaget, begitu pandangannya tertumbuk padaku.
Kusapa dia sambil melempar senyum hangat, “Hai, Lin. Hari ini jadi, kan?”
Nggak tahu kenapa, Lina malah memicingkan mata begitu melihatku, lalu berkata dengan suara tertahan, “Loe.. masih berani juga, ya, ketemu dan nyapa gue, seolah nggak pernah terjadi apa-apa! Bajingan. Puas loe, mainin gue, puas?!”
Hah?
“Lin, l-loe ... ngomong apaan sih? Loe kenapa?”
“Gue, kenapa?! Nggak usah pura-pura nggak tahu deh! Loe tahu betul apa yang gue omongin!”
Apaan sih?? “Loe ngomong yang jelas kenapa?! Gue nggak tahu apa maksud loe!” seruku.
Lina mendecak, “Masih pura-pura nggak tahu apa yang gue omongin. Semua orang di sekolah ini udah pada tahu kalau loe cuma mainin gue. Oh, hebat. Hanya gue yang nggak tahu kalau loe adalah seorang playboy. Tolol banget sih gue.”
Aku bengong. Kerasukan apaan sih ini cewek? “Playboy? Apa sih maksud loe ngomong begitu? Huh? Darimana loe dapet info nggak bener kayak begitu?!”
“Udah Dri, ngaku aja deh.. Untung ya, gue punya sahabat-sahabat yang baik, yang mau buka mata gue. Gue tuh nggak menyangka ya, di balik manisnya wajah loe, loe tuh ternyata busuk!”
Sialan! Jadi menurutmu, aku ini busuk?! “Loe.... Memangnya gue ada salah apa sih?? Gue melakukan apa?!”
“Loe pikir sendiri aja deh! Capek gue ngomong sama loe, nggak paham-paham!”
“Sebentar.” Aku terdiam sesaat. “Tadi loe bilang sahabat-sahabat loe?” tanyaku dengan suara tertahan. “Gank loe, maksud loe?”
“Siapa lagi?”
“Mereka, yang ngomong kayak begitu ke loe?”
Lina nggak jawab.
“Lin, gue nanya..!” desakku.
“Iya! Memang kenapa?!”
Aku mengusap rambut aku dengan sebelah tangan. “Kenapa mereka ngomong begitu, sih, ke loe?! Dan loe percaya begitu aja, kata-kata mereka?!”
“Gue lebih mempercayai temen-temen gue daripada apa pun di dunia ini.”
“Oh. Jadi loe nggak percaya sama gue?”
“Nggak. Kalo boleh jujur,”
“Jadi selama ini, loe nggak percaya sama gue?”
2. First Trouble – Putus
“Selama ini … gue sih percaya-percaya aja sama loe. Tapi setelah temen-temen gue nyadarin gue bahwa loe tuh playboy … Ya gue baru terbuka aja matanya kalau loe tuh sama sekali nggak pantas untuk dipercaya.”
“Apa?” Aku bener-bener heran. Aku bener-bener nggak nyangka, kenapa Lina percaya begitu aja pada fitnahan temen-temennya mengenaiku! Aku nggak merasa pernah menyakiti atau bahkan mengkhianati Lina selama ini! Nggak masuk akal banget! Dan apa sih maksud temen-temennya fitnah aku?! Kenapa tiba-tiba aku jadi korban fitnahan begitu?
“Jadi kesimpulannya … Loe lebih percaya sama temen-temen loe, daripada sama gue?” tanyaku.
“Itu ngerti.”
Aku terdiam lama. “Terserah loe deh. Mau anggap gue apa. Toh, ternyata selama ini gue salah memacari cewek. Gue salah memacari cewek yang nggak percaya sama sekali pada gue. Dan tololnya, dia percaya begitu saja pada fitnahan! Apa yang dikatakan temen-temennya dia telan langsung!”
Lina menyilangkan tangannya di depan dada, “Gue nggak butuh komentar loe! Pergi loe jauh-jauh dari hidup gue. Gue nggak sudi didekati sama cowok macem loe!”
