Pengantin Pengganti (Chapter 1)

9
23
Deskripsi

Alula tiba-tiba saja dijodohkan dengan Arka dan dia tak suka, sehingga permintaan untuk bertukar peran pun dilontarkannya pada Aludra sang saudara kembar~

***

"Apa? Nikah?"

Di sebuah restoran ternama, saat mereka makan malam keluarga, sang Papa melontarkan ucapan yang membuat Alula menghentikan kegiatan makannya. Dia menatap sang Papa juga Pria paruh baya yang duduk di depannya secara bergantian.

Tak ada angin, tak ada hujan, Dewa—sang papa, tiba-tiba saja menjodohkan Alula. Pria itu bernama Arka, yang malam ini kebetulan ikut hadir di acara makan malam.

Selain keluarga Dewa, ada juga keluarga Arka datang, meskipun tanpa ibunya. Dirga, ayah Arka, ternyata sudah merencanakan perjodohan ini sejak lama. Bagi Dewa, sifat Arka yang rajin, penurut, juga pintar dalam segala hal rasanya sangat cocok dengan putri sulungnya Alula yang memiliki sifat serupa.

Alula dan Arka akan menjadi pasangan yang serasi dan rumah tangga keduanya pasti akan sangat tertata, begitulah yang dipikirkan Dewa ketika merencanakan perjodohan ini.

Berbeda jika dia menjodohkan Arka dengan Aludra—putri bungsunya yang luar biasa pemalas. Ah, membayangkan Arka menjadi suami Aludra saja, Dewa tak berani.

"Iya, satu bulan lagi kamu nikah sama Arka," jawab Dewa yang membuat Alula semakin terkejut.

"Pa, ini Papa lagi ngeprank?" tanya Alula—masih dengan wajah terkejutnya, dengan keputusan yang tiba-tiba saja diambil sang Papa, karena sebelumnya tak pernah sekali pun dia mendengar akan dijodohkan dengan siapapun.

Lagipula, Alula sudah memiliki kekasih. Selain itu, dia juga berniat mengambil pendidikan lanjutan tentang ilmu design ke London.

"No, Papa serius," jawab Dewa. Dari Alula, dia mengalihkan pandanganya ke arah Dirga juga Arka yang duduk di depan mereka. "Rencana perjodohan ini sebenarnya sudah lama kami buat, tapi Papa sengaja enggak kasih tahu supaya jadi kejutan."

"Iya," jawab Dirga. "Kamu tenang saja Alula, anak Om pria yang bertanggungjawab. Enggak perlu khawatir."

"Iya kamu tenang saja, Saya pria baik-baik," ucap Arka yang ikut meyakinkan Alula agar percaya padanya. Namun, respon yang diberikan Alula tetap saja tak baik.

"Ya bukan masalah tanggungjawab apa enggak, tapi ini dadakan banget, lho," ujar Alula yang masih tak terima. "Kalian pikir aku ini ayam, apa? Main nikahin aja sembarangan."

"Udah sih, terima aja, orang calon suaminya ganteng," ucap Aludra santai. Berbeda dengan saudara kembarnya yang terlihat kesal, Aludra justru sebaliknya. Dia tetap santai menyantap makanannya ketika yang lain bahkan berhenti.

"Apa sih, Ra? Coba deh kamu yang ada di posisi aku, dijodohin secara mendadak. Mau, enggak?" tanya Alula sewot.

"Ekhem." Arka berdeham lalu kembali angkat bicara ketika mendapati perempuan yang akan menjadi istrinya itu masih tak terima dengan perjodohan ini. "Ya sudah kalau Alula belum siap, pernikahannya bisa ditunda sampai siap, Om. Saya juga enggak mau maksa Alula menikah, kalau dia enggak mau."

"No, Arka," tolak Dewa dengan segera. "Alula bukan enggak siap, hanya sedikit kaget saja."

"Tapi Alula memang sepertinya terlihat belum siap, Om," ucap Arka pesimis.

"Iya," desah Alula. "Alula emang enggak siap."

"Alula," tegur Dewa—disetai tatapan tajam yang membuat putrinya itu tak berkutik.

"Enggak nyangka sebentar lagi punya Kakak ipar," celoteh Aludra—masih dengan segala sikap santainya. Sambil mengunyah makanan di mulut, dia menatap Arka. "Mana Kakak iparnya ganteng, lagi."

