
Tommy si nerdy, adalah cowok yang setia pada pacarnya, Mia.
Ah masa ... Seberapa setia?
Tommy sejak dulu kerap didekati secara agresif oleh Nadine, cewek paling populer di sekolah, namun Tommy tidak pernah menanggapi Nadine. Meski kalau Tommy mau, dia bisa saja menanggapi rayuan Nadine yang gencar nan gigih itu, lagipula, Nadine-nya yang 'menawarkan diri'.
Tidak. Tommy sama sekali tidak pernah menerima rayuan Nadine. Baginya, hanya Mia yang boleh bersikap mesra padanya.
Tapi ... sepandai-pandainya...
9 - Sengatan Geng Populer
"Lu bilang apa????" Nadine histeris mendengar kabar dari Karina ketika mereka berkumpul di kantin.
"Gue bilang." Karina mengatur nafasnya yang memburu. "Si Tommy geeky favorit lu itu, udah jadian sama si Mia yang sempat pacaran sama Dennis! Buktinya gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, mereka berduaan di perpustakaan!"
"Kapan lu lihatnya?" Silvi menimpal.
"Baru! Barusan banget!"
"Berani juga yaa itu cewek ..." Tania berkomentar. "Kirain cuma sedang beruntung aja bisa dapat pacar anak kelas tiga, anak basket, kayak si Dennis. Ehh nggak tahunya sekarang caplok si Tommy ... hmmm."
"Ishh! Anjir, gue nggak terima ya!!" Nadine mencak-mencak. "Tommy gue dipelet sama dia! Siapa tadi namanya??"
"Mia."
"Iya si Mia itu!! Dia nggak tahu apa, Tommy itu udah gue tag???"
"Kerjain aja Nadd," sahut Tania. "Cewek kayak gitu jangan dikasih hati. Nanti minta jantung. Sekarang rebut Tommy lu ... nanti nanti mana tahu dia bisa aja rebut pacar lu yang laen. Ya kann?"
"Bener juga lu." Nadine mengangguk-angguk.
Dan memang Nadine menyaksikan sendiri ketika memata-matai Tommy. Dilihatnya Tommy menggandeng Mia begitu pulang sekolah. Dengan wajah ceria, tertawa-tawa bahagia. Tidak lupa Tommy membonceng Mia pulang. Terlihat sangat mesra.
Darah Nadine mendidih.
***
Maka keesokan harinya..
"Mi, kamu duluan aja ke depan ya ...? Aku harus ke ruang guru dulu nih," kata Tommy ketika menjemput Mia di depan kelas.
"Ooh begitu? Ok deh. Mia tunggu Tommy di depan yah ..."
Tommy tersenyum. "Iya. Sampai nanti," katanya lagi sambil berjalan menjauhi Mia.
Mia tersenyum memandangi punggung Tommy yang semakin menghilang dari pandangannya. Ia pun mulai melangkahkan kaki menuruni tangga, sembari asyik berbincang dengan dirinya sendiri.
Tommy itu ... baik hati. Buktinya setelah hal jahat yang Mia lakukan kemarin ini pada Tommy, Tommy mau memaafkan. Bahkan tetap simpan perasaan khusus terhadap Mia ... Uh, seandainya saja waktu bisa diulang ... berapa bulan Mia sempat jalan sama Dennis ... yang ternyata benar-benar jauh dari anggapan Mia! Memang seharusnya dari awal Mia terima Tommy ... sudah terbukti baik. Sopan, pintar, menjaga Mia sungguh-sungguh ...
Tinggal beberapa langkah lagi sampai di pintu gerbang, tahu-tahu langkah Mia terhenti karena melihat Nadine menghalangi jalannya. Oh, tidak hanya Nadine. Lengkap dengan Karina, Silvi dan Tania. Tania ... yang kemarin dulu berciuman penuh nafsu dengan Dennis, di ruangan lab! Mia tidak akan pernah lupa sampai kapan pun kejadian itu.
