
⚠️🔞Mengandung adegan dewasa, harap bijak memilih bacaan
Dari luar, pernikahan Nadia dan dr. Rayhan Mahesa, dokter kandungan ternama dari keluarga terpandang, terlihat sempurna. Wajah rupawan, gelar bergengsi, dan citra pasangan ideal membuat mereka dielu-elukan sebagai ‘couple goals’. Tapi di balik itu semua, Nadia menyimpan luka yang tak terlihat: hampir setahun menikah, Rayhan nyaris tak pernah menyentuhnya.
Saat kecurigaan Nadia tumbuh, ia tak sengaja membuka pintu menuju sisi tergelap suaminya—sebuah...
Bab 5 - SentuhanTerlarang
Setibanya di parkiran mobil usai jalan tergesa-gesa, Nadia dibuat tertawa oleh keadaan mobil honda jazz Arka yang bak kapal pecah.
“Mobilku jadi sempit banget karena banyak barang,” ucap Arka sambil membuka pintu belakang mobilnya yang penuh dengan bungkus makanan ringan, tisu, kabel charger berantakan, dan botol minum kosong. “Mau nyoba? Tapi kita bakal kepentok dashboard,” sambungnya separo bercanda.
Nadia tertawa kecil, pipinya memerah tapi matanya masih menyala penuh hasrat, “Kalau tahu gini, aku nggak akan minta lanjut di mobil.”
Arka menyeringai, “Aku tahu tempat yang oke tanpa harus capek nyetir ke apartemen atau booking hotel.”
“Di mana?” tanya Nadia penasaran.
Arka pun kembali membawa Nadia ke Queen’s Karaoke. Ada sebuah ruang tersembunyi di balik lorong sempit, sebuah tempat yang jarang disentuh oleh pengunjung karaoke—ruang ganti dan ruang makeup para lady companion.
Dindingnya dipenuhi cermin besar dengan lampu bulat-bulat di sekelilingnya, menciptakan pantulan cahaya lembut yang menyinari ruangan remang itu. Mejanya penuh botol parfum, bedak, lipstik, dan peralatan makeup lain yang berserakan—seakan menjadi saksi bisu dari usaha para LC dalam mengais sesuap nasi. Di sudut, ada kursi rias berlapis beludru biru tua, yang tampak terlalu mewah untuk ruangan sesempit ini.
Setelah mengunci pintu, mereka saling membantu menanggalkan pakaian satu sama lain. Arka lalu duduk di kursi itu, menatap Nadia yang kini perlahan mendekat seraya membuka kaitan branya.
Ada sesuatu dalam langkah wanita itu—ragu namun bercampur dengan keberanian. Seperti seseorang yang tahu bahwa dirinya sedang bermain api, namun tak ingin menjauh dari panasnya. Saat Nadia akhirnya duduk di pangkuan Arka, dunia terasa berhenti. Waktu tak lagi penting. Hanya ada mereka dan suara napas yang saling memburu.
Sebelumnya, Arka sempat membuka sebungkus alat pengaman yang telah dibelinya di supermarket tadi. Gerakannya tenang, terlatih, seperti bagian dari ritual yang sudah ia kenal dengan baik.
Tapi malam ini rasanya berbeda—karena Nadia bukanlah kliennya. Ia adalah seseorang yang membuat Arka mampu melepaskan kendali.
Kini, Nadia yang mengambil alih. Arka membiarkannya, meresapi setiap gerakan yang lembut tapi penuh gairah. Tangan Nadia mengalung di leher Arka, matanya terpejam rapat ketika tubuh mereka akhirnya bersatu. Ia menunduk, desahannya meluncur begitu saja dari bibirnya, membuat Arka hanya bisa mengencangkan pelukannya.
Ritmenya lambat di awal, seolah mereka berdua ingin mengingat setiap detik, setiap hentakan kecil yang mengguncang jiwa.
"Kamu luar biasa, Nad. Punyamu masih terasa sempit," bisik Arka tertahan, napasnya memburu. Matanya mengagumi lekuk tubuh yang kini bergerak di atasnya—payudara Nadia begitu ranum, begitu menggoda.
Desahan Nadia makin kencang. Tubuhnya menegang dalam pelukan Arka.
“Ahh… Aku mau keluar…,” desahnya.
Klimaksnya datang dalam keheningan penuh getar, seperti petir yang menyambar di balik awan gelap.
Arka mengecup bahu Nadia, lalu memeluknya erat. "Di antara klienku yang lain, aku paling suka gaya bercinta kamu," katanya pelan.
“Emang apa bedanya?” tanya Nadia sambil tersenyum, milik Arka masih terbenam di dalam kewanitaannya yang basah.
“Kamu ngelakuinnya pakai perasaan, nggak cuma pakai nafsu.”
Belum sempat Nadia membalas, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari luar ruangan.
“Ih, siapa sih yang di dalam?!” teriak suara perempuan dengan nada manja tapi heboh, yang tak lain dan tak bukan adalah seorang LC yang harus bersiap melayani tamu-tamu karaoke. “Cepetan keluar! Ini kita rebutan cermin, tahu!”
“Makeup aku dicolong!” teriak yang lain, suaranya cempreng dan dramatis. “Aku sumpahin yang nyolong bulu matanya rontok!”
Arka dan Nadia saling pandang, lalu meledak tertawa.
“Mereka tuh tiap malam perang sama alat makeup kayak lagi tanding MMA,” kata Arka, nyaris terpingkal.
“Sebenarnya aku agak takut masuk ke ruangan mereka. Bisa-bisa aku dilempar eyelash extension,” ucap Nadia ikut tertawa, matanya berair karena menahan geli.
“Yuk pergi sebelum kita diseret buat jadi juri kontes makeup,” ajak Arka.
Begitu sampai di parkiran, Arka memutar kunci mobil lalu menatap Nadia, yang duduk di sebelahnya.
“Aku bisa anterin kamu pulang. Nggak enak kamu balik sendiri malam-malam gini.”
Nadia menggeleng cepat, “Jangan, terlalu riskan.”
“Riskan karena suami kamu, atau karena kamu takut ketagihan sama aku, hm?” rayu Arka sambil melirik dengan senyum nakal.
Nadia mendesah, matanya menatap lurus ke depan, “Eh… dua-duanya.”
Tiba-tiba, ponsel Nadia bergetar. Ada sebuah pesan dari Rayhan.
Baru kelar futsal
Aku lanjut makan dulu sama anak-anak
Nggak usah ditungguin
Nadia hanya menatap pesan itu beberapa detik, lalu mematikan layar ponselnya. Dia tidak membalas.
“Jadi, kamu mau pulang sekarang?” tanya Arka pelan.
Nadia berpikir sebentar, lalu menggeleng, “Aku belum pengen pulang. Tapi aku juga nggak tahu mau ke mana.”
*****
Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di bangku taman kota yang sepi. Lampu jalan menyala redup, angin malam menyapu pelan rambut Nadia yang terurai.
“Aku suka tempat kayak gini,” ucap Arka, menatap langit malam. “Tenang. Gak ribet. Gak ada aturan.”
“Kamu nggak takut dibilang aneh? Lelaki dewasa, duduk di taman tengah malam?”
“Lebih baik jadi lelaki aneh daripada lelaki yang pura-pura bahagia,” jawab Arka santai. “Fyi, aku gak nerima klien lain malam ini demi kamu. Kamu tahu kenapa?”
“Kenapa?”
“Karena aku mau ngobrol sama kamu, kenal kamu lebih jauh. Bukan sama tante-tante yang pengen denger aku nyanyi sambil nyolek pipi aku.”
Nadia tersenyum kecil, “Aku bayar deh. Ini ‘kan masih jam kerja kamu?”
Arka menoleh, “Jangan. Aku nggak mau dibayar buat hal yang aku nikmatin.”
Malam itu terasa lambat, tapi hangat. Nadia baru pulang sekitar jam dua belas malam. Rumah sunyi, hanya lampu dapur yang menyala redup. Di dalam kamar, Rayhan sudah tertidur di sisi ranjang, punggungnya menghadap ke arah pintu.
Begitu Nadia membuka pintu kamar, Rayhan hanya bergumam, “Kamu baru balik?”
“Hmm.”
“Udah makan?”
“Belum. Nanti aku bikin mie instan aja.”
“Oke.” Lalu Rayhan pun terdiam, kembali melanjutkan tidurnya.
Bersikap dingin dan acuh, seperti biasa.
**Keesokan harinya, di rumah sakit**
Dokter Rayhan Mahesa tampak sangat profesional di klinik. Kemeja putih bersih, jas dokter rapi, rambut disisir ke belakang, dan senyum hangat setiap menyapa pasien—membuatnya nyaris selalu tampil sempurna di mata publik.
Tidak ada yang tahu, bahwa di ruang periksa itu, di balik kaca hias yang tergantung, ada tersembunyi sebuah kamera kecil. Ditanam dengan rapi, diarahkan tepat ke kursi pasien dan pintu kamar mandi.
Rayhan duduk tenang di kursi kerjanya, membuka folder digital yang diam-diam tersambung pada kamera tersembunyi di salah satu ruang periksa. Matanya tak berkedip saat menyaksikan rekaman pasien-pasiennya—ada yang berganti pakaian, ada pula yang diambil saat pemeriksaan USG berlangsung.
Suara ketukan pintu seketika menyadarkan Rayhan. Dengan cepat ia menutup macbook-nya.
“Masuk.”
“Siang dok, pasien atas nama Cassandra udah datang.”