Arka tersenyum samar ketika tatapannya beradu dengan Aludra. Dalam hati dia mengucap syukur karena yang dijodohkan dengannya itu Alula, bukan Aludra yang katanya memiliki sifat yang begitu pemalas.

"Pokoknya sesuai rencana yang sudah kita buat ya, Pak Dirga," ucap Dewa—kembali pada pembahasan pernikahan yang rencananya akan digelar dua minggu lagi.

"Iya, Pak Dewa. Sesuai rencana saja," ucap Dirga.

"Arka, tenang saja. Anak Om, baik," ucap Dewa. "Sekali lagi, Alula bukan enggak siap, cuman sedikit kaget aja karena ini dadakan."

"Semoga saja, Om," jawab Arka. "Tapi jika memang Alula belum siap, saya enggak akan memaksa. Saya bisa menunggu. Om tenang saja."

Berbeda dengan pria lain yang akan menolak ketika dijodohkan, Arka memang memilih untuk menurut. Cukup baiknya hubungan dia dengan sang papa, membuat Arka yakin jika pilihan Dirga adalah yang terbaik untuknya.

Selain itu, Arka juga sudah mendapatkan bocoran tentang bagaimana sifat dan sikap calon istrinya yang kebetulan sesuai dengan kriteria dia dalam mencari pasangan.

"Enggak ada nunggu, Om mau kamu nikahin Alula secepatnya," kata Dewa. "Om enggak mau kehilangan calon menantu hebat seperti kamu."

"Om terlalu berlebihan dalam memuji, saya enggak sehebat itu," ucap Arka.

"Pokoknya kamu tetap harus nikahin anak Om, oke?"

"Iya, Om."

Pembahasan berlanjut, Alula hanya diam ketika Dewa terus membahas persiapan pernikahannya dengan Arka, sementara Aludra? Tentu saja dia tak ambil pusing dan memilih menikmati makan malamnya.

Namun, diamnya Alula bukan berarti dia menerima, karena di rumah saat mereka baru saja sampai, Alula langsung melayangkan kembali protesan pada Dewa.

"Pokoknya Alula enggak mau nikah sama laki-laki itu, Pa," ucap Alula sesaat setelah dia menghempaskan tubuhnya di sofa, diikuti Aludra yang melakukan hal serupa. "Alula mau lanjutin pendidikan ke London, Alula udah daftar."

"Terus kamu mau mempermalukan Papa dengan batalin pernikahan ini, iya?" tanya Dewa.

"Ya suruh siapa main jodoh-jodohin aja?" tanya Alula.

"Dengar Alula, Arka ini laki-laki baik," ucap Dewa. "Papa jamin kamu enggak akan menyesal kalau nikah sama dia."

"Enggak peduli, Pa. Mau sebaik apapun dia, Alula enggak mau," tolak Alula untuk yang kesekian kalinya. "Lagian kenapa enggak Aludra aja sih, Pa? Laki-laki itu juga pasti bakalan mau kok sama Aludra. Wajah kita kan sama."

"Jangan banyak melawan, Alula. Ikuti aja perintah Papa. Lagipula Aludra sangat enggak mungkin nikah dalam waktu dekat. Kamu tahu sendiri gimana dia."

"Good," ucap Aludra yang bahkan tak tersinggung sama sekali dengan ucapan sang mama. "Papa emang paling ngerti Rara."

"Udah deh ya, daripada protes, lebih baik kamu masuk kamar, istirahat. Satu bulan lagi pesta, kamu harus jaga kesehatan," pinta Dewa. "Papa mau istirahat dan nemuin Mama buat bicarain semuanya.

"Papa," desah Alula yang diabaikan Dewa.

Alih-alih menanggapi Alula, Dewa justru pergi menuju kamar untuk menemui sang istri yang memang tak ikut di acara makan malam karena sedang tak enak badan.

"Ih enggak bisa! Aku enggak mau nikah dan enggak akan nikah sebelum cita-cita aku tercapai," ujar Alula ketika kini di ruang tamu hanya ada dia dan Aludra.

Terdiam sejenak, sebuah ide tiba-tiba saja melintas di benak Alula. Cukup gila, tapi sepertinya inilah jalan keluar satu-satunya agar Alula tak harus menikah dengan Arka. Ya, tak ada cara lain lagi.