Keempat cewek beken itu sama-sama memasang wajah sombong seraya berkacak pinggang, memandangi Mia dari atas sampai bawah dengan ekspresi jijik. Dipandangi demikian membuat Mia merasa seperti sedang ditelanjangi. Ia menelan ludah. Jelas ia sudah tahu semua kabar dan rumor menyangkut keempat sekawan ini. Yang kesemuanya merujuk pada 1 kesimpulan singkat : mereka ini kawanan binal yang jelas-jelas menjual seksualitas demi kesenangan dan demi uang. Yang membuat mereka menjadi sosok legendaris di sekolah adalah, tidak ada satu pun di antara mereka yang berwajah biasa. Semuanya berparas cantik. Tidak ada satu pun juga dari mereka yang memiliki tubuh kurus tidak berbentuk. Semuanya sintal menggoda. Tidak heran hampir semua siswa di sekolah kepincut pesona geng binal ini. 'Geng binal', demikian Mia dan teman-teman akrabnya menyebut kawanan ini.
Saat ini adalah pertama kalinya Mia berhadapan langsung dengan 'geng binal', dan jujur saja, Mia keder. Apa yang Mia perbuat? Ada urusan apa 'geng binal' mau repot-repot menunggunya di pintu gerbang seperti ini? Terlebih dengan pandangan yang seakan ingin menelan Mia bulat-bulat. Apa yang terjadi?
Nadine maju mendekati Mia sambil bersedekap. "Mia!" panggilnya.
Mia berusaha keras menyingkirkan rasa takut yang ia rasakan. Kenapa mesti takut? Ia tidak salah apa-apa! Tapi perasaan itu tetap terasa ... mungkin karena pressure yang ditunjukkan kawanan ini. "I-iya Kak?" Mia menjawab.
"Gue mau tanya ya sama lu ... Lu itu sudah berapa lama sih sekolah di sini?"
"Euh ... sudah hampir setahun ... Kak."
"Nah itu tahu! Sudah setahun di sini, tapi koq lu bisa nggak tahu satu hal yang penting ya??"
Mia mengerutkan kening. "Hal apa ya?"
"Alah ... nggak usah pura-pura begolah!" Karina menyahut.
"Kalau lu anak sekolah sini, lu harusnya tahu diri dongg!" Tania ikutan bersuara.
Mia jelas terlihat bingung. "Soal apa ya, Kak? Mia nggak paham sama sekali." Dapat Mia lihat dari ujung mata, makin banyak anak-anak berkumpul di sekitaran mereka. Penasaran ingin melihat apa yang sedang terjadi.
"Oh, mungkin emang dia nggak pura-pura bego, tapi bego beneran!" cemooh Silvi yang langsung disambut gelak tawa yang lain. "Nad, percuma lu bikin dia mikir. Buang-buang waktu! Orangnya emang nggak punya otak, harap maklum."
Nadine mengangguk. "Okee," ujarnya masih tetap mempertahankan pandangan judesnya terhadap Mia. "Mia. Gue to the point biar lu ngerti ya. Tommy, orang yang lu sebut pacar lu itu, udah jadian duluan sama gue. Tommy itu pacar gue, lu paham nggak? Terus lu sekarang ngaku-ngaku jadi pacarnya?? Helloooo?? Situ sehat? Rebut pacar orang??"
Mia terkesiap. Benarkah yang dibilang Nadine??
"Makanya gue heran! Gimana bisa sih lu nggak tahu sama sekali kalau Tommy pacar gue! Atau jangan-jangan lu sebenarnya udah tahu, tapi pura-pura goblok? Lu sengaja nunggu gue datangi seperti ini ya?"
Mia diam tidak menjawab. Ia merasakan matanya mulai terasa panas.
Sementara Nadine belum puas membejek Mia, ia masih tancap gas. "Nah sekarang lu udah tahu kalau Tommy itu udah punya pacar ... yaitu gue! Lagian lu itu koq pede amat ya? Lu pikir Tommy mau sama lu? Lu pikir Tommy suka sama lu?? Idih ... dada aja rata kayak papan gilesan, lu punya apa sih yang bisa dikasih ke Tommy? Coba! Jawab pertanyaan gue! Lu itu punya apa yang bisa lu kasih ke Tommy?"
Mia enggan menjawab. Kenapa ia harus jawab? Itu hanya pertanyaan jebakan!
Karina menyambung, "Nggak bisa jawab ‘kan? Jelas! Lu itu nggak punya apa-apa koq! Lu itu kalau dibandingin sama Nadine, kayak langit dan bumi, tahu nggak lu?"
"Kayak nyonya dan pembantunya," sahut Silvi cepat.
"Nahh! Tuh! Dengar!"
