TB 46. Langkah Pertama ke Klinik

0
0
Deskripsi

Nayla menatap lurus ke arah pintu masuk. Ia meremas jemarinya yang saling bertaut di pangkuan. "Kita beneran sampai di sini, ya," ucapnya pelan.

Arga memalingkan wajahnya, lalu menggenggam tangan Nayla dan menciumnya lembut. "Langkah kecil, tapi penting. Kita jalani pelan-pelan, nggak harus buru-buru."

BAB 46. Langkah Pertama ke Klinik

Pagi itu, udara terasa segar meski sedikit hangat. Arga dan Nayla duduk berdampingan dalam mobil yang terparkir di halaman Klinik Harmoni. Klinik itu tampak tenang, dengan cat putih gading dan jendela-jendela lebar yang memantulkan cahaya matahari pagi. Sebuah taman kecil di depannya dipenuhi bunga lavender dan mawar putih yang baru mekar.

Nayla menatap lurus ke arah pintu masuk. Ia meremas jemarinya yang saling bertaut di pangkuan. "Kita beneran sampai di sini, ya," ucapnya pelan.

Arga memalingkan wajahnya, lalu menggenggam tangan Nayla dan menciumnya lembut. "Langkah kecil, tapi penting. Kita jalani pelan-pelan, nggak harus buru-buru."

Nayla tersenyum kecil. Ia mengangguk, lalu mereka pun keluar dari mobil dan masuk ke dalam klinik. Aroma khas antiseptik yang ringan menyambut mereka, bercampur dengan bau bunga segar dari vas-vas kecil yang menghiasi ruang tunggu.

Resepsionis dengan rambut disanggul rapi menyambut mereka dengan hangat. "Selamat pagi. Ibu Nayla dan Bapak Arga, ya? Sudah terjadwal untuk konsultasi awal dengan dr. Renata?"

"Iya, betul," jawab Nayla.

Setelah mengisi formulir singkat, mereka duduk menunggu. Nayla menggoyangkan kakinya kecil-kecil, gugup. Arga mencondongkan badan, berbisik, "Tenang... Ini kayak check up biasa. Nggak perlu takut."

"Bukan takut, cuma deg-degan. Rasanya kayak mau masuk babak baru yang aku belum ngerti."

Arga tersenyum. "Ya udah, kita belajar sama-sama. Kamu nggak sendirian."

Tak lama kemudian, nama mereka dipanggil. Mereka mengikuti perawat masuk ke ruang konsultasi. Ruangan itu hangat, dihiasi lukisan lembut dan tanaman hias. Seorang dokter perempuan dengan kerudung warna pastel dan senyum teduh berdiri menyambut mereka.

"Selamat pagi, saya dr. Renata. Silakan duduk."

Mereka duduk. Nayla sedikit menegakkan punggungnya, Arga masih memegang tangannya di atas pangkuan.

"Jadi, apa yang bisa saya bantu hari ini?" tanya dr. Renata sambil membuka berkas.

Nayla menarik napas. "Kami ingin mulai... mencoba. Untuk punya anak. Tapi kami pikir, ada baiknya periksa dulu. Kami nggak buru-buru, tapi pengin siap."

Dokter mengangguk. "Langkah bijak. Pemeriksaan awal seperti ini akan memberi gambaran umum kesehatan reproduksi kalian berdua. Kita mulai dari riwayat dulu, ya?"

Nayla mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan sedikit gugup di balik senyumnya. Arga memperbaiki posisi duduknya.

"Saya mulai dari Ibu Nayla dulu," kata Dr. Renata sambil menatap Nayla. "Umur sekarang?"

"Dua puluh sembilan," jawab Nayla.

"Siklus menstruasi bagaimana? Rutin?"

"Cukup rutin. Sekitar dua puluh delapan sampai tiga puluh hari. Tapi kadang, dua-tiga bulan sekali, suka mundur. Bisa sampai tiga puluh lima hari."

Dokter itu mencatat dengan cepat. "Oke. Hari pertama haid terakhir kapan?"

"Tiga minggu lalu."

"Hmm. Ada keluhan seperti nyeri hebat saat haid?"

Nayla mengangguk ragu. "Iya... terutama hari pertama. Kadang sampai muntah dan nggak bisa berdiri lama."

dr. Renata berhenti sejenak, menatapnya dengan penuh perhatian. "Itu namanya dismenore. Nanti bisa kita evaluasi lebih lanjut, karena ada kemungkinan berhubungan dengan kondisi seperti endometriosis atau hormon tertentu."

Arga, yang sejak tadi diam, tampak sedikit terkejut. Ia menoleh pada dokter. "Itu bisa pengaruh ke kesuburan ya, dok?"

"Bisa," jawab Dr. Renata tenang, "tapi belum tentu. Kita nggak bisa menyimpulkan tanpa pemeriksaan lanjutan. Tenang saja, banyak wanita dengan dismenore tetap bisa hamil tanpa masalah."

Ia lalu melanjutkan, "Sekarang, siklus tidur dan stres gimana, Bu Nayla?"

"Tidur kadang kurang, apalagi kalau kerjaan numpuk," jawab Nayla jujur. "Tapi sekarang sudah mulai lebih disiplin. Stres... ya, kadang naik turun."

"Stres itu bisa ganggu ovulasi," ujar sang dokter sambil menulis catatan, "jadi penting buat diatur juga. Nanti saya kasih tips manajemen stres yang sederhana, ya."

dr. Renata kembali mengangkat pandangannya. "Pernah konsumsi pil KB atau kontrasepsi hormonal sebelumnya?"

"Nggak pernah."

"Riwayat penyakit seperti kista, PCOS, atau infeksi rahim?"

"Ga ada dok."

"Bagus," kata Dr. Renata dengan senyum tipis. "Terakhir, gaya hidup. Makanan, olahraga, kebiasaan?"

"Aku nggak merokok, nggak minum alkohol. Cuma olahraga masih on-off. Kadang rajin seminggu dua kali, kadang bolos dua minggu."

"Normal kok. Tapi olahraga rutin bisa bantu keseimbangan hormon. Nanti saya rekomendasikan yang ringan tapi konsisten."

Setelah itu, dr. Renata menoleh ke Arga. "Sekarang giliran Bapak Arga. Umur berapa, Pak?"

"Tiga puluh tiga," jawab Arga.

"Merokok atau konsumsi alkohol?"

"Enggak dua-duanya."

"Kafein?"

Arga tertawa kecil, lalu mengaku, "Itu... iya. Dua sampai tiga cangkir kopi per hari. Kadang bisa lima kalau lagi deadline."

Nayla menyikut pelan lengan suaminya dan berbisik, "Padahal udah dibilangin..."

dr. Renata tersenyum mendengar itu. "Kafein boleh, tapi maksimal dua ratus sampai tiga ratus miligram per hari. Artinya dua cangkir kopi sedang. Lebih dari itu bisa pengaruhi kualitas sperma."

Ia melanjutkan dengan lembut, "Tidur gimana, Pak?"

"Biasanya enam jam, tapi sering terpotong."

"Tidur kurang juga bisa ganggu produksi hormon testosteron dan spermatogenesis. Nanti kita atur bareng-bareng, ya."

Tatapannya masih tenang saat menanyakan, "Terakhir, ada riwayat penyakit seperti varikokel, trauma testis, atau penyakit menular seksual sebelumnya?"

"Enggak ada. Sejauh ini sehat."

"Bagus. Untuk Bapak, saya jadwalkan pemeriksaan analisa sperma. Tolong puasa ejakulasi dua sampai lima hari sebelum pemeriksaan, ya."

"Siap, dok," sahut Arga.

dr. Renata menutup tablet di tangannya dengan suara lembut dan menatap pasangan muda itu.

"Oke, dari data yang Ibu dan Bapak sampaikan, kita bisa lanjut ke tahap awal pemeriksaan. Saya sangat menghargai keterbukaan kalian. Ini akan bantu kita banyak dalam memahami kesiapan tubuh untuk kehamilan."

Nayla dan Arga saling pandang. Ada rasa lega yang perlahan tumbuh di tengah segala kekhawatiran. Perjalanan mereka baru saja dimulai, dan meski jalannya mungkin tak selalu mudah, setidaknya mereka sudah melangkah bersama.

