

Halo, akhirnya debut juga kisah cinta Den Dio ini. Sengaja aku posting di karyakarsa karena cerita beliau sedikit berbeda dari cerita temannya yang freak itu—Jeffrey. Di sini full narasi, ya. Tapi, nanti sesekali biar ku buat konten singkatnya di akun Instagram @sideofcak atau Tiktok @cakgrays
Semoga kalian juga suka sama karyaku yang satu ini, ya. Aku usahakan untuk rajin update. Jangan lupa tinggalin jejak kalian, seperti like & comment.
Happy reading!!!


Di bawah sinar bulan yang pucat, Ana berdiri di ambang kamar yang selama tujuh belas tahun terakhir, sudah menjadi saksi bisu dari kehidupan yang ia bangun bersama Dio. Udara malam terasa dingin di kulitnya, menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma samar tanah basah dan bunga mewar yang tumbuh di tepi halaman rumah mereka. Cahaya lampu kamar yang temaram, seakan mendukung kegelisahannya malam ini. Di tangannya, sebuah kalender ia genggam erat, jari-jarinya yang ramping dan
sedikit gemetar menyentuh angka-angka yang tertera di sana—tujuh belas tahun, sebuah rentang waktu yang terasa begitu panjang namun sekaligus singkat, seperti embusan angin yang datang dan pergi begitu saja.
Ana menatap kalender itu lamat-lamat, matanya yang cokelat lembut berkaca-kaca, menangkap pantulan dirinya sendiri di kaca jendela yang tak tertutup oleh tirai kamar—wajahnya masih sangat menawan, tanpa garis-garis halus mulai muncul di sudut mata serta hidungnya. Rambut Ana yang hitam panjang tergerai sedikit berantakan. Tanpa disadari, setetes air mata lolos dari pelupuknya, meluncur perlahan di pipinya yang pucat, meninggalkan jejak basah yang dingin sebelum akhirnya jatuh ke lantai marmer di bawah kakinya. Ia tersenyum masam, sebuah senyum yang penuh luka namun tetap menyimpan kelembutan, lalu mengedarkan pandangannya ke seisi kamar—lemari besar hadiah pernikahan dari sang ibu mertua, ranjang besar dengan selimut abu-abu tua, dan sebuah meja rias yang terletak di sisi kiri ruangan. Setiap sudut ruangan itu seolah berbisik tentang tahun-tahun yang telah mereka lewati bersama, tentang tawa yang tak pernah menggema, tentang keheningan yang sering kali lebih keras dari kata-kata, dan tentang rahasia yang selalu ada di antara mereka.
Tujuh belas tahun—satu dekade, ditambah beberapa tahun yang terasa menyesakkan—bersama Dio, pria yang ia cintai dengan seluruh jiwanya, pria yang telah menjadi bagian dari dirinya, namun tak pernah benar-benar menjadi miliknya sepenuhnya. Ana menutup mata sejenak, mencoba menahan gelombang emosi yang meluap di dadanya, sebuah campuran antara cinta, penyesalan, dan kelelahan yang tak pernah ia ucapkan. Di balik kelopak matanya yang tertutup, ia dapat melihat Dio—tatapan matanya yang terasa hangat juga dingin di satu waktu, senyum kecilnya yang jarang muncul, dan tangan-tangannya yang besar namun tak pernah benar-benar menyentuhnya dengan cinta yang ia dambakan selama ini. Tujuh belas tahun mereka habiskan untuk menipu dunia—keluarga, teman, bahkan Zaid—putra mereka—dengan kisah kehangatan rumah tangga yang sebenarnya rapuh, seperti kaca yang retak di bawah tekanan waktu.
Kini, di malam yang sunyi ini, Ana tahu bahwa semuanya akan berakhir. Ia harus melepaskan Dio, melepaskan kehidupan yang selama ini ia pertahankan dengan susah payah demi sebuah janji yang ternyata kosong. Tangan Dio yang pernah ia genggam erat di hari pernikahan mereka—yang pernah ia harapkan akan menjadi pelindungnya, kini terasa seperti bayangan yang tak pernah benar-benar ada. Ana membuka mata, menatap pintu kamar yang tertutup rapat, pintu yang selama ini menjadi batas antara dunia luar yang penuh sandiwara dan dunia dalam yang penuh kebenaran pahit. Ia tahu, di balik pintu itu, Dio akan segera muncul—mungkin dengan keringat di dahinya setelah bermain tenis bersama Zaid, dan dengan napas tersengal yang sama seperti biasanya—Ana harus menghadapinya, harus mengucapkan kata-kata yang selama ini ia simpan di sudut terdalam hatinya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
