
Sepulang dari perantauan, Seokjin dibuat keheranan dengan perubahan desa asalnya. Pasalnya, sawah yang biasanya menjadi pemandangan segar selama perjalanan menuju rumahnya sekarang sudah banyak berganti menjadi kolam ikan. Dengar-dengar, ada pemuda yang menjadi juragan koi di lingkungannya sekarang.
Hangatnya sinar matahari mulai menyingkap kabut tipis di sebuah desa yang damai. Embun masih menempel di dedaunan ketika Seokjin menyapu halaman rumahnya yang luas dan dipenuhi daun kering yang berserakan. Pagi ini, ia dan ibunya tidak berjualan di pasar karena semua persediaan ayam potong sudah dipesan oleh tetangga yang akan hajatan.
Kicauan burung yang bersahut-sahutan menciptakan melodi alami yang menggelitik, hingga Seokjin sesekali menghentikan kegiatannya hanya untuk menoleh ke atas, mencari kawanan burung yang membuatnya tersenyum dengan rasa penasaran. Perhatian Seokjin baru teralihkan ketika rungunya dengar suara motor yang berhenti di depan halaman rumahnya.
"Pagi, Mas Seokjin!" sapa Namjoon dengan hangat.
Seokjin menoleh dengan sedikit terkejut, sorot matanya pun langsung bercahaya begitu melihat kehadiran Namjoon. "Pagi, Mas Namjoon. Mau ke kolam ya?" tebak Seokjin sambil mengamati penampilan santai Namjoon, juga sekantong plastik gorengan yang tergantung di motornya.
"Nggih, Mas." Namjoon mengangguk dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Ndak ke pasar, to?" Ia balik bertanya karena penasaran.
Seokjin menggeleng pelan. "Ayamnya udah dipesan semua sama tetangga yang mau hajatan, Mas. Mungkin udah mulai masak buat hantaran ke semua kerabat dan orang-orang yang diminta rewang."
"Pantesan tadi pas aku beli gorengan di pasar, lihat kios Bu Wismaya kok tutup." Namjoon terdiam sejenak, mengingat-ingat jadwal apa saja yang akan berlangsung beberapa hari ke depan. "Oiya, anaknya Pak RW ya yang mau nikah akhir pekan ini!"
"Nggih, Mas."
"Dapat orang desa sebelah, temen futsalku dulu." Hampir saja Namjoon melewatkan momen penting kawannya, maklum ia memang super sibuk. "Kamu diminta rewang, ndak?" Namjoon berusaha tetap terlihat santai sebelum mengutarakan sesuatu. Dan ketika Seokjin menggelengkan kepalanya, juragan muda itu semakin berdebar. "Mau ndak kondangan bareng aku?"
Seokjin melebarkan matanya seketika, bahkan jantungnya berdegup terlalu kencang setelah mendengar permintaan Namjoon barusan. Ada perasaan gugup bercampur antusias yang menyelinap dalam dirinya. Sebab, ia belum pernah pergi kondangan, apalagi diajak datang bersama seseorang.
Maklum saja, ia sudah merantau sejak usia belia dan pulang kampung saat semua teman sekolahnya sudah menikah dan memiliki anak. Meski begitu, tiap kali Bapak mengabarkan teman-teman sekolahnya datang memberikan undangan pernikahan, Seokjin selalu meminta Bapak untuk menghadirinya dan menitipkan amplop untuk teman-temannya.
Sambil meremat gagang sapu dalam genggaman tangan, Seokjin akhirnya mengangguk dengan senyum tertahan. "Mau, Mas." Juragan koi itu tiba-tiba bersorak ringan bagaikan bocah yang baru saja memenangkan lotre, suara tawanya pun menggema lembut di keheningan pagi.
"Oiya, spicy chicken wings-nya belum tak masak," celetuk Seokjin berusaha mengalihkan pembicaraan. Pipinya sudah kebas akibat terlalu sering menahan senyuman tiap kali menghadapi tingkah Namjoon yang mengejutkan.
Namjoon melambai ringan, tak mempermasalahkan hal itu. "Ndak apa-apa, aku udah sarapan tadi. Tapi boleh ndak misal nanti siang aku numpang makan di rumah sampeyan? Atau sematangnya spicy chicken wings buatan Mas Seokjin aja deh."
Permintaan itu membuat Seokjin merasa bahwa Namjoon terus berusaha untuk mendekatinya, dan ia pun tak kuasa menolaknya. "Boleh, Mas. Nanti siang pas sampeyan pulang dari kolam pasti udah siap kok."
Namjoon mengangguk senang. "Terima kasih, Mas. Aku jadi ndak sabar nunggu jam istirahat siang datang," canda Namjoon sambil menyalakan kembali motornya. "Sampai jumpa nanti siang, nggih..." Ia mengangguk kecil sebelum melajukan motornya menuju kolam.
Selepas Namjoon pergi, Seokjin masih memandanginya hingga motor yang membawa Namjoon berbelok di tikungan jalan. Barulah ia lanjut menyapu dengan senyum tipis di bibirnya. Tiba-tiba, tetangga depan rumah yang sejak tadi tak terlihat wujudnya itu, menyapa Seokjin dengan nada menggoda.
"Wah, Nak Seokjin... Sampeyan sama Mas Juragan kok kelihatan akrab betul?" tanyanya dengan senyum penuh arti.
Seokjin hanya terkekeh dan berusaha menyembunyikan kegugupan. Rasanya bagai remaja yang baru saja ketangkap basah berpacaran di gang sempit saja. "Ah, iya. Dulu dia sempat ikut les di rumah saya, Bu. Makanya pas saya pulang, Mas Juragan sering menyapa."
Tetangga itu tertawa kecil, seolah mengetahui hubungan manis yang terjalin di antara Namjoon dan Seokjin. Tak ingin memusingkan hal itu, Seokjin pun kembali pada tugas menyapunya. Sinar matahari terus merangkak naik dan Seokjin harus segera menyiapkan spicy chicken wings untuk Namjoon makan siang nanti.
Sementara itu, Namjoon yang mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, masih saja betah senyum-senyum sendirian di jalanan yang lenggang. Kesegaran angin pagi bertiup menerpa wajahnya yang berseri-seri, m embawa aroma pepohonan dan bunga-bunga liar yang tumbuh di pinggir jalan.
Juragan muda itu terlihat senang sekali menyadari perjalanannya mendekati Seokjin sejauh ini berjalan dengan mulus. "Yihaaaa!" Namjoon pun tak tahan untuk bersorak dan mengangkat roda depan motornya saat melintasi area persawahan yang sepi. Berharap tidak ada yang melihat aksi gilanya atau ia akan sangat malu sekali.
***
Rumah Seokjin tampak begitu asri dengan pohon-pohon rindang yang mengelilinginya. Sejuk dan teduh di mata orang yang memandang, apalagi bagi tamu yang bertandang. Itulah yang dirasakan Namjoon begitu motornya memasuki halaman rumah Seokjin.
Juragan koi itu lantas tersenyum santun melihat kedua orang tua Seokjin yang duduk berdua di teras, tengah bersantai sambil menanti kedatangannya. Mereka terkejut melihat Namjoon lagi-lagi datang tanpa tangan kosong.
Dengan bahu tegap dan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, Namjoon melangkah cepat menuju teras. Dalam dekapannya, sebuah karung beras sepuluh kiloan ia bawa sebagai tanda kasih pada orang tua Seokjin karena diperbolehkan menumpang makan siang di sana.
"Astaga, Mas Juragan... Kok selalu repot-repot bawa sesuatu, to?" tanya Ibu Seokjin dengan ekspresi wajah keheranan.
Namjoon tertawa, ia mengucap permisi dan meletakkan karung beras tersebut ke dalam rumah seperti yang biasa ia lakukan saat membawakan sesuatu yang berat. "Ini sedikit dari hasil panen. Semoga bisa bermanfaat untuk keluarga, nggih."
Bapak Seokjin menepuk bahu Namjoon dengan pelan. "Padahal Bapak kemarin saja belum berterima kasih secara langsung ke Mas Juragan untuk motor yang dibiayai servisnya. Sekarang malah dibawakan beras segala," ujar pria tua itu sambil menggeleng takjub. "Matur suwun sanget, Mas Juragan, Semoga panen dari kebun, sawah dan kolam hasilnya banyak dan bagus semua."
"Amin... Nggih, Pak, sami-sami. Saya juga mau berterima kasih dibolehkan numpang makan siang di sini. Kalau ndak bawa apa-apa saya ya sungkan, Bu," jelasnya sambil menoleh ke arah Ibu Seokjin.
"Ya ndak apa-apa, wong Mas Juragan sudah kami anggap seperti anak sendiri."
Seokjin keluar dari dapur dengan apron yang masih membalut tubuhnya, tatkala samar-samar mendengar percakapan antara orang tuanya dengan Namjoon. Niat hati ingin mengajak Namjoon langsung ke ruang makan, Seokjin malah dikejutkan dengan keberadaan sekarung beras yang diletakkan Namjoon di samping karpet ruang keluarga.
"Lho, Mas? Sampeyan bawa apa, to? Aduh, aku ndak mau masakin kalau sampeyan begini terus..," keluh Seokjin sambil berkacak pinggang. Bukannya terlihat garang, pria cantik itu justru terlihat bagai seorang model yang tengah berpose.
"Wes, to, jangan ditolak. Anggap saja ikut nyicipin beras hasil panen dari sawah, pulen ndak nasinya besok sampeyan coba, nggih." Namjoon dan mulut manisnya masih terus berusaha membujuk Seokjin agar menerima pemberiannya yang menurutnya tak seberapa itu.
"Sudah... sudah... Mending sekarang kita ke ruang makan, keburu dingin nanti masakanmu," ajak sang ibu seraya menengahinya. Seokjin masih mengerucutkan bibirnya ketika berjalan lebih dulu menuju ruang makan.
Aroma rempah pedas yang menguar di ruang makan seakan menyambut kedatangan sang juragan muda. Pemandangan menu utama berupa spicy chicken wings yang tersaji di atas piring lonjong besar, membuat perut Namjoon seketika berbunyi keroncongan. Menciptakan tawa hangat yang menghibur.
"Bapak izin foto sebentar, ya? Nanti mau Bapak pamerin ke Taehyung biar dia cepet pulang," kelakar bapak yang jauh dalam hatinya tengah merindukan sang putra bungsu. Kemudian Namjoon menawarkan diri untuk menjemput Taehyung di stasiun menggunakan mobilnya apabila mahasiswa akhir itu berencana menyambangi rumah dan melepas rindu dengan kakaknya.
"Padahal aku juga bisa pesan mobil buat jemput Taehyung di stasiun," gumam Seokjin yang berhasil membuat Namjoon menoleh dan memicingkan matanya main-main. Juragan muda itu tampaknya tak setuju pada ide Seokjin barusan.
Setelah Bapak selesai mengabadikan momen kebersamaan mereka di meja makan, Sokjin berinisiatif mengambilkan nasi untuk Namjoon seperti yang baru saja dilakukan ibu untuk bapaknya. "Aku tadi juga masak pokcoy jamur saus tiram, Mas. Side dish-nya sayur, biar ada seger-segernya. Mau coba?"
Namjoon mengangguk antusias. Ia bahkan sanggup menghabiskan semuanya seorang diri jika sedang berada di rumah. Tapi, untuk saat ini yang terpenting bukan perutnya, melainkan kebersamaan dengan calon keluarga baru.
Mereka duduk di meja makan saling berhadapan, bersama-sama menikmati hidangan yang telah dimasak sendiri oleh Seokjin. Saat Namjoon mencicipi spicy chicken wings yang bertabur wijen di atasnya, mata pemuda itu langsung terbuka lebar pada kunyahan pertama. Namjoon dibuat terkejut oleh rasa yang begitu akrab di lidahnya.
"Wah, Mas Seokjin! Ini... ini rasanya persis seperti spicy chicken wings di restoran favorit yang sering aku kunjungi sewaktu masih kuliah di Surabaya. Sampeyan benar-benar berbakat menjadi seorang juru masak," puji Namjoon tulus, suaranya penuh dengan kekaguman.
Seokjin tersipu, namun senyum lebarnya tak bisa disembunyikan. Kedua orang tuanya pum berpandangan, mereka terlihat ikut bangga mendengar pujian sang juragan muda pada putra sulung mereka yang memang gemar memasak sejak masih sekolah. Sayang sekali, Seokjin dulu urung mengambil sekolah kejuruan tata boga karena memikirkan betapa banyaknya biaya yang dibutuhkan untuk membeli peralatan memasak dan bahan makanan tiap kali ada praktik.
Sekarang Seokjin bersyukur, dengan uang hasil jeri payahnya, ia bisa bebas pergi berbelanja bahan-bahan mahal dan menjajal menu-menu masakan menarik untuk dipraktikkan. Kini, hatinya juga menghangat melihat Namjoon dan kedua orang tuanya menikmati masakannya dengan lahap. "Terima kasih, Mas. Aku senang bisa membuat sampeyan bernostalgia."
Setelah acara makan siang bersama itu selesai, Namjoon bersikeras membantu Seokjin mencuci piring, meskipun Seokjin sudah mencoba mencegahnya berkali-kali. "Mas Namjoon, kamu 'kan tamu. Biarkan aku yang mengurus ini," tegur Seokjin sambil berusaha merebut spons pencuci piring dari tangan Namjoon.
Namun, Namjoon tetap teguh. "Aku ingin membantu. Lagi pula, kita bisa berbicara lebih banyak saat mencuci piring bersama." Mendengar alasan itu membuat Seokjin mengalah. "Lusa pas kondangan, aku jemput ya?"
Seokjin mendongak dengan sorot mata indahnya yang bercahaya, pria berparas cantik itu mulai tertarik pada topik obrolan yang Namjoon lontarkan. "Nggih, Mas. Pakai baju warna apa?" Seokjin berencana menyesuaikan warna yang sepadan dengan busana yang akan dikenakan sang juragan.
"Coklat? Krem? Perpaduan keduanya punya, ndak?" usul Namjoon sambil memandang lekat-lekat perubahan ekspresi di wajah Seokjin, pria cantik itu selalu membuatnya tertarik tanpa berusaha keras sekalipun.
Mengingat-ingat baju terbatas yang ia miliki, Seokjin pun tak yakin memiliki baju warna tersebut. "Nanti aku cek dulu, deh." Selama bekerja di kapal pesiar, Seokjin memang lebih sering mengenakan seragam. Saat ada waktu luang untuk berjalan-jalan atau pergi belanja juga jarang ikut karena harus benar-benar irit di negeri orang, sebab ada keluarga yang harus ia nafkahi tiap bulannya.
"Aku ngikut kamu juga ndak masalah, nanti kabarin lagi aja, okey?" tawar Namjoon berusaha membuat semuanya lebih mudah untuk Seokjin, sehingga pria ayu di sampingnya mengangguk kecil dengan sepasang mata yang ikut tersenyum.
Sementara itu, kedua orang tua Seokjin sibuk melayani tamu yang datang untuk mengambil pesanan ayam potong untuk hajatan. Meninggalkan Namjoon dan Seokjin yang kini bersantai sejenak di ruang keluarga, menyaksikan televisi yang tengah menyiarkan acara berita siang.
Namjoon dengan perutnya yang terasa kenyang merasa kantuk yang tak tertahankan. Lantas, ia meminta izin untuk menumpang tidur siang sebentar sebelum kembali ke kolam. "Tolong bangunkan aku satu jam lagi, ya?" katanya sambil tersenyum lelah, matanya pun mulai meredup tak lama berselang.
Namjoon merebahkan tubuhnya di atas sofa sempit. Meski begitu, dalam sekejap mata, ia sudah pulas. Seokjin yang duduk di dekatnya, memperhatikan wajah sang juragan muda yang terlihat damai dalam tidurnya. "Dia pasti kelelahan tiap hari bangun pagi buta dan berkeliling ke semua kolamnya," gumam Seokjin sebelum beranjak ke dapur untuk membungkus sisa masakan di wajan untuk dibawa Namjoon pulang.
Seokjin akan memintanya menyimpan masakan tersebut ke dalam lemari es agar bisa dipanaskan oleh pembantu Namjoon di esok hari, jika pemuda itu tak bisa melakukannya sendiri malam ini.
Bersamaan dengan kegiatannya di dapur, Seokjin dengan suara bisik-bisik yang semakin mendekat. Ternyata tamu ibunya juga ikut pergi ke dapur untuk mengambil pesanan ayam potong, sebuah kebiasaan orang desa yang sulit dipahami oleh Seokjin. "Mau nyobain, Bu?" tawar Seokjin dengan ramah saat wanita tua itu membuka penutup wajan berisi dua jenis masakan yang Seokjin buat untuk Namjoon tadi.
"Ndak, cuma pengen lihat aja. Lagian 'kan sampeyan masak buat Mas Juragan, saya ya sungkan mau nyicipin."
Seokjin hanya tersenyum tipis menanggapinya. Berharap tamu yang bersikap lancang di dapur rumahnya itu lekas pergi sebelum membuat tidur Namjoon terganggu. Dan benar saja, saat melewati ruang keluarga tempat Namjoon tidur, orang itu justru mengarahkan kipas angin ke wajah Namjoon. "Biar ndak gerah," ujarnya sebelum berpamitan pulang.
Meski kesal sekali dengan tindakan tersebut, Seokjin hanya bisa mengelus dadanya. Ternyata masih banyak orang yang tidak tahu kalau mengarahkan kipas angin langsung ke tubuh tidak baik untuk kesehatan.
Angin dari kipas setinggi perut orang dewasa itu bertiup agak kencang, membuat poni Namjoon sedikit berantakan. Seokjin mendekat dengan hati-hati, ia membetulkan poni Namjoon menggunakan jari-jari lentiknya, hingga ia menyadari bahwa kelopak mata Namjoon perlahan setengah terbuka.
"Aku kangen banget sama kamu," bisik Namjoon dengan suara serak. "Aku sedih waktu tahu kamu merantau jauh, kenapa ndak pamit dulu?" Pertanyaan yang terucap dari mulut Namjoon yang setengah sadar itu membuat Seokjin terdiam, hatinya tercubit nyeri mengingat Bapak pernah bercerita tentang Namjoon yang datang ke rumah mereka sambil membawa hasil rapor yang sempurna.
Namjoon kala itu berhasil memenuhi syarat untuk lompat kelas, sehingga ia ingin mengabari Seokjin secepatnya. Dengan masih mengenakan seragam lengkap, Namjoon datang mengendarai sepeda. Bermaksud ingin membuat guru lesnya bangga, Namjoon justru dihadapkan dengan fakta mengejutkan yang membuatnya sedih.
Seokjin sudah pergi jauh meninggalkan kampung halaman mereka dan tidak pernah pulang selama bertahun-tahun lamanya. Tanpa pernah mengucap kata pamit yang membuat Namjoon tersadar jika hubungan mereka tidak sedekat yang ia kira. Bahkan, ia tidak sempat berterima kasih pada Seokjin yang sudah membimbingnya hingga bisa bersekolah di SMA unggulan dan akan masuk kelas akselerasi.
Seokjin terduduk lemas di lantai samping sofa tempat Namjoon berbaring. Hatinya dipenuhi perasaan berkecamuk yang sulit dijelaskan. Namun, sebelum Seokjin sempat merespon, Namjoon kembali mendengkur lirih dengan mulut terbuka kecil. "Ngeselin banget kamu, Mas..," desis Seokjin sambil mencubit pucuk hidung Namjoon dengan lembut. Bagaimana bisa sang juragan kembali terlelap setelah membuat Seokjin kelimpungan?
To be continue
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