“Suruh masuk.”
Cassandra masuk perlahan. Perempuan muda dengan perut membuncit, sekitar enam bulan kehamilan. Ia duduk dengan hati-hati. Hari ini ia datang ke rumah sakit seorang diri, tanpa didampingi suaminya yang sibuk bekerja. Supir pribadinya menunggu di parkiran.
“Selamat pagi, Cass,” sapa Rayhan ramah. “Gimana kabarnya hari ini?”
“Masih sering mual, dok. Tapi udah agak mendingan.”
Rayhan mendekat, mengenakan sarung tangan. Pemeriksaan berlangsung seperti biasa, sampai tangannya menyentuh bagian atas perut Cassandra—nyaris menyentuh sisi luar payudaranya.
Cassandra bergeming, matanya refleks menatap ke bawah. Dan Rayhan dengan cepat menarik tangannya.
“Maaf ya, posisinya sempit,” ucap Rayhan tenang.
Cassandra mengangguk pelan, tapi pikirannya mulai bekerja.
Apakah yang barusan itu… memang disengaja?
Bab 6 - Sebuah Pengakuan
Cassandra menarik napas dalam-dalam saat alat USG menyentuh perutnya. Gambar hitam putih di layar menunjukkan bentuk samar buah hatinya yang sedang tumbuh. Sementara Rayhan duduk di samping, serius menatap monitor.
“Sejauh ini perkembangannya bagus,” ucap Rayhan sambil menggerakkan alat di tangannya dengan lihai.
Cassandra mengangguk kecil, “Syukurlah…”
Setelah beberapa menit, Rayhan meletakkan alat itu, lalu memberikan tisu kepada Cassandra, “Bersihin dulu, ya. Setelah ini kita ngobrol sebentar di ruang konsultasi.”
Tak lama kemudian mereka duduk berhadapan. Cassandra sudah berpakaian rapi, tangannya menyentuh pelan tas kecilnya yang diletakkan di pangkuan.
“Pola makan dijaga, hindari stres, dan jangan terlalu capek, Cass. Kalau mualnya makin parah, kabari saya,” ujar Rayhan dengan suara tenangnya.
Tapi kali ini ada yang berbeda. Dia mencondongkan tubuhnya, lalu tiba-tiba mengulurkan tangan, menyentuh tangan Cassandra dan mengelus punggung tangannya pelan.
Cassandra terdiam. Matanya turun menatap tangannya yang disentuh itu. Sentuhan itu terlalu lembut… terlalu pribadi.
Rayhan tersenyum kecil, “Suaminya nggak ikut hari ini?”
“Lagi kerja, dok.”
“Oh. Padahal kalau bisa nemenin, lebih bagus. Biar bonding-nya juga dapat.”
Cassandra hanya bisa tersenyum tipis, lalu menarik pelan tangannya, pura-pura mengambil botol air dari tasnya. Setelah konsultasi selesai dan ia keluar dari ruangan itu, langkahnya terasa ragu. Ada kegelisahan yang menggelayuti pikirannya. Tapi logikanya mencoba melawan.
‘Mungkin cuma aku aja yang terlalu sensitif. Rayhan ‘kan dokter terkenal, sopan, profesional. Masa iya dia ngelakuin hal itu karena ada motif lain?’ pikirnya sambil berjalan menuju parkiran.
*****
Siang itu udara terasa lebih segar dari biasanya. Langit bersih, matahari tak terlalu menyengat, dan semilir angin mengusir lembab dari trotoar pusat kota. Nadia melangkah keluar dari mobil alphard-nya dengan langkah ringan dan wajah yang cerah, seolah-olah beban yang selama ini menempel di pundaknya mendadak menguap begitu saja.
“Hari ini mau nyari apa?” tanya Chloe begitu mereka bertemu di depan butik Tiffany & co. Ia mengenakan celana kulot krem dan tank top hitam, rambutnya dikuncir tinggi seperti biasa.
Nadia tersenyum lebar, senyum yang jarang muncul sejak bulan-bulan terakhir. “Nggak tahu sih. Pengen liat-liat aja, siapa tahu nemu yang cocok.”
“Wow, biasanya kamu nggak kayak gini? Biasanya bawaannya lemes, kalau bukan ngeluh soal kerjaan atau rumah, ya soal Rayhan.”
Nadia hanya tertawa kecil, mengangkat bahu seolah tak mengerti kenapa hari ini begitu menyenangkan.
Mereka masuk ke dalam butik, melihat-lihat koleksi terbaru. Chloe berjalan duluan ke rak sepatu, sementara Nadia tertarik pada beberapa dress warna pastel yang digantung rapi di sisi kiri ruangan.
“Ini lucu deh, Chlo. kamu suka nggak yang begini?” tanya Nadia sambil menempelkan dress lembut berwarna lilac ke tubuhnya lalu bercermin.
Chloe memandangi sahabatnya itu dengan alis sedikit terangkat, “Kamu serius milih dress itu, Nad? Kamu kelihatan jadi kayak orang yang mau… entah, honeymoon mungkin?”
Nadia menoleh, “Ah, masa sih?”
“Kamu tuh glowing banget, sumpah. Biasanya kamu tuh kayak… orang capek hidup. Sekarang jadi kayak cewek yang baru jadian sama pacarnya.”
Nadia tertawa, meski matanya sempat menghindar. Ia kembali sibuk, mencoba sepasang sandal high heels, lalu berjalan kecil di depan cermin.
“Aku cuma tidur cukup, itu aja,” jawabnya santai.
“Tidur cukup ndasmu. Kamu tuh udah kayak orang lagi jatuh cinta. Kamu senyum terus. Aura kamu beda banget hari ini. Aku bukan cenayang sih, tapi feeling aku kamu lagi nyembunyiin sesuatu.”
Nadia pura-pura tak dengar. Dia berpaling ke tas-tas di rak lain, melihatnya satu per satu sambil mengomentari warnanya. Tapi Chloe tetap berdiri di tempatnya, memandangi sahabatnya itu dengan penuh rasa ingin tahu yang makin menggunung.
Setelah satu jam mengitari butik, mereka memutuskan untuk makan siang di restoran yang tidak jauh dari sana. Tempat favorit mereka sejak kuliah dulu, dengan tirai putih tipis dan lampu gantung bergaya vintage.
Nadia memesan nasi salmon mentai dan iced matcha latte, sementara Chloe memilih spaghetti aglio olio dan sparkling water.
Begitu makanan mereka datang, Chloe benar-benar dibuat bengong.
Nadia makan dengan lahap. Suapannya besar, cepat, dan tanpa jeda panjang. Ia mengunyah sambil sesekali mengangguk-angguk menikmati rasa, lalu menyeruput matcha latte-nya dengan puas.
Chloe bertanya heran, “Kamu lapar banget?”
Nadia tertawa, “Banget.”
“Lagi PMS?”
“Enggak.”
“Lagi… hamil?”
Nadia tertawa lebih keras, “Ngaco.”
Chloe meletakkan garpunya. Tatapannya berubah serius sekarang, “Nad.”
Nadia berhenti makan, “Apa?”
“Kamu berubah.”
Nadia mengangkat bahu, “Ya ‘kan manusia emang bisa berubah.”
“Jangan ngelak. Aku serius. Dari tadi aku perhatiin kamu kayak bukan Nadia yang biasa. Kamu senyum terus. Makan banyak. Bercanda. Ceria. Waktu milih baju juga kamu semangat banget. Ini aneh. Biasanya kamu nggak kayak gini.”
Nadia terdiam. Matanya turun ke arah sendok di tangannya.
Chloe bersandar ke kursi, “Jangan salah paham dulu, Nad, aku senang kok ngeliat kamu kayak gini. Tapi aku juga khawatir. Karena biasanya, perubahan mendadak itu pasti ada alasannya. Dan feeling aku bilang, kamu emang lagi nyembunyiin sesuatu.”
Nadia mengaduk minumannya, tak menjawab.
Chloe bersikeras, “Kamu bisa cerita, Nad. Sumpah, aku nggak akan nge-judge kok. Tapi jangan bikin aku ngeraba-raba sendiri. Aku ini sahabat kamu lho.”
Butuh beberapa detik bagi Nadia untuk mengangkat wajahnya. Sorot matanya tenang, tapi menyiratkan sesuatu yang tidak bisa lagi dikubur.
“Sebenarnya… aku ngelakuin sesuatu.”
“Apa?” tanya Chloe sambil mencondongkan tubuh.
“Hal yang… nggak pernah aku bayangkan bakal aku lakuin sebelumnya.”
Chloe mengangguk pelan, menunggu.
Nadia menarik napas panjang, lalu menatap Chloe tepat di mata, “Aku tidur sama pria lain.”
Chloe terdiam. Jantungnya seolah berhenti satu detik. Tangannya yang tadi hendak mengambil gelas kini menggantung di udara.
“Apa… maksud kamu?”
Nadia tidak mengulangi ucapannya. Ia hanya menunduk, menatap meja di depannya.
“Kamu… serius?” tanya Chloe, coba memastikan kalau pendengarannya tidak salah.
Nadia mengangguk pelan, “Aku bener-bener ngelakuin itu.”
Chloe masih diam, tidak tahu harus bicara apa. Yang jelas, untuk pertama kalinya sejak mereka berteman lama, ia melihat Nadia bukan sebagai istri dokter, bukan juga sebagai istri teladan, tapi sebagai wanita yang sedang terombang-ambing oleh perasaannya sendiri.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