"Aludra," panggil Alula pada sang adik yang hampir saja terlelap.

"Apa?" tanya Aludra. "Ganggu aja, orang baru mau tidur."

"Ikut Kakak," ucap Alula.

"Ke mana?"

"Ayo ikut aja!" ujar Alula lagi yang tanpa ragu menarik tangan Aludra menuju tangga. Tarikan di tangannya cukup erat juga Alula yang berlari, membuat Aludra mau tak mau ikut berlari agar bisa menyesuaikan langkah.

"Mau ke mana sih, Kak?!"

"Ikut aja."

Sampai di lantai dua, Alula membawa Aludra ke kamarnya. Sebelum mengutarakan ide gilanya, Alula mengunci pintu agar aman.

"Apa, sih?" tanya Aludra.

"Ra, kamu sayang enggak sama Kakak?" tanya Alula tanpa basa-basi.

"Sayang Kak, sayang banget," ujar Aludra.

"Kalau sayang,  kamu mau kan tolongin Kakak?" tanya Alula.

Aludra yang duduk di pinggir kasur, menaikkan sebelah alisnya. "Bantuin apa?" tanyanya.

"Kamu ...." Alula menjeda ucapan lalu duduk di depan Aludra. "Mau ya gantiin Kakak buat nikah sama Arka?"

"Hah?!" Kaget dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Alula, Aludra memekik bahkan dia membulatkan matanya. "Kakak gila?! Gimana caranya, Kak?!"

"Caranya gampang, Ra. Kita cuman perlu tukeran posisi sama identitas. Kamu jadi Kakak, dan Kakak jadi kamu. Mau ya?"

"Sinting ya?" tanya Aludra. "Enggaklah! Aku enggak mau. Terlalu gila tau enggak sih, Kak. Ide Kakak tuh. Udahlah, terima aja. Nikah sama Arka terus lupain pendidikan design yang Kakak maksud. Enggak penting juga, kan?"

"Kok enggak penting sih, Ra?" tanya Alula. "Pendidikan design itu penting banget buat Kakak, Ra. Kakak juga udah bayar semuanya, lunas. Kamu tahu sendiri, kan, Kakak pengen jadi designer? Ayolah, Ra. Tolongin Kakak. Katanya sayang?"

"Ya tapi ini gila, Kak Lula!" ujar Aludra. Tak mau mendengar lagi ucapan gila sang Kakak, Aludra beranjak dari kasur. "Udahlah, daripada makin ngaco, kakak mending tidur. Aku juga mau tidur, ngantuk."

"Rara."

"Enggak waras," celetuk Aludra yang langsung berjalan menuju pintu. Namun, langkahnya terhenti ketika Alula memanggilnya.

"Kalau kamu enggak mau, Kakak mendingan mati aja, Ra. Kakak mau jadi designer, dan Kakak enggak mau nikah," ucap Alula.

"Terserah!" jawab Aludra tanpa menoleh, hingga rintihan Alula membuatnya berbalik dan tentunya dia terkejut melihat Alula menggoreskan pisau cutter pada pergelangan tangannya. "Kakak ngapain, Kak?!"

Aludra berlari menghampiri Alula—berniat untuk mengambil pisau cutter tersebut dari tangan sang kakak. Namun, gagal karena Alula memegang pisau tersebut dengan sangat erat.

"Kak Lula jangan gila, Kak!"

"Kakak lebih baik mati aja, Lu!"

"Kak Lula, sadar!"

Alula mendongak—menatap Aludra dengan wajah memelas. "Ra, please gantiin Kakak, Ra," lirihnya sambil terisak, sementara kedua tangan kanannya setia memegang cutter.

"Kak, itu gila, Kak."

"I know, Ra, tapi please. Bantuin Kakak," ucap Alula. "Atau kamu emang seneng lihat Kakak mati, supaya kamu enggak ada saingan, iya?"

Aludra menggeleng. "Enggak Kak, enggak gitu," ucapnya.

"Ya terus kenapa kamu enggak mau nolongin Kakak buat gantiin nikah sama Arka?"

"Ya karena Papa jodohinnya sama Kakak, bukan sama aku," ucap Aludra.