"Makanya, Mia sayang! Lu ngaca dulu yah mendingan!" Nadine berkata tepat di depan wajah Mia. "Lu itu nggak ada apa-apanya dibandingkan gue. Yang pantas jadi pacar Tommy itu, adalah GUE. GUE, dengar nggak lu? Lu itu apa sih? Paling juga Tommy lagi iseng sama lu."
Terdengar suara lantang menyahut perkataan Nadine. "KAPAN PERNAH GUE TERIMA LU JADI PACAR GUE?"
Ternyata Tommy. Dia menyeruak keluar dari keramaian siswa yang berkumpul di situ.
Wajah Nadine seketika memucat menyadari keberadaan Tommy yang dalam sekejap sudah berdiri di depannya dan melindungi Mia.
"Lu ngomong apa saja tadi coba ulangi?" Tommy berseru dengan nada datar.
"Eh ... Tommy ..." Nadine tergagap. "Nggak ... nggak koq, gue sama Mia cuma ngobrol biasa aja tadi. Iya ‘kan, Mi?"
"ULANGI YANG LOE BICARAKAN TADI DENGAN MIA!" Tommy mengulangi lagi, lebih keras. Yang sontak langsung membuat lutut Nadine terasa lemas. Ia bahkan tidak menyadari ketiga temannya yang lain diam-diam sudah pergi meninggalkannya sendirian di 'arena' pertarungan.
"Kelihatannya banyak ‘kan, yang lu bicarakan tadi dengan Mia. Coba ulangi lagi sekali lagi, tepat depan muka gue!"
Nadine kebingungan menjawab.
"Lu nggak pernah paham dengan penolakan-penolakan gue Nad? Lu punya kuping? Lu punya otak? Lu pakai nggak otak lu? Asumsi gue lu harusnya bisa pakai otak, karena lu bisa duduk di kelas IPA yang notabene isinya otak encer semua! Tapi kenapa lu sama sekali nggak pakai otak? Udah berkali-kali gue jelaskan ke lu, dengan cara baik maupun cara kasar, kalau GUE NGGAK INGIN JADI PACAR LU. Kenapa lu sulit amat ngerti??"
Tommy menarik nafas. "Terakhir lu ajak ngobrol gue, gue pikir lu itu udah berubah. Tapi penilaian gue salah besar ya Nad. SALAH BESAR. Karena ternyata lu masih sama saja seperti yang memang gue tahu! Lalu sekarang, gue udah punya Mia, dan lu itu nggak terima, ceritanya begitu? Apa alasan lu nggak terima?! Gue sama lu nggak ada hubungan apa-apa! Itu berarti lu juga nggak ada HAK sama sekali untuk bicara sama Mia, terlebih dengan cara labrak seperti ini!! Cara lu itu BASI, Nad."
"Sudah sana enyah deh! Kalau sekali lagi gue lihat lu ganggu Mia, gue nggak bakal segan sama lu!" Tommy menutup 'pidato'nya dengan heroik. Nadine langsung menghilang entah kemana, sementara sorakan serta tepuk tangan pun membahana tanda dukungan untuk Tommy dan Mia.
***
"Please Mi. Jangan diambil hati." Tommy duduk di sebelah Mia sambil membawakan sebotol teh dingin. "Minum dulu, Mi," tawarnya.
Mia menerima teh dari Tommy dan meneguknya hingga setengah.
"Pertama. Maaf. Aku terlalu lama tadi, tahu-tahu kamu sudah dihadang mereka. Seharusnya memang aku nggak biarkan kamu jalan sendirian. Kedua, aku sudah jelaskan di publik tadi. Nadine nggak ada hubungan apa-apa dengan aku. Memang, memang aku akui Nadine itu agresif dan suka dekati aku, tapi aku nggak pernah tanggapi dia. Aku nggak suka cewek agresif seperti Nadine."
Mia menatap Tommy. Wajah Mia masih terlihat shock. "Tommy benar-benar nggak suka sama Nadine?" tanyanya. "Tapi kenapa dia seenaknya ngaku-ngaku kalau kamu pacarnya?"
"Itulah Mi! Aku sendiri pun nggak habis pikir! Kurasa Nadine dan teman-temannya sudah kelewat batas!" Tommy menarik nafas. "Tapi yang paling penting, kamu percaya sama aku ‘kan Mi?"
Mia tersenyum, mengangguk.
