
Tommy si nerdy, adalah cowok yang setia pada pacarnya, Mia.
Ah masa ... Seberapa setia?
Tommy sejak dulu kerap didekati secara agresif oleh Nadine, cewek paling populer di sekolah, namun Tommy tidak pernah menanggapi Nadine. Meski kalau Tommy mau, dia bisa saja menanggapi rayuan Nadine yang gencar nan gigih itu, lagipula, Nadine-nya yang 'menawarkan diri'.
Tidak. Tommy sama sekali tidak pernah menerima rayuan Nadine. Baginya, hanya Mia yang boleh bersikap mesra padanya.
Tapi ... sepandai-pandainya...
5 - Ditolak
Beberapa minggu kemudian di sekolah.
"Oi, Tom!" Mario menyapa Tommy yang baru saja datang. Dia duduk bersebelahan dengan Dewa yang saat itu asyik menulis sesuatu.
"Oi," sahut Tommy sambil melepaskan tas lalu duduk di depan Dewa. "Lagi ngapain?"
"Kimia, kimia! Lihat dong peer lu!"
Dewa menyahut cuek." Iya Tom. Nomer 9 nyontek dong."
Tanpa banyak omong Tommy mengeluarkan buku Kimia dan mengunjukkannya pada Dewa dan Mario. "Nih." dan seketika pandangan matanya langsung bertemu dengan Nadine yang saat itu sedang sama-sama menoleh.
"Hai Tommy ..." sapa Nadine centil seraya mengedipkan sebelah mata.
Tommy melengos, dapat didengarnya Mario cekikikan di belakangnya. "Cari perhatian lu tuh Tom. Kasih udah, kasih!"
"Tommyy ..." Nadine tahu-tahu sudah duduk di samping Tommy. "Koq nggak balas sapaanku sih ..."
Tommy pura-pura budeg. Dengan cuek dia mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasnya.
"Ihh ... Tommy nih pagi-pagi sudah asem deh mukanya ... Senyum dongg sesekali ... biar ganteng ..." Nadine menyenderkan kepalanya di bahu Tommy dengan manja.
Tommy sontak mengentakkan diri. Dia bangun lalu berjalan menjauh tanpa berucap sepatah kata pun. Tidak dijawabnya pula panggilan Nadine yang bertanya hendak kemana dirinya.
Dia keluar dari kelas, berjalan menuju kamar kecil namun tahu-tahu Nadine sudah ada lagi di sampingnya. "Tomm ..." panggilnya seraya memegangi lengan Tommy. "Mau kemana sih?"
Tommy berdecak kesal. "Toilet! Apa urusan lu sih?!" sahutnya kasar, sekalian dia hentakkan tangannya agar pegangan Nadine terlepas.
"Sudah sih Tom ... nggak usah jaim ... di sini ‘kan sepi ..." Nadine mengedipkan sebelah mata, kedua tangannya terulur manja di atas bahu Tommy. Dengan sengaja Nadine semakin mendekat pada Tommy. Tommy dapat merasakan kehangatan tubuh Nadine yang menembus seragam sekolahnya.
Dan ... ada perasaan aneh yang mengganjal di sekitar dada dan perut Tommy. Dan saat Tommy melirik ke bawah, benarlah perkiraannya. Bagian paling menonjol pada tubuh Nadine, yang membuat lelaki mana pun menahan nafas melihatnya, kini menempel dengan begitu agresif pada dirinya.
Tanpa dikehendaki jantung Tommy berdebar semakin cepat. Terlebih dia merasakan Nadine semakin berani menekannya.
"Tomm ..." panggil Nadine lirih. "Ayo kita resmikan hubungan kita," ujarnya sambil mempertahankan pandangan mata dengan Tommy.
Tommy tidak fokus. Malahan sepertinya dia tidak mendengar sama sekali perkataan Nadine barusan. Mungkin Tommy masih shock menyadari kekenyalan benda milik Nadine yang sedari tadi menempel padanya.
"Mau ya jadi pacar aku ...? Semua orang juga tahu koq betapa aku sayang banget sama kamu, Tommy ..."
Entah kekuatan dari mana, Tommy langsung menampik Nadine. "Sorry Nad. Gue nggak suka dengan cewek agresif macem lu," ujarnya datar lalu pergi meninggalkan Nadine.
Nadine mencemooh dalam hati. Cih ... nggak suka cewek agresif katanya? Lihat aja, lama-lama juga lu pasti takluk di depan gue!
***
Tommy membasuh mukanya berkali-kali. Berusaha mengusir pikiran kotor yang hinggap dengan manis dalam benaknya berkat perlakuan Nadine tadi.
Gemas. Kesal menjadi-jadi, itulah yang dirasakan Tommy sekarang. Mengapa ada cewek semacam Nadine yang begitu mudahnya memberikan tubuh mereka pada cowok??
Tommy tidak sudi membiarkan pikirannya tersita demi nama Nadine. Dia menarik nafas dalam-dalam. Memutuskan, jauh lebih baik jika dia kumpulkan keberanian dan tembak Mia sekarang. Jika Mia menerimanya dan mereka resmi pacaran, mungkin Nadine akan menjauh dengan sendirinya.
Maka siang itu juga, Tommy membawa Mia ke pelataran parkir sekolah.
"Eh? Tommy ... bilang apa ...?" Bola mata Mia yang bening terlihat menari-nari di mata Tommy. Wajah gadis itu tampak memerah.
"Aku bilang ..." Tommy menarik nafas sekali lagi. "Aku sayang kamu, Mi. Kamu mau jadi pacar aku ‘kan?"
Tidak terdengar sahutan apa pun. Tommy hanya mendengar desau pepohonan yang menjadi saksi bisu percakapan mereka berdua.
"Mi?" panggil Tommy penuh harap.
Mia menunduk. "... Maaf ... Maaf, Tommy," ujarnya lirih.
Damnnnn, seru Tommy dalam hati. Kok maaf sih!?!
"Mia nggak tega lihat Tommy kecewa ... tapi ... tapi Mia sekarang sudah ada yang punya," lanjut Mia.
Tommy bagai tersambar listrik. "Mia ... punya pacar? Sejak kapan, kok nggak tahu?"
"Iya ... Mia baru ... barusan ini, terima Dennis jadi pacar Mia ... Maaf Tom ..."
Dennis lagi Dennis lagi!
Tidak ada yang bersuara selama sekian menit.
"Tom," panggil Mia. "Jangan marah ya? Kita masih temenan ‘kan?"
Tommy tersadar. "Oh. Hahaha ..." Tawanya sumbang, berharap rasa kaku dan bingung itu hilang. "Jelaslah! Kita emang temen ‘kan? Oke kalau begitu. Gue balik ke kelas duluan ya!" ujarnya sambil cepat-cepat berlalu dari hadapan Mia.
***
"Dari mana lu Tom?" Mario bertanya ketika melihat Tommy kembali ke kelas.
"Urusan ..." Tommy duduk menghempaskan diri di kursinya. Lalu menarik nafas panjang. Dia lakukan itu beberapa kali, sampai tidak mendengar Mario bertanya sesuatu padanya.
"Hoi!" Mario menyenggol lengan Tommy. "Ngelamun, kesambet baru tahu!"
Tommy menoleh pada Mario, dan mendapati Dewa tidak ada di kursinya. Demikian juga dengan Dennis. "Dewa mana?"
"Makan di kantin."
"Sama Dennis?"
"Tahu ya. Dennis sering menghilang sekarang."
"Pacaran kali sama Mia." Tommy mendengus.
"Haaa??" Mario membuka mulutnya lebar-lebar sambil menatap Tommy tidak percaya. "Apa lu kata?"
"Mia sama Dennis pacaran sekarang," ulang Tommy datar. "Keduluan gue. Si anjir satu itu."