"Persetan sama semua itu," desis Alula. "Kalau kamu sayang sama Kakak, kamu enggak akan banyak mikir buat bantu Kakak. Kamu emang enggak sayang sama Kakak, Ra! Kakak tahu itu. Udahlah, kakak mending mati aja kalau gini!"

"Kak Lula, enggak!" bentak Aludra yang sigap menahan tangan Alula yang berniat lagi menggoreskan cutter.

"Please, Ra. Gantiin Kakak," lirih Alula.

"Kak Lula."

"Kamu harapan Kakak satu-satunya, Ra. Mau kan, Ra? Mau ya?"

"Tapi kan, Kak."

"Aludra Raveena, please. Mau ya?"

Aludra memandang Alula dengan lekat untuk beberapa detik. "Kak."

"Kenapa? Kamu mau?"

"Aku ... A-aku ...."


                                                          ***

***

"Mbak, tolong nanti di curlynya miripin sama punya saya, ya."

Petugas salon yang saat ini sedang mengurus Aludra l mengangguk, ketika permintaan tersebut dilontarkan Alula yang setia berdiri di samping yang adik yang mau tak mau, menjalani semua treatment sebelum mengubah model rambut.

Aludra yang sangat menyangi Alula akhirnya  mengikuti permintaan gila sang kakak untuk bertukar peran.

Aludra akan menjadi Alula dan menikah dengan Arka, sementara Alula akan menjadi Aludra untuk sementara waktu.

Ya, sesuai perjanjian yang dibuat, Aludra dan Alula akan bertukar peran selama dua tahun—setidaknya sampai Alula menyelesaikan pendidikannya. Setelah nanti Alula lulus, Aludra akan meminta Alula kembali menjadi dirinya sendiri dan Aludra akan menjalani hidupnya lagi seperti semula.

"Siap, Mbak. Habis ini proses curly," jawab sang petugas salon yang terlihat begitu telaten mengurus rambut coklat Aludra yang masih lurus.

Kembar identik, Alula dan Aludra memiliki kemiripan hampir sembilan puluh sembilan persen. Selama ini, yang membuat mereka berbeda adalah model rambut. Alula mempunyai model rambut yang curly, sementara Aludra yang sangat malas repot memiliki model rambut lurus—bawaan lahir.

"Ribet," keluh Aludra yang sudah mulai bosan duduk di kursi. "Kenapa harus curly segala sih, Kak?"

"Biar Mama sama Papa yakin kalau kamu Alula, Ra," ujar Alula. "Kan selama ini selain tahi lalat yang ada di belakang telinga kamu, Mama bedain kita dari model rambut."

"Yakin Mama bakalan percaya?"

"Yakin," jawab Alula "Percaya sama Kakak."

Proses demi proses dilakukan, rambut Aludra akhirnya selesai di curly dan ketika berdiri di depan cermin berdua, Alula mengukir senyum tipis saat melihat Aludra sudah persis seperti dirinya.

"Rara cantik, persis kaya Kakak," ucap Alula bahagia.

"Terserah," jawab Aludra malas. "Udah buruan, aku mau pulang."

"Oke-oke, sebentar adik manis."

Selesai mengurus Aludra, kini giliran Alula yang meluruskan rambutnya dan untuk meluruskan rambut, petugas salon tak membutuhkan waktu yang lama untuk melakukannya, karena kini—setelah setengah jam, rambut Alula lurus seperti rambut Aludra.

"Hai, aku Aludra," ucap Alula—menggoda Aludra yang sudah duduk di jok mobil bagian kanan, sementara Alula duduk manis di depan kemudi—siap menjalankan sedan putih yang dia bawa.

Satu hari menjelang pernikahan, sebenarnya Dewa sudah melarang Alula untuk berpergian. Namun dengan alasan ingin menghabiskan waktu bersama, pada akhirnya Alula dan Aludra bisa keluar rumah dengan syarat; tak boleh sampai sore, dan beruntung,

Tepat pukul dua siang, Aludra dan Alula sudah sampai kembali di rumah.

"Ra, ingat ya. Kamu sekarang Alula," ucap Alula memperingatkan, sebelum keduanya turun dari mobil.

"Iya Kak, bawel banget," keluh Aludra jengah. Sungguh, jika Alula tak mengancam bunuh diri, Aludra malas sekali melakukan semua ini.