Tommy balas tersenyum. "Good. Nah terus ketiga ..." Tommy melanjutkan.
"Lho, masih ada?"
"Ya. Ketiga, sekali lagi maaf. Kamu sampai dilabrak seperti tadi itu gara-gara kamu pacar aku. Aku sendiri juga bingung sejak kapan aku jadi sebeken itu di sekolah!" Tommy tertawa ringan, berharap bisa membuat perasaan Mia jadi lebih baik.
Mia terkekeh. "Iya ... Mia rupanya pacaran sama orang beken!"
Mia lalu berkata setelah terdiam beberapa saat, "... Nadine itu kelihatannya naksir banget sama Tommy."
"Aduh ... Mia. Nggak peduli dia naksir banget atau nggak. Kelakuannya negatif! Aku nggak pernah tanggapi si Nadine, swear!"
Tapi ... Mia masih teringat dengan jelas ketika Nadine mengatainya papan gilasan. Jelas papan gilesan ... emang rata ... apalagi dibandingkan sama punyanya Nadine yang membuncah kayak balon begitu.
"Nadine lebih cantik ‘kan, Tom? Badannya juga bagus ... dadanya berisi ... Tommy serius tolak Nadine?'
"Mi, ini ngomongin apa sih?" Tommy berkata sedikit gusar. "Kamu pacar aku sekarang, ngapain ngomongin cewek lain yang aku nggak suka? Pegang kata-kataku. Aku nggak pernah suka dengan tipe cewek agresif seperti Nadine. Nggak pernah suka! Serius. Meskipun dia punya bentuk tubuh kayak apa juga, atau secantik apa pun, kalau kelakuannya negatif aku nggak akan pernah mau dekat-dekat. Terlebih yang namanya Nadine."
Mia terdiam. Ia yakin Tommy tidak akan berbohong dengan perasaannya. Dan demi menyadari itu, Mia merasa lega. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Tommy. "Thanks ya ... Tommy ... Tommy tadi keren banget bela Mia di depan anak-anak."
Tommy tersenyum. Dia miringkan kepalanya hingga bisa menghirup aroma manis dari rambut Mia. "Itu udah kewajiban aku Mia."
10 - Indahnya Surga
"Uuuh kesel kesel kesel kesel!!" Nadine memukuli bantal di kamarnya sendiri. Siapa yang tidak kesal, rencananya membully Mia, si anak kelas 1 yang sok, gagal total karena Tommy datang tepat pada waktunya. Padahal Nadine baru pemanasan saja itu! Belum kontak fisik dengan si anak kelas satu!
Ditambah, semua kata-kata Tommy yang galak nan judes, dialamatkan khusus padanya, depan semua orang! Makin lengkaplah kekesalan Nadine. Apalagi ketika ia sadar teman-temannya sudah ngacir duluan, membiarkan Nadine dimarahi habis-habisan sendirian oleh Tommy. Katanya sahabat! Tapi tidak ada yang setia kawan!
Nadine benar-benar keki. Terlebih pada Tommy. Tommy kesayangannya, yang belum berhasil juga ia bawa jadi teman tidur. Kenapa Tommy tega-teganya mempermalukan dirinya di depan semua orang??
"Setelah ini rencana lu apa Nad?" Karina tahu-tahu bertanya.
"Jangan ajak omong gue, gue masih kesel sama lu semua!" Nadine menyahut.
"Ah elahh gitu doang ngambek!" ujar Silvi. "Lagian siapa sangka tahu-tahu si Tommy nongol ... ya dia pasti ngamuklahh. Daripada kena semprot juga!"
"Itu juga! Iiih gue kesel abis, sumpah!! Sama si Tommy!! Dia jahat ... jahat banget! Sebel gue ...!" Nadine meracau. "Apa bagusnya si Mia sihh??? Diihh pengen banget rasanya cakarin itu muka! Pengen gue jambak rambutnya!!"
Silvi menghela nafas. "Lu tenangin diri dulu deh! Bukannya apa-apa. Sebentar lagi ujian loh. Kalau lu macem-macem lu bisa terancam nggak ikut ujian, lu mau Nad? Mendingan anteng dulu bentaran ... udahnya lu baru habisin deh itu anak."
"Ahh elah pakai ada ujian segalaa ... sebelll ..."
"Eh eh," Tania teringat sesuatu. "Dulu bukannya pernah ada wacana mau perpisahan ya buat angkatan kita? Mau nginap di Lembang, kalau nggak di sana ya Puncak. Jadi nggak sih itu?"
"Jadii, jadi pasti." Karina langsung menyahut. "Kapan lagi kumpul-kumpul seru-seru? Kemarin kayaknya mulai pada sebar pengumuman soal itu deh."
"Mmm ... nginap ya." Nadine menggumam. "Guys, kayaknya gue punya ide bagus deh. Ini kesempatan emas buat gue! Udah sejak lama banget gue incar itu orang ... tapi gagal terus. Mungkin ini kesempatan terakhir gue bisa macem-macemin dia! Gue kudu berhasil!"
"Apa Nad? Pasti lu mau rayu Tommy di sana ya?"
"Iya dong! Sudah pasti! Keadaan mendukung ... dingin ... cuddle ... gampang deh pasti rayu dia!" Nadine menerawang sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Idih ... tadi marah-marah, sekarang senyum-senyum sendiri."
Deringan ponsel Nadine membuatnya terkejut. Dari Louis. "Eh! Louis nih! Kalian diem dulu ok?" kata Nadine.
"Haloo," jawab Nadine manja. "Loui, tumben telpon ... pasti kangen banget yaa?"
Karina, Tania dan Silvi saling berpandangan maklum.
"Bolehh dongg." Nadine terdengar sangat antusias. "Kamu ke sini aja, Sayang ... eh kamu tahu rumahku nggak sih?"
"Pulang aja yuk, guys!" Silvi berbisik pada teman-temannya. "Lagi ada pelanggan tuh."
"Ayuk deh. Mampir ke PIM yuk? Gue mau cari bh nih," jawab Karina.
Masih terdengar suara Nadine berbincang dengan lawan bicaranya di telepon. "Okee aku sms kamu alamatku yah ... gampang koq carinya pasti cepat ketemu. Kamu langsung jalan ke sini ‘kan? ... Okee aku tunggu yaa."
Nadine menyudahi pembicaraan dan baru mau mengetik pesan ketika dilihatnya ketiga temannya itu bersiap-siap pergi. "Ehh mau kemana lu pada?"
"Pulanglahh. Lu ‘kan mau ada tamu. Ya kali kita di sini jadi kambing congek," sahut Karina.
"Di sini aja kali ... have fun bareng. Belom pernah ‘kan kita ramean keroyok satu orang? Hihihi," jawab Nadine asal.
"Eww ogah!" Silvi menolak cepat.
"Iya sih. Mendingan gue ajak janjian si Dennis deh daripada begitu," jawab Tania.
Nadine memutar bola mata. "Ya elah. Dennis lagi Dennis lagi kayak nggak ada yang lain aja lu, Tan. Udah gue kasih tahu juga Dennis itu kayak apa. Terserah deh, kalau nyesel jangan komplain ke gue ya!"
"Biarin aja si Tania, namanya juga orang penasaran. Ya ‘kan? Yuk ah Nad, gue juga pengen cari bh nih. Udah mulai sempit semua bh gue," pamit Karina.
"Ciee yang makin gedee," ledek Nadine.
"Balik dulu yaa Nad," kata Silvi. "Have fun deh lu sama Louis. Jangan lupa kondom," lanjutnya.
"Tenang!"
"Badan lu kayaknya yang gedean Kar, bukan tete lu. Jangan kegeeran dulu." Tania menyeletuk.
"Ehh kurang ajar lu ... aset gue yang gedean ya ... dasar sirik."
Dan ketiga gadis itu pun keluar dari kamar Nadine masih sambil berdebat. Nadine hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar perdebatan tidak penting mereka itu.
Ia merebahkan dirinya sambil menerawang. Berpikir, betapa cepat waktu berlalu. Dan sampai sekarang usahanya merayu Tommy belum juga terwujud. Padahal sudah sejak kelas dua ia memendam rasa penasaran yang sangat besar pada anak laki-laki itu. Mengapa sulit sekali merayu Tommy?
Ah. Nadine jadi teringat ia belum mengirimkan alamat rumahnya pada Louis. Sekejap ponsel sudah berada di tangannya dan mulai mengetik.
Louis. Favorit Nadine juga. Tampan, dan hanya berbeda sepuluh bulan dari Nadine. Berbeda dari David yang posesif dan Nicky yang rewel banyak menuntut, Louis tipe happy-go-lucky namun sayangnya tidak seroyal kedua pacarnya yang lain. Mungkin Nadine harus mencari selingan baru yang bisa ia poroti, kenapa tidak?