Setelah konsultasi panjang yang terasa seperti membuka lembaran demi lembaran kehidupan pribadi, dokter akhirnya berdiri dari meja dan tersenyum.

"Kalau kamu nggak keberatan, kita lanjut ke pemeriksaan fisik dan USG, ya. Ini bagian penting untuk lihat kondisi organ reproduksi."

Nayla sempat melirik Arga yang duduk di sebelahnya. Suaminya langsung menggenggam tangannya.

"Kamu siap?" bisik Arga.

Nayla mengangguk kecil. "Iya. Aku pengin tahu juga semuanya."

Mereka dibimbing ke ruang pemeriksaan. Ruangan itu bersih dan tenang, didominasi warna putih dan biru pastel yang menenangkan. Seorang perawat membantu Nayla berganti pakaian medis. Sementara itu, dokter menjelaskan secara singkat.

"USG yang kita lakukan hari ini adalah USG transvaginal, artinya alat USG akan dimasukkan ke vagina untuk dapat gambaran yang lebih jelas tentang rahim dan indung telur. Nggak sakit, cuma mungkin agak nggak nyaman sedikit."

Nayla mengangguk pelan. "Baik, dok."

Arga menunggu di sisi luar tirai, memberi ruang untuk pemeriksaan. Namun saat Nayla sudah siap dan berbaring, perawat membuka sebagian tirai agar Arga bisa duduk di samping kepala Nayla—memberi dukungan diam-diam.

Dokter mulai dengan memperhatikan layar di depannya yang menampilkan gambaran hitam-putih. Bentuk oval rahim muncul, dan tak lama kemudian tampak gambar dua bundaran kecil di sampingnya.

"Ini rahim kamu," ujar dokter, menunjuk layar. "Dan ini... ovarium kanan dan kiri. Semuanya tampak normal dari segi struktur."

Nayla menelan ludah. "Ada sel telurnya, dok?"

"Di sini terlihat beberapa folikel kecil, artinya ovarium kamu aktif. Jumlahnya juga dalam batas wajar. Nggak ada kista, nggak ada miom yang mencolok."

Arga mengepalkan tangan di sisi Nayla, lega.

Dokter tersenyum. "Selanjutnya, kita juga akan ukur ketebalan dinding rahim. Ini penting untuk tempat menempelnya embrio nanti."

Beberapa detik hening berlalu sambil dokter menghitung.

"Endometrium kamu tebalnya cukup baik. Artinya, secara fisik, kamu nggak punya hambatan besar. Tapi tetap, kita akan lihat hasil tes hormonal nanti buat memastikan semua sinkron."

Nayla mengembuskan napas panjang. Untuk pertama kalinya sejak masuk ruangan ini, ia merasa tenang. Bukan karena segalanya sempurna, tapi karena semua jadi lebih jelas.

Setelah USG selesai dan Nayla berganti pakaian, mereka kembali ke ruangan konsultasi. 

"Kita akan lanjut dengan tes darah hormon untuk cek FSH, LH, estrogen, progesteron, dan AMH. Kamu bisa ambil darahnya hari ini juga, atau besok pagi kalau butuh puasa."

"Aku bisa hari ini, aku udah puasa" jawab Nayla mantap.

Arga menatap istrinya dengan penuh kekaguman. Ia meraih tangan Nayla, mencium punggungnya pelan.

"Hebat banget kamu."

Nayla tersenyum kecil. "Aku cuma... pengin jadi ibu yang siap. Kalau memang bisa."

Setelah pengambilan darah, mereka duduk kembali di lobi klinik. Masih dengan kehangatan sore yang perlahan menyelimuti kota.

"Langkah pertama udah kita jalanin," ujar Arga sambil menyender ke bangku.

"Dan aku nggak sendirian," Nayla membalas.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya TB 47. Konsultasi Persiapan Kehamilan
0
0
Jadi... kami bisa mulai program hamil? tanya Nayla hati-hati.Bisa, jawab dokter mantap. Tapi kita tetap perlu memperhatikan gaya hidup, pola makan, dan tentu saja... waktu berhubungan yang optimal.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan