Kita yang Tertunda (31-38)

0
0
Deskripsi

31 - Baby Juan

Lengosan kesal meluncur dari bibir Aurora sembari meletakkan novel yang tengah dibacanya. Keningnya berkerut-kerut, sama sekali tidak terpancar vibrasi positif dari ekspresi di wajahnya. Ini sudah kali keberapa ia merasa terganggu dengan suara nyaring tangisan manusia kecil di kamar sebelah, menuntut perhatian darinya.

"Kenapa lagi sih, itu anak??" sungutnya kesal. Meski rasanya enggan, Aurora memaksakan diri untuk bangun dan bergegas.

Ia menerobos masuk ke kamar bayi, mendapati dua...

"Juan kenapa lagi?" tanya Aurora, nada kesal jelas terdengar dari suaranya.

"Anu ... rewel, Nyonya," jawab Santi, perempuan bertubuh agak gemuk yang baru beberapa hari menjadi pengasuh Juan. Juan terus menangis keras di gendongan Santi.

"Saya juga bisa dengar sendiri Juan rewel!" sahut Aurora sewot. "Rewelnya kenapa? Lapar? Sudah dikasih minum susu belum?"

"U-udah, udah kok, Nya," jawab Santi takut-takut. "Baru aja minum susu."

"Kamu beneran kasih dia susu apa nggak, Santi? Kenapa rewel terus? Kalau udah kenyang harusnya anteng, dong! Kamu bisa urus bayi nggak, sih? Nggak becus! Kamu mau saya pecat seperti yang lainnya??" Aurora berkacak pinggang, sementara lawan bicaranya semakin mengkerut ketakutan.

Pengasuh yang satu lagi, Emi, mencoba menenangkan. "Nyonya ... masa mau pecat-pecat lagi ... udah berapa banyak nanny keluar masuk ...," bujuknya.

"Diam kamu, Emi! Samanya, kamu nggak becus!" bentak Aurora. "Kalau emang kalian nggak becus bekerja, tentu saya punya hak untuk cut kalian! Tinggal minta yayasan untuk kirim lagi nanny ke sini! Ya habis lihat aja, Juan menangis terus tiap saat!" 

"Mohon maaf, Nyonya, kami nggak pernah nggak becus .... Kami sepenuh hati urus dan jaga Juan," jawab Emi, menguatkan hati membela diri.

"Terus kenapa itu anak nangis terus?"

"Mungkin .... Mungkin perutnya kembung, Nyonya." 

"Kembung?"

"Bisa jadi karena kurang cocok sama susunya ... mungkin lho, Nya ...," lanjut Emi.

"Lagi? Ini udah berapa sufor yang dipakai, kenapa nggak ada yang cocok?" Aurora jelas heran, sudah berapa merk susu formula ternama yang ia sediakan, namun tidak ada yang cocok.

"Saya juga bingung, Nyonya," jawab Emi. "Padahal Nyonya udah siapkan susu yang mahal-mahal, tapi ...."

Aurora mendelik galak. "Kamu aja bingung apalagi saya!"

"Sebenarnya ... yang paling cocok untuk bayi ya air susu ibunya, Nyonya ...."

"Ya saya juga tahu! Tapi kamu tahu di mana ibunya? Kalau kamu tahu, bilang! Biar saya labrak sekalian!"

Emi menggeleng pelan. 

"Tuh, kan! Ngomong seenaknya aja. Kalau nggak bisa kasih solusi, diam!" Aurora masih belum puas menginjak gas.

"Maaf, Nyonya."

Perdebatan sang nyonya dan dua pengasuhnya itu terhenti saat tangis Juan semakin kencang. Baik Emi dan Santi sontak kembali membujuk si bayi. 

"Nya ... apa nggak mau gendong? Siapa tahu kalau Juan digendong Nyonya, dapat perhatian Nyonya, dia jadi anteng," bujuk Emi.

Aurora meringis. Ia semakin bergidik tatkala pandangannya bertemu dengan Juan. Bola mata Juan yang bulat berlinang air itu memandanginya seolah berharap. 

Aurora membuang muka. Ia bukannya tidak senang pada bayi atau anak-anak, justru ia adalah tipe yang mudah luluh melihat sinar mata anak yang tidak berdosa. Hanya saja, situasi dan kondisi yang ia hadapi sekarang membuatnya segan untuk menjamah si bayi. Bayi hasil perselingkuhan sang suami, yang harus ia asuh dan anggap seperti anak sendiri, bagaimana ia bisa menerima itu? Meski dalam lubuk hati, ia jelas tahu bayi itu tidak menanggung dosa orang tuanya.

"Juan, digendong Mama mau?" Emi masih membujuk.

"Stop!" sergah Aurora menyadari tindak tanduk para pengasuh yang bermaksud menyerahkan Juan padanya. "Yang harusnya mendiamkan bayi itu ya kalian, apa gunanya saya hire babysitter? Saya lagi nggak mood berurusan dengan anak ini. Saya harus ketemu dengan Luan," ujarnya sembari berbalik badan, lalu pergi meninggalkan ruangan.

Suara Luan tengah berbicara sayup terdengar oleh Aurora saat menuruni anak tangga. 

Baguslah, itu orang udah pulang. Dia harus pikirin juga soal Juan, kenapa harus gue yang pusing soal anaknya nggak cocok susu? Enak banget dia, cuma main suruh-suruh. Yang kebisingan gara-gara anaknya nangis kan gue! Aurora bersungut-sungut dalam hati. Ia melangkahkan kaki menuju asal suara, dan mendapati Luan tengah menelepon seseorang di teras belakang. Pria itu tidak menyadari kehadirannya.

Aurora bersandar di dinding, melipat tangan di dada, menunggu sang suami selesai menelepon. 

"Oke. Bagus. Sampai jumpa Senin besok."

Aurora terus memerhatikan tindak tanduk pria berkaca mata yang memunggunginya itu. Luan terlihat mengakhiri telepon, lalu menyimpan ponsel di dalam saku.

"Kamu masih nggak mau ngaku, Luan?" Aurora membuka suara.

Ekspresi terkejut Luan memancar begitu menyadari Aurora ada di belakangnya. "Rora. Ngagetin aja," sahutnya.

"Ngaku nggak?"

"Ngaku apa, sih?" Luan memandangi Aurora dengan bingung.

"Ngaku siapa sebenarnya wanita jala- .... Siapa sebenarnya wanita yang lahirkan Juan? Siapa ibunya?" tanya Aurora bertubi-tubi, urung pula mengucap kata kasar yang sebenarnya sudah di ujung lidah.

Luan berdecak. "Sudah saya bilang, kamu nggak perlu tahu," jawabnya.

"Perlu!" jerit Aurora. "Perlu banget! Supaya bisa gue minta air susunya! Atau balikin sekalian Juan ke dia!"

"Apa sih?!" Luan mengerutkan kening, jelas bingung melihat perilaku Aurora sekaligus marah mendengar perkataannya yang terakhir. "Apa masalahmu? Balikin Juan ke dia, dia siapa? Juan anak saya, anak kamu! Terima itu!"

"Luan, kamu tuh enak banget ya suruh-suruh? Mana pernah kamu terganggu dengan tangisan Juan ... dia tiap hari rewel, berisik! Aku yang keganggu, jujur aja! Kenapa rewel? Karena nggak cocok sufor! Aku pening mikirin harus pakai susu formula yang mana buat kasih makan anak kamu, sementara kamunya bebas melenggang nggak ada pusing-pusingnya soal Juan! Ini kenapa jadi aku yang pusing mikirin kasih makan anak orang? Lahirin aja nggak, hamil apalagi, nggak pernah!" cerocos Aurora sewot.

Luan menghela nafas panjang.

"Makanya sekarang kutanya, siapa ibunya? Siapa namanya, tinggal di mana? Juan cuma butuh susu ibunya, bukan susu formula! Paham?" desak Aurora.

Luan menjawab, "Sufor nggak cocok, ya beli merk yang lain. Atau udah coba susu kedelai? Kalau kamu perlu bawa Juan konsul ke dokter silakan, bukannya saya udah kasih nomor telepon dokter?" 

"Astaga! Aku mau Juan minum ASI, cuma itu solusinya!" Aurora kukuh.

Luan tak kalah kukuh. "Sufor."

"ASI! Dia itu rewel perutnya kembung, buang airnya juga cair, kamu nggak kasihan? Dia butuhnya apa kamu kasihnya apa! Punya otak nggak sih?"

"Nggak ada ASI. Nggak bakal ada ASI. Ibunya nggak ada. Rest in peace. Mau gali kuburnya?" Luan berkacak pinggang menatap Aurora.

Aurora sejenak terdiam, balas memandangi Luan. Bola mata lawan bicaranya itu bergerak kesana kemari, ada rasa gugup tersirat di sana. "Bohong," sahutnya kemudian. "Ibunya belum meninggal, kan?"

"Sudah."

"Belum. Kamu bohong."

"Ayo ke kuburannya, gali bareng-bareng," timpal Luan seolah menantang. 

"Nggak. Kamu bohong. Kamu kan tukang bohong. Manipulator. Segitunya kamu nggak mau kasih tahu siapa selingkuhan kamu, sampai bilang dia udah meninggal."

"Rora, saya sudah menjawab pertanyaanmu. Kalau kamu berasumsi saya bohong, ya itu masalah kamu," ujar Luan menurunkan intonasi suaranya. "Saya nggak bertanggung jawab atas asumsi tiap orang terhadap saya, termasuk kamu," lanjutnya.

 

32 - Penyelidikan

Aurora memicingkan mata. "Ada yah, orang kayak kamu?"

"Supaya kamu senang, ini saya bantu hubungi dokter buat konsultasi. Cukup?" 

Aurora malas menyahut. Dibiarkannya Luan sibuk sendiri dengan ponselnya, tampak mengetik pesan. Setelah itu, hening. Hanya ada suara layar sentuh beradu berkali-kali dengan jemari Luan. 

"Done," ujar Luan tak lama kemudian. "Dokter akan datang sebentar lagi. Kamu bersiaplah."