Sial, rasa sayang Aludra pada Alula memang begitu besar sampai-sampai dia mau mengabulkan permintaan gila sang kakak untuk menikah dengan pria yang bahkan masih asing baginya.

"Kakak takut kamu lupa," ucap Alula. "Kamu, kan, pelupa."

"Enggak akan."

"Ya udah syukurlah kalau begitu," ujar Alula. Dia kemudian melepas safetybeltnya. "Ayo turun."

"Hm." Aludra bergumam pelan lalu membuka pintu mobil. Namun, panggilan sang kakak membuatnya terdiam.

"Alula," panggil Alula pada Aludra. Namun, Aludra tak menoleh. "Ra, noleh dong."

Aludra menoleh lalu memandang Alula dengan malas. "Apa?" tanyanya.

"Jangan lupa," kata Alula—memperingatkan untuk yang kesekian kalinya.

"Iya."

Aludra dan Alula turun dari mobil lalu berjalan sambil berpegangan tangan dan di ruang tamu, keduanya langsung disambut Aurora—sang mama, yang datang dari dapur.

"Rara, Lula, kalian dari mana aja?" tanya Aurora sambil melangkahkan kaki mendekat dan tentu saja semua itu membuat Alula tegang sendiri, ingin segera tahu respon Aurora dengan pertukaran ini dan kepalan tangan langsung digerakkan Alula ketika Aurora mendekat pada Aludra dan memanggil namanya.

"Besok kamu nikah Lu, jangan keliaran terus," kata Aurora pada Aludra. "Dari mana sih, kalian?"

"Dari salon," jawab Aludra singkat. "Ra ... eh, Lula capek, Ma. Mau ke kamar."

"Rara juga," sahut Alula.

"Ya sudah sana ke kamar," kata Aurora dan tentunya dengan segera Aludra dan Alula melangkahkan kaki menuju tangga. Namun, langkah mereka sama-sama terhenti ketika Aurora kembali memanggil nama Alula.

"Alula."

"Noleh, Ra," perintah Alula pada sang adik dan Aludra pasrah menoleh.

"Ya, Ma?" tanya Aludra—masih dengan raut wajah malasnya.

"Di kamar kamu ada oleh-oleh dari orang tua Arka," kata Aurora. "Katanya buat calon mantu."

"Oke," jawab Aludra singkat.

"Jangan lupa istirahat biar besok fit ya, Lu."

"Iya, Ma."

"Ya udah sana ke kamar."

Aludra dan Alula kembali berjalan menaikki satu-persatu anak tangga menuju kamar mereka di lantai dua, hingga persis di pertengahan tangga mereka berpapasan dengan Dewa yang turun sambil membawa cangkir kosong.

"Anak-anak gadis habis dari mana? Kalian tahu enggak Mama khawatir?" tanya Dewa. Dia kemudian memandang Aludra lalu tanpa ragu menyentil dahi sang putri. "Kamu juga. Calon pengantin tuh diam di rumah. Bukan kelayaban.  Emang ya anak zaman sekarang susah diatur."

"Kak Lula mungkin bosen, Pa." Bukan Aludra, jawaban tersebut tentu saja berasal dari Alula yang semakin merasa bahagia karena pertukaran mereka sukses total.

Jika kedua orang tua mereka saja tertipu, bukankah orang lain pun—terlebih Arka yang baru bertemu satu kali dengan Alula akan ikut tertipu?

Yeah! Alula yang sempat merasa risau selama beberapa minggu terakhir akhirnya bisa bernapas lega juga karena sekolahnya ke luar negeri tak akan batal.

Berkat Aludra—si adik kesayangan yang selalu melakukan apapun demi dirinya, Alula bisa menempuh pendidikan lanjutannya di London dengan tenang.

Ah, Alula sudah tak sabar.

"Bisa jadi," jawab Dewa. Dari Aludra, Dewa mengalihkan pandangannya pada Alula yang saat ini sudah berperan menjadi Aludra. "Oh ya, Rara cantik. Papa mau tanya sekali lagi boleh?"

"Boleh, Pa. Mau tanya apa?"

"Rara serius mau gantiin Kak Lula ambil pendidikan design di London?" tanya Dewa. "Jauh lho, London itu. Bisa emangnya hidup sendiri di sana? Papa khawatir. Kamu mageran soalnya."

Kendati pertukaran peran baru dilakukan sehari sebelum pernikahan, urusan pendidikan Alula yang terlanjur dibayar, sudah diurus jauh-jauh hari. Dewa dan Aurora memang sudah setuju Aludra menggantikan Alula sekolah di London.

Alula tersenyum. "Yakin, Pa," jawabnya. "Sayang kalau enggak diambil, Kak Lula kan dapatinnya susah payah, masa mau dilepas gitu aja?"

"Nyenyenye," cibir Aludra dengan suara sepelan mungkin.

"Ya sudah kalau kamu yakin," kata Dewa sambil mengusap bahu. "Semoga sekolahnya lancar nanti."

"Iya, Pa."

Selesai berbincang dengan Dewa, Alula yang sangat bahagia langsung menarik Aludra menuju kamarnya dan di sana Alula berpesta.

"Yes! Kita berhasil, Ra!" ujar Alula antusias. "Sandiwara kita berhasil! Kakak bisa sekolah ke luar negeri. Ah, akhirnya!"

"Puas?" tanya Aludra sambil menaikkan sebelah alisnya dan dengan wajah tanpa dosanya, Alula mengangguk.

"Banget, Ra! Puas banget!"

Aludra tersenyum miring. "Puas juga karena udah ngorbanin aku untuk yang kesekian kalinya, kan?"

Senyuman Alula luntur. Dia memandang Aludra dengan tatapan intens. "Jadi kamu enggak ikhlas lakuin ini buat Kakak?" tanyanya. "Jadi kamu mau lihat Kakak mati aja, jadi kamu emang sayangnya pu-"

"Ssst." Aludra mendesis. "Berisik, Kak. Aku pusing dengar suara Kakak."

"Ra."

Aludra menghempaskan tubuhnya di kasur Alula lalu tanpa ragu berteriak. "Ikhlas, Kak! Aku ikhlas!"


                                                       ***

***

"Cantik. Riasannya sudah selesai ya, Mbak. Nanti tinggal tunggu arahan dari pembawa acaranya aja."

"Iya."

"Kalau begitu saya permisi dulu."

"Hm."

Memandangi pantulan wajahnya yang sudah dirias makeup, Aludra mengukir senyum tipis. Seperti alien. Begitulah yang dia pikirkan ketika melihat penampilannya yang terbilang cukup merepotkan.

The Day. Setelah beberapa minggu persiapan, pernikahannya dengan Arka digelar pagi ini—ralat, sebenarnya ini bukan pernikahan Aludra, melainkan pernikahan Alula.

Ya, tentu saja. Mulai dari undangan, souvenir, bahkan data-data pernikahan, semuanya atas nama Alula, bulan Aludra. Di sini, jika diibaratkan film, Aludra hanyalah stuntman yang bertugas untuk menggantikan si pemeran utama sesungguhnya.

Yang membedakan adalah; Aludra menggantikan Alula bukan untuk melakukan adegan berbahaya, melainkan untuk menikah. Tunggu! Bukankah menikah juga berbahaya? Bukankah setelah menikah nanti akan ada malam pertama?

Ah, shit! Setelah berminggu-minggu setuju, kenapa Aludra baru memikirkan itu sekarang? Mengapa dia melupakan malam pertama pengantin baru. Padahal, itu termasuk bagian penting dalam pernikahan.

"Aludra," desah Aludra—masih tetap memandangi wajahnya sendiri di cermin. "Malam pertama nanti kamu harus ngapain? Tidur? Ah, tapi biasanya lebih dari itu."

"Halo, Cantik."

Sedikit tersentak, Aludra menoleh ketika pintu kamar hotel yang dia tempati sekarang terbuka. Bukan Aurora—sang mama, yang datang menghampirinya adalah Alula yang pagi ini sudah cantik dengan sanggul sederhana juga kemeja brukat coklat muda yang dikombinasikan dengan kain kebat senada.

"Apa?" tanya Aludra ketus. "Seneng, hm? Seneng karena Kakak enggak jadi duduk di sini, iya?"

"Sssst." Meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, Alula berjalan mendekati Aludra lalu berdiri persis di belakang kursi yang diduduki sang adik.

Tersenyum, Alula cukup pangling dengan Aludra yang kini cantik dengan riasan pengantin khas sunda. Siger juga bunga melati yang melekat begitu cantik di wajah Aludra.

"Cantik banget kamu, Ra. Kakak sampai pangling," puji Alula dan Aludra hanya menjawabnya dengan gumaman. "Bete gitu mukanya? Kenapa, sih?"

"Masih tanya?" tanya Aludra.

"Ra," panggil Alula. "Senyum dong."

"Males," jawab Aludra.

"Ih kamu gitu," ucap Alula. "Besok kakak berangkat ke London, kamu harus baik sama Kakak, kan kita mau pisah lama."

"Bodo amat sih," jawab Aludra cuek. Entahlah, sekarang dia menyesal sendiri karena sudah menyetujui rencana gila sang kakak untuk bertukar peran, karena nyatanya jadi Alula itu sangat tidak enak.

Baru sejak kemarin mereka bertukar peran, rasanya Aludra lebih suka jadi dirinya sendiri yang setiap hari hanya menghabiskan waktu dengan tiduran dan menonton drama korea.

"Rara cantik ih," bujuk Alula.

"Apa, sih?"

"Senyum," pinta Alula. "Masa mau keluar dengan wajah asem kaya gini?"

"Kakak tau enggak kalau bulu mata palsu ini bikin mata aku perih? Kakak tahu enggak lipstiknya bikin aku risih?" tanya Aludra. "Udah deh, jangan banyak request. Udah syukur mau ditolongin. Kalau mau, aku bisa lho bongkar semuanya sekarang."

"Ra, jangan dong. Semuanya udah berjalan lancar, Mama sama Papa udah percaya, masa mau dirusak?" tanya Aludra.

Dengan segala kepintaran Alula, dia berhasil meyakinkan kedua orang tuanya agar mengizinkan dia pergi ke luar negeri untuk sekolah design—dengan alasan menggantikan dirinya sendiri. Ya, sejak kemarin keduanya memang sudah mulai bertukar peran.

Bermodalkan model rambut mereka yang ditukar, Alula dan Aludra berhasil mengelabui semua orang, karena memang selama ini hanya rambutlah yang membedakan keduanya selain tahi lalat di belakang telinga yang dimiliki Aludra, tapi tak dimiliki Alula.

Selagi tahi lalat Aludra tetap tersembunyi dan tak dilihat siapapun maka semuanya aman. Semua orang tetap akan mengenalinya sebagai Alula si sulung yang pintar.

"Ya udah makanya diem, enggak usah banyak ngomong," ucap Aludra. "Enggak nyaman tau ini makeup."

"Iya deh iya."

"Mbak Lula, acaranya dimulai ayo."

Sama-sama menoleh, Aludra dan Alula memandang sang MUA yang akan membawa pengantin perempuan memasuki area akad karena Aurora dan Dewa sudah lebih dulu di sana untuk menyambut kedatangan keluarga besar mempelai pria yang baru saja datang beberapa menit lalu.

"Sekarang?" tanya Aludra.

"Iya sekarang."

"Oke."

Dibantu Alula dan sang MUA, Aludra beranjak dari kursi lalu melangkahkan kakinya menuju area akad yang dilaksanakan di kawasan outdoor.

Memakai adat sunda karena Arka asli Bandung, Aludra berjalan menyusuri karpet merah menuju meja akad diiringi musik gamelan.

Gugup? Tentu saja. Melihat para tamu yang fokus memandanginya membuat Aludra risih dan ingin pingsan saja rasanya. Berbeda dengan Alula yang memiliki sikap extrovert yang cukup aktif, Aludra memang termasuk pada golongan orang-orang introvert yang tak terlalu suka bergaul.

Sehari-hari pekerjaannya adalah tidur, bangun, mandi, makan, menonton lalu tidur lagi. Begitulah Aludra dan tentu saja tak salah, jika Dewa lebih memilih Alula untuk dijodohkan dengan Arka karena melihat Aludra setiap harinya membuat pria itu waswas menjodohkan Aludra.

"Cantiknya anak Mama," puji Aurora ketika kini Aludra duduk dengan sangat hati-hati di samping Arka yang juga tampan memakai pakakaian khas sunda.

"Kak Lula cantik banget kan ya, Ma?" tanya Alula pada sang mama.

"Iya cantik," jawab Aurora. "Nanti kamu juga pasti cantik kalau nikah, Ra."

Tersenyum, Alula mulai menirukan jawaban yang sering dilontarkan Aludra. "Males, Ma. Nikah itu pusing. Lebih enak nonton drakor."

"Ish kamu ini."

"Bagaimana? Apa semuanya sudah siap?"

Obrolan antara Aurora dan Alula terhenti, perhatian keduanya mulai tertuju pada penghulu yang duduk bersebelahan dengan Dewa yang akan menjadi wali nikah untuk putrinya hari ini.

"Siap, Pak," jawab Arka dengan suara yang tegas.

"Baik kita mulai saja akadnya," kata penghulu.

Mulai membimbing, Penghulu tersebut meminta Dewa untuk menjabat tangan Arka dan diberi arahan olehnya, akad nikah dimulai.

"Arkananta Syahzad Mahendra, saya nikah dan kawin kan engkau, dengan putri kandung saya, Alula Syaqueena Pratama binti Dewa Haryaka Pratama dengan mas kawin seratus gram emas putih dibayar tunai," ucap Dewa dengan tegas dan selang beberapa detik, dalam sekali tarikan napas, Arka menjawab;

"Saya terima nikahnya Alula Syaqueena Pratama binti Dewa Haryaka Pratama dengan mas kawin seratus gram emas putih dibayar tunai."

Melirik kedua saksi yang berada di samping kanan dan kirinya, penghulu tersebut bertanya, "Bagaimana saksi, sah?"

"Sah."

"Sah."

"Alhamdulillah."

Mengucapkan syukur, semua orang di sana memanjatkan doa untuk kelangsungan pernikahan keduanya. Sakinah, mawwaddah, warrahmah, tiga doa wajib yang selalu dipanjatkan untuk setiap pengantin baru.

"Sekarang Saudara Arka dan Alula sudah resmi menjadi suami istri, jadi untuk saudara Alula, silakan dicium tangan suaminya."

"Sekarang?" tanya Aludra polos, karena memang dia tak tahu.

"Iya sekarang."

"Oke." Menjawab singkat, Aludra memiringkan posisi duduknya lalu meraih tangan Arka dan mencium punggung tangan suami saudaranya itu dengan pelan.

Tentu saja, meskipun saat ini Aludra yang bersanding dengan Arka, tetap saja yang menjadi istri pria itu adalah Alula karena memang dalam akad pun, nama Alula yang disebut Arka, bukan Aludra dan tentunya itu berarti Alula yang dinikahi Arka, bukan Aludra.

Tugas Aludra hanyalah menjaga Arka untuk sementara waktu. Ya, selama Alula di luar negeri, mau tak mau Aludra harus menggantikan tugas yang seharusnya dilakukan Alula.

"Sekarang, silakan tukar cincin." Bukan lagi sang penghulu, intruksi tersebut kini diberikan sang pembawa acara.

Masih dengan posisi semula, Arka mulai mengambil cincin emas putih yang akan dia pasangkan di jari manis Aludra. Disiapkan oleh Dirga, cincin tersebut mengikuti ukuran cincin milik Alula yang sempat diberikan Dewa beberapa minggu lalu untuk disamakan ukurannya agar tak terjadi kekecilan atau kebesaran cincin.

"Silakan untuk mempelai pria, cincinnya dipasangkan di jari manis sang istri."

Meraih tangan Aludra yang dihiasi henna berwarna putih, Arka mulai memasangkan cincin tersebut di jari manisnya. Namun, selang beberapa detik dia mengerutkan kening ketika cincin tersebut tak bisa masuk lebih dalam.

"Kenapa cincinnya jadi kekecilan ya," gumam Arka dengan suara yang sangat pelan agar tak didengar orang lain. Namun, bisa didengar oleh Aludra yang langsung memutar otak untuk mencari jawaban masuk akal karena memang untuk ukuran tangan, meskipun Aludra adik, dia memiliki diameter jari yang sedikit lebih besar dari Alula.

"A-anu, Arka," panggil Aludra pelan. "A-aku emang agak gendutan."

Mendongak, Arka yang semula fokus dengan cincin, kini menatap Aludra. "Berat badan kamu naik?"

***

Nih yang nungguin kisah Mama Rara sama Papa Arka, silakan dan jangan lupa komen~

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dendam Mantan! - (25. Tuduhan Tak Berdasar)
7
9
Lukman bersikap menyebalkan pada Rainer dan hal tersebut membuat Kalania marah~
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan