
Mata kami saling bertemu.
Aku membeku di tengah anak tangga. Rasanya seperti dunia mendadak hening.
Nessa.
Sudah berapa lama sejak terakhir kami bertemu? Tiga bulan? Lebih? Terakhir aku melihatnya sekitar seminggu sebelum turnamen basket—itu pun tidak sengaja waktu aku mampir ke GeYo karena butuh bantuan tugas Kimia.
Apakah ini... semacam keajaiban kecil?
Mataku menangkap seragam batik yang ia kenakan. Seragam khas salah satu SMA negeri di kota ini. Hari Rabu dan Kamis memang jadwal pakai batik untuk...
Aku meregangkan badan dan bersandar di kursi, menarik napas panjang seolah berharap oksigen bisa membantu mendinginkan otakku yang hari ini terasa... terbakar.
Bayangkan saja, ekonomi, fisika, matematika, dan kewarganegaraan—semua dipadatkan dalam satu hari. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa, tapi untuk otakku yang baru saja "bangun" dari libur panjang semester, itu seperti langsung diseret ke medan perang tanpa senjata.
Hari ini aku tidak punya rencana sepulang sekolah. Rasanya aneh, karena biasanya waktu-waktuku dihabiskan di lapangan basket—latihan, sparing, atau sekadar main iseng bareng anak-anak tim. Tapi sejak naik ke kelas dua dan belum ada turnamen dalam waktu dekat, latihan jadi makin jarang. Dan sekarang, pulang sekolah tanpa tujuan bikin suasana hati ikut kosong.
Aku mulai beres-beres buku, memasukkan semuanya ke dalam tas sambil melirik ke luar jendela. Langit cerah, sedikit mendung di ujung, tapi cukup nyaman buat jalan-jalan santai. Aku keluar kelas, melangkah pelan, mencoba memikirkan ke mana kaki ini akan membawaku.
Tidak ada ide.
Akhirnya aku melangkah ke parkiran motor. Mungkin ke pasar sebentar, cari cemilan buat nenek. Dia suka yang manis-manis—klepon, kue talam, kadang bolu kukus kalau lagi ada.
Ngomong-ngomong soal nenek, aku belum sempat cerita. Sekarang aku tinggal bersamanya. Orang tuaku tinggal di Bandung, mereka kerja di sana. Sebenarnya aku juga pernah sekolah di Bandung sampai SD, tapi entah kenapa aku lebih nyaman di sini. Mungkin karena suasananya lebih tenang, atau mungkin karena aku butuh ruang buat jadi diriku sendiri. Jadi sejak SMP, aku pindah dan tinggal bersama nenek.
Sampai di parkiran, aku lihat Anton sedang mengeluarkan motornya. "Mau ke mana?" tanyaku sambil mendekat.
Dia menoleh dan mengangkat alis. "Lu mau ikut?"
"Ke mana?" tanyaku balik, penasaran juga.
"Gua ada jadwal belajar matematika di LB, sama yang lain. Mau ikut ga?" tawarnya.
Tawaran yang lumayan, mengingat aku juga tidak punya tujuan jelas. Tapi otakku udah kepanasan—belajar lagi? Sepertinya tidak. Meski aku juga tidak yakin mau ngapain kalau tidak ikut.
"Boleh, jam berapa?" tanyaku. Tadinya aku mau ke pasar dulu buat cari cemilan buat nenek, tapi kalau masih sempat, kenapa tidak?
"Ini gua langsung ke sana. Nunggu anak-anak dulu baru mulai kok," jawab Anton.
"Ya udah, gua ikut. Tapi gua ke pasar dulu bentar, mau beli sesuatu," sahutku.
"Oke, gua duluan ya. Jangan salah tempat nanti," katanya sambil nyalain motor, lalu melaju pelan keluar dari parkiran.
Aku mengangguk kecil, lalu menuju motorku. Setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menuju ke pasar. Tujuan hari ini sederhana: cari kue buat nenek, dan mungkin, lanjut belajar bareng Anton. Tapi dalam hati, aku tahu bukan itu yang bikin kepalaku penuh. Entah kenapa, ada rasa kosong yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin karena hari-hari terasa mulai berubah. Dan aku belum tahu perubahan itu akan membawaku ke mana.
~~~
Aku memarkirkan motor di depan gedung GeYo LB, lalu masuk sambil menyapa kakak CS yang seperti biasa duduk di meja resepsionis. Ia membalas dengan senyum ramah. Aku melangkah ke ruang belajar, mencari keberadaan Anton.
"Udah nyampe?" suara Anton langsung menyambut begitu dia melihatku.
Aku mengangguk dan langsung duduk di sampingnya. Di ruangan itu ternyata sudah ada Dino, Juan, dan Kevin juga. Dino satu sekolah denganku, sementara Juan dan Kevin dari sekolah lain.
"Kakaknya belum datang?" tanyaku sambil meletakkan kantong plastik berisi gorengan di atas meja.
"Belum. Eh, lu nyari gorengan ke pasar?" Anton melirik plastik itu sambil langsung mengambil satu gorengan tanpa basa-basi.
"Makan aja udah," sahutku santai. Anton tertawa pelan. Dino, Juan, dan Kevin pun ikut-ikutan ambil gorengan.
Kami mengunyah sambil ngobrol ringan, menunggu pengajar datang. Baru setelah sekitar lima belas menit, kakak pengajar matematika muncul juga.
Sebenarnya, datang ke sini adalah pilihan yang salah kalau dilihat dari kondisi otakku yang udah kepanasan sejak pelajaran di sekolah tadi. Tapi entahlah, karena nggak tahu mau ke mana lagi, aku pun berakhir di sini. Kadang tempat kursus bisa jadi tempat pelarian paling netral—tidak terlalu formal, tapi cukup untuk membuat aku tidak merasa nganggur dan kosong.
Tapi tetap saja, lima belas menit pertama mendengarkan penjelasan soal integral membuatku merasa seperti sedang menghukum diri sendiri. Otakku sudah angkat tangan. Rasanya benar-benar tidak masuk. Aku pun mengangkat tangan.
"Permisi kak, izin ke toilet," ucapku, dan kakaknya hanya mengangguk.
Sebenarnya ada toilet di lantai satu, tapi entah kenapa aku malah naik ke lantai dua. Mungkin secara tidak sadar aku ingin melarikan diri sedikit lebih lama.
Begitu keluar dari toilet dan hendak kembali ke bawah, langkahku terhenti di tangga. Di bawah sana, pintu masuk GeYo terbuka dan seseorang masuk. Dia menyapa kakak pengajar yang duduk di meja depan dan kemudian langkahnya ikut berhenti ketika hendak menaiki tangga.
Mata kami saling bertemu.
Aku membeku di tengah anak tangga. Rasanya seperti dunia mendadak hening.
Nessa.
Sudah berapa lama sejak terakhir kami bertemu? Tiga bulan? Lebih? Terakhir aku melihatnya sekitar seminggu sebelum turnamen basket—itu pun tidak sengaja waktu aku mampir ke GeYo karena butuh bantuan tugas Kimia.
Apakah ini... semacam keajaiban kecil?
Mataku menangkap seragam batik yang ia kenakan. Seragam khas salah satu SMA negeri di kota ini. Hari Rabu dan Kamis memang jadwal pakai batik untuk semua SMA. Dan dari motifnya, aku tahu pasti di mana dia sekolah sekarang.
"Ness," panggilku pelan.
Dia tetap menatapku, melangkah perlahan menaiki tangga sambil tersenyum kecil. "Leo," jawabnya, lalu berjalan melewatiku dan naik ke lantai dua.
Hah?
Itu saja?
Nggak ada yang ingin kamu katakan?
Aku menoleh ke belakang, melihatnya berjalan santai menuju kelasnya di lantai dua. Apa dia telat? Sepertinya iya, sekitar lima belas menit. Mungkin itu alasan kenapa dia tidak sempat banyak bicara.
Tapi tetap saja, aku ingin lebih dari sekadar tatapan dan satu kata sapaan.
Aku menarik napas, lalu melangkah turun kembali ke lantai satu dan kembali duduk di kursi tadi. Kakak pengajar masih sibuk menulis soal di kertas.
Anton menoleh ke arahku, lalu menyenggol lututku dengan lututnya. "Itu Nessa, ya?" bisiknya.
Aku mengangguk singkat. Tidak berkata apa-apa.
Entah hidayah dari mana, tiba-tiba saja aku jadi semangat memperhatikan penjelasan kakak pengajar dan mengerjakan soal matematika. Rasanya seperti otakku yang tadi panas mendadak dingin begitu saja setelah melihat Nessa. Ternyata dia masih di sini. Masih mungkin untuk bertemu.
"Barusan itu... Nessa?" tanya Anton saat sesi belajar selesai. Dino, Juan, dan Kevin sudah lebih dulu pulang.
Aku mengangguk.
"Gila ya, ada-ada aja jalan buat lu ketemu dia lagi. Padahal kemarin-kemarin lu udah pasrah banget tuh, bilangnya udah kehilangan harapan," kata Anton, nadanya campuran antara kagum dan nggak percaya.
"Gimana nggak pasrah? Dulu infonya dia masuk SMA AS. Udah pasti susah banget buat ketemu. Meskipun rumah kita deket, tapi tetap aja nyari satu orang di antara ratusan anak SMA mah kayak nyari jarum di tumpukan jerami. Makin nggak yakin lagi pas tahu dia nggak lanjut kursus di MA."
"Ya emang dia nggak lanjut di MA, tapi ternyata di LB," sahut Anton.
"Dan dia sekolah di SMA 1?" Aku mengulang dengan nada setengah takjub. "Wah, luar biasa sih, bisa ketemu lagi."
Anton nyengir, lalu nyolek bahuku. "Gila sih. Anak SMA 1, pinter, baik, cakep pula. Udah gitu lu masih bisa dapetin kesempatan ketemu dia. Kayaknya semesta emang kerja lembur buat bantuin lu."
Aku hanya mendengus kecil. "Apa sih."
"Udahlah ngaku aja, seneng kan?" godanya.
Aku cuma angkat bahu. Ya, senang. Tapi antara aku dan Nessa... ya sebatas itu. Kamu tahu maksudku, kan?
"Eh, tapi aneh juga ya. Kok dulu semua temennya bilang dia masuk SMA AS?" gumam Anton, alisnya mengernyit. "Inget nggak, sampai ada yang ngirimin foto nama dia di daftar kelas? Masih ingat tuh, 10 IPA 1."
Aku mengangguk pelan, mengingat kembali momen itu. Iya, aku dan Anton bahkan sempat datang langsung ke SMP-nya buat cari tahu. Dan hampir semua temannya bilang Nessa lanjut ke SMA AS. Bahkan ada yang kirim foto daftar kelas dengan nama 'Nessa' tertulis jelas di sana. Dari situlah pesimisme itu muncul—kayaknya memang nggak ada harapan lagi buat bisa ketemu dia.
Saking penasarannya, aku sampai datang ke GeYo cabang MA, tempat kursus yang kemungkinan besar akan dia pilih karena dekat dengan sekolahnya. Tapi waktu aku tanya ke kakak CS, jawabannya cukup bikin mental, "Ga, dia ga lanjut kursus di sini."
Aku nggak kepikiran buat tanya di cabang lain. Ternyata dia bukan di MA, tapi di LB. Dan sekarang, aku di sini dan dia juga di sini.
"Selamat, bro. Harapan lu masih hidup. Semangat berjuang ya," ucap Anton sambil menepuk bahuku dan menyandang tas.
"Lu mau ke mana?"
"Ya pulang lah. Lu juga kan pasti mau nungguin kelas Nessa istirahat, iya kan?" katanya sambil nyengir penuh kode.
Aku terkekeh, lalu mengangguk.
"Ya udah, gua duluan, ya. Pulang duluan."
"Hmm, hati-hati."
Aku memperhatikan punggung Anton yang menjauh, meninggalkan ruangan. Sekarang hanya tersisa aku dan beberapa siswa SMP yang tampak sedang belajar mandiri. Jam istirahat Nessa masih sekitar sepuluh menit lagi. Akhirnya aku memutuskan naik ke lantai dua, ke musholla, untuk menunaikan salat Ashar lebih dulu.
Selesai salat Ashar, aku tidak langsung turun. Aku duduk sebentar di teras musholla, memandangi halaman kecil di depan gedung LB yang kini mulai diselimuti warna jingga dari sinar matahari sore.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 16.20. Harusnya sekarang jam istirahat kelas Nessa. Aku menarik napas pelan, mencoba menenangkan detak jantung yang sejak tadi terasa tidak normal.
Apa yang harus aku lakukan kalau dia turun? Menyapa? Senyum saja? Atau... cukup diam seperti tadi?
Kupandangi kelas yang belum ada tanda-tanda bubar atau murid yang turun.
Aku berdiri dan berjalan ke lantai satu, sesekali mengintip ke lantai dua—masih sepi juga.
Aku kembali ke ruang belajar lantai satu dan duduk disana, dengan harapan sederhana, bisa bertemu Nessa lagi di jam istirahatnya. Kalau harus menunggu sampai jam pulang, rasanya terlalu lama, dan aku yakin Nessa pasti memilih langsung pulang.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sampai akhirnya langkah-langkah dari lantai dua terdengar. Nessa turun bersama dua orang temannya, tertawa kecil sambil bercengkerama. Sepertinya mereka hendak mencari jajanan ke toko sebelah.
Aku menunduk sedikit, pura-pura menata pensil dan buku di meja. Dalam hati, aku ingin menyapanya. Tapi harus bersama teman-temannya, ya? Entah kenapa aku langsung ciut. Dalam situasi ramai seperti itu, aku tidak yakin bisa menyapa tanpa membuat suasananya aneh atau membuat dia merasa tidak nyaman.
Benar saja, aku hanya bisa diam saat dia berjalan melewatiku. Tapi sebelum benar-benar berlalu, pandangan kami sempat bertemu. Dia menatapku singkat—sekilas seperti mengenali, lalu kembali bicara dengan temannya tanpa menghentikan langkah.
Aku menarik napas pelan, lalu mengusap wajah dengan kedua tangan.
Bukan karena marah atau kecewa. Aku hanya... terlalu banyak berpikir. Tapi aku juga tahu batasan. Mungkin hari ini bukan waktunya. Lagipula, aku sudah mendapatkan dua kepastian, dia sekolah di SMA 1, dan kursus di LB. Itu saja sudah cukup membuat harapan kecil dalam diriku menyala lagi. Masih ada alasan untuk bertemu lain kali, bukan?
Aku duduk diam cukup lama, hanya mendengarkan suara-suara siswa lain yang mulai mengemasi buku. Sore sudah turun perlahan, dan aku pikir... ya, saatnya pulang.
Baru saja aku berdiri dan meraih tasku, sebuah tangan tiba-tiba meletakkan minuman kaleng di meja.
Aku mendongak.
Seorang gadis duduk di depanku dengan senyum kecil.
"Hai, Bang Leo."
~~~
SAPA SAYANG:
Hai haiii
Camesa Here!!!
udah lama wehh ini lapak tidur, ternyata masih ada yang baca ceritaku ya?
liat liat masih ada yang voment ini lapak, aku jadi kepikiran buat publish BRUNCH ini, sebernarnya udah lama aku tulis, dan niatnya ini BRUNCH jadi cerita terakhir yang akan aku tulis, tapiii ntah lah, kita liat kedepannya gimana.
gimana pembuka untuk BRUNCH ini? kalian suka? ini cerita mungkin akan lebih santai yaa, jadi silahkan dinikmati.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