"Hmh." Aurora menggumam tidak jelas.

"Oh iya," lanjut Luan, sesuatu terlintas dalam benaknya. "Papa mama kamu dan papa saya baru bisa luang di minggu depan. Mereka akan pulang sebentar ke sini minggu depan, sekalian nengok cucu mereka yang baru lahir. Kamu siapkan semuanya ya. Cuma pesan aja, siapa tahu kamu lupa, papa saya alergi santan, jadi tolong jangan ada yang bersantan di sajian papa saya," tutur Luan, matanya masih menempel pada benda pipih di tangannya itu.

Aurora mengernyit. "Pulang?" ulangnya. "Serius, mereka ke sini, minggu depan?"

Luan menatap Aurora dengan aneh. "Ya seriuslah, apa anehnya? Mereka belum pernah lihat Juan secara langsung, wajar kalau mereka kepo pengen gendong," timpalnya. "Mereka baru aja jadi opa oma, pasti excited sama cucu."

Betapa entengnya Luan bertutur, seakan di balik itu semua tidak ada skenario apa pun yang direkayasa. Hal itu juga yang membuat Aurora terperangah tidak percaya.

"Kamu ...." Aurora memandangi Luan bingung. "Kamu cerita apa ke mereka? Apa yang kamu bilang?"

"Yah, seperti yang waktu itu saya sampaikan, Rora. Apa harus saya ulangi?"

"M-mereka percaya??"

Luan mengangguk. "Tentu. Memang kamu pikir skenario cerita saya nggak meyakinkan sampai mereka harus nggak percaya?"

"Emang ... emang nggak meyakinkan ...." Aurora terbata. "Tapi, kamu bisa yakinin mereka?"

"Seorang Luan tidak pernah gagal," sahut Luan yakin. Senyum penuh sirat kepercayaan diri terukir di wajahnya. 

Aurora mengangguk-angguk meski rasanya ingin merobek senyum yang di matanya tampak menyebalkan itu. "Iya. Nggak pernah gagal bohongin orang tua," komentarnya.

"Kamu juga sudah terlanjur terlibat lebih dalam, dalam kebohongan ini. Sebagai sesama partner in crime, jangan saling menjatuhkanlah. Oke?" Luan menepuk bahu Aurora sambil masih terus tersenyum, menambah kejengkelan di hati Aurora.

Luan melewati Aurora usai berkata demikian. Tinggallah Aurora seorang diri, menahan rasa gemas bukan kepalang. 

Gue harus cari tahu siapa perempuan itu. Bukan, bukan untuk minta air susu. Gue mau tahu seperti apa bentuk orang itu, bisa-bisanya dia kasih anaknya begitu aja ke Luan! Ibu macam apa?? Gara-gara itu gue juga jadi harus berkomplot bohongi papa mama. Itu artinya minggu depan gue harus akting happy? Happy sebagai orang yang baru punya bayi? Happy nimang bayi? Happy main-main sama bayi? .... Happy sebagai istri ... oh my God. Happy sebagai ibu ...?? .... Nggak, nggak, nggak! Gila. Gila, si Luan emang udah gila. Kan dia yang berbuat gila! Dia juga yang sinting susun rencana, terus, gue jadi keseret harus ikutan akting! Enak aja! Lihat aja Luan, gue bakal bongkar semuanya! ujar Aurora dalam hati.

"Permisi, Nyonya." Seorang pelayan melewatinya, yang langsung sibuk membereskan cangkir bekas minum Luan yang tergeletak di atas meja. Aurora memerhatikan gerak gerik pelayan itu, Inah. Inah adalah pelayan yang sudah cukup lama mengabdi pada keluarga Wardana, dan kini mengikuti Aurora pasca pernikahannya dengan Luan. 

"Mbak Inah, sebentar," panggil Aurora menahan Inah yang hendak kembali menuju dapur.

"Iya, Nyah?" 

Aurora malah diam, tidak tahu harus berkata apa. Ia terus saja diam hingga sekian menit berlalu.

Inah memandangi majikannya dengan bingung. "Ada apa ya, Nyah?" tanyanya.

"Euh. Kamu ...." Aurora tampak gamang. "Kamu bisa saya percaya, kan?" 

"Ah, Nyonya ini," sahut Inah. "Jelas saya bisa dipercaya. Saya kan udah ikut Tuan Roland sejak Nyonya masih SMP. Sekarang saya ikut Nyonya. Dari yang dulu masih dipanggil Nona, sekarang jadi Nyonyah. Nyonya ... pake h. Kenapa kok tumben Nyonyah nanya itu?"

Aurora tersenyum tipis. "Iya sih ya ... Mbak Inah kan setia. Mbak ... selama ini, si Luan pernah kedatangan tamu nggak? Tamu cewek? Atau pernah bawa pulang cewek, gitu?"

"Euuh." Inah tampak berpikir sejenak. "Nggak pernah sih, Nyah ...."

"Hah? Nggak pernah? Sekalipun?"

"Nggak pernah."

"Yakin? Mbak?"

Inah kembali terdiam, mengingat-ingat. "Iya ah, emang nggak pernah ada tamu main ke sini kok, Nyah. Emang kenapa gitu?"

Bukannya menjawab, Aurora bertanya lagi. "Atau kamu pernah denger dia telepon-teleponan sama cewek, gitu? Pernah nggak?"

Inah kembali menggeleng. "Nggak pernah sih, Nyah. Kayaknya tuan selalu ngomongin bisnis, nggak pernah dengar tuan ngobrol yang aneh-aneh gitu," jawabnya. 

"Hmm." Aurora mengangguk. "Oke kalau emang nggak ada. Kamu boleh pergi," ujarnya membiarkan Inah kembali ke dapur. 

Tono, sebut Aurora dalam hati tiba-tiba. Bener, si Tono yang harusnya gue tanyain! Bukannya ART!

Aurora melangkah tergesa menuju garasi rumah, mencari sosok Tono, supir yang senantiasa melayani Luan setiap harinya. 

Benarlah, orang yang Aurora cari tengah duduk di ambang pintu yang menghubungkan garasi dengan dapur basah, tengah menikmati secangkir kopi. Dia sontak bangun begitu menyadari kehadiran sang nyonya, menyapanya dengan kaku, "Sore, Nyonya."

Aurora mengangguk. "Tono. Ada yang harus saya bicarakan denganmu."

"Iya. Ada apa, Nya?"

Aurora melipat tangan di depan dada. "Saya berharap kamu mau jawab pertanyaan saya dengan jujur, Tono. Bisa?"

Tono memandangi majikannya itu dengan bingung.

"Bisa, jujur? Jangan ditutupi! Kalau sampai kamu berani berbohong, saya nggak akan segan bikin kamu angkat kaki dari rumah ini," ujar Aurora tegas, ekspresi garang sudah ia pasang dari awal mula.

"B-baik, Nyonya ... saya akan jujur," jawab Tono.

"Saya cuma mau tanya, kamu kenal siapa selingkuhan Luan?" Aurora menatap Tono tepat di mata, ingin melihat seperti apa reaksinya.

Ekspresi shock jelas terlihat pada Tono. "Selingkuhan ...? Nyonya, maaf, saya nggak paham maksudnya."

Kening Aurora berkerut-kerut mendengar jawaban Tono. "Kamu nggak kenal?! Gimana bisa? Kamu yang setiap hari sama Luan, masa kamu nggak tahu dia ada main di luar sana?!"

Tono terlihat kebingungan. Agak terbata dia menjawab, "Su-sungguh, Nya, saya nggak pernah tahu .... Apa memang benar tuan berbuat demikian?"

"Lah kok malah tanya saya! Bukannya kamu yang harusnya paling tahu! Dia dekat sama siapa sih?" tuduh Aurora.

"Tuan nggak pernah terlihat dekat dengan siapa pun, Nya," jawab Tono sambil menggelengkan kepala. "Tugas saya hanya antar tuan sejak berangkat dari rumah ini ke kantor, lalu menungguinya seharian. Kalau di jam makan siang kadang juga tuan minta saya supiri ke luar. Tapi ... selalu sendiri, atau dengan kolega bisnis lainnya."

"Nggak pernah makan sama cewek? Berdua aja?"

Tono menggeleng lagi, tampak yakin. "Nggak pernah," jawabnya. 

"Lho! Terus, yang waktu malam itu Luan bawa-bawa bayi ke rumah, kamu yang supiri, kan? Kamu juga yang antar jemput nanny-nanny yang kerja di sini. Itu bayi dari mana asalnya, saya mau tahu!" cecar Aurora.

"Benar, saya yang supiri, Nyonya. Tapi ... saya nggak tahu banyak. Saya cuma nunggui tuan di rumah sakit, keluar-keluar, tuan sudah bawa bayi, minta saya supiri pulang. Di sepanjang perjalanan saya juga yang belikan semua perlengkapan untuk bayi dan sekalian bawa dua nanny pertama yang urus bayi Juan ...," tutur Tono perlahan. "Sungguh, Nya, saya hanya jalankan apa yang tuan perintahkan," lanjutnya.

Kening Aurora semakin berkerut. Pening terasa. "Loh. Kamu ... kamu nungguin Luan di rumah sakit, dia bisa di sana naik apa? Bukan sama kamu?"

Tono menggeleng. "Malam itu saya pikir tuan lembur di kantor seperti biasa, jadi saya stand by saja pegang hp, Nya. Nggak tahunya, tuan telepon saya, dan rupanya tuan udah nggak di kantor, tapi di rumah sakit. Beliau minta saya segera pindah stand by di rumah sakit. Saya nggak tahu banyak kenapa-kenapanya, Nyonya."

"Kamu nggak bingung kenapa Luan bawa-bawa bayi?"

"Saya ... saya mana berani lancang bertanya-tanya, Nyonya," jawab Tono pelan.

"Kriminal. Tahu nggak, kamu itu udah berbuat kriminal dengan membiarkan Luan bawa lari bayi orang!" hardik Aurora, meskipun ia sendiri juga tahu bahwa yang ia lakukan juga termasuk tindakan kriminal. Ia membiarkan bayi tersebut berada di rumahnya hingga detik ini.

Tono hanya bisa menundukkan kepala, tidak lagi menyahut. Tentu dia sadar yang dikatakan sang majikan memanglah benar.

"Sudahlah. Jadi, kamu benar-benar nggak tahu? Bukan karena Luan memintamu untuk tutup mulut?" tanya Aurora sekali lagi.

Tono mengangguk. "Yang tuan minta hanyalah agar saya tidak menceritakan yang saya lakukan pada Tuan Santoso, dan juga orang tua Nyonya," jawabnya pelan.

Memang dasar manusia licik ...! Dia pasti juga sudah instruksikan hal yang sama pada para pelayan dan nanny yang terlibat, ujar Aurora dalam hati. Oke. Kamu bisa suruh orang tutup mulut, Luan, tapi kamu nggak akan bisa menutup mulutku. Akan aku cari tahu semua kebenaran ini dan ungkapkan semuanya pada papa mama!

 

33 - Mine

Sejak hari dimulai, mata Aurora tak lepas mengawasi segala tindak tanduk Luan. Ia menunggu saat yang tepat untuk bisa mengambil ponsel Luan begitu pria tersebut lengah, lalu bermaksud mengintip isi pesan maupun rekaman panggilan selama ini. Tidak mungkin bila hubungan perselingkuhan itu tidak terekam di mana pun, begitulah yang Aurora yakini.

Hingga menjelang sore, Luan mengurung diri di ruang kerja, berkutat dengan laptopnya. Aurora siaga menunggu kesempatan di ruang keluarga di samping ruang kerja, layar televisi menyala di hadapannya, seolah memang ia sedang asyik menonton. 

Pintu ruang kerja terdengar terbuka, Luan menerobos keluar tergesa-gesa. Begitu berbelok di koridor, pandangan matanya sempat bertemu dengan Aurora, namun Luan tidak berucap, dia terus melangkah terburu hingga menghilang di balik pintu kamar mandi. 

Aurora menuju kamar mandi yang sama, berdiri di depan pintu dan menempelkan telinga. Kelihatannya urusan Luan di dalam bukan hal yang bisa selesai dengan cepat, ada suara-suara alamiah yang berasal dari tubuh Luan terdengar olehnya.

Ini kesempatan.

Pada saat yang sama Inah tiba di lantai dua membawakan teh pesanannya. Pelayan paruh baya itu agak terheran melihat tingkah Aurora.

"Mbak Inah!" seru Aurora tertahan, ia bergegas menghampiri pelayan itu. "Saya ada urusan di ruang kerja, tapi nggak mau Luan sampai tahu. Tolong kasih tanda kalau Luan keluar dari kamar mandi ya!" bisiknya memberi perintah. 

Inah hanya mengangguk meski bingung.

Aurora tidak mau membuang waktu, ia segera melesat masuk ke dalam ruang kerja dan memindai semua yang tergeletak di atas meja Luan. Hanya ada laptop yang masih menyala, tidak terlihat adanya ponsel di sana. Aurora berdecak. Pasti Luan membawa ponsel ke kamar mandi. Tapi, bukankah justru itu pertanda bagus? Besar kemungkinan Luan memang akan lebih lama menghabiskan waktu di dalam kamar mandi, menuntaskan hajat sembari berselancar di media sosial, atau menonton video, atau apa pun. Aurora jadi memiliki lebih banyak waktu. 

Tapi apa yang bisa dicari dari laptop? 

Oh. Pasti aplikasi pesan Luan juga bisa diakses dari sini, kata Aurora dalam hati. Ia menggeser tetikus, menekan tombol, meneliti layar di hadapannya. Benarlah, ada aplikasi pesan masih terbuka di sana. 

Terpampang teks obrolan membahas pekerjaan dari akun bernama "Andi TG". Aurora paham TG adalah singkatan Tamawijaya Golden, sementara orang yang bernama Andi juga ia kenali sebagai salah satu manajer di sana. 

Aurora menggulir tetikus di kolom berisi daftar kontak Luan, sepertinya tidak ada yang mencurigakan. Sebagian besar akun bertuliskan TG di belakang nama masing-masing, hanya ada tiga atau empat nama tanpa sematan TG, namun bukan nama perempuan. Aurora mengenali nama Fritz dan Marco di daftar kontak yang terbilang sering berkirim pesan pada Luan. 

Fritz sama Marco sih temen sekolah itu orang, kata Aurora dalam hati.

Dua nama lagi tanpa sematan TG di belakang, Darmawan Winardi dan Dr. Jonathan.

Siapa ini? .... Ah, nggak penting, ujarnya lagi dalam hati.

Sekali lagi Aurora berdecak. 

Ini isinya kerjaan semua .... Atau ... atau jangan-jangan dia selingkuh sama orang kantor? Berarti gue harus bukain chat satu-satu?? Hadeh! Aurora menggulir kembali ke atas, lalu terdiam begitu melihat ada kotak pesan arsip di paling atas. Ia mengetuk kotak arsip, hanya ada satu akun tersemat di sana. Akun dengan nama "Mine", tanpa adanya gambar profil.

Ini apa ...? Mine? Milikku? Selingkuhanku, maksudnya? 

Tanpa sabar Aurora membuka pesan dari akun tersebut. Obrolan terakhir hanya emoticon ibu jari dari pihak Luan, menanggapi emoticon bergambar hati dari pihak si "Mine". 

Love-lovean, astaga. Jadi ini bener nih! Selingkuhan disebut milikku. Kalo emang dia milik lu, ya udah aja nikahin dia! Ceraikan gue! 

Adrenalin Aurora semakin melesak, tak sabar ingin tahu apa isi percakapan mereka sebelum-sebelumnya. Ia menggulir terus ke atas, membaca secara cepat semua balon obrolan yang ada. Sesekali Luan juga mengirim emoticon hati pada Mine. Obrolan yang terpampang di sana jelas menyiratkan bahwa mereka berdua menjalin hubungan. Ada banyak pesan bernada mesra di sana, lengkap dengan panggilan "sayang". Ada juga untaian pesan mesum, diikuti dengan histori aktivitas bahwa keduanya melakukan panggilan video. Aurora meringis jijik. Ia berharap bisa mendapatkan nama perempuan itu, namun Luan kerap memanggil perempuan itu dengan sebutan "say", atau "sayang". Ia juga berharap mendapatkan foto atau apa pun dari si perempuan, namun nihil. Bahkan foto seronok pun tidak ada. Aurora bertambah gemas.

Di barisan balon obrolan, Aurora menangkap kata-kata dari Luan, "Sampai ketemu di kantor".

Sampai ... ketemu ... di kantor, ulang Aurora dalam hati. 

Pesan berikutnya berbunyi, "Kita udah sepakat kan, masing-masing jaga sikap supaya jangan sampai ketahuan siapa pun".

Di kantor! Berarti selingkuhan Luan adalah karyawan di sana! Tapi ... tapi siapa?? Siapa namanya?? 

Mulai sedikit frustrasi, Aurora terus menggulir, berharap Luan menyebut nama perempuan itu. 

Luan! Panggil sayang sayang! Kenapa nggak sebut nama aja, sih? Siapa namanya, please ...!

"Nyonyah! Nyonyah!" Terdengar panggilan Inah dari luar ruangan, membuat Aurora tersentak kaget.

Damn, Luan udah selesai! Aurora terburu mengembalikan layar seperti semula, lalu melesat keluar ruangan. 

"Ada apa, Mbak?" Luan menyapa Inah, mungkin kebingungan mengapa pelayan itu berdiam diri dengan ekspresi wajah gugup memandanginya.

"Ehh. Anu ... Tuan mau minum teh?" Dari ujung mata Inah melihat keberadaan Aurora. Keadaan aman terkendali. 

"Hmm. Boleh. Seperti biasa ya, gulanya satu sendok aja," ujar Luan sambil berlalu, hendak kembali ke ruang kerja. Dia berpapasan dengan Aurora di koridor, tapi tidak menaruh curiga. Tentu saja, Luan pasti menyangka Aurora baru saja keluar dari kamarnya sendiri, yang memang berada di ujung koridor. 

Aurora kembali duduk di sofa ruang keluarga setelah membisikkan ucapan terima kasih pada Inah. Wajah Aurora kusut, memori percakapan intens Luan dengan perempuan entah dari mana memenuhi isi kepalanya. Besar kemungkinan Juan adalah anak dari perempuan itu. Karyawati di kantor Luan sendiri. Apakah masih kerja di sana? Tidak resign? Kalau masih bekerja, bagaimana ceritanya perempuan itu beraktivitas? Semua orang pasti melihat perut buncitnya, lalu, saat tiba waktunya melahirkan, bayinya tidak ada lagi bersamanya karena diambil Luan. Bukankah orang sekitarnya pasti curiga? Pastilah rekan staf yang lain berinisiatif menengoknya, bagaimana ia bisa menjelaskan kenapa bayinya tidak ada? Apakah perempuan itu mengarang cerita bahwa anaknya tidak selamat, atau bagaimana? Sebenarnya siapa perempuan itu?

Ih!! Astaga!! Aurora terperanjat kaget sendiri begitu menyadari sesuatu. Kenapa tadi nggak gue catat nomor perempuan ituuu?! Aduuhhh! Bodoh!! 

Aurora melengos keras, memijat keningnya. Bodohnya Aurora! Bodoh! Gugupan sih! Gugup gara-gara Luan udah selesai! Sampai lupa nggak catat nomor perempuan itu! Haduh!! Jadi sia-sia semuanya!!

Decakan lolos dari bibirnya, seiring rasa gemas dan kesal lantaran telah alpa. Rasa penasarannya pun semakin melesak, menuntut agar segera terpuaskan.

Haduh. Mau gimana lagi? Gue harus ke kantor besok. Gue cari tahu semuanya di sana. Pokoknya nggak boleh lagi ceroboh seperti tadi! tekad Aurora dalam hati.

 

34 - Bahan Gosip

Di hari berikutnya, Aurora sengaja menunggu Luan berangkat ke kantor terlebih dahulu sebelum bersiap-siap. Entah kenapa intuisinya mengatakan agar jangan tampil seperti biasanya agar tidak ada yang menyadari keberadaannya, maka ia sengaja tidak berdandan cantik. Aurora hanya mencepol rambut lalu menutupinya dengan topi, juga kaca mata hitam. Cardigan dan dalaman polos dipadan dengan jeans dan sneakers. Semoga tidak ada yang mengenali Aurora dengan dandanan seperti ini. 

Begitu tiba di Summer Sky Tower, ia bingung sendiri harus dari mana memulai penyelidikan. Langsung ke kantor Tamawijaya Golden? Bagaimana jika dicegat resepsionis? 

Aurora melirik arloji di pergelangannya. Sudah jam makan siang. 

Mending gue makan dulu deh, biar bisa mikir. Kenapa nggak dari awal mikir dulu gimana strateginya, baru kemari. Kebiasaan! Aurora merutuki dirinya sendiri dalam hati.

Maka ia pun menuju lantai tiga di mana terdapat kantin untuk para karyawan. Sebenarnya Aurora agak malas makan sendirian di kantin, di tengah orang-orang yang kebanyakan bergerombol. Tapi ia tidak memiliki ide lain. 

Ada segerombol karyawati tengah makan siang bersama sembari asyik mengobrol di ujung sana. Aurora mengenali beberapa wajah dari antara mereka sebagai karyawati kantor Tamawijaya Golden. 

Eh. Mereka itu stafnya Luan, kan? Gue duduk di dekat sana aja ah, ujarnya dalam hati sembari membawa nampan berisi makan siangnya.

Belum juga Aurora sampai di tempat yang diinginkan, obrolan menjurus gosip terdengar olehnya dari kawanan karyawati itu.

"Aduhh, gue mah nggak kayak si Inka yahh, yang beraninya deketin bos."

"Eh dia tuh fenomenal loh di divisi gue! Pada ngomongin!"

"Ya sama. Di tempat gue juga."

"Jadi beneran, dia selingkuh sama bos?"

"Menurut ngana?"

"Masa iya sih? Inka itu kan keliatannya manis polos gitu ... dan lagi udah nikah! Masa bisa-bisanya ...?"

"Eh, jangan ketipu sama cover, Say! Hari gini, orang boleh tampil polos innocent lugu suci ... nggak tahunya, pelakor. Kayak si Inka itu."

"Iya sih. Emangnya lu nggak pernah denger ada gosip Inka sering banget meeting privat sama bos? Meeting. Privat. Berdua aja. Di luar kantor. Gimana yaa? Otak gue traveling kemana-mana. Pasti boci deh di hotel."

"Boci? Bobo ciang?"

"Abis lunchie terus bochie ... kelonan."

"Eh, nggak lama melendung tuh perut."

"Ih, itu sumpah ya ... gue harap itu emang anak suaminya. Jangan sampe itu anaknya si bos. Parah gila!"

"Lu udah nengokin si Inka? Dah lihat bayinya?"

"Gue sih udahh. Tapi bayinya mirip si Inka sih. Gue juga ketemu sama lakinya .... Kelihatan yang happy banget gitu. Gue kasihan aja kalau sampe tuh lakinya tahu kalau Inka digosipin ada something sama bos kita .... Wihh. Pasti seru tuh."

"Yah. Sayang yah kalo mirip Inka. Kirain gitu, mirip si pak bos. Kan ghibahan kita jadi makin berbobot, hihihihi."

"Puas-puasin nih ghibah si Inka mumpung orangnya masih cuti."

"Anaknya laki apa cewek sih?"

"Laki."

"Si Inka lahiran kapan sih? Dua minggu lalu bukan yah? Pas gue lagi cuti."

"Ada yang minat nggak, ambil sampel rambut tuh bayi terus ambil rambut pak bos juga buat dicocokin."

"Yaelaah! Niat amat lu!"

"Kepo gue!"

"Kurang kerjaan? Mending bantu kelarin proposal gue!"

"Ih, beneran, emang nggak pada kepo, itu bayi anaknya pak bos, atau anak suaminya? Sumpah, asli, gue kepo maksimal."

"Ehh. Lu pikir murah tes-tes DNA kayak gitu? Lu nggak ada kepentingannya pula, ngapain repot?"

"Iya sih. Lagian gimana ceritanya lu bisa dapetin sampel rambut pak bos?"

"Hihi, gue kebayang ... lu sengaja lewat di belakangnya terus belagak lihat sesuatu di rambutnya. 'Ehm, Pak, maaf, ada sesuatu di rambut Bapak ... biar saya ambilkan'. Begitu? Terus lu cabut deh rambutnya sehelai."

"Ih! Ide lu brilian!"

"Terus bukannya lu jadiin sampel buat tes DNA, malah disalahgunakan buat pelet! Hahaha."

"Ehh, maaf ya gue nggak main ilmu hitam."

"Tapi kalau ada kesempatan, mau?"

"Ya nggaklah!"

"Tapi Pak Luan emang most wanted banget nggak sih? Gue sih, nggak heran kalau Inka jatuh ke dalam pelukannya."

Aurora membeku di kursinya begitu mendengar nama Luan disebut. Sejak awal memang Aurora sudah curiga mendengar pembicaraan para perempuan itu yang menyebut-nyebut 'pak bos', dan begitu mendengar nama Luan disebut, hal itu mengonfirmasi kecurigaannya.

Luan. Inka. Rahang Aurora mengencang. Inka ... Inka, istri Sena? Yang mereka bicarakan ... Inka istri Sena? 

Nafas Aurora memburu, emosi yang mulai memuncak memenuhi seluruh rongga dadanya. Sesak. 

Sebentar. Aurora menarik nafas panjang beberapa kali. Tenang. Calm down, Rora.

Mereka menggosipkan bos mereka, Luan, selingkuh dengan Inka. Seingat gue, hanya ada satu orang bernama Inka di kantor Tamawijaya Golden. Dan nama Luan bukan nama yang pasaran. Udah jelas yang mereka bicarakan adalah Luan suami gue. Dia selingkuh dengan Inka. Inka yang waktu itu gue hadiri pernikahannya. Yang menikah dengan Sena gue. Jadi ... itu artinya Sena dikhianati selama ini! 

Lalu ... lalu tadi mereka bilang, Inka masih cuti, karena dua minggu lalu melahirkan. Kejadian Luan bawa pulang Juan juga dua minggu lalu. Apakah Juan anaknya Inka? Tapi ... tapi kok aneh? Mereka bilang pernah jenguk Inka dan bayinya! Inka punya bayi, kok? Luan dan Inka ada something, lalu Inka hamil dan melahirkan ... anak siapa? Luan atau Sena? Lalu Juan? Jadi Juan anak siapa?

Atau mungkin Luan selingkuh juga dengan wanita lain lagi? Siapa?? Astaga! Aurora meremas tisu kuat-kuat. Beban pikiran yang ia alami mujarab menghilangkan nafsu makannya dalam sekejap. 

Tapi ... tapi nggak mungkin. Kemarin cuma ada chat dengan satu perempuan yang dia kasih nama Mine. Nggak ada dengan yang lain, kok? .... Atau lewat aplikasi lain? Aplikasi cari jodoh? Atau kenal dari media sosial yang banyak open BO? Atau sama sekali nggak pernah berhubungan lewat pesan? Langsung ketemu dan langsung action?

Atau ... atau anak Inka ada dua? 

Aurora mendengus keras. Lantas bangkit berdiri, meninggalkan makanannya yang sama sekali tidak tersentuh. Ada hal yang harus ia luruskan sekarang juga demi ketenangan pikirannya.

Dalam beberapa belas menit ia sudah tiba di gedung perkantoran tempat Sena bekerja. Ia duduk di taman dekat pintu masuk, wajahnya muram. Gundah. Galau. Bingung. Cemas, semua menjadi satu.

"Aurora?" panggil seseorang dari arah belakang. 

Suara yang sangat familiar di telinga Aurora. Aurora menoleh. Sena. 

Aurora seakan merasa dirinya meleleh melihat senyum Sena masih sama hangat seperti yang ia tahu. Sena masih terlihat sama. Tampan. Memesona. Posturnya yang jangkung, tegap, terlihat berwibawa. Brewok tipis menghiasi dagu tajamnya, memberi kesan kontras di atas kulitnya yang bersih. Wajah yang sangat Aurora rindukan selama ini, sama sekali tidak berubah.

"Hai, Sen ...," panggil Aurora pelan, memaksakan diri membalas senyum Sena.

Sena mengambil tempat di sebelahnya. "Rora. Saya kaget kamu tiba-tiba kirim pesan udah ada di sini. Ada apa?" tanyanya.

Senyum Aurora terkesan canggung.

"Ah. Maaf, nggak ada basa-basinya. Kamu apa kabar? Sehat, kan?" Sena bertanya lagi.

"Sehat ... sehat," jawab Aurora tidak bersemangat.

"Yakin? Kenapa lesu begitu? You look so gloomy," komentar Sena.

"Aku dengar kamu udah punya anak?" Aurora mengalihkan pembicaraan. "Selamat ya, udah jadi ayah."

"Ah." Wajah Sena terlihat berseri-seri. "Kamu sudah tahu? Iya. Saya sudah jadi ayah!"

Sena kelihatan bahagia, seakan nggak terjadi apa-apa. Apa karena nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Dia nggak tahu kalau istrinya ada main gila dengan Luan? Aurora membatin.

 

35 - Kesaksian Sena

Barangkali ada sesuatu yang bisa gue korek dari Sena ... baiknya gue videoin dulu deh diam-diam. Aurora menekan tombol record di ponselnya, menaruh ponsel itu sedemikian rupa di dalam tas hingga bagian lensa kamera tidak tertutupi. Aurora bangkit berdiri, menghadap Sena yang masih duduk sambil terus memandangi dirinya. Dengan posisi demikian ia yakin kamera ponselnya dapat menangkap keberadaan Sena secara jelas.