Aku mengangguk-angguk, lalu pergi meninggalkan dia.
Kampret.. Kenapa tiba-tiba temen-temen Lina pada fitnah aku sih? Selama ini mereka baik-baik saja padaku. Dan kenapa sih, Lina percaya mentah-mentah pada apa yang mereka omongin?! Nggak habis pikir!
Di tengah jalan Martin mencegatku. Dia dateng bareng sama sekumpulan cewek-cewek. Instingku langsung mengatakan, semua ini adalah ulah Martin. Menurutku, pasti dia yang suruh temen-temen Lina untuk fitnah aku. Tapi gimana bisa sih?! Dikasih imbalan apa temen-temen Lina sampai mau diperalat Martin?
Dia nampang di depanku dengan menyilangkan tangan di dada sambil tersenyum sinis. “Gimana, bad luck rupanya loe, ya?” kata Martin santai.
Jelas aku langsung naik darah. Tanpa ba-bi-bu kutonjok muka Martin keras-keras, dan dia langsung roboh. Huh, pengecut. Lembek. Temen-temen ceweknya langsung merubung dan menolong Martin. Sementara aku cabut, nggak ambil peduli.
Cowok bangsat.
Cewek tolol.
Mereka cocok rupanya!
Aku setuju Martin dan Lina jadian.
Sejak saat itu aku bad mood. Aku males belajar, walaupun aku tahu, mid tinggal beberapa hari lagi. Dan aku nggak peduli. Bodo amat!
***
Mid hari pertama.
Aku dan ketiga kawan junkers, sedang duduk-duduk di koridor depan kelas. Niatku semula sih belajar, tapi buku yang kupegang cuma beralih fungsi jadi kipas.
Andre menutup buku yang sedang dia baca dengan kesel, sambil menggerutu, “SHIT! Gue belom belajar nih!!”
“Belajar tuh buat anak cemen, coy,” sahut Daniel.
“Ya udah sih, gampangnya aja. Kita nyontek ke temen kita yang satu ini. Pastinya dia udah belajar,” kata Sony sambil merangkulku. ”Ok, Dri? Kita kan teman sejati! Kasih tahu jawaban loe yah nanti, semuanya!” katanya lagi.
“Bener juga. Kita andalkan loe nih, Dri. Oke kan? Okelah!”
Aku mendengus. “Gigi loe. Gue sama sekali nggak belajar kemaren.”
“Loe nggak belajar? BULLSHIT,” kata Sony.
Nggak bohong. Aku nggak peduli mid, dan aku memang bener-bener nggak belajar. Kan sudah kubilang tadi, aku masa bodo.
“Sumpah. Gue nggak belajar. Males. Bad mood. Nggak peduli,” jawabku.
“Bukannya loe belajar bareng Lina?”
Aku terdiam sebentar, lalu menjawab, ”Pegat.”
Sontak Andre, Sony dan Daniel ketawa ngakak. “Syukurin loe! Tau rasa!” seru Daniel.
“Loe anggurin doang sih tu cewek! Jadi ngambek deh! Hahaha!” sahut Andre, puas banget dia menertawaiku.
Terserah.
***
2 minggu kemudian.
Hasil tes mid sudah diumumkan. Anak-anak berkumpul di depan papan pengumuman untuk melihat hasilnya. Aku tetep nggak peduli. Aku yakin banget nilaiku jatuh drastis. Jadi buat apa aku ikutan berdesak-desakan di depan papan pengumuman hanya untuk melihat buruknya nilaiku? Aku duduk di bawah pohon sambil menyelonjorkan kaki. Asyik menikmati hembusan angin yang sepoi-sepoi.
Aku lihat Andre berusaha menyeruak keluar dari kerumunan orang, menghampiriku. Dia menegur, “Woi! Loe nggak mau lihat hasilnya?”
Aku menggeleng.
Daniel menyusul kemudian, ikut menegurku, “Woi, katro! Ngapain loe bengong di sini aja?”
“Berapa jumlah loe?” tanyaku.
“90. Lumayan…di atas rata-rata. Padahal gue sama sekali nggak belajar. Untung gue nyontek. Loe?”
Aku angkat bahu. “Peduli amat.”
“Liat aja gih.”
Aku sebenernya penasaran juga sih. Jadi aku bangkit berdiri dan berjalan menuju papan pengumuman. Kucari namaku, dan angka yang tertera di sana adalah ….
TA-DAA!
Wah. Angka yang nggak pernah kudapatkan seumur hidupku.
Aku balik berkumpul dengan teman-teman yang sedang menungguku. Kehadiranku langsung disambut dengan pertanyaan, “Berapa jumlah loe, Dri?”
“Di bawah rata-rata. 80,” jawabku santai.
“Loe? Di bawah 80? Bullshit banget loe. Biasanya juga di atas 95!” sahut Sony.
“Sumpah. Liat aja sendiri. Udah ah, gue balik ya. Yook,” pamitku pada mereka sambil pergi meninggalkan kawanan itu. Segera kunaiki motorku, lalu langsung tancap gas.
Dalam perjalanan pulang, aku membatin. Sebenernya aku panik juga, sih. Nilaiku bener-bener ancur. Masih kurang 4 angka untuk mencapai rata-rata. Shit.
Hmm ... palingan juga dimarahin Papa Mama, bisa turun sedrastis itu. Tapi nggak apa-apa sih, mau marahin juga sudah untung. Berarti mereka masih peduli.
Aku sampai di rumah beberapa menit kemudian. Kulihat Mama lagi asyik nonton TV di ruang tengah. “Aku pulang,” kataku.
Mama menoleh sekilas, lalu kembali terhanyut dalam acara TV yang sedang ditontonnya.
“Papa mana, Ma?” tanyaku.
Mama menjawab hanya dengan gerakan bahu.
“Jadi Papa nggak ke kantor? Terus, siapa yang mengurusi kantor?”
“Ya nggak ada,” jawab Mama santai. “Kamu kan tahu sendiri. Papamu adalah seorang pemilik perusahaan yang nggak bertanggung jawab.”
“Gimana kalo bangkrut? Mama kok santai-santai aja, sih?”
“Lalu Mama harus gimana, Adri? Lagipula Papamu bangkrut bukan urusan Mama. Biarkan saja, Mama nggak peduli.”
Aku geleng-geleng kepala. Asli kesel banget! Bodo amat jugalah! Aku bermaksud naik ke atas ketika tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku berhenti, lalu bilang ke Mama, “Hasil mid semester udah diumumin. Nilaiku di bawah rata-rata, Ma. 80 poin.”
“Oh.”
Oh? Cuma itu? Mama nggak peduli lagi sama aku, bukan?
Aku naik ke atas, dan ketika aku di tengah tangga, aku dengar Papa pulang, dan disambut oleh semprotan Mama. Aku langsung cari spot yang enak buat mengintai mereka.
“Ingat rumah, rupanya. Kukira nggak akan pulang, hari ini” kata Mama.
Papa jawab dengan suara keras, “Aku pulang salah, aku nggak pulang salah! Apa sih maumu sebenarnya, hah?!”
“Aku cuma pengen kamu lebih bertanggung jawab sebagai kepala keluarga! Bukannya main perempuan!” seru Mama nggak kalah kerasnya dari Papa.
Papa? Main perempuan?
“Apa katamu?! Jangan sembarangan menuduhku! Kamu sendiri ibu rumah tangga yang tidak becus dan bertanggung jawab!”
“Aku?! Apa alasanmu menuduhku seperti itu?”
“Kamu nggak pernah sadar ya?! Kamu tuh terlalu memanjakan Ezra! Seandainya kamu nggak mengizinkannya pergi, Ezra nggak akan pergi secepat itu!! Kamu introspeksi dong!”
“Jadi kamu menyalahkanku atas kepergian Ezra?? Bukannya itu semua adalah salahmu?!”
Ezra?
Mereka ... jadi seperti ini … karena Ezra? Hanya karena Ezra??
3. First Trouble – Broken Home
Mereka ... jadi seperti ini … karena Ezra? Hanya karena Ezra??
Apa anak mereka cuma Ezra?! Lalu aku? Apa? Bukan anak mereka?! Ada apa sih?! Dan aku langsung teringat dua tahun yang lalu, ketika ….
[ April 1998.
Aku sedang asyik main komputer ketika pintu kamarku diketuk. Rupanya Ezra, kakakku. Biasa aku panggil dia Eza, Eja, Ez, Jra, whateverlah sesuka mulutku. Nah itu anak, belum aku persilahkan dia langsung menerobos masuk ke dalam kamar.
“He, mau oleh-oleh apa loe?” tanyanya.
“Hah? Oleh-oleh apaan?”
Ezra duduk di ujung tempat tidur, nyengir lebar. “Akhir pekan ini gue cabut ke Sydney,” katanya sambil mengikat rambutnya yang panjang sebahu.
“Ngapain?”
“Ya pacaranlah! Pakai tanya lagi. Bayangkan, udah berapa lama gue LDR sama cewek gue! Mumpung ada kesempatan, gue mau ke sana. Dan bagusnya bonyok udah kasih gue izin.”
“Seriusan loe? Bonyok kasih izin??”
“Segala sesuatu kalau diperjuangkan ada hasilnya, Dek. Lagian gue pakai duit gue sendiri.”
“Taulah yang tajir!”
“Ya ... makanya gue tawarin loe oleh-oleh. Mumpung mood gue lagi baik. Cepat jawab!”
“Tumben.” Aku berpikir sebentar. “Kalau buat gue yang gampang ajalah! Tshirt gue mau, tas boleh, dompet kulit. Jam weker juga boleh. Sama tusuk gigi kalau bisa,” kataku sambil nyengir.
“Najis! Buat apaan tusuk gigi! Tuh, loe pakai stik drum aja buat korek gigi!”
“Lah! Suka-suka gue yang request! Kan loe yang nawarin oleh-oleh!”
“Serah dah.. serah! Jadi, loe antar gue ke bandara, oke?”
“Beres,” jawabku. “Ngomong-ngomong, dalam rangka apaan bonyok kasih loe izin?”
“Memang kenapa? Nggak boleh?”
“Bukan. Bukannya yang paling dicemaskan bonyok tuh kalau loe bikin anak orang bunting yak? Lah loe pergi jauh-jauh, berduaan doang sama cewek loe, apa jadinya tuh .,..”
Ezra malah senyum licik. “Makanya, kalau mau main yang smart, Dek,” katanya sambil nunjuk pelipis. “Jangan otot doang loe pakai, otak juga!”
“Ha?” aku nggak ngerti.
Ezra mengibaskan tangan. “Sudahlah! Bocah baru gede mana ngerti sih.”
“Kalau gue nggak ngerti, itu tugas kakaknya ajarin! Bukannya malah sombong! Ini gue serius, Za, loe jangan macem-macem disana!”
“Udah deh. Anak kecil tahu apa sih. Lanjut belajar sana,” Ezra bangkit berdiri sambil mengacak-acak rambutku. “Loe tenang aja, gue bisa jaga diri kali, nggak kayak loe! Hahahaha,” katanya lagi sambil terbahak. ]
Siapa yang sangka rupanya itulah saat terakhir aku bisa mendengar tawanya yang renyah dan khas.
Nggak ada yang menginginkan tragedi saat itu terjadi. Termasuk aku! Memang aku yang mengantar Ezra ke terminal dengan motor, dan aku bersumpah pada Tuhan aku nggak ngebut! 30 km/jam, itu nggak kencang kan? Aku juga disiplin mematuhi peraturan! Dan lagi pula saat itu aku membonceng Ezra + barang bawaannya yang lumayan juga beratnya! Aku nggak ingin terjadi apa-apa kalau aku ngebut! Dan aku orangnya tuh hati-hati. Mana pernah aku melanggar lampu merah? Mana pernah aku maksa lawan arus? Sejak kecil aku diajarkan Papa supaya jangan jadi orang bengal, hormati dan hargailah orang lain ... ya termasuk kalau sedang dalam perjalanan juga. Aku nggak seperti pengendara motor ugal-ugalan yang seenaknya nyerobot trotoar pas lagi macet. Juga nggak maksa kalau lampu lalu lintas udah menyala kuning.
Dan waktu itu, di perempatan jalan besar sana nggak terlalu ramai. Kebetulan banget di lampu merah aku yang paling depan. Ezra duduk dengan anteng di belakangku, sesekali aku dengar dia bersenandung nggak jelas. Aku tahu dia senang banget saat itu. Iyalah, bakalan ketemu pacar setelah berbulan-bulan LDR, siapa yang nggak excited? Apalagi dia sudah dapat izin resmi dari orangtua, secara aku tahu mereka tipe orangtua yang lumayan keras. Jadi aku sendiri amazing begitu tahu mereka kasih izin Ezra pergi ke luar negeri buat ketemu pacar.
Lampu sudah menyala hijau, otomatis dong aku mulai jalan lagi. Motor dan mobil lain di samping aku juga mulai gerak ... dan tahu-tahu saja dari kanan ada sedan ngebut persis seperti sedang kesetanan! Aku kaget! Oleng, dan aku terguling di aspal. Sepersekian detik setelah aku jatuh, aku dengar suara benturan keras di belakangku, berbarengan dengan suara decitan mobil dan suara teriakan banyak orang. Darahku serasa berhenti begitu aku menoleh ke belakang ... dan melihat Ezra bersimbah darah.
....
Saat itu adalah saat yang paling mengerikan dalam hidupku. Seandainya ada alat yang bisa membuatku amnesia, bakalan kupakai alat itu!
Suara Mama yang nyaring membuatku tersentak sadar dari lamunan. “Yang mengizinkan dia pergi itu, kan kamu?! Bisa-bisanya kamu menyalahkan aku??”
“Aku?!”
Aku nggak tahan, dan aku langsung masuk ke kamar. Ternyata itu sebabnya mereka selalu bertengkar?! Sudah dua tahun lebih, mereka masih mengungkit-ungkit dan saling menyalahkan?? Dua tahun!! Keterlaluan nggak, sih? Dan … mereka ... apa mereka nggak sadar?! Atau malahan mereka nggak bisa menerima kenyataan kalau Ezra sudah meninggal …?! Dan aku … sesibuk itukah mereka bertengkar, sampai mereka nggak sadar bahwa mereka masih mempunyai satu anak lagi yang masih hidup?? Yang terlibat juga dalam kecelakaan yang sama, tapi masih tetap hidup sampai sekarang?
Atau ... atau jangan-jangan mereka sebenarnya menyalahkan aku atas kematian Ezra? Aku jadi ingat, dulu ketika tragedi itu terjadi, berulang kali mereka memintaku menjelaskan apa saja yang terjadi secara detail.. Dari yang kulihat, aku merasa mereka nggak terlalu yakin dengan ceritaku. Mereka menyangka aku melanggar lampu merah sehingga kecelakaan itu terjadi. Aku nggak! Aku patuhi lampu lalu lintas kok! Coba tanya saja semua orang yang ada di tkp saat itu, semua juga tahu motor aku bisa oleng karena apa! Yeah, karena sedan yang kesetanan itu!
Lalu seiring berlalunya waktu, mereka nggak lagi menyinggung-nyinggung soal kecelakaan itu. Aku pikir semua sudah clear! Eh nggak tahunya... sampai sekarang mereka masih belum bisa move on dari tragedi itu, dan malah saling menyalahkan! Dan mungkin memang dalam hati mereka yang paling dalam, mereka menyalahkanku atas kematian Ezra!
Ezra kakakku satu-satunya! Mana mungkin aku punya niatan jahat seperti itu? Apakah sebegitu jauhnya pikiran buruk mereka mengenai aku, sampai bisa-bisanya aku dikira dengan sengaja membuat Ezra celaka??
Halo! Pa! Ma! Yang menjadi korban kecelakaan saat itu nggak hanya Ezra seorang! Aku juga! Apa jadinya kalau saat itu aku juga terlindas mobil?? Penerus keluarga ini habis sudah! Tapi kan pada kenyataannya, nggak seperti itu! Aku masih hidup! Masih bernafas sampai sekarang, masih sehat! Kenapa kalian nggak mensyukuri hal yang satu itu, kenapa kalian lebih fokus pada kehilangan yang kalian derita??
Mungkin memang seharusnya saat itu aku juga dihajar mobil ya! Supaya mampus sekalian! Hilang dua nyawa sekalian! Perlakuan mereka padaku saat ini seakan-akan nggak pernah anggap aku ada dalam hidup mereka. Apa artinya hidupku? Apa artinya??!
4. First Trouble – Pemakai Narkoba
Keesokan harinya di sekolah. Seperti biasa, aku dan teman-teman nongkrong di depan kelas, ngobrol sambil nungguin waktu istirahat selesai.
“Tro!” tegur Daniel.
Aku menoleh malas.
“Kenapa loe, muka lecek amat?” tanya Daniel lagi.
Mungkin ada baiknya aku ikutan aktivitas mereka selama ini ya? Kelihatannya enak buat melampiaskan beban pikiran.
“Gue butuh suasana baru. Gue butuh sesuatu yang bisa membuat gue melupakan masalah-masalah gue,” jawabku datar. Aku sadar apa yang baru saja terluncur dari mulutku. Aku pun sadar, dengan begitu aku berarti menjadi umpan bagus buat mereka.
Temen-temenku spontan heran dan memandangiku nggak percaya.
“Nah… begitu, dong Jack! Sekali-kali coba! Kalau nggak coba, gimana bisa tahu, ya nggak??” kata Sony.
Serius nih?
Suara hati seakan berteriak mencegahku.
Tapi, toh. Sudah nggak ada lagi yang peduli padaku. Aku mau ngapain saja, terserah aku. Aku hidup apa mati juga ... barangkali nggak ada yang peduli. Lagian hidup juga cuma sekali, kan. Nikmati saja.
Jadi malam itu kita berempat pergi ke suatu rumah kos. Di dalam sudah banyak banget anak-anak seumuran yang sedang asyik ngobat.
Oh. Tempat kos yang juga dipakai buat bersenang-senang ya.
I see.
Daniel, Sony dan Andre menyapa anak-anak yang nggak aku kenal itu. Mereka saling tos, lalu mengenalkanku pada mereka.
Aku melihat salah seorang dari mereka memberikan beberapa bungkus bubuk putih ke Daniel. Kemudian Daniel ambil beberapa botol bir yang masih ditaruh di boks, lalu berjalan mendekatiku yang terduduk sendirian di pojok.
Dia menyodorkan sebotol bir padaku dan berkata, “Loe mau langsung coba yang menjadi santapan gue, atau mau coba ini dulu? Loe pasti belum pernah sentuh alkohol sama sekali kan?”
Tanpa menjawab kuambil botol bir dari tangan Daniel.
“Untuk kali ini, loe gue traktir. Baik kan gue? Soalnya gue mesti ubah sikap loe yang katro itu secara bertahap. Menurut gue.”
“Ikhlas nih?” tanyaku.
“Yah ... Barangkali suatu saat nanti gue bakal minta ganti ke loe.”
Aku terdiam. Daniel mulai membuka kertas pembungkus bubuk putih yang tadi dia terima. H****n? Entahlah. Barangkali.
Dia menutup lubang hidung sebelah kirinya, mendekatkan bubuk putih itu ke lubang hidungnya yang sebelah kanan, lalu menghirupnya. Dia memejamkan mata, wajahnya menampakkan rona puas.
Aku menoleh pada Andre dan teman-temannya yang nggak aku kenal. Andre mengikat lengan atasnya kuat-kuat dengan kain. Setelah itu, salah seorang dari mereka membantu Andre menyuntikkan cairan bening pada lengannya.
Nuraniku lagi-lagi berteriak, menyuruhku untuk segera pergi dari tempat terkutuk itu. Dan aku terdiam. Pada akhirnya, bisikan setanlah yang lebih mayoritas dalam pikiranku.
Bisikan itu nggak henti-hentinya membuat hatiku panas. Menyinggung-nyinggung tentang kejengkelanku pada Papa Mama, yang nggak peduli lagi padaku. Setiap kali aku teringat akan hal itu, darahku serasa mendidih, dan aku mulai meneguk bir banyak-banyak.
Aku pulang malam itu kira-kira pukul 03:15. Oh, salah. Bukan malam ya. Dini hari. Aku langsung masuk ke kamar dan rubuh di ranjang. Kepalaku berat banget, serasa dibungkus dengan semen yang sudah membatu. Entah berapa botol yang aku minum. Dan sejauh itu, lumayan juga efeknya. Aku jadi melupakan semua masalahku.
Keesokan paginya aku nggak bisa bangun dari ranjang. Kepalaku terasa makin berat. Aku menunggu Mama mengetuk pintu kamar, membangunkanku yang dikiranya masih terlelap, dan menyuruhku cepat-cepat pergi ke sekolah. Tapi kemudian Mama mendapati mataku yang merah banget dan mendengarkan keluhanku yang nggak bisa bangun. Dengan begitu Mama pasti curiga dan nanyai aku macam-macam. Akhirnya ketahuanlah aku habis minum-minum semalam. Kemudian aku disidang sama Papa Mama, akhirnya aku tobat dan mulai menjauhi teman-temanku yang brengsek itu.
Tapi nggak. Tadi itu hanya khayalanku semata. Sampai detik ini aku masih terbaring di tempat tidur, dan nggak ada tanda-tanda Mama bakalan membangunkanku. Nggak terdengar suara panci yang beradu dengan sutil, entah Mama masak nasi goreng, atau telur goreng, atau apalah, buat sarapan. Nggak juga terdengar adanya aktivitas di luar kamarku. Pada kemana orang-orang? Papa Mama? Apa nggak ada yang sadar kalau aku masih terlelap, padahal seharusnya aku sudah berangkat ke sekolah sejak tadi. Nggak ada yang sadar kalau aku mengharap perhatian mereka.
Barangkali nggak ada yang peduli kamu ke sekolah atau nggak, Dri. Nggak ada yang peduli kamu sudah mengumpankan diri untuk dijadikan junkers oleh teman-teman sekolah. Nggak ada yang peduli lagi sama kamu, Adrian.
....
Jadi hari itu aku bolos sekolah.
Siang harinya, sekitar pukul satu siang, aku berusaha bangun dari tempat tidur. Aku segera mandi, berpakaian, dan cabut. Entah mau kemana aku.
Aku melihat Mama di ruang bawah, lagi asyik dengan lamunannya sambil mendekap erat-erat bantal sofa. Aku nggak ambil peduli. Aku turuni tangga dengan cuek dan segera keluar dari rumah. Entah Mama sadar apa nggak aku pergi. Dia nggak peduli, kenapa juga aku mesti peduli sama dia?
Tanpa buang waktu lebih lama lagi, aku segera naik ke motor dan cepat-cepat pergi dari rumah. Mungkin aku butuh tempat untuk melarikan diri ... Memang aku sedang butuh itu sekarang. Nggak mungkin lagi aku tinggal di rumah yang suasananya seperti itu. Di tengah-tengah orang dewasa yang saling adu mulut dan lempar-lemparan piring. Sementara aku merasa salah satu penyebab mengapa mereka seperti itu nggak lain karena kesalahanku yang mengakibatkan Ezra mati.
Oh. Jadi aku yang salah atas kematian Ezra?
Tanpa sadar aku mengemudikan motor ke sekolah. Sekolah sudah rada sepi. Hanya tinggal beberapa gelintir murid yang sedang latihan basket, dan regu PMR sedang melatih anak kelas satu membuat tandu. Ekskul, seperti biasa.
Aku menyapukan pandangan ke seluruh halaman parkir sekolah, dan melihat teman-teman sekelasku dan beberapa anak dari kelas lain sedang asyik berkumpul di situ. Andre, Sony dan Daniel juga ada di situ. Asyik merokok. Entah rokok apa. Tembakau? Bisa jadi itu g***a. Aku turun dari motor, menghampiri mereka.
Andre yang menyambut kedatanganku, “Hei. Bolos, loe?” tanyanya.
Aku tersenyum hambar.
Daniel merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebatang rokok yang dilinting sendiri dengan kertas. Dia berikan rokok itu padaku tanpa sepengetahuan teman-teman yang lain.
Aku kayaknya paham.
Yang dia berikan ini, dan yang sedang dia hisap itu adalah g***a. Kita biasa sebut ‘rokok’ ini c****g. Jadi, kubiarkan Daniel membantuku menyalakan ‘rokok’ di mulutku ini dengan pemantik api.
Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merokok g***a. Aku hisap dalam-dalam, membiarkan paru-paruku dimasuki asap g***a, dan bukan oksigen. Aku hembuskan pelan-pelan ...
Hmm, not bad.
***
Dan mulai sejak saat itu, aku jarang pulang ke rumah. Aku selalu bermalam karena mabok di rumah kos, yang jadi tempat langganan buatku dan anak-anak mengadakan pesta. Aku sudah coba semuanya. Semuanya menyenangkan. Dengan berbagai macam efek yang membuat aku berasa melayang di surga ……
Waktu berjalan begitu cepat, nggak kerasa. Hingga tiba pertengahan November.
Jam hampir menunjukkan pukul dua pagi, dan semuanya –termasuk aku- , sudah pada teler berat. Ngomong nggak keruan, ada juga beberapa dari kita yang bawa cewek, dan setelah mereka teler, mereka segera masuk ke kamar bareng cewek yang mereka bawa masing-masing. Ngapain mereka? Ya sudah jelas kan? Main seks, tentu saja.
Aku sendiri nggak tertarik ikut-ikutan mereka main dengan cewek-cewek itu. Sebodo amat. Dan hal itu sempat bikin aku kepikiran, suatu hari, di saat aku masih sadar dan … yah, sebut saja aku lagi ‘Normal’, nggak sedang sakau. Aku penasaran kenapa aku bersikap sebodo amat sementara di sekeliling aku ada banyak cewek penggugah selera. Dan akhirnya aku sadar, bubuk laknat yang sering kuinjeksi, rupanya nggak begitu berefek ke nafsu begituan. Lain halnya kalau g***a. Barangkali kalau aku lebih prefer ke g***a ketimbang k**a, aku sudah nggak perawan lagi. Eh ... maksudku, perjaka.
Beberapa hari ikut-ikutan pesta dengan mereka, aku mengakui, sangat menguras uang saku. Yang biasanya jumlah sekian bisa kuhabiskan dalam sebulan, ini langsung lenyap hanya dengan sebungkus kecil serbuk laknat?
Sudahlah, Adri! Kemarin kamu sudah ambil uang dari ATM Mama tanpa sepengetahuannya. Masih mau diteruskan?? Sudahlah. Toh make nggak ada gunanya. Cuma bikin rusak otak dan badan!
Diam deh. Ini badanku, ini otakku, enyah sana!
Aku serius Dri, lebih baik kamu hentikan kebiasaanmu itu sebelum kamu benar-benar jadi pecandu! Sayangi badanmu! Sayangi masa depanmu!!
Dan aku masih asyik bergulat dengan diriku sendiri selama satu jam. Dimana selama satu jam itu aku sama sekali nggak sadar kakiku melangkah ke Sport Club dekat rumah. Tempat aku biasa berenang setiap Sabtu pagi ... Dulu, sebelum aku jadi seperti ini.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