Nadine sadar betul kecantikan yang ia miliki. Ia bisa dengan mudah merayu pria mana pun yang ia mau. Kecuali Tommy, tentu. Cowok yang tampaknya kebal dari rayuan dan kecantikan Nadine. Tapi entah kenapa Nadine merasa yakin, acara perpisahan angkatan yang akan diadakan beberapa minggu lagi akan membawa keberuntungan bagi dirinya. Tommy pasti akan takluk di depan lututnya! Dan rasa penasaran Nadine akan terbayar lunas! Oh, Nadine tidak sabar menunggu saat itu tiba.
Nadine Virginia Gunawan, berasal dari keluarga yang cukup berkelimpahan materi, namun berkekurangan perhatian dan kasih sayang. Orang tuanya kerap sibuk dan jarang memerhatikannya. Ia memiliki seorang kakak laki-laki yang usianya terpaut sepuluh tahun darinya, saat ini si kakak sedang merantau di luar kota dan hidup mandiri. Dari sejak kecil Nadine dan kakaknya tidak pernah akrab. Bahkan sekarang mungkin Nadine sudah lupa bagaimana wajah si kakak, sebagaimana ia juga sudah lupa dengan wajah ayah ibunya. Ia besar tanpa mendapat kasih sayang yang cukup. Tanpa panutan. Sehingga tidak mengherankan jika ia sekarang ini sudah salah jalan dan berbuat yang seharusnya tidak boleh ia lakukan.
Kesucian Nadine hilang ketika ia masih duduk di bangku kelas dua SMP. Saat itu, keluarga Nugraha yang pernah meminjam sekian besar uang pada ayahnya, tidak mampu melunasi hutang. Alhasil keluarga Nugraha mengirim anak laki-laki tertuanya untuk menjadi supir bagi keluarga Gunawan sampai hutang mereka lunas.
Anak laki-laki itu bernama Dimas, tujuh tahun lebih tua dari Nadine. Dia sosok pemuda tanggung yang cukup rupawan, sebenarnya agak tidak cocok jika berprofesi sebagai supir. Rambutnya gondrong, berbadan agak kurus, namun memiliki senyum yang memikat. Sinar matanya yang hangat rupanya mampu membuai Nadine hingga Nadine luluh dan berserah diri sepenuhnya pada Dimas. Dari Dimas pulalah, Nadine belajar banyak tentang seks. Yang membuatnya ketagihan. Dan selalu mencari kenikmatan di luar sana. Sudah pasti kelakuan Nadine itu tidak diketahui sama sekali oleh ayah ibunya.
Dimas Nugraha bekerja sebagai supir kira-kira selama tiga tahun. Dan ketika Dimas berhenti, Nadine agaknya merasa kehilangan. Tidak ada lagi yang mengantar jemput ke sekolah. Tidak ada lagi yang menemaninya, membuainya dengan rayuan manis yang memanjakan indera. Tidak ada lagi yang kerap menyelinap masuk ke dalam kamarnya tiap malam.
Tapi Nadine kemudian sadar diri. Apa untungnya bersikap demikian pada seorang supir? Punya apalah dia? Keluarganya saja sering terjerat hutang ... sepertinya tidak ada yang bisa diharapkan. Maka mulai sejak saat itu Nadine mulai mengincar pria-pria kaya raya yang selain bisa memuaskan dahaga seksualnya, juga bisa menjadi ATM berjalan yang bisa ia pergunakan kapan pun ia mau.
Jika ditanya apakah Nadine pernah merasa menyesal dengan semua kelakuannya selama ini, Nadine akan lugas menjawab, 'tidak'. Siapa yang bisa menolak perhatian yang berlebih serta kucuran dana segar dari pacar-pacarnya selama ini? Siapa pula yang bisa menolak kenikmatan duniawi yang selalu ia rasakan? Nadine tidak menyesal ... dan mungkin tidak akan pernah merasakan penyesalan ... Apalagi saat itu Louis sudah berada di kamarnya. Menghujaninya dengan cumbu rayu yang memabukkan. Yang dengan senang hati meladeni segala fantasi liarnya.
Tidak, Nadine tidak akan pernah berhenti mencari kesenangan semacam itu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