"Kamu kenapa, Ra? Kelihatannya sedang simpan sesuatu yang berat?" Sena bertanya khawatir. "Apa kamu mau cerita itu, makanya ngajak ketemu?"

Aurora tersenyum tipis. "Nggak, kok. Nggak ada apa-apa. Terus? Gimana kesannya, gimana rasanya jadi ayah?"

"Wah." Sena tersenyum-senyum sendiri. "Rasanya luar biasa. Bisa tiap hari main sama anak, yah, meski anaknya juga belum bisa apa-apa cuma nangis kalau lapar. Bisa peluk, bisa cium. Rasanya terharu aja, tiap kali pegang tangannya, jemarinya yang mungil-mungil semua. Terharu, sih," tuturnya.

"Mmm. Kebayang ... happy banget ya pastinya ...."

"Tentu."

"Lahir normal?"

Sena mengangguk. "Normal."

"Kamu temenin Inka dong, waktu dia melahirkan? Pasti kamu temenin sih yaa. Kamu kan gentle."

Sena terdiam sejenak. Lalu menggeleng pelan. "Sayangnya, saat yang berharga itu, justru saya malah nggak ada di sana," jawabnya.

"Lho?"

Sena menghela nafas panjang. "Duh, kalau diingat, rasanya masih kesal, sih. Kesal sama atasan." Sena terlihat ragu sesaat. "Gimana ya? Atasan sudah lama tahu bahwa saya sedang menantikan kelahiran bayi. Saya juga berhak untuk ambil paternity leave demi temenin istri dan menyambut kelahiran bayi. Tapi ... tapi nggak diizinkan. Malah saya diutus dinas ke tempat jauh."

Aurora menegang. "Kamu ... nggak diizinkan cuti?"

"Begitulah. Bener-bener, pas banget waktunya. Kira-kira H-2 sebelum hari perkiraan kelahiran, bos saya, atasan saya yang sangat pengertian itu menugaskan saya untuk segera berangkat. Langsung berangkat, saat itu juga. Tiket udah siap, akomodasi segala macam. Semua atas nama saya. Jadi tanggung jawab saya. Saya sudah sampaikan bahwa saya nggak bisa lantaran menjelang hari kelahiran anak, tapi mulut saya sampai berbusa dan tanpa hasil. Malahan sempat ada ultimatum jika saya menolak, saya akan diberi SP 2. Padahal ya tenaga yang lain masih ada, nggak hanya saya! Tapi atasan saya yang budiman itu kukuh sekali menginginkan saya pergi. Entah karena percaya kemampuan saya atau gimana ... ya saya bersyukur jika dipercaya, tapi ini ... situasinya kan berbeda. Saya sedang menanti kelahiran. Saya sendiri nggak sangka kenapa perusahaan ini sama sekali nggak mau mengerti keadaan karyawannya yang akan segera memiliki anak. Pantas saja ajuan paternity leave saya ditolak. Karena mereka nggak ada toleransi," tutur Sena panjang lebar. Sesekali dia mengambil nafas panjang, mungkin meredakan gemuruh dalam dada yang masih tersisa.

Sena nggak diizinkan cuti, bahkan dikirim dinas keluar. Apa benar ada perusahaan yang seperti itu pada karyawannya? Atau jangan-jangan ada tangan yang mengatur ini semua? Supaya Inka nggak ditemani oleh suaminya saat melahirkan? Aurora bertanya-tanya dalam hati.

"Tapi ya sudahlah," ujar Sena lagi. "Toh, Inka sudah melahirkan dengan selamat. Sudah memberikan saya kebahagiaan bisa menimang bayi yang ganteng dan lucu. Rasa kesal saya menguap separuhnya berkat kehadiran bayi."

"A-aku nggak sangka ... ternyata seperti itu yah, kantor kamu," komentar Aurora.

"Hmm. Satu alasan waktu itu saya sempat kukuh dan ngeyel-ngeyelan dengan atasan saya, Pak Dar, adalah karena saat hamil, perut Inka lebih besar dari kondisi normal. Tiap kali ketemu ibu-ibu di rumah sakit saat kontrol kehamilan, pasti Inka disangka sedang hamil anak kembar. Karena memang besar," kata Sena.

Aurora membelalakkan mata mendengar penuturan Sena. Hamil ... kembar. Perut Inka besar seperti tengah hamil anak kembar. Jadi ada kemungkinan janinnya ada dua. Tapi ... tapi yang lahir satu? 

"Hanya saja dokter bilang bayinya cuma satu ... ya saya percaya yang dokter bilang, tentu saja. Ada sedikit cemas juga kalau-kalau kondisi Inka yang seperti itu ternyata karena masalah lain ... yang entah apa. Tapi sekarang terbukti itu semua hanya paranoid saya saja. Buktinya, Inka sehat dan baik-baik saja. Anak saya satu, sehat dan selamat semuanya," ujar Sena lagi, senyum ceria tidak absen dari wajahnya.

Aurora hanya memandangi Sena dalam diam, sementara benaknya sibuk menyambungkan tiap keping informasi yang ia dapatkan.

Terakhir kali gue tinggalin Luan itu dalam keadaan dia sedang berusaha rebut hati gue lagi karena pasti pengen bikin gue hamil. Dia digas papa mertua supaya cepet-cepet punya anak, kan? Dia nggak bisa dapatkan itu dari gue ... jadi menyasar orang lain. Inka. Hubungan itu langsung berbuah dua janin .... Anak kembar. Entah kenapa feeling gue bilang memang bayi yang lahir lebih dari satu. Gue yakin Inka emang hamil anak kembar. Kemudian Sena 'disingkirkan' supaya nggak temani Inka melahirkan. Supaya Sena nggak tahu ada berapa bayi yang lahir malam itu. Siapa yang atur? Pasti ada yang mengatur! Siapa lagi selain Luan! Dia atur sedemikian rupa semuanya ....

Aurora terbelalak menyadari sesuatu.

Lalu Luan memisahkan bayi kembar Inka dan mengambil yang satu. Juan. 

Makes sense!

Itu berarti, untuk bisa mengambil bayi dari Inka, Luan harus bekerja sama dengan banyak orang. Dokter kandungan, bidan ... dan pastinya atasan Sena. Agar Sena nggak ada saat Inka melahirkan.

Aurora duduk kembali di samping Sena, lalu bertanya, "Kamu ... eh, maksudku, Inka biasa kontrol kehamilan di mana?"

Sena memandangi Aurora, mungkin bingung mengapa pertanyaan itu terlontar. Tapi dia menjawab, "Di dokter spesialis yang Inka pilih sendiri."

"Oh?"

"Yah, agak jauh dari rumah kami memang, tapi dokter itu kenalan sahabat Inka, dan merekomendasikan dokter itu untuk Inka. Saya sendiri sih lebih seneng yang deket-deket aja, di rumah sakit terdekat dari kami, tapi saya nggak mungkin nolak keinginan istri juga. Dan ternyata, emang dokter yang Inka pilih bagus, kompeten, segudang review positif. Malahan mungkin lebih banyak review positif dokter itu ketimbang dokter di rumah sakit dekat rumah kami," ujar Sena.

"Kenalan sahabat Inka," ulang Aurora diikuti anggukan Sena. 

"Namanya Dokter Jonathan Permana."

Dokter Jonathan. Gue ingat ada akun bernama Dr. Jonathan di daftar kontak yang sering kirim pesan dengan Luan.

"Inka kukuh kontrol di dokter itu," ujar Aurora menyimpulkan.

"Yaa bisa dibilang begitu. Kukuh harus di Dokter Jonathan itu, maunya demikian. Saya sih nurut aja .... Emang kenapa, sih?" Sena balas bertanya.

"Nggak apa sih .... Euh. Terus, atasan kamu yang budiman itu, siapa? Siapa namanya?" 

Sena memandangi Aurora dengan heran. 

Aurora sadar ia telah melontarkan banyak pertanyaan aneh pada Sena, maka ia cepat-cepat memberikan alasan. "Mm. Kepo aja, seperti apa orang yang nggak kasih izin karyawannya cuti ...."

"Pak Dar. Darmawan Winardi," jawab Sena.

Dokter Jonathan. Darmawan. Itu nama yang kemarin gue lihat juga di daftar kontak Luan! Luan yang mengatur. Benar, Luan yang mengatur dan merekayasa kejadian ini semua. .... Gue nggak heran. Nggak. Sama sekali nggak heran kalau Luan mampu melakukan ini semua demi egonya semata. Yang gue heran, di mana otaknya? Di mana rasa kemanusiaannya?

"Hey," tegur Sena mendapati lawan bicaranya lagi-lagi melamun. "Dari tadi bahas soal saya terus. Kamu sendiri gimana, Rora? Ada cerita apa yang bisa kamu bagi? Luan memperlakukanmu dengan baik, kan?"

Aurora menatap Sena tepat di mata. Sinar mata pria berhati malaikat itu terasa hangat, Aurora merasakan dorongan untuk mengadu, mencari dukungan Sena. Tapi Aurora menahan diri. 

"Se-sebenarnya ...." Aurora menguatkan hati. "Ada banyak yang mau aku ceritakan, Sena .... Tapi, aku belum bisa cerita sekarang. Biarkan aku menuntaskan problem aku di rumah dulu ya ... baru aku akan mendatangi kamu lagi."

Kekhawatiran nampak jelas dari raut wajah Sena. "Ada apa ...?"

"Aku belum bisa cerita sekarang. Aku boleh datangi kamu lagi nanti, kan?" tanya Aurora penuh harap.

"Tentu. Tentu, kamu boleh datang dan cerita kapan saja," jawab Sena. "Apa kamu sedang ada masalah? Dari tadi sepertinya kamu ... gelisah, seperti menyimpan hal yang berat. Apa ada yang bisa saya bantu?"

Aurora menggeleng cepat. "Nanti. Aku bakal minta bantuan kamu nanti ... sekalian setelah aku cerita semuanya. Aku ... aku pamit dulu yah, Sen. Sampai ketemu lagi," ujarnya terburu. Ia segera bangun dan cepat-cepat melangkah meninggalkan Sena yang memanggili namanya.

 

36 - Melabrak Pelakor

Betapa melelahkannya hari ini untuk Aurora. Ada begitu banyak informasi yang harus ia telan dan telaah lebih dalam. Menyambungkan tiap informasi dan menghubungkannya satu sama lain hingga menjadi gambaran yang utuh. 

Namun meski Aurora merasa lelah, bukannya pulang dan beristirahat, ia malah menuju rumah Sena untuk menemui Inka. Berbekal catatan alamat terbaru Inka yang ia dapatkan dari kepala HR di kantor, dengan alasan ingin menjenguk Inka yang baru saja melahirkan, kini ia sudah tiba di tujuan. 

Aurora memandangi rumah Inka (dan Sena) dari dalam mobil, bertanya-tanya dalam hati benarkah alamat yang ia tuju. Rumah itu tidak terlalu besar, terbilang sederhana dengan tampilan minimalis bercat putih. Aurora mengumpulkan niat sebelum turun. Baru saja ia akan membuka pintu mobil, ia melihat seorang wanita bertubuh mungil keluar dari dalam rumah membawa kantong plastik berisi sampah. Itu dia Inka. Inka menuju tempat sampah dan membuang yang dibawanya.

Aurora bergegas keluar, lalu memanggil, "Inka!"

Inka menoleh, jelas terkejut melihat keberadaannya. "Bu ... Bu Aurora?" sahutnya bingung.

"Halo, Inka. Apa kabar?" Aurora sengaja menyunggingkan sebuah senyum penuh arti.

"Bu Aurora ... a-ayo silakan masuk, Bu," ajak Inka mempersilakan tamunya masuk.

Dalam sekejap Aurora sudah duduk di ruang tamu, memandangi isi rumah Inka, menilainya dalam hati. Tidak ada banyak barang, sederhana namun rapi. 

Inka keluar dari arah dapur membawakan secangkir teh. "Silakan diminum, Bu," tawar Inka seraya meletakkan cangkir di atas meja lalu duduk di hadapan Aurora. 

"Trims," jawab Aurora. "Kamu pasti kaget saya tiba-tiba datang," katanya lagi. 

"Ehh. Mm ... iya, sedikit."

"Cuma mau nengok aja kok, kan katanya kamu baru punya bayi. Selamat ya, kamu udah jadi ibu."

Inka tersenyum. "Wah. Terima kasih banyak, Bu. Bu Aurora sampai menyempatkan datang ke sini menengok saya ... saya jadi tersanjung ...."

"Gimana nih, rasanya baru jadi ibu?" Aurora memancing.

"Senang," jawab Inka masih sambil tersenyum. "Senang. Excited. Terharu juga ... memang capek sih, tapi terbayarkan tiap melihat wajah baby. Bu Aurora ingin lihat anak saya? Sayang baru aja tadi Ian tidur, atau mau ke kamar lihat dia?"

"Oh, nggak usah. Nanti malah bayinya bangun. Siapa namanya? Ian?"

Inka mengangguk. "Panggilannya Ian."

"Ooh." 

Ian dan Juan. Nama yang cocok juga untuk sepasang saudara kembar. Hanya saja, kenapa anak kembar ini harus sengaja dipisahkan demi ego bapak ibunya? Udah nggak usah basa basi lagi, langsung aja to the point ke Inka! Aurora membatin.

Aurora membuka tas, diam-diam mengaktifkan video merekam pembicaraan dirinya dan Inka.

"Sebenarnya, Inka ...." Aurora menarik nafas panjang. "Saya ke sini juga ada tujuan lain."

Inka memandang Aurora dengan tatapan bertanya. 

"Saya sudah dengar gosip yang berembus di kantor," ujar Aurora tenang, matanya lekat mengawasi perubahan mimik di wajah Inka. "Tentang kamu dan Luan, suami saya."

Bola mata lawan bicara Aurora membesar, namun wanita itu lekas menyembunyikan ekspresi di wajahnya. Perubahan ekspresi Inka, meski hanya sedetik, dapat Aurora tangkap dengan mudah. 

"M-maksudnya ... gimana, ya, Bu? Sa-saya nggak mengerti," sahut Inka pelan.

"Antara kamu dan Luan," kata Aurora. "Ada apa antara kamu dan Luan?"

"Saya ... saya dan Pak Luan tidak ada apa-apa, Bu. Pak Luan atasan saya," jawab Inka, wajahnya menunduk seolah tidak berani memandang lawan bicaranya. "Hubungan kami hanya sebatas rekan kerja di kantor .... Kenapa Bu Aurora menanyakan hal seperti ini?"

Mana ada maling mau mengaku, sih? batin Aurora. "Begini, Inka ...." Aurora mengoreksi posisi duduknya. "Saya tahu Luan selingkuh di belakang saya."

Meski Inka tengah menunduk, Aurora dapat melihat bola mata Inka bergerak-gerak cepat, persis seperti orang yang telah ketahuan berbuat jahat.

"Saya tahu Luan selingkuh. Saya nggak tahu apa saja yang Luan katakan padamu mengenai saya ... tapi asal kamu tahu, meski hubungan saya dan Luan dingin, saya tetaplah istri sahnya. Apa karena kamu tahu hubungan kami nggak begitu baik, makanya kamu mau jadi selingkuhannya? Kamu yang menawarkan diri, atau Luan yang mendekati kamu?" 

Inka cepat-cepat menggeleng. "Bu Aurora! Saya bukan selingkuhan Pak Luan ...! Saya bukan selingkuhan siapa pun ... saya sudah punya suami, kenapa saya harus berselingkuh! Bu Aurora beraninya menuduh saya?" 

Aurora memandangi Inka lekat. Tanpa keraguan ia memberikan tatapan tajam pada istri Sena tersebut, seolah menghakimi. Inka tidak bertahan lama di bawah tatapan tajam Aurora, ia kembali menunduk pasrah.

"Gosip yang saya dengar jelas-jelas menyebut namamu dan suami saya. Mereka jelas mencurigai antara kamu dan Luan ada apa-apa. Nggak mungkin ada gosip tercipta kalau nggak ada hal yang patut dicurigai," ujar Aurora. "Nggak bakal ada asap kalau nggak ada api."

"Nggak, Bu .... Saya nggak ...."

Aurora lekas memotong, "Mereka bahkan mencurigai bayi yang kamu lahirkan adalah anak Luan. Kenapa bisa begitu, ya? Apa karena kamu dan Luan keseringan pergi berduaan di jam kantor?"

"Saya tegaskan ya Bu ... saya dan Pak Luan nggak ada apa-apa! Gosip yang Ibu dengar nggak berdasar! Itu fitnah!" balas Inka dengan suara bergetar.

"Mengetahui suami saya berselingkuh, itu sudah satu hal. Tapi malahan ada hal lain yang semakin membuat saya marah ... yaitu ketika dia membawa pulang bayi yang baru lahir, dan meminta saya untuk mengurusnya," ujar Aurora, masih mempertahankan tatapan tajamnya pada Inka. "Bayi dari mana itu? Tiba-tiba muncul. Siapa ibunya? Itu yang sedang saya cari tahu. Dan saya mencurigai kamu. Kamu, kan, ibu dari bayi yang Luan bawa? Umur bayi itu sama seperti umur bayimu, si Ian."

"Anda keterlaluan," sahut Inka. "Saya nggak ngerti kenapa Anda bisa sampai pada kesimpulan seperti itu! Seenaknya saja memfitnah saya selingkuh dengan Pak Luan, sekarang fitnah lagi kalau saya ibu dari bayi yang Pak Luan bawa ... orang saya udah punya bayi sendiri, anak saya sama suami saya! Bisa-bisanya Anda menuduh saya sekejam itu!"

"Lalu kenapa Sena bilang kalau waktu kamu hamil, perutmu besar seperti mengandung anak kembar, ya? Terus kenapa kamu bersikeras harus kontrol kehamilan di Dokter Jonathan, ya? Terus kenapa, kok, bisa-bisanya Sena nggak ada saat kamu lahiran? Yang mengantarmu saat akan melahirkan, siapa? Pastinya Luan, kan? Luan sudah merencanakan ini semua. Saya bisa pastikan itu. Luan berhubungan intens dengan si Dokter Jonathan, dan juga atasan Sena. Luan yang mengatur agar Sena dan semua orang nggak tahu bahwa yang kamu lahirkan ada dua," tutur Aurora pedas menusuk. "Akui saja. Aku sudah tahu itu semua."

Inka tidak sanggup merespon. Keringat dingin membanjiri wajahnya.

"Akui saja, Inka," ujar Aurora lagi, kali ini suaranya melunak. "Aku ke sini bukannya untuk jambakin kamu lantaran sudah berselingkuh dengan Luan, atau lantaran kamu mengkhianati Sena ... kamu tahu kan, Sena mantan pacarku? Meskipun rasanya gatal sekali ingin tampar dan jambak kamu karena sudah jahat pada Sena ... tapi aku menahan diri. Aku lebih kepikiran dan kasihan pada baby Juan ...." Aurora menarik nafas panjang sebelum melanjutkan. "Baby Juan sangat malang, Inka .... Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk memberikan dia susu formula, tapi nggak ada satu pun yang cocok. Dia selalu diare, pupnya berdarah ...! Nangis terus, rewel terus ... pasti karena perutnya nggak nyaman, harus mencerna susu buatan seperti itu ... tapi kalau nggak dikasih susu, gimana dia bisa makan? Dia lapar dan butuh susu ... tapi susu mana pun nggak ada yang cocok .... Terus aku harus gimana?"

 

37 - Pengakuan Si Peselingkuh

Pancingan Aurora sepertinya berhasil. Sirat kecemasan kini terpampang di wajah Inka begitu mendengar keadaan Juan, namun ia tidak merespon.

"Susu formula nggak cocok ... dia bisa makan apa? Yang harusnya dia konsumsi adalah susu ibunya sendiri, tapi di mana aku bisa mendapatkannya? Aku nggak tahu ibunya siapa, Luan juga tutup mulut tiap aku ceritakan kondisi Juan. Luan ngotot kalau Juan harus minum sufor! Tapi mana aku tega lihat Juan menangis dan rewel terus seperti itu .... Makanya aku mulai cari tahu siapa ibu kandung Juan supaya aku bisa minta sedikit ASI-nya. Ternyata kamu, kan, ibunya Juan?"

Inka terlihat semakin tak nyaman di kursinya. 

"Meskipun bukan darah dagingku, tapi aku tetap manusia biasa yang punya sisi keibuan juga ... aku nggak tega lihat Juan ... aku mau Juan kenyang dan nyaman, jadi aku menahan emosiku terhadap kamu. Aku ... aku berharap kamu mau berbagi sedikit ASI kamu untuk Juan ...." 

Tidak mendengar respon apa pun dari Inka, Aurora melanjutkan, "Kamu tegakah, Inka? Kamu nggak kepikiran soal Juan sama sekali? Apa karena udah ada Ian di sini, jadi kamu berusaha melupakan Juan? Kamu tega? .... Aku pikir kamu ibu yang baik dan menyayangi anak ... masa iya kamu nggak kepikiran Juan sama sekali?"

Inka menggigit bibir. Kegundahan, kecemasan serta panik terpancar di wajahnya.

"Kamu yang lahirkan Juan, kan? Dan kamu biarkan Luan bawa bayi kamu ... kenapa? Kok tega-teganya sama bayi yang nggak bersalah dan nggak berdosa? Terus sekarang kamu nggak mau peduli juga tentang kondisi Juan ... padahal dia tadi aku tinggalkan di rumah dalam keadaan rewel. Aku nggak tahu dia harus berapa lama lagi menderita karena nggak cocok sufor. Juan lapar, Inka. Dia butuh kamu ... seenggaknya, dia butuh susu kamu. Susu kamu aja, Inka. Supaya Juan bisa makan."

Inka masih bergeming, namun Aurora tahu ia sedikit lagi berhasil memojokkannya. 

Maka Aurora melanjutkan, "Kamu nggak mau kalau Juan sampai kenapa-kenapa, kan? Kalau diarenya makin parah ... gimana? Dia nggak kemasukan nutrisi apa-apa ... gimana ceritanya itu? Please, Inka, umur Juan baru berapa ... kasihan banget dia harus tersiksa seperti itu. Atau kamu emang sebegitu nggak pedulinya sama anak itu?"

Inka tidak tahan lagi. 

"Baik ... kamu emang nggak peduli sama Juan. Hanya ada Ian yang ada dalam hidupmu sekarang, hanya Ian yang kamu pedulikan. Aku semakin kasihan pada Juan ...," kata Aurora, seraya menarik nafas panjang. "Harap-harap saja saat Juan besar nanti, dia nggak tahu asal usulnya seperti apa. Kalau dia sampai tahu bahwa dia dibiarkan diambil dari ibunya ... gimana ya? Bisa dibilang kalau kamu udah buang Juan. Kamu buang begitu saja ... kamu ibu yang nggak punya perasaan. Dan kamu keep bayi yang satu lagi. Egoisnya kamu ... entah gimana reaksi Juan kalau nanti dia tahu," lanjutnya.

"Jadi saya harus gimana??" Inka memekik tertahan, air mata telah tumpah membasahi pipinya. "Kenapa sih kamu harus datang ke sini? Kenapa kamu dan Luan nggak bisa lihat saya hidup dengan tenang?"

Aurora tersenyum tipis. "Jadi kamu mengaku kalau kamu ibunya Juan?"

"Iya! Saya! Tuh, kamu dengar pengakuan saya!" pekik Inka dengan suara gemetar. "Saya nggak bisa berbuat apa-apa selain biarkan suami kamu ambil bayi saya meskipun sebenarnya saya nggak rela!"

Diam-diam Aurora tersenyum, merasa menang, telah berhasil membuat Inka mengaku. "Luan sampai bisa merancang skenario dengan sedemikian mulusnya, sampai Sena terkecoh, bahkan sampai orang tuanya juga terkecoh. Semua itu bisa terjadi karena kamu mengizinkannya juga. Padahal kamu bisa menolak Luan dari awal," katanya. 

"Luan mengancam saya! Kalau saya nggak ikuti kemauannya ... saya ... dia bilang dia bakal mengirimkan video saya pada Sena ...! Saya dijebak, kamu tahu??" seru Inka, wajahnya terlihat stress.

Diancam bakal sebarin video ... idih. Lagian tolol banget mau-maunya direkam. Tololnya kebangetan, kata Aurora dalam hati. Sedikit banyak ia menikmati adegan pengakuan terlarang yang keluar dari mulut Inka.

Aurora membalas, "Ohh, jadi kamu lebih memilih menyelamatkan mukamu ketimbang anak yang kamu kandung? Kamu lebih memilih tampil innocent di depan Sena ... tampil sebagai istri dan ibu yang baik, padahal sampah! Anak kamu yang jadi korban!"

"Semua ini gara-gara suami kamu, tahu! Dia yang dekati saya!" teriak Inka marah.

"Dan kenapa kamu mau?"

"Kenapa saya harus jelaskan itu?!" Suara Inka makin meninggi. "Pokoknya Luan yang salah! Dia licik, jahat! Manipulatif!"

Aurora menyahut kalem, "Tapi kamu menikmati juga digoyang laki orang."

Ada semburat merah sontak mewarnai pipi Inka begitu mendengar ucapan Aurora. "Kamu mending pulang deh!" usirnya.

"Aku nggak mau pulang. Kamu belum kasih solusi apa-apa. Gimana dengan Juan? Harusnya kamu dong yang rawat. Yang punya susu kan kamu. Bawa balik Juan, sekaligus akui kesalahanmu pada Sena," ujar Aurora tegas.

Inka terperangah. "Saya ... saya nggak mungkin ... saya nggak mau kecewakan Sena, kamu ngertiin dong!"

Ngertiin, katanya?? Ngarep!! pekik Aurora dalam hati. Ia pun berkata, "Kamu tahu nggak sih pria sebaik apa Sena itu? Kamuu tuh, udah sangat beruntung bisa jadi istri Sena. Pria yang baik, hangat, ramah, bertanggung jawab, pekerja keras. Aku yakin dia itu suami yang baik. Tapi kamu malah khianati dia dengan sangat kejam, Inka. Kamu berbuat serong dengan laki orang, bahkan sampai melahirkan anak. Tentu saja Sena nggak curiga sama kamu, dia itu polos, dia nggak pernah berpikiran negatif terhadap orang lain! Dan kamu pasti tahu betul soal itu, makanya kamu manfaatkan kebaikannya dengan berbuat amoral! Kamu tuh jahat, tahu nggak? Kalau keadaannya seperti ini terus, Sena dibiarkan nggak tahu apa-apa sama sekali, dia bakalan hidupi anak yang ternyata bukan dari benihnya sendiri. Kamu berbuat sejahat itu pada Sena! Kamu berniat berbohong selama-lamanya? Oh my God, gimana bisa ada orang yang menyia-nyiakan pria sebaik Sena .... Perempuan gila! Nggak punya hati, nggak punya otak!"

Inka balas berteriak, "Kamu mending pulang deh!! Kamu sendiri yang salah, kenapa nggak jaga suamimu baik-baik?? Kenapa biarin dia keliaran cari selingkuhan? Kan kamu sendiri yang nolak jadi istrinya, sampai nggak mau menunaikan kewajiban kamu sebagai istri! Ya laki-laki mana yang bakal tahan hidup serumah sama kamu?! Nggak bisa jaga suami, giliran ada masalah, kamu ngegas pol ke saya seorang! Kamu juga harusnya instrospeksi diri, dong! Luan tuh jadi gitu karena kelakuan kamu sendiri!"

"How dare you!!" Aurora tidak mampu lagi menahan diri. Ia spontan bangun menerjang Inka, mendaratkan pukulan pedas di pipi wanita yang masih dalam masa nifas tersebut.

Inka yang tidak menyangka reaksi Aurora hanya berteriak, menangkis pukulan yang bertubi-tubi mendarat pada wajah dan tubuhnya. 

"Kamu tuh cewek macam apa sih?! Binal! Nggak bisa jaga kehormatan kamu sendiri, malah main gila sama laki orang! Sena tuh orang baik! Kamu tuh nggak pantes jadi istrinya!" pekik Aurora marah, tangannya masih ringan memukuli Inka. Ia benar-benar di atas angin.

"Stoppp! Aurora, stop!!" Inka menjerit kesakitan begitu rambutnya dijambak, spontan ia balas menjambak rambut lawannya itu.

"Aaaw!! Beraninya lo kotori rambut gue dengan tangan lo yang kotor itu!! Gila!" Aurora semakin kencang menjambaki Inka.

"Gila! Lo tuh yang gila! Seenaknya aja dateng ke sini cuma buat mukulin gue!"

 

38 - Inka Si Manipulator

Aurora, saking gemasnya, menampar Inka sekali lagi dengan kekuatan penuh. 

"Ada apa ini?!" Sena tiba-tiba menyeruak masuk. Ekspresi ngeri terpancar di wajahnya mendapati kejadian tak terduga menyambut kepulangannya. "Inka? Aurora?? Kamu ...? Kenapa ada di sini?"

Sena! batin Aurora yang terkejut melihat kedatangan sang tuan rumah. Aurora lantas bangkit berdiri, sementara Inka bangun menyambut kedatangan suaminya sambil menangis terisak.

"Mas Sena ...," panggil Inka lirih, tanpa ragu memeluk pria tersebut. 

Sena tampak cemas begitu melihat kondisi istrinya. Rambut acak-acakan, bekas pukulan terlihat jelas di pipi Inka. "Kamu nggak apa-apa, Inka?? Kenapa jadi seperti ini? Apa yang ... kenapa kalian berantem??" tanyanya beruntun.