"Buset dahh ... Busett! Kecengan temennya sendiri beneran diembat sama dia!"
"Ya sudahlah. Toh Mia juga kayaknya lebih feeling ke Dennis, gue bisa apa?"
Mario menggeleng-gelengkan kepala. Lalu menepuk bahu Tommy, dan berkata, "Sabar Tom. Orang sabar pantatnya lebar. Eh. Orang sabar disayang Tuhan."
Tommy tidak menjawab.
"Mungkin itu pertanda." Mario melanjutkan. "Kalau emang jodoh lu Mia, lu nggak akan ditolak demi Dennis seperti itu Tom! Tapi gue yakin jodoh lu tuh yang itu tuh ... yang jadi primadona sekolah. Cewek cakep gitu Tom ... lu sia-siakan? Emang sih, udah bolong. Bolong. Tapi ya udah anggap aja dia jadi obyek latihan lu. Lu tahu yang gue maksud ‘kan??"
"Tahu, tahu," sahut Tommy malas. "Kebagusan banget. Masa dia jadi yang pertama buat gue?" Tommy menggelengkan kepala. Lalu menyadari obyek yang mereka bicarakan tidak ada di tempatnya. "Kemana itu orangnya?"
"Tauk." Mario mengangkat bahu. "Cabut duluan tadi."
6 - Nadine, Nadine
Nadine saat ini sedang asyik memagut seseorang yang berusia 15 tahun lebih tua darinya, dari balik selimut hotel di tengah kota. Ia biarkan pria berlengan kekar itu menjamahi setiap centi kulit telanjangnya. Dirinya yang selalu haus dan mendamba cinta pria. Gairahnya yang bagaikan kobaran api tidak pernah padam.
Nadine membiarkan suara desahan lamat-lamat keluar dari mulutnya tepat di telinga pria yang sedang bersamanya saat ini. Pria itu, David namanya, adalah salah satu favorit Nadine. Favorit karena dompetnya bukan main tebal. Nadine sudah pernah menuntut agar dibelikan ponsel, baju, sepatu bermerk, yang kesemuanya dituruti oleh David tanpa banyak cingcong. Pun dengan menyita waktu kerja David seperti sekarang ini, sama sekali tidak menjadi masalah bagi David. Pundi-pundi uang David memang cukup untuk 7 turunan, menurut Nadine.
Toh David tidak pernah mengeluh atau berkomentar jika Nadine mulai rewel minta dibelikan macam-macam. Selama Nadine bisa dengan lihainya memuaskan ego David di atas tempat tidur dan membuat pria itu terkapar kelelahan dengan rona puas di wajahnya, Nadine tidak perlu cemas akan aliran uang segar dari David.
Hanya satu yang Nadine sesali dari David. David tipe pria posesif. Selama Nadine menghabiskan waktu dengan David, Nadine dilarang memegang ponsel meskipun hanya untuk berkirim pesan singkat. Nadine juga tidak boleh menolak David apa pun alasannya. Kapan pun David ingin menidurinya, Nadine harus siap sedia hanya untuknya.
Tapi Nadine tidak terlalu mempermasalahkan. Seperti yang sudah dikatakan tadi, David adalah salah satu favorit Nadine. Berdompet tebal, jelas. Tapi juga berbadan atletis yang membuat Nadine cepat naik. Perlakuan David yang cenderung kasar dan mengentak-entak juga sangat disukai Nadine.
Seperti tepat pada saat ini. Di saat teman-teman sebaya Nadine sedang menuntut ilmu di sekolah, ia malahan asyik bermain kelamin dengan orang yang lebih pantas menjadi pamannya.
Hari sudah beranjak sore, Nadine seketika terjaga. Dilihatnya David masih pulas tertelungkup di sampingnya. Perlahan ia bangun, lalu mengenakan kembali pakaiannya. Mengambil ponsel dari dalam tas, dan mendapati ada 3 missed calls dari Nicky. Ada 1 pesan juga dari Louis. Ah pacar-pacarnya yang lain yang juga menjadi sumber 'penghasilan' tambahan uang jajan bagi Nadine.
Dibukanya pesan dari Louis, mahasiswa semester 2 yang baru 3 bulan ini menjalin hubungan dengannya. Isi pesan Louis hanya "Miss you, babe." Nadine memutuskan untuk membalas pesan itu nanti. Yang penting adalah kirim pesan pada Nicky yang sudah tiga kali meneleponnya tadi. Dengan lincah jemarinya menekan tuts keypad ponsel, mengarang sebuah pesan "Nickkyy, sorry aku tadi lagi kuis di kelas. Kamu tadi telp ada apa? Mau ajak jalan?" Lengkap dengan emoticon cium ia bubuhkan pada akhir pesan.
Tanpa menunggu lama ponsel Nadine bergetar, tanda pesan masuk. Nadine menoleh ke belakang, dan melihat David sepertinya masih pulas. Dia tidak akan tahu Nadine berkirim pesan pada laki-laki lain. Dibukanya pesan balasan dari Nicky "Ya. Horny maksimal nih. Gue jemput di sekolah sekarang ya."
Aduh, keluh Nadine dalam hati. Bagaimana ini? Dari hotel sampai ke sekolah kira-kira setengah jam. Nadine bergumul. Tapi dari kampus Nicky ke sekolah bisa 1 jam sendiri sih. Mendingan jalan sekarang deh.
Nadine baru mau membalas pesan Nicky, tapi tahu-tahu terdengar suara dari belakang. "Kamu ngapain Nad? SMSan sama siapa?"
Oh oh, David rupanya sudah bangun. Sigap Nadine menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas lalu bangun dan naik lagi ke tempat tidur. "Sama teman aku sayang ... kasih kabar kalau dia tadi udah absenin aku pas jam terakhir." Nadine berbohong.
"Hmm."
David sepertinya tidak curiga. Baguslah, batin Nadine.
"Kenapa kamu udah rapi aja? Siapa yang suruh kamu pakai baju?"
Nadine tertawa ringan. Ditepuknya lengan David. "Kamu ih ... Masa aku harus naked terus, ‘kan dinginn. Lagian kayaknya aku harus pulang sekarang nih. Papa mamaku baru balik dari Surabaya, sebentar lagi sampai di rumah. Aku duluan yah?"
Kali ini Nadine setengah berbohong. Memang orangtuanya saat ini ada di Surabaya, namun entah kapan pulangnya.
David tidak menjawab. Matanya yang sipit menatap lurus pada bongkahan benda bulat Nadine yang terlihat mengintip-intip dari celah blus yang dipakai Nadine. Benda yang begitu sekal dan montok, bulat sempurna. Dijulurkan tangannya mengarah pada benda itu dan dengan satu gerakan benda itu sudah keluar dari blus, tertangkup penuh dalam tangannya.
Nadine terkejut dengan yang dilakukan David, tapi sejurus kemudian ia tersengal seraya menggigit bibir, ketika David meremas benda miliknya itu dengan gemas. David mendekat, dan mulai mencumbu, dengan semangat mengisap milik Nadine.
Rintihan Nadine terdengar begitu merdu di telinga David. "Dave ... David ..." ia mendesah. "Aku ... harus pulang. Mau pulang."
"Siapa yang izinkan kamu pulang?"
"David ... please ... nanti papa aku marah kalau tahu aku belum sampai rumah jam segini." Nadine terpekik kaget ketika tangan nakal David ternyata sudah menyibak roknya dan membelai pahanya yang mulus.
Alhasil Nadine terpaksa meladeni David hingga puas, dan baru sampai kembali di sekolah satu setengah jam kemudian. Beruntung baginya karena rupanya Nicky pun terjebak macet sehingga ketika Nadine sampai, Nicky pun baru saja sampai di sekolah Nadine.
Nadine langsung masuk ke dalam mobil Nicky yang segera membawanya pergi. "Kita mau kemana Nick?" Nadine bertanya.
"Kemana ya. Bingung."
"Kalau pakai bingung nggak bakalan sampai kemana pun." Nadine terkekeh.
"Rumah lu saja gimana? Bonyok, masih di luar kota ‘kan?"
"Emm ... Boleh sih. Rumah lagi sepi, cuma pembantu palingan."
"Good!" sahut Nicky bersemangat. "Gue nggak konsen di kelas. Kebayang-bayang terus tubuh bugil lu Nad."
"Ihh ... Nicky ..." Nadine merajuk.
"Serius. Gue bakal bikin lu nggak berkutik malam ini. I want to bang you so hard Nad. I mean it!"
"Coba sajaa kalau bisa!" Nadine tertawa manja. "Paling juga kamu yang tepar duluan!"
"No no. No way. Lu yang tepar setepar-teparnya. Jamin!"
Iyalah ... paling juga gue yang duluan tepar. Udah habis berapa ronde duluan tadi sama si David ... ujar Nadine dalam hati. Astaga ... tiap hari gantian ajaa ini cowok-cowok rebutan pengen gue puasin. Indah banget hidup gue ... Oh. My. God. Gue nggak nolak mati dalam kenikmatan ... hihihi ...
***
Sudah hampir seminggu berlalu sejak Tommy ditolak oleh Mia, Tommy belum pulih sepenuhnya dari patah hati. Tommy tahu dia tidak boleh membiarkan dirinya terlalu larut dalam kegalauan seperti ini. Bukankah ujian nasional tinggal beberapa bulan lagi? Jauh lebih baik jika Tommy mulai mempersiapkan diri menyambut ujian. Atau, mulai menimbang pilihan universitas yang dia ingin masuki kelak. Tapi bayangan Mia kerap muncul di benaknya, padahal Tommy sama sekali tidak menginginkan hal tersebut. Tommy hanya bisa berharap semoga dia bisa cepat melupakan Mia. Gadis itu tampaknya sudah bahagia bersama dengan Dennis kawan mainnya selama ini. Tidak sepantasnya jika Tommy masih mengharapkan Mia.
Tommy menghela nafas panjang. Dari balkon tempatnya berdiri dia bisa melihat anak-anak basket sedang tanding 3 lawan 3 di lapangan. Ada Dennis dalam salah satu tim. Dia memang anak basket yang aktif sejak kelas 1. Wajahnya yang cukup tampan membuatnya semakin populer terlebih di kalangan siswi SMA. Meskipun kepopuleran Dennis masih belum sebanding dengan anak basket lain, tapi bisa dibilang Dennis itu cukup sombong.
Tommy akui, ada perubahan yang signifikan terjadi pada Dennis. Tommy, juga dengan Mario dan Dewa berteman dengan Dennis semenjak kelas 1. Saat itu Dennis masih easy going, doyan bercanda. Tapi seiring waktu berlalu, Dennis jadi lebih sering bergaul dengan kalangan anak basket lainnya. Dia juga selalu mendekati geng cewek populer di sekolah, dimana Nadine menjadi salah satu anggotanya. Kesombongan Dennis semakin terlihat setelah santer beredar kabar bahwa Dennis dan Nadine ada 'main', yang dikonfirmasi positif oleh Dennis di depan Tommy, Dewa dan Mario.
Namun Tommy juga merasakan, semenjak Nadine ekstra genit dan selalu cari perhatian Tommy, Dennis jadi seakan menjauh dari Tommy dan 2 kawan lainnya. Padahal Tommy sudah berkali-kali katakan pada Dennis bahwa dirinya sama sekali tidak berminat pada Nadine, tapi sampai sekarang pun Dennis tidak memercayai pengakuan Tommy.
Setidaknya sekarang Dennis sudah resmi jadian dengan Mia. Siapa tahu kehadiran Mia bisa membuat Dennis melupakan Nadine, dan mungkin bisa membuat Dennis kembali menjadi orang yang asyik seperti sebelumnya. Dennis sangat beruntung karena mendapatkan pacar semanis Mia. Yah.. Meskipun kenyataan itu membuat hati Tommy terasa sesak karena dia sendiri juga menyayangi Mia.
Di bawah tampak Dennis mencetak skor, dan riuh rendah sorakan penonton membuat suasana semakin hidup. Tommy melihat Mia duduk manis di sisi kanan lapangan, wajah gadis itu terlihat cerah. Ia juga terlihat memegangi handuk kecil, yang Tommy yakini adalah handuk Dennis.
So sweet. Tommy nyinyir dalam hati. Tapi seketika tersadar, dia sudah tidak boleh lagi mengharapkan Mia! Jangankan mengharapkan, berpikir tentang Mia pun jangan. Sudahlah.
Di lantai bawah, Nadine, Silvi, Karina dan Tania juga asyik menonton latihan grup basket.
"Itu bukan, pacarnya si Dennis? Yang katanya baru aja jadian? Dia bukannnya cewek yang kita lihat keluar dari mall bareng si Tommy waktu itu Nad?" Tania menunjuk Mia dari jauh.
"Mm hmm, iya emang dia tuh. Si anak kelas 1," jawab Nadine cuek.
"Kebagusan amat cewek kayak gitu dapetin Dennis. Ewh.. mending gue kemana-mana!"
Nadine tersenyum mengejek. "Ah elah ... Tania, lu tuh cakep ya. Gue udah kasih tahu Dennis itu kayak gimana. Wajah boleh ganteng ... badan lumayan oke ... tapi payahh. Lu tuh bisa dapet yang ribuan kali lebih oke dari Dennis. Ngapain harepin Dennis?"
"Masa iya sih ..."
"Tan, lu hopeless ya ngejomblo kelamaan?" Karina menyahut sambil cekikikan. Tania mendelik sewot.
Nadine hanya tertawa ringan. "Sudahlah ... Tan, mending lu ladenin aja cowok yang waktu itu gue kenalin! Apa kurangnya dia sih? Ganteng koq. Dennis sih nggak ada apa-apanya ... lewatt! Kalau soal Dennis, dia udah dapat cewek yang sepadan tuh ... macam si anak kelas satu itu. Payah ketemu payah ... klop ‘kan? Makanya ... mending lu move on..jangan berat di Dennis mulu ah! Rugi, serius dehh."
Tania menghela nafas. "Iya ... iya ... okelah ..."
"Lu lega dong Nad, itu cewek fix bukan pacarnya Tommy kedoyanan lu." Silvi usil komentar.
Nadine terbahak. "Jelas dong! Lagian itu cewek nggak pantas sama sekali buat Tommy. Eh ... ngomong-ngomong ... hari ini gue belum pedekate ke Tommy!" Nadine berseru. "Guyss gue balik ke kelas lagi yaa ... kalau mau pulang duluan ya duluan aja. Byee."
"Kejarrr terus tuh si geeky," seru Karina sambil tertawa lepas.
Tommy bertanya-tanya pada diri sendiri, apa yang dia lakukan berdiri sendirian di balkon seperti ini? Memandangi Mia di bawah yang membuatnya sukses galau berkepanjangan? Tommy jadi teringat, semalam ayahnya akhirnya mengabulkan keinginan Tommy dan membelikannya sepeda motor. Untuk apa sepeda motor itu sekarang? Tujuannya minta dibelikan motor tidak lain adalah agar bisa antar jemput Mia setiap hari. Sekarang yang bersangkutan sudah terlarang baginya, untuk apa sepeda motor itu?
Ya jelas untuk dibawa pergi kemana pun lu mau, tolol. Tommy menegur dirinya sendiri. Mia nggak bisa lu dapetin, seenggaknya lu sekarang dapet motor. Syukurilah.
"Tommyy ... kamu sedang apa di sini?"
Suara yang sangat akrab di telinga Tommy. Akrab dengan perasaan mual. Pasti Nadine. Tanpa Tommy menoleh pun dia sudah bisa merasakan hawa kehadiran Nadine yang 'spesial'.
Daripada berhadapan dengan Nadine yang luar biasa agresif, Tommy melangkahkan kakinya lebar-lebar menjauhi Nadine.
"Ehh ... Tommyyy!" Nadine berusaha mengejar Tommy, dan langsung bergelayut di lengan Tommy. "Koq lari sihh ...?"
Tommy dengan dinginnya mengentakkan lengan hingga terlepas dari pelukan Nadine. "Gue mau balik. Bye," katanya sambil terus melangkah.
"Tommyy! Sebentar dong ... aku mau ngobrol serius nih sama kamu. Please?"
"Ngomong sama lu mana ada seriusnya sih?" Tommy menyahut galak.
"Duhh galak amat deh ... bentaran aja ... ayoo." Tanpa menunggu jawaban Tommy, Nadine menarik tangan Tommy masuk ke dalam kelas mereka yang saat ini sudah kosong tidak ada siapa pun. Selagi menarik Tommy, diam-diam Nadine menarik paksa kancing seragamnya hingga lepas jahitannya. Ia sengaja membiarkan buah dadanya jelas terlihat. Dengan harapan Tommy jadi tergugah setelah melihat yang ia miliki.
"Lu itu mau ngomong apa? Ngomong buruan!" Tommy melepaskan diri dari genggaman Nadine.
"Tom ... lu nggak tahu sih ya ..."
"Huh?"
"Gue itu kesepian. Nggak punya teman sejati. Semua yang berteman sama gue, banyak yang cuma cari kesempatan buat macem-macem sama gue. Banyak juga yang dua muka ... depan manis, belakang jahat! Gue juga butuh teman buat ngobrol ‘kan ... dari hati ke hati ... tanpa kuatir cerita gue itu bakalan kesebar ke seluruh dunia. Sampai sekarang gue nggak juga punya teman sejati. Sejak gue kenal lu, Tom ... gue ngerasa kalau lu tuh bisa jadi teman gue. Tapi gue juga bingung ... lu selalu menjauh dari gue Tom. Kenapa sih? Apa gue ini menjijikkan buat lu?" Nadine berkata lirih demikian dengan posisi membelakangi Tommy. Ide 'curhat'an ini tiba-tiba saja terlintas di benak Nadine, dan ia dengan lihainya merangkai kata. Jika saja Nadine berhadapan dengan Tommy saat ini, ia bisa lihat bahwa Tommy percaya dengan kata-katanya barusan yang memang memelas.
"Lu itu ... " Tommy terdiam. "Nggak kayak gitu juga cara lu kalau mau cari teman, Nad. Lu itu agresif! Super agresif! Sampai gue itu jengah sama lu!"
"Jadi ... cara gue dekati lu itu salah banget ya?"
Phew. Nadine berusaha keras menahan tawa.
"Nad, lu itu ‘kan cewek. Gue cowok. Yang lu lakukan ke gue itu sudah di luar batas kewajaran. Peluk peluk segala macem. Karena perilaku lu seperti itu, gue otomatis jaga jarak karena gue nggak nyaman diperlakukan demikian. Begitu intinya, Nad."
"Maaf deh Tom ... habis gue ... gue selama ini nggak pernah dapat teman yang benar ... jadi gue nggak tahu tata caranya yang sopan seperti apa. Gue tuh ... cuma murni pengen temenan sama lu, Tom."
"Okelah, yang sudah lewat ya sudah. Yang penting lu jangan seperti itu lagi."
"Tapi lu mau berteman sama gue ‘kan, Tommy?"
"Kita memang teman Nad."
Nadine akhirnya berbalik badan, dan melempar senyuman manis pada Tommy. "Syukur deh ... gue pikir lu alergi sama gue. Thanks ya ..."
Dan sebagaimana jelinya mata seorang cowok jika melihat yang mengundang nafsu, demikian juga dengan Tommy yang tanpa dikomando pandangannya langsung tertuju pada belahan payudara Nadine, masih tertutupi bra hitam berenda yang sangat kontras berpadan dengan kulit Nadine yang seputih pualam. Mata Tommy seketika membesar, dan merasakan jantungnya berdegup dengan kencang. Ini kali pertama dia melihat pemandangan indah itu secara langsung. Tersaji gratis di depan mata!
Nadine masih berbicara, Tommy bahkan tidak tahu apa yang Nadine bicarakan. Dia berupaya sekeras mungkin menahan pandangan matanya dari gundukan putih yang benar-benar mengundang ...
Ah, rupanya kancing seragam Nadine lepas jahitannya, Tommy menyadari. "Euh. Nad." Tommy berdeham. "Baju lu kebuka ..."
Nadine menunduk, melihat sendiri bagian tubuhnya itu terekspos tanpa malu-malu di depan Tommy. Ia berseru tertahan, spontan menutupi dadanya dengan kedua tangan. "Ya ampunn koq bisa copot kancingnya??"
Tommy memilih mengalihkan pandangan dan membiarkan Nadine menyelesaikan urusannya sendiri.
"Aduhh ini sih lepas jahitannya! Jatuh dimana ya kancingnya?? Tomm ... Tommy, lu punya peniti nggak?"
"Mana ada!" Tommy teringat sesuatu. "Eh sebentar. Ada yang gue pakai buat di tas gue sih," katanya lagi seraya menaruh tasnya di atas meja dan melepaskan peniti yang dia gunakan untuk menyiasati salah satu ritsleting tasnya yang memang sudah rusak. "Nih. Pakai aja."
"Thank you ..." Nadine lantas duduk di meja setelah menerima peniti dari Tommy. Ia berusaha supaya terlihat kesulitan mengaitkan peniti. "Tom ... bantuin dong ... ini koq nggak bisa juga ..."
"Heh?"
"Nggak apa, ini bantuin dong ... masa gue pulang tapi baju kebuka begini ..."
Memang dasarnya Tommy berhati baik. Dan sedang termakan omong kosong Nadine, maka Tommy mengulurkan tangan.
Tapi yang benar saja! Baju Nadine benar-benar terbuka, jika Tommy mengaitkan peniti, pasti tangan Tommy akan bersinggungan dengan bukit kembar milik Nadine itu! Tapi seharusnya kondisi itu bisa diminimalisir. Tommy berupaya fokus pada peniti dan kain seragam yang harus dia kaitkan. Tommy menahan keras matanya supaya tidak melihat lebih lama lagi bukit kembar yang seakan menggoda dirinya.
Nadine, yang walaupun memang sengaja menciptakan drama ini terjadi, merasakan jantungnya ikut berdegup kencang. Tangan Tommy ada di atas payudaranya ... wajah Tommy hanya beberapa inchi dari dirinya. Ia menegakkan tubuh dan ... oh. Senggolan itu pun terjadi. Tapi wajah Tommy masih saja datar ... kenapa tidak ada reaksi? Padahal Nadine sudah mulai panas.
Beruntung bagi Tommy, dia tidak perlu lama-lama berfokus pada dada Nadine. Sebentar saja peniti itu sudah terkait dan Nadine tampak rapi kembali. Tommy berdeham. "Ok. Yang mau lu omongin sudah selesai ‘kan Nad? Gue balik duluan ya," katanya sambil berbalik badan dan meninggalkan Nadine sendirian di ruang kelas.
Nadine menghela nafas panjang. Udah kasih lihat yang atas, Tommy masih diam bergeming. Harus telanjang bulat mungkin ..., ujar Nadine dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
