
"Arga..." suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang ragu.
"Hm?" Arga membalas sambil mencium pelan puncak kepala Nayla.
"Aku mau ngomong sesuatu, tapi tolong jangan langsung bereaksi heboh ya."
Arga terkekeh pelan. "Oke, aku janji. Aku akan bereaksi... setengah heboh."
BAB 45. Dulu Aku Takut, Sekarang Aku Siap
Setelah album itu mereka simpan kembali ke rak, Arga dan Nayla tetap duduk berdampingan di karpet ruang tengah. Sisa cahaya sore mengintip dari balik jendela, menyinari wajah mereka yang tenang dalam diam.
Nayla menyandarkan kepala di bahu Arga, tangannya bermain pelan di atas jemari suaminya.
"Arga..." suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang ragu.
"Hm?" Arga membalas sambil mencium pelan puncak kepala Nayla.
"Aku mau ngomong sesuatu, tapi tolong jangan langsung bereaksi heboh ya."
Arga terkekeh pelan. "Oke, aku janji. Aku akan bereaksi... setengah heboh."
Nayla tertawa kecil, lalu menarik napas dalam.
"Aku rasa... aku udah siap," katanya pelan.
"Siap?" Arga mengangkat alis. "Siap apa, Nay?"
Nayla menoleh, menatap suaminya. Matanya dalam, tapi tidak ragu. "Siap untuk... membuka diri," Nayla berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "ke fase berikutnya. Kehamilan."
Arga tak langsung bicara. Matanya menatap Nayla, seolah ingin memastikan dia tak salah dengar.
"Kamu... yakin?"
Nayla mengangguk. "Aku tahu dulu kita sepakat untuk menunda. Karena aku masih belajar, masih menyesuaikan diri dengan ritme kita. Tapi dua tahun ini, aku merasa kita udah jalan cukup jauh. Dan sekarang, aku nggak lagi merasa takut seandainya... ada yang baru datang ke antara kita. Aku tahu, kamu bakal jadi ayah yang baik."
Arga mengerjap cepat. Hening sejenak di antara mereka sebelum ia akhirnya bicara, lembut.
"Na... kamu yakin?"
Nayla mengangguk. "Yakin. Karena aku nggak ngerasa sendirian. Aku tahu kamu ada. Dan aku tahu... kita bisa."
Arga menarik tubuh Nayla ke pelukannya, lama. Ia menutup mata, membiarkan kalimat itu mendarat sempurna di hatinya.
"Terima kasih," bisiknya.
"Untuk apa?"
"Untuk percaya sama aku. Sama kita."
Mereka terdiam lagi. Tapi bukan diam yang hampa. Diam itu penuh dengan makna, dengan kesiapan, dengan harapan.
Arga mencium kening Nayla lembut.
"Nayla... kamu tahu nggak, dari awal aku nggak pernah pengin maksa. Aku cuma pengin kamu nyaman. Dan sekarang kamu ngomong kayak gini... rasanya kayak dapat hadiah paling besar dalam hidup."
Nayla tertawa kecil. "Hadiah? Padahal belum ada janinnya juga."
Arga ikut tertawa. "Bukan soal janinnya, tapi tentang kamu... yang mulai percaya. Sama dirimu sendiri, sama aku, sama kita."
Nayla mengangguk pelan. "Aku nggak janji langsung bisa semuanya. Tapi aku pengin nyoba."
"Nay," suara Arga terdengar berat. Ia mengangkat dagu Nayla agar bisa menatapnya. "Aku nggak butuh kamu jadi sempurna. Aku cuma butuh kamu... yang mau jalan bareng aku. Pelan-pelan juga nggak apa-apa. Kita belajar sama-sama."
Nayla tersenyum. "Terima kasih ya, udah sabar sama aku."
Arga mencium keningnya lama. "Dan aku bakal terus sabar nunggu, kalau pun nanti kamu butuh waktu lagi. Karena rumah nggak dibangun dalam sehari. Tapi aku yakin... rumah kita kuat."
Hening kembali menyelimuti mereka sebentar, tapi itu bukan keheningan yang janggal—melainkan penuh ketenangan.
"Aku mulai mikir," kata Nayla kemudian, setengah bercanda. "Kalau kita punya anak nanti, siapa yang bakal bangun tengah malam?"
"Ya jelas aku," jawab Arga cepat.
"Yakin?" Nayla menyipitkan mata, geli. "Jangan ngeluh ya, kalau nanti harus gendong nenangin dia karena rewel ga mau tidur."
Arga menyandarkan kepalanya ke bahu Nayla. "Demi kamu, demi dia... aku rela. Asal kamu tetap jadi partner aku kayak sekarang."
Nayla mengangguk. "Selalu."
Arga menarik napas pelan, seolah sedang menyerap momen itu dalam-dalam. Kepalanya masih bersandar di bahu Nayla, matanya menatap ke arah jendela.
"Jadi... kira-kira kapan kita mulai?" tanyanya lembut.
Nayla menggigit bibir bawahnya, lalu berkata, "Aku sempat browsing tadi pagi. Ada satu klinik yang katanya bagus buat konseling awal. Nggak langsung program, tapi lebih ke pemeriksaan dasar dan ngobrolin kesiapan fisik–mental gitu."
Arga mengangkat kepalanya sedikit, tertarik. "Serius kamu udah cari?"
Nayla mengangguk, tersenyum kecil. "Iya. Namanya Klinik Harmoni. Di sana bisa konsul bareng, jadi bukan cuma periksa aku, tapi kamu juga dicek. Lengkap."
"Wah, sounds good." Arga mengangguk-angguk. "Aku suka konsepnya. Jadi bukan kamu doang yang dibebani."
"Justru itu," Nayla menimpali. "Aku nggak mau ngerasa jalan sendiri. Makanya aku pengin kita mulai bareng, satu langkah kecil aja dulu. Mungkin minggu depan, kalau kamu udah nggak terlalu sibuk?"
Arga tampak berpikir, lalu menjawab, "Boleh, hari sabtu, gimana?"
Nayla mengangguk mantap. "Sabtu, ya. Aku coba hubungi kliniknya besok."
"Oke." Arga menggenggam tangan Nayla dan mencium punggungnya pelan. "Terima kasih udah ngajak aku jalan bareng. Aku tahu ini nggak mudah buat kamu."
Nayla tersenyum, lalu bersandar ke dada Arga. "Justru karena kamu selalu sabar, aku berani melangkah."
Hening sebentar. Lalu Arga berkata, setengah bercanda, "Kita perlu bawa apa ke sana, ya? Daftar harapan? Mood chart? Atau testimoni dari tetangga?"
Nayla tertawa. "Nggak usah lebay. Cukup bawa kejujuran dan... keseriusan."
"Keseriusan bisa aku bungkus pakai tas ransel," balas Arga, ikut tertawa. "Tapi kalau kejujuran, udah dari awal aku bawa, Nay."
Nayla menoleh, mencubit pipi Arga gemas. "Kamu tuh ya..."
Dan di tengah canda kecil itu, hati mereka mantap berjalan ke tahap berikutnya. Bukan karena tekanan, bukan karena waktu, tapi karena cinta yang tumbuh... dan keberanian untuk melangkah bersama.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