"Tolongin aku, Mas ... dia tiba-tiba datang dan marah-marah. Dia tuduh aku selingkuh sama suaminya, coba! Terus karena aku menyangkal, dia malah pukulin aku, jambakin aku! Aku nggak mau berantem, tapi dianya yang ngotot minta aku ngaku, dia yang serang aku duluan! Padahal aku nggak seperti yang dia tuduhkan ... nggak tahu dari mana dia bisa tiba-tiba nuduh aku ada main sama suaminya ...! Jahat banget .... Kamu percaya aku, kan, Mas? Aku kan nggak mungkin berbuat seperti itu." Inka mengoceh tanpa henti. Jelas ia berusaha mendahului Aurora, menarik empati sang suami namun dengan cara memutarbalikkan fakta.

Mata Aurora membelalak tidak percaya mendengar aduan Inka.

Sena mengernyit lantaran tak percaya, katanya, "Kok ... bagaimana bisa begitu? Ada apa ini sebenarnya?" Sena menoleh pada Aurora dengan tatapan marah. "Rora? Benar begitu? Kok kamu bisa-bisanya tuduh istriku seperti itu?"

Aurora baru membuka mulut untuk menjawab namun suara Inka lagi-lagi mendahuluinya. 

"Dia ngotot banget, yakin banget kalau tuduhannya bener. Aku nggak ngerti dia kenapa, Mas, yang jelas dia nyerang aku sampai kayak begini. Dia delusi!" oceh Inka.

Aurora berdecak keras. "Jangan percaya kata-katanya, Sen," sahutnya cepat. "Dia cuma akting begitu supaya kamu kasihan dan bela dia," lanjutnya.

Kening Sena makin berkerut dalam. Dia maju selangkah, memasang badan di depan Inka. "Kamu nggak bisa seenaknya menuduh istriku sekejam itu," ujar Sena sambil menatap tajam Aurora. "Inka istri yang baik, nggak mungkin dia melakukan yang kamu tuduhkan. Tuduhan kamu ini serius, Rora, ada apa denganmu sebenarnya?"

"Kamu ...." Aurora urung berucap. Tuh, kan, udah sebegitu besar rasa percaya Sena pada Inka. Cewek binal satu ini rupanya emang manipulatif! Lihat, dia culas banget berlindung di belakang Sena, bikin Sena curiga sama gue. Bikin posisi gue jadi nggak enak gini. Padahal harusnya si Inka yang dihakimi!! Aurora membatin dalam hati.

Suara Sena terdengar lagi. "Saya kenal kamu seperti apa, Rora. Kamu nggak mungkin asal nuduh orang. Tapi yang kamu tuduhkan ini keterlaluan. Tanpa dasar yang jelas kamu tuduh Inka selingkuh? Dengan suamimu?? Apa-apaan itu? Lebih lagi, selama ini kamu kalem dan anggun, jadi kenapa kamu bisa-bisanya berbuat liar seperti tadi, menyiksa istri saya? Ada apa denganmu sebenarnya?? Kalau kamu ada masalah dengan suamimu atau dengan siapa pun itu, yang bikin kamu jadi aneh seperti ini, segera selesaikan! Minta bantuan! Jangan malah berkeliaran nuduh orang yang nggak-nggak! Saya kecewa sama kamu."

Aurora menatap Sena tak percaya. Selama ini belum pernah sekalipun Sena berbicara dengan nada tinggi seperti itu padanya. Belum pernah melihatnya marah. Terlebih lagi, menyangka dirinya tengah bermasalah. Namun kali ini berbeda, tatapan penuh amarah Sena yang menusuk itu dialamatkan hanya padanya. Semua itu berkat manipulasi Inka.

Astaga ... bisa-bisanya Sena ngomong begitu?! Asal lo tahu, Sen, justru gue mau menyelamatkan lo dari istri lo yang licik itu! Mulutnya berbisa kayak ular! Apa gue bongkar isi rekaman video gue tadi sama Inka aja ya?? Kita lihat apa dia masih nyangka gue yang bermasalah?? teriak Aurora dalam hati. 

"Aurora, tolong, jangan berbuat seperti ini lagi, ya? Jangan memfitnah, jangan mengarang cerita seenaknya." Nada suara Sena terdengar melunak.

Tahan dulu, Rora, ujar Aurora dalam hati seraya menarik nafas panjang, meredakan gemuruh di dadanya. Tahan, jangan keluarkan kartu as dulu. Gue harus siapkan skenario yang bagus untuk bongkar kelakuan Luan dan Inka .... Tahan, telan aja dulu semua ini.

"Suruh dia pergi, Mas ... usir aja. Aku kesel, aku sedih banget dituduh kayak begitu ...," rengek Inka dari balik punggung Sena.

"Nggak perlu repot-repot mengusirku. Aku emang mau pulang sekarang," sahut Aurora ketus. Ia menyambar tas miliknya lalu berjalan menuju pintu keluar. Sebelum benar-benar pergi, ia memandangi Inka sambil tersenyum sinis. "Kamu emang hebat, ya, Inka. Kita lihat aja tanggal mainnya," ujarnya percaya diri.

"Aurora," tegur Sena.

"Kamu juga, Sen." Aurora ganti memandangi Sena. "Pada akhirnya kamu akan tahu semuanya ... dan saat itu, kamu akan menyesal kenapa kamu bisa-bisanya mempercayai ular berbisa seperti istrimu itu," ujarnya sebelum pergi meninggalkan pasangan itu.

 

Beberapa saat kemudian Aurora telah tiba di rumah dan langsung mengurung diri di kamar. Ia menghempaskan diri ke atas sofa, menghela nafas panjang. Lelah tubuhnya, seharian berada di luar demi menyelidiki misteri siapa ibu dari manusia kecil yang saat ini menjadi tanggung jawabnya. Lelah pikirannya, lelah hatinya. Begitu banyak kejutan yang diterimanya hari ini, teramat menyiksa. 

Jadi ternyata selama Aurora pergi berlibur berbulan-bulan, Luan mendekati Inka, istri Sena dan berbuat amoral hingga lahir bayi. Yang lahir tidak cuma satu, tapi dua bayi. Luan dengan akal liciknya merekayasa semua hal hingga akhirnya berhasil membawa pulang salah satu bayinya ... dan meminta Aurora mengurusnya, menganggap bayi itu sebagai anak mereka berdua. Aurora harus mau menurut Luan dan semua skenarionya, termasuk harus bersandiwara di depan orang tua dan mertuanya yang akan datang berkunjung. Mengapa Luan setega itu? Tidakkah Luan tahu, bahwa sebenarnya Aurora justru bermaksud membuka kembali hatinya dan ingin menjalin hubungan yang baik lagi dari awal dengan Luan? Mengapa Luan malah berbuat seperti itu? Mengapa Luan bisa-bisanya selingkuh dengan istri orang? Dari sekian miliar jumlah perempuan di dunia, mengapa harus pasangan Sena yang diincar? Mengapa Sena harus ditipu habis-habisan seperti itu? Apa salah Sena pada Luan? Mengapa Luan tidak bisa menjaga kehormatannya sebagai suami? Mengapa Luan tidak bersedia menunggu Aurora? Mengapa Luan memanfaatkan kecerdikannya sampai sedemikian? Tidak pernahkah terpikirkan oleh Luan, tindakannya merancang skenario sejahat itu bisa menyakiti banyak orang dalam sekali tepuk? Tidak pernahkah Luan memikirkan apa yang Aurora rasakan akibat skenario Luan? Tidak adakah perasaan bersalah atau tidak enak hati? Sampai sedemikian tega Luan menghancurkan hati Aurora. Sungguhkah masih ada nama Aurora dalam hati Luan? Kalau benar masih ada, mengapa bisa ada kejadian seperti ini? Segalanya kacau. Hubungan segi empat yang sangat mengerikan. Kehadiran sepasang bayi kembar menambah keruh keadaan. Dan Aurora terpaksa terlibat dalam keegoisan Luan dan Inka semata. Mengapa pula Inka sampai tega menyelingkuhi pria sebaik dan sejujur Sena? Apa yang kurang dari Sena? Apa yang Inka cari dari Luan? Mengapa Sena tidak pernah punya insting atau perasaan apa pun terkait istrinya? Sebodoh itukah Sena, sampai tidak curiga sama sekali atas kelakuan istrinya? Sebodoh itukah Sena, bisa-bisanya percaya buta dan termakan omong kosong Inka tadi? Dan mengapa Sena jadi memandang jelek Aurora? Padahal Aurora hanya ingin menyingkap kebenaran, ingin hidup tenang tanpa harus terlibat hubungan rumit seperti itu. 

Tangis Aurora pecah sedari tadi. Ia sesenggukan, melampiaskan semua perasaan campur aduk yang membelenggu dirinya. Menyesali Sena. Menyesali Luan. Juga menyesali dirinya sendiri. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kita yang Tertunda (39-46)
0
0
“Nggak ... nggak bisa seperti ini terus. Nggak boleh kayak gini. Luan seenaknya injak-injak aku dan papa mama. Ini nggak adil buat semua orang, batin Aurora lagi. Aku harus bongkar semuanya. Di depan papa mama, di depan papa mertua. Kalau perlu sekalian di depan Sena sebagai korban yang lain selain aku.”##Aurora. Stop, bisik Luan lemah. Terlihat jelas keputusasaan bercampur frustrasi di wajahnya.Aurora mendelik seraya tersenyum sinis. Kenapa? Takut kebongkar semua? Udah nanggung. Semua orang harus tahu, sahutnya galak. Jangan halangi Aurora, Luan! Cepat perlihatkan! tegur Santoso tidak sabar. ##"Aku sadar aku berbuat salah. Kamu juga ada salah. Tapi aku berpikir, ya udah, kita sama-sama salah. Aku ingin memberimu kesempatan untuk memulai lagi, untuk memperbaiki hubungan kita. Semula aku mau langsung ungkapkan semua begitu aku pulang. Tapi mulutku terkunci akibat shock ... shock karena kehadiran Juan. Kamu malah membuat semuanya semakin rumit …,” rintihnya. Aurora mencoba menahan tangisnya, namun kekecewaannya begitu mendalam sehingga air mata itu mengalir begitu saja. Niat baik Aurora untuk memberi Luan kesempatan itu tampaknya sia-sia, seperti bunga yang layu di tengah kehampaan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan